Catatan harian yang semakin renta dan tua

Kamis, 21 Juli 2016

Purple Eyes - Lelaki Bermata Biru Nyaris Ungu

Judul Buku: Purple Eyes
Penulis: Prisca Primasari
Penyunting: Cerberu404
Proofreader: Seplia
Design Cover: Chyntia Yanetha
Penerbit: Penerbit Inari, Imprint Penerbit Spring
Tahun Terbit: 2016
ISBN: 978-602-74322-0-8
Tebal Buku: 144 hlmn, 19 cm

****

Karena terkadang tidak merasakan itu lebih baik daripada menanggung rasa sakit yang bertubi-tubi.
Ivarr Amundsen kehilangan kemampuannya untuk merasa. Orang yang sangat dia sayangi meninggal dengan cara yang keji, dan dia memilih untuk tidak merasakan apa-apa lagi, menjadi seperti sebongkah patung lilin.

Namun, saat Ivarr bertemu Solveig, perlahan dia bisa merasakan lagi percikan-percikan emosi dalam dirinya. Solveig, gadis yang tiba-tiba masuk dalam kehidupannya. Solveig, gadis yang misterius dan aneh.

Berlatar di Trondheim, Norwegia, kisah ini akan membawamu ke suatu masa yang muram dan bersalju. Namun, cinta akan selalu ada, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun.

****

Di dunia bawah, Hades - Sang Dewa Kematian akhir-akhir ini mulai merasa bosan dengan rutinitasnya. Pekerjaannya sebagai pemberi ujian bagi roh-roh manusia apakah akan memilih mati atau hidup secara perlahan namun pasti mulai menjemukan. Hampir semua roh-roh yang ditemuinya memilih untuk meninggalkan dunia daripada menetap bersama orang-orang yang mereka sayangi. Kepada Lyre - asisten pribadinya (Dulu ia entah bernama siapa, juga adalah manusia yang kemudian meninggal, ia tak ingin mengingat namanya lagi karena itu tidak penting), mengeluhkan masalah ini suatu hari.

Apakah bumi memang seburuk itu? Semuanya hobi sekali mati, akhir-akhir ini.

Biasanya, apabila sudah terlalu banyak kematian yang seperti tak beralasan logis, Hades akan turun ke bumi untuk melihat keadaan dan situasi. Tapi kali ini, Hades juga sedang merasa malas dan tidak tertarik untuk mengurusi kehidupan manusia. Lyre mengusulkan untuk mengunjungi bumi yang langsung saja mendapat penolakan. Akan tetapi, kemudian Hades berubah pikiran. Yang terjadi di Bumi bukan lagi kematian alami melainkan sesuatu yang diciptakan oleh orang yang kejam; Pembunuh Berantai. Dan ia sudah melakukannya berkali-kali namun tidak pernah ketahuan.  

MENGAMBIL LEVER MEREKA.

Akhirnya Hades memutuskan untuk ke Bumi dan mengajak serta Lyre. Tujuan mereka adalah menemui salah satu keluarga korban pembunuh berantai, Ivarr Amundsen. Adiknya, Nikolai Amundsen adalah roh yang terakhir ditemui Hades dan yang kemudian juga memilih untuk mati.

Ivarr Amundsen adalah laki-laki yang pendiam dan tidak merasa. Kehilangan yang berkali-kali dialaminya membuatnya seolah batu yang tidak memiliki perasaan. Bahkan kematian Nikolai pun sama sekali tidak mengusik naluri terdalamnya. Ia tidak menangis atau pun kelihatan bersedih. Padahal jauh di lubuk hatinya, ia sangat menyayangi adik laki-lakinya yang bersuara merdu itu. 

Kenapa dia tidak bisa menangis? Kenapa dia bahkan tidak mengalami perubahan emosi ketika mendengar kematian adiknya, keluarganya satu-satunya? Apakah Ivarr sudah tidak punya hati lagi, secara harfiah, seperti korban-korban pembunuhan itu? Ataukah dia bahkan sudah seperti pembunuh itu sendiri? 

Kedatangan Hades dan Lyre ke kediaman keluarga Amundsen dengan alasan ingin mengajak kerjasama Amundsen Corp mendapat sambutan dari Ivarr, meski tidak hangat. Dan demi kesuksesan misinya, keesokan harinya setelah kesepakatan bisnis ittu terjadi, Halstein menyuruh Lyre untuk mengunjungi kediaman Ivarr lagi dengan beralasan ingin meminta tolong ditemani jalan-jalan ke Nasjonalmuseet untuk melihat lukisan karena Tuan Halstein sedang ada urusan dan Solveig takut tersesat apabila berjalan sendirian. Ivarr Amundsen yang pada dasarnya tampan dan terpandang tidak menolak. Wanita mengajaknya jalan-jalan seperti ini sudah bukan hal yang asing lagi.

Kunjungannya bersama Solveig ke Nasjonalmuseet memberikan efek yang berbeda. Menatap salah satu lukisan favorit Nikolai kali ini ternyata sedikit memberikan perasaan rindu bagi Ivarr. Hal yang membingungkan, kenapa bisa saat berkunjung bersama Solveig ia malah merasa demikian, berbeda denga saat ia berkungjung sendirian?

Pertemuan itu tidak hanya berlangsung sekali. Keesokan dan keesokan harinya, Solveig selalu ada alasan untuk menemui Ivarr dan meminta laki-laki itu menemaninya. Hingga Solveig meminta untuk ditemani ke pemakaman dan mengujungi makam Nikolai. Namun Herr Halstein tiba-tiba saja muncul dan mengatakan sesuatu yang entah bagaimana caranya terasa menyakitkan bagi Ivarr.

Orang menangis karena kehilangan itu wajar. Yang tidak wajar adalah kalau dia tidak menangis. Lebih tidak wajar lagi kalau tidak merasa sedih.

Kalimat itu begitu menusuk. Meninggalkan jejak perih di hati Ivarr. Solveig yang merasa tidak enak pun meminta maaf. Akan tetapi, kemarahan yang ditunjukkan Ivarr karena Solveig dan Halstein seolah terus mengungkit adiknya malah menyebabkan Solveig kesal dan mengatakan hal yang baginya tidak seharusnya ia katakan.

Memangnya kenapa kalau kami mengungkit-ungkit tentag adik Anda? Toh Anda sama sekali tidak peduli padanya. Terlihat menyayaginya pun tidak.

Kesalahan yang dilakukan secara tidak sengaja itu ternyata menyeret Solveig dan Ivarr pada hal yang mungkin seharusnya tidak terjadi. Insiden itu telah menjadi sebab kedekatan kecil antara mereka berdua. Mulai dari Solveig yang merasa perlu memberi perhatian pada Ivarr yang sakit dan kesepian, Ivarr yang merasa nyaman dengan kedekatan mereka, percakapan-percakapan yang terkadang janggal - Solveig terasa seperti lahir pada era yang begitu jauh, dan perasaan cinta yang tidak dapat Solveig bantah. Dan ini adalah masalah.

Kendalanya jelas sekali. Pemuda itu masih hidup, dan Lyre sudah mati.



****

Purple Eyes adalah novel Prisca Primasari pertama yang saya baca dan berhasil memberi kejutan pada lembar Prolognya. Sekilas dari sinopsis, buku ini lebih banyak mengandung unsur roman. Namun, dugaan saya salah. Unsur mitologi Yunani yang ada di dalamnya beserta Hades yang bisa dibilang tokoh pembantu utama, sang Dewa Kematian adalah hal yang paling saya sukai.

Sebagai informasi, Hades adalah Dewa Kematian berwajah tampan namun beraura menakutkan yang tinggal di dunia bawah atau dalam mitologi Yunani lebih dikenal sebagai Dunia Orang Mati. Meskipun Hades digambarkan dengan sosok demikian, dia adalah salah satu Dewa Favorit saya setelah Dewa Zeus sang Dewa Laut dan Dewa Hephaestus, Sang Penempa. Aura menakutkan yang menguar dari wujudnya diakibatkan oleh terlalu seringnya ia berinteraksi dengan orag-orang mati, yah walau dalam beberapa kasus ia memang dikenal kejam dan tidak berperasaan.

Pertama kali buku ini tiba di tangan, hal yang paling menarik perhatian sebenarnya adalah latarnya, Trondheim - Norwegia. Meskipun sama sekali belum mendengar apa-apa terkait hal menarik yang ditawarkan negara bernuansa Skandinavia itu, saya sudah merasa penasaran dan ingin tahu seperti apa Norwegia, apalagi saat musim dingin. Saya sangat suka cara penulis mengumpamakan salju sebagai taburan gula halus.

Typical Wooden House di Trondheim
Cover novelnya pun menurut saya sangat menggambarkan isi buku. Siluet laki-laki dan perempuan yang berjalan beriringan - tentu saja itu Solveig dan Ivarr, pohon besar menjulang tanpa daun sebagai pertanda musim dingin serta warna ungu yang terasa begitu sendu. Meski ungu sesungguhnya menggambarkan warna mata Ivarr, tapi menurut saya warna itu sungguh sangat cocok dengan karakter dari Ivarr sendiri.

Buku ini sebenarnya menceritakan tentang kisah cinta Ivarr dan Solveig akan tetapi, poin pembunuhan berantai yang menyebabkan kematian Nikolai juga adalah unsur penting yang membentuk cerita dan sangat menarik untuk disimak.  Purple Eyes mengajarkan kepada kita bahwa seburuk apa pun situasi dan kondisi yang kita hadapi, tidak semestinya kita berputus asa dan harapan akan kehidupan yang kita jalani. Kemarahan Sang Pembunuh Berantai terhadap majikannya yang membentuk karakter psikopat dalam dirinya juga menyiratkan pesan bahwa dendam, adalah penyakit hati dan pikiran yang sama sekali tidak mendatangkan bahagia dan kepuasan.

Ada juga satu poin penting tentang peran Hades dalam buku ini; menghabisi para diktator dunia yang senang membunuh sesama seperti menepuk nyamuk saja. Meski menyukai mitologi Yunani, saya sama sekali tidak percaya bahwa keperadaan para Dewa itu ada. Akan tetapi, tugas Hades tersebut menurut saya sebenarnya adalah peringatan kepada siapa saja bahwa kehidupan kita di dunia bukan hanya sekedar hidup kemudian mati dan terus berulang secara monoton begitu. Bahwa segala apa yang kita lakukan itu diawasi oleh Yang Maha Kuasa dan akan mendapatkan balasan setimpal pada saatnya.

2 komentar: