Catatan harian yang semakin renta dan tua

Senin, 22 Agustus 2016

[Review] Critical Eleven - Ika Natassa

Judul Buku: Critical Eleven
Penulis: Ika Natassa
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2015
Desain Sampul: Ika Natassa
Editor: Rosi L. Simamora
Tebal Buku: 344 hlmn, 20 cm
ISBN: 978-602-03-1892-9

****

Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat - tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing - karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It's when the aircraft is most vulnerable to any danger.

In a way, it's kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah - delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.

Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam perjalanan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.

Kini, lima tahun setelah percakapan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.

****

Kesibukan Anya sebagai seorang bisnis konsultan membuat ia harus selalu siap sedia dimana saja dibutuhkan untuk urusan pekerjaan. Untuk itu, bandara sudah seperti sahabat baginya, bahkan terasa seperti rumah - tempat untuk melepas penat sejenak lalu kemudian memulai aktivitas dan kesibukan rutin seperti biasanya. Dan, seolah anugerah yang sengaja diturunkan, setelah sekian banyak penerbangan Anya, akhirnya ia berkesempatan duduk di sebelah laki-laki tampan dan masih muda, bukan opa-opa atau ibu-ibu menyebalkan. Ia bertemu Ale.

Ale si tukang minyak dengan jadwal kerja padat namun diselingi dengan liburan setiap bulannya. Pertemuan Ale dan Anya tergolong pertemuan biasa, penumpang pesawat yang secara kebetulan duduk bersebelahan dan tidak merasa wajib untuk memulai percakapan. Akan tetapi, suatu ketidaksengajaan akhirnya membentuk perkenalan yang secara perlahan membangun percakapan seru selama kurang kebih tujuh jam kemudian. Waktu yang singkat namun cukup untuk menumbuhkan ketertarikan di antara keduanya, terutama Ale.

Satu bulan setelah berpisah, Ale menghubungi Anya saat mereka sama-sama sedang berada di Jakarta, lalu satu minggu kemudian Ale menyatakan cintanya pada Anya. Meski terkejut, Anya tidak merasa perlu untuk mempertimbangkan matang-matang permintaan Ale untuk menjadi kekasihnya. Detik setelah cinta diungkapkan, mereka langsung menjalin hubungan dan disakralkan dalam ikatan pernikahan satu tahun kemudian.

Meski sama-sama sibuk dengan karier, rumah tangga Anya-Ale berjalan dengan sangat sempurna. Kewajiban Ale untuk berada di Meksiko, jarak yang memisahkan tidak menggoyhakan rasa cinta mereka. Anya selalu berusaha untuk menjadi istri yang baik saat Ale pulang satu bulan sekali, membuatkan sarapan dan melakukan tugas sebagai istri, Ale pun demikian. Ketika di rumah, ia menjadi suami yang amat penyayang dan penuh perhatian. Mengantar Anya ke kantor adalah rutinitas harian yang sudah seperti kewajiban baginya, sesekali ia juga membawa Anya untuk berlibur. Pasangan romantis dan paling favorit, begitu sahabat-sahabat Anya memberi gelar pada mereka.

Namun, yang namanya berumah tangga pasti ada lika-liku dan ujian yang harus dihadapi, untuk pernikahan Anya dan Ale, ujian itu datang ketika usia pernikahan mereka menginjak angka lima tahun.

Seperti halnya pasangan lain, kehadiran momongan atau anak adalah salah satu yang dinantikan setelah akad nikah dan resepsi digelar. Lima tahun setelah menikah, Anya dan Ale pun akhirnya mendapat kesempatan kepercayaan dari Tuhan untuk dititipkan amanah. Anya hamil dan seluruh keluarga turut berbahagia untuk kabar menggembirakan itu. Ale apalagi. Tapi, bekerja di luar negeri membuat Ale tidak bisa selalu menemani Anya selama proses kehamilannya. Setiap lima minggu Ale harus kembali ke Meksiko untuk bekerja, ia baru dapat benar-benar mendampingi Anya lima minggu kemudian, dan lima minggu berikutnya, ia juga harus rela meninggalkan Anya dan buah cinta mereka.

Anya tidak keberatan. Ia istri yang sangat pengertian. Ia mencintai Ale sebagaimana adanya laki-laki itu dan tidak mengeluh dengan kesibukan Ale yang sangat menyita waktu. Setiap hari, meski berjauhan mereka selalu saling berkabar, Anya juga selalu melaporkan perkembangan si bayi, juga tetap bekerja seperti biasanya meski dengan porsi kerja yang sudah dikurangi. Malang, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Menjelang masa persalinan, Ale dan Anya kehilangan amanah Tuhan yang bahkan belum sempat menatap indahnya dunia. Bayi mereka meninggal.

Kehilangan ini memukul dan menghancurkan, terutama Anya. Sebagai Ibu yang mengandung, kesedihan Anya begitu mendalam. Keinginan dan angannya untuk menyusui, membesarkan, meninabobokan, dan menyayangi anaknya pupus sudah. Ale pun begitu, namun ia berusaha tegar demi Anya. Sayangnya, sebagai orang tua yang baru kehilangan anaknya, Ale juga menyimpan perasaan sedih dan kehilangan di lubuk hatinya sehingga ia secara tidak sengaja mengucapkan kalimat yang secepat ia meluncur, secepar itu pula merobek dan menghancurkan kepercayaan Anya terhadapnya.

Mungkin kalau dulu kamu nggak terlalu sibuk, Aidan masih hidup, Nya.

Perasaan gagal menjadi Ibu karena kehilangan putranya saat masih dalam kandungan serta kalimat menyakitkan yang diucapkan Ale membuat Anya kecewa. Secara tidak langsung, Ale telah menuduhnya sebagai pembunuh! pembunuh bayi mereka! Kejahatan yang tidak akan mungkin tega dilakukan oleh Ibu mana pun.

Kalimat pendek yang tidak disengaja itu pada akhirnya membuat Anya ragu akan Ale dan perasaannya. Ia cinta, tapi sakit hatinya seolah menutupi perasaannya untuk Ale. Segala cara Ale lakukan agar Anya yang ia cintai dan mencintainya kembali dan memaafkan kesalahan yang sama sekali tidak ia sengaja, namun Anya selalu menghindar. Dimulai dari permintaan pisah kamar hingga menganggap Ale patung bahkan udara yang tidak terlihat saat laki-laki itu pulang ke Indonesia.

Anya ingin lupa. Lupa tentang Ale yang menyakitinya namun semua kenangan antara mereka berdua selalu saja datang bergantian memenuhi kepala dan ingatannya.

****

Hal pertama yang saya sukai dari novel ini adalah Covernya. Sangat cocok dan sesuai dengan judul novel. Kalau hanya dilihat dari cover, novel ini sekilas seperti novel petualangan, atau novel dengan setting seperti yang terdapat pada film-film action - pembajakan pesawat, atau yang paling mengerikan adalah kecelakaan pesawat. Tapi, sinopsisnya dengan segera mematahkan opini tersebut. Paragraf kedua sudah menggambarkan bahwa Critical Eleven akan bercerita tentang kisah romantis dari dua orang yang saling mecintai, meskipun tidak secara gamblang. Saya tidak menyangka bahwa Critical Eleven adalah novel yang romance abis alias sepenuhnya tentang kisah cinta.

Meski sudah menebak bahwa akan ada cinta-cintaannya dari sinopsis, sama sekali tidak terpikirkan bahwa unsur cintanya ada pada keseluruhan cerita. Jujur saja, di halaman awal saya sedikit menebak-nebak akan kemana dan jadi seperti apa cerita pada novel ini, dan ternyata Critical Eleven sukses membuat saya baper setengah mati. Pertemuan Ale dan Anya adalah pertemuan yang sangat romantis, tipikal yang sangat diidamkan oleh penggila romance untuk dapat dialami di dunia nyata. Dan, saya juga merasa surprise setelah mengetahui bahwa kisah cinta dalam buku ini adalah tentang sepasang kekasih yang telah berjanji sehidup semati lewat ikatan suci pernikahan.

Poin kedua yang saya sukai dari Critical Eleven adalah penggunaan sudut pandang pencerita yang menggunakan kata ganti orang pertama tunggal namun dari sudut pandang Ale dan Anya dengan gaya bercerita yang berbeda namun khas dan konsisten. Memang, penggunaan kata ganti orang pertama tunggal dalam sebuah novel atau buku lainnya adalah yang paling bisa membuat pembaca terenyuh dan masuk ke dalam cerita hampir secara total. Aku, saya, atau gue menurut saya adalah gaya bercerita yang akan membuat pembaca seolah berperan sebagai tokoh utama sehingga perasaan akan sangat mudah menyatu ke dalam buku. Dalam buku ini, Ale dan Anya sebagai tokoh utama sama-sama menceritakan kisah cinta dan rumah tangga mereka dalam sudut pandang yang berbeda, namun sukses membuat saya merasa bahwa itu adalah saya yang berganti peran.

Plotnya menarik. Alur maju mundur serta penggunaan sudut pandang dalam bercerita menurut saya adalah salah satu hal yang sulit. Membutuhkan penyesuaian latar waktu yang tepat dan kekonsistenan gaya bercerita oleh masing-masing tokoh yang ada. Perjalanan kisah cinta Ale dan Anya juga adalah kisah orang dewasa yang tidak menye-menye dan menitikberatkan pada bagaimana kepercayaan dalam suatu hubungan rumah tangga dibangun dan dijaga, saya sangat menyukainya.

Selain hal tersebut, ada banyak sekali pesan serta pengetahuan tambahan yang membuat saya penasaran dalam buku ini.

Contohnya dalam memaknai pertemuan dan perpisahan, memaknai tujuan dan juga waktu senggang. Kebanyakan dari kita, berdasarkan dari yang saya lihat, apabila akan berangkat ke suatu tempat, maka fokus utama kita adalah tujuan yang ingin kita capai, destinasi yang ingin kita datangi. Tidak banyak yang akan terpikirkan tentang makna bandara, terminal, stasiun atau bahkan pangkalan ojek, tempat kita melambaikan tangan terakhir kali pada orang yang melepas kepergian kita tanpa tahu apakah kita dapat bertemu mereka kembali atau tidak. Di novel ini, kita diajak untuk sejenak merenungkan betapa sungguh tempat-tempat tersebut terkadang memiliki makna yang tidak pernah kita ketahui keberadaannya.

Selanjutnya, pengetahuan saya tentang film romantis akhirnya bertambah dari membaca buku ini meski hanya judulnya saja. Kesukaan saya terhadap novel romantis tidak berbanding lurus dengan kesukaan saya terhadap film romantis. Di buku ini, judul-judul filmnya sekaligus beberapa penjelasan singkat terkait pertemuan tokoh utama telah membuat saya penasaran dan ingin mencoba menonton semua judul film yang disebutkan.

Berikut, ada banyak kutipan yang menarik perhatian saya dan sagat saya sukai dalam buku ini, di antaranya:

1. Airport is the least aimless place in the world. Everything about the airport is destination - hlmn. 6

2. Travel is learning to communicate with just a smile. It's where broken English is welcomed with a smile instead of being greeted by a grammar Nazi. It's the simple chance of reinventing ourselves at new places where we are nobody but stranger. - hlmn. 9 

3. Expectation is a cruel bastard, isn't it? It takes away the joy of the present by making us wondering about what will happen next - hlmn. 17

4. Memory is a great servant, but a really bad master -  hlmn. 20

5. We react to every single thing in our life because of our memory. Every single thing. Dari cara membuka botol, cara menjawab pertanyaan saat ujian, cara menggoreng telur mata sapi, cara berhadapan dengan klien. Dan cara bercinta. Termasuk cara berurusan dengan sakit hati - hlmn. 21

6. When memory plays its role as a master, it limits our choices. It closes doors for us. Merenggut free will, kebebasan kita untuk memilih dan melakukan sesuatu - hlmn. 23

Yang membuat saya suka adalah almost of them are true. Bahkan bisa dibilang semuanya benar dan beberapa di antaranya cukup menggelitik atau mencubit hati saya. Tapi dari semua kutipan menarik yang ada, yang paling favorit adalah:

Bookstores are the least discrimintaive place in the world.

I rate 5/5 for this book :))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar