Hal
apa yang akan orang tanyakan pertama kali ketika kita memasuki bangku sekolah?
Jawabannya adalah IMPIAN.
“Kamu
mau jadi apa?”
“Kamu
ingin jadi seperti siapa?”
Bagi
anak-anak itu adalah pertanyaan sederhana dan mudah untuk dijawab. Anak kecil
mana saja pasti akan menjawab berdasarkan pada sesuatu yang mereka sukai, atau
sesuatu yang mereka anggap hebat.
“Aku
mau jadi Power Ranger untuk membela kebenaran!”
“Aku
mau jadi cantik seperti mama!”
“Aku
mau jadi pemain bola.”
“Aku
mau jadi pilot.”
Begitu
pun saya. Waktu kecil, ketika saya ditanya perihal impian pertama kali jawaban
saya adalah “Aku mau jadi guru.” Saya lupa waktu itu siapa yang bertanya, tapi
ketika pertanyaan tersebut disusul oleh alasan mengapa saya memilih untuk
menjadi guru, jawaban saya adalah “supaya bisa menghukum anak yang nakal.” Sederhana
sekali, bukan? Meski itu adalah jawaban spontan anak kecil yang bahkan mungkin
belum mengerti apa itu impian yang sebenarnya, impian masa kecil tersebut telah
membuat saya berusaha belajar dengan giat untuk dapat mewujudkanya.
Seiring
dengan bertambahnya usia dan meluasnya pergaulan serta pengetahuan yang
didapatkan, impian masa kecil tersebut ternyata tidak bertahan. Ia berganti
oleh sesuatu yang datang dari rasa kagum.
Saat
saya SD, saya berkenalan untuk pertama kali dengan sepupu jauh Ayah saya yang
bekerja sebagai seorang Pramugari. Kecantikan dan kecerdasannya membuat saya
kagum dan detik itu juga saya memutuskan untuk mengubah impian saya dari
seorang guru menjadi Pramugari.Saat itu, yang saya tahu, dasar utama dalam
menjadi Pramugari adalah kecerdasan bahasa asing, terutama bahasa inggris. Di samping
ketertarikan yang besar dengan bahasa Inggris, impian untuk menjadi Pramugari
juga memacu saya untuk mempelajari bahasa Inggris dengan lebih giat. Sayang,
impian itu kandas saat memasuki bangku SMP dikarenakan saya sudah dapat menduga
bahwa proporsi tubuh saya tidak akan memenuhi syarat untuk menjadi Pramugari.
Menginjak
kelas VIII saya kembali menemukan impian. Menjadi pengacara! Saat itu, saya
sangat menyukai pelajaran PPKN sekaligus gurunya, beliau bernama Ibu Djamila,
dan materi yang sangat saya sukai adalah tentang proses persidangan. Sejak saat
itu, saya sangat tertarik untuk menjadi Pengacara. Hadirnya sinetron Bunda yang
dibintangi Meriam Bellina juga membuat semangat saya semakin menanjak. Namun,
impian itu juga berakhir dilupakan ketika saya menemukan hobi baru;
mendengarkan radio.
VJ
radio sepintas didengar adalah profesi biasa saja. Lantas, apa yang membuat
saya menempatkannya sebagai pengganti impian sebagai seorang Pengacara? Jawabannya
adalah suara. Meski tidak dilihat, bertatap secara langsung, VJ radio adalah
pembicara yang didengarkan oleh masyarakat umum tidak peduli penting atau tidak
penting yang dikatakannya. Jika itu penting, maka orang-orang akan
mendengarkannya dengan serius. Jika tidak maka mereka akan meganggapnya sebagai
hiburan, jika itu lucu maka orang-orang akan tertawa, jika itu membosankan
mereka akan mengganti saluran radio, tapi tetap saja pasti akan ada yang
mendengarkan karena selera tidaklah sama dan setiap orang selalu memiliki cara
berbeda dalam menerima dan memproses informasi. Bagi saya itu sangat keren! Menjadi
selebriti misterius yang hanya dikenal lewat suara dan nama samaran. Saya bisa
tetap berjalan-jalan ke mana saja dengan bebas tanpa takut dikerubuti pendengar
yang ingin berkenalan atau pun berteman. Dan sama seperti sebelumnya, cita-cita
itu pun menemukan penggantinya.
Menulis
adalah hal yang baru saya kenal ketika menginjak bangku X SMK. Tentu saja
menulis Diary dan curahan hati sudah saya lakukan sejak SMP, akan tetapi
menuliskan cerita dengan konflik sekaligus penyelesaian yang masuk akal adalah
sesuatu yang baru. Saat itu, saya ingat, bahwa saya pertama kali menemukan
keinginan untuk menulis adalah setelah membaca karya novel teman saya yang
duduk di bangku X MA (Madrasah Aliyah). Tulisannya benar-benar menginspirasi
saya yang doyan menyusun cerita di dalam kepala sebagai pengantar tidur karena
dongeng sudah bukan lagi hal yang dapat diberikan kedua orang tua.
Dari
situ saya berpikir bahwa akan lebih baik jika cerita-cerita yang berputar di
dalam kepala itu saya tuliskan agar tidak mudah dilupakan dan dapat kembali
diulang jika saya menginginkan. Sejak saat itu, saya jadi sering menuliskan apa
pun. Tak terhitung berapa banyak cerita yang tak selesai atau bahkan tak
diselesaikan sebelum menemuka konflik. Akan tetapi, ternyata hal itulah yang
membuat saya menemukan dunia saya.
Menulis
membantu saya menemukan kebahagiaan nyata yang didapat dari sesuatu yang
sederhana. Saya menemukan impian saya yang sebenarnya! Saya ingin menulis,
ingin dibaca dan ingin agar tulisan saya suatu saat nanti bisa dibaca dan
menginspirasi banyak orang. Dan ini adalah impian yang tidak akan pernah
berubah lagi. Meski mungkin nanti saya menemukan hal menyenangkan lain, menulis
akan tetap memiliki tempat tersendiri di dalam hati dan tidak akan pernah saya
tanggalkan selama-lamanya.
Menulis
membuat saya menemukan dunia baru yang tidak pernah saya datangi sebelumnya. Membuat
saya berhasil menemukan diri di saat muncul keraguan akan kekonsistenan diri
dalam mengusahakan dan mempertahankan sesuatu. Sejak impian untuk menjadi VJ
itu berakhir, pertanyaan akan impian tidak lagi datang dari orang tua atau pun
keluarga melainkan dari diri sendiri.
What am I wanna be?
Sebenarnya
ingin jadi apa aku. Kenapa impian terus saja berubah dan tidak pernah menemukan
kesejatiannya?
Kini,
akhirnya saya menemukan hal yang benar-benar ingin saya lakukan. Saya ingin
menulis! Entah tulisa itu akan dapat dibukuka suatu saat nanti atau tidak, saya
tetap ingin melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar