Catatan harian yang semakin renta dan tua

Senin, 30 Oktober 2017

[Book Review] Glaze - Galeri Patah Hati Kara & Kalle By Windry Ramadhina

Judul Buku: Glaze - Galeri Patah Hati Kara & Kalle
Penulis: Windry Ramadhina
Penerbit: Roro Raya Sejahtera
Editor: Gita Romadhona
Proofreader: Tharien Indri
Desainer Sampul: Dwi Anissa Anindhika
Ilustrasi Isi: Windry Ramadhina
Penata Letak: Gita Mariana
Terbit: Januari 2017
Tebal Buku: iv + 396 hlmn; 14 x 20 cm
ISBN: 978-602-60748-2-9
Rating: ****

Seperti glasir di permukaan keramik, aku merasakanmu sepanjang waktu.
Mataku tak lelah menatapmu, diam-diam mengabadikan senyumanmu di benakku.
Telingaku mengenali musik dalam tawamu, membuatku selalu rindu mendengar cerita-ceritamu.
Bahkan ketika kita berjauhan, aku selalu bisa membayangkanmu duduk bersisian denganku.

Seperti glasir di permukaan keramik, kepergianmu kini membungkusku dalam kelabu.
Ruang di pelukanku terasa kosong tanpa dirimu.
Dadaku selalu sesak karena tumpukan kesedihan mengenang cintamu.
Bahkan ketika aku ingin melupakanmu, bayangmu datang untuk mengingatkan betapa besar kehilanganku.

Aku menyesal telah membuatmu terluka, tapi apa dayaku?
Aku yang dulu begitu bodoh dan naif, terlambat menyadari kalau kau adalah definisi bahagiaku.

****

Kara sangat kehilangan. Eliot kekasihnya, harus meninggalkannya. Setelah dua tahun bersama, pria yang amat disayanginya itu pergi. Kematian Eliot membuat Kara berantakan. Dunia di sekelilingnya tetap berputar, tapi dirinya seolah jalan di tempat pada pusaran kehilangan.

Berbeda dengan Kara, Kalle (dibaca Kay), kakak Eliot, justru tidak merasakan kesedihan yang sama. Kematian Eliot justru membuatnya merasa lega. Bebannya berkurang, walau memang ia merasakan ada lubang yang tertinggal. Tapi, kelegaan itu tidak berlangsung lama. Ternyata, meski sudah meninggal, Eliot masih tetap membuatnya repot. Adiknya itu punya pesan terakhir. Tepatnya, permintaan terakhir. Dan permintaan itu adalah untuk menjaga Kara.

"Kalle, tolong jaga dia untukku. Kalau bersamamu, dia pasti baik-baik saja - hlmn 49"

****

Buku ini dibuka dengan adegan kesedihan. Pemakaman Eliot. Eliot meninggal di meja operasi, tempat yang diharapkan akan memberinya kesempatan untuk hidup lebih lama. Sayang, harapan itu tidak terwujud.
Kesedihan membungkus buku ini di awal-awal cerita, apalagi bagi Kara. Kekasih Eliot yang berantakan itu tambah jadi berantakan pasca ditinggal Eliot. Awalnya, Kalle tidak berniat menggubris dan menganggap serius permitaan Eliot. Kekasih Eliot bukan urusannya, ia tidak perlu ambil pusing. Tapi, entah bagaimana caranya, pertemuan pertamanya dengan Kara justru membuatnya tak bisa tidak peduli dengan wanita itu. Disinilah, interaksi antara Kara dan Kalle dimulai.

Kara yang ceroboh dan berantakan bertemu Kalle yang rapi dan terorganisir. Dalam hal ini, penulisan yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama, berganti-gantian antara Kara dan Kalle. Dan, saya suka banget. Tanpa perlu berpikir, kita dapat membedakan siapa yang bercerita. Apakah Kara, atau Kalle. 

Gaya bercerita Kara sangat sesuai dengan karakternya yang berantakan. Ia banyak menggunakan kata dan, kata lalu dan beberapa kata lain untuk menyambung suatu kalimat. Benar-benar khas, jadi ciri tersendiri, dan menegaskan bahwa Kara bukan orang yang terencana. Sementara Kalle, gaya berceritanya pas, runut, teratur, seperti orangnya. Sikap dan pemikirannya yang idealis dan mengedepankan logika dan bukti nyata menampakkan sisi pebisnis yang memang dimiliki karakternya. Bagian ini jadi poin + banget buat buku ini.


Untuk setting, buku ini menggunakan lokasi beberapa kota di Indonsia, tapi karena penulisannya menggunakan EYD, baku, jadinya terasa seperti membaca buku terjemahan. Tapi, itu nggak mengganggu. Justru membuat  bukunya makin asyik untuk dibaca.

Selanjutnya, di awal bukunya memang berduka. Tapi, memasuki pertengahan sejak Kara dan Kalle bertemu, bukunya mulai berwarna. Interaksi Kara dan Kalle yang terasa seperti potongan adegan dalam film romantis yang inginnya selalu diulang membuat bukunya teramat nyaman dan menyenagkan. Walau memang, alur buku ini tergolong lambat. Pada beberapa tempat, buku ini cukup tertebak, tapi beberapa lainnya tidak. Kisah dalam buku ini cukup sederhana, tapi karena dikemas dengan sangat baik dan segar, meski konfliknya nggak terlalu berat, saya menikmati banget bacanya. Rasanya akan seru kalau buku ini diangkat ke layar lebar 😸

Penyelesaian buku ini sederhana, endingnya tidak rumit, tapi tidak perlu urusan yang berbelit untuk urusan menemukan kebahahiaan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar