Catatan harian yang semakin renta dan tua

Rabu, 27 Juli 2016

Lebaran Tanpa Liburan

Sumber Gambar
Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran selalu identik dengan dua hal; mudik dan liburan. Hal sederhana yang sudah membudaya di masyarakat Indonesia bahkan selalu dinanti-nantikan kedatangannya. Satu minggu sebelum lebaran, kita tidak hanya disibukkan oleh persiapan untuk menyambut lebaran itu sendiri, tetapi juga disibukkan oleh persiapan untuk pulang ke kampung halaman serta rencana liburan bagi yang tinggal jauh dari keluarga, atau pun bersiap-siap menyambut orang-orang yang kita cintai kembali di rumah. 

Lebaran adalah momen bahagia bagi yang merayakannya, serta perwujudan dari indahnya berkumpul bersama keluarga. Begitu pun saya, lebaran dan berkumpul bersama keluarga adalah paket lengkap yang selalu saya nantikan sejak delapan tahun lalu. Sebagai seseorang yang dituntut untuk hidup mandiri dan berdiri sendiri, saya sudah lama tidak tinggal satu atap secara menetap bersama kedua orang tua saya. Satu-satunya momen di mana saya dapat berkumpul bersama mereka beserta kelaurga besar adalah saat Hari Lebaran.

Khusus lebaran tahun ini, segala hal seperti tahun-tahun sebelumnya, terasa menyenangkan (bahkan hanya membayangkan packing untuk pulang) namun juga terasa sulit dan sibuk di saat yang bersamaan.Satu minggu mejelang hari lebaran saya sudah merencanakan kepulangan, apa saja yang saya butuhkan untuk menempuh perjalanan selama kurang lebih delapan jam Gorontalo-Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara), serta apa saja yang akan saya lakukan setibanya di rumah. Saya pulang tepat H-3 lebaran dan menurut saya itu cukup untuk beristirahat setelah perjalanan jauh dan membantu Mama saya menyiapkan segala keperluan untuk hari H, termasuk menemani adik saya yang masih kecil untuk berbelanja dan mengajaknya jalan-jalan entah itu ke pantai, air terjun atau pemandian air panas dan tentu saja tidak lupa silaturahmi ke rumah-rumah saudara.

Akan tetapi, bukannya menikmati detik-detik kepulangan dengan santai, kesibukan pekerjaan saya justru meningkat drastis. Tepat satu minggu sebelum pulang, saya mendapat permintaan khusus dari salah satu atasan untuk membenahi pekerjaan – yang menurut saya ditangani dengan sangat berantakan, laporan penting yang akan digunakan untuk kepentingan pemeriksaan dari pihak yang berwenang. Awalnya, saya sedikit keberatan, apalagi itu adalah pekerjaan yang siklusnya mencapai satu tahun operasional, tapi menolak juga tidak enak. Jadi, setiap malam setelah menunaikan shalat tarawih saya dihadapkan pada tumpukan berkas yang menyakitkan (kala melihatnya) setelah siangnya juga berhadapan dengan dokumen-dokumen pekerjaan saya di kantor.

Melelahkan sekali! Namun, saya tidak menyangka bahwa atasan saya memberikan reward khusus atas kesediaan saya untuk membantu beliau. Meskipun pekerjaannya melelahkan, membuat saya masih harus bersibuk ria bahkan satu jam menjelang keberangkatan, bayangan bahwa akan segera pulang dengan tambahan reward dan rencana liburan sedikit banyak menyuntikkan semangat untuk saya.

Sesampainya di rumah, bukannya istirahat dengan rencana liburan dan silaturahmu yang disusun jauh-jauh hari, Mama saya malah menyambut dengan mentega, gula, tepung dan beberapa bahan lainnya yang belum disulap menjadi kue lebaran yang menggirukan. Tidak ada rasa keberatan, yang ada justru perasaan rindu. Sudah sejak lama saya tidak ikut berpartisipasi di rumah dalam membuat kue lebaran, salah satu momen terbaik bersama Mama saya yang hanya bisa saya rasakan setahun sekali, bahkan terkadang tidak sama sekali.

Tanpa protes, saya membantu beliau untuk menyiapkan kue lebaran, tanpa melupakan kebutuhan berbelanja adik perempuan saya satu-satunya yang masih duduk di bangku kelas I SD. Dia sudah belanja sih tapi shopping bersama kakak adalah hal yang sudah dia wanti-wanti bahkan sebelum saya pulang.

H-1 lebaran saya bersama Mama, Papa juga Adik saya akhirnya berbelanja bersama. Menyenangkan sekali, seru sekali apalagi saat memilih baju untuk Adik saya yang gendut itu, namun sayang, belum lama kami berbelanja, kami mendapat kabar bahwa Paman saya mengalami kecelakaan malam itu, rencana liburan pun batal malam itu juga. 

Keesokan harinya, kami sekeluarga hanya menunaikan shalat Ied berjamaah di masjid dekat rumah, kemudian menyambut beberapa tamu yang datang. Sisanya, saya habiskan dengan tidur-tiduran. Tidak boleh jalan-jalan karena Paman saya baru saja terkena musibah. Sesekali saya mendapat kesempatan untuk silaturahmi ke rumah beberapa saudara yang tinggal cukup jauh dari rumah, tapi hanya sebatas itu saja. Variasinya hanya pada Arisan Keluarga yang memang selalu dilaksanakan dua tahun sekali bergantian di rumah anggota keluarga besar, yang ditujukan sebagai sarana perkenalan antara para cucu ataupun cicit yang  belum pernah bertemu. 

Namun, meski hanya menghabiskan waktu lebaran di rumah, saya tetap merasa bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk bertemu anggota keluarga khususnya kedua orang tua saya yang tidak lagi muda. Meski tidak ada jalan-jalan seperti tahun-tahun sebelumnya, cand tawa bahagia tetap memenuhi suasana lebaran tahun ini. Hal ini memberikan saya satu pelajaran bahwa lebaran tidak selamanya harus diisi oleh liburan di luar rumah, tetapi juga dapat digunakan sebagai momen quality time bersama orang-orang terdekat, serta juga dapat digunakan sebagai hari untuk mengambil jeda dan beristirahat dari segala kesibukan pekerjaan yang setiap hari menuntut perhatian.

Meski tahun ini saya Lebaran tanpa Liburan, keberadaan keluarga saya di sekeliling sudah cukup untuk membuat saya bahagia.

Hari Hijaber Nasional: 7 Agustus 2016 s/d 8 Agustus 2016, Masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng - Jakarta Pusat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar