Catatan harian yang semakin renta dan tua

Kamis, 18 Agustus 2016

What Am I Wanna Be?

Hal apa yang akan orang tanyakan pertama kali ketika kita memasuki bangku sekolah? Jawabannya adalah IMPIAN.

“Kamu mau jadi apa?”

“Kamu ingin jadi seperti siapa?”

Bagi anak-anak itu adalah pertanyaan sederhana dan mudah untuk dijawab. Anak kecil mana saja pasti akan menjawab berdasarkan pada sesuatu yang mereka sukai, atau sesuatu yang mereka anggap hebat.

“Aku mau jadi Power Ranger untuk membela kebenaran!”

“Aku mau jadi cantik seperti mama!”

“Aku mau jadi pemain bola.”

“Aku mau jadi pilot.”

Begitu pun saya. Waktu kecil, ketika saya ditanya perihal impian pertama kali jawaban saya adalah “Aku mau jadi guru.” Saya lupa waktu itu siapa yang bertanya, tapi ketika pertanyaan tersebut disusul oleh alasan mengapa saya memilih untuk menjadi guru, jawaban saya adalah “supaya bisa menghukum anak yang nakal.” Sederhana sekali, bukan? Meski itu adalah jawaban spontan anak kecil yang bahkan mungkin belum mengerti apa itu impian yang sebenarnya, impian masa kecil tersebut telah membuat saya berusaha belajar dengan giat untuk dapat mewujudkanya.

Seiring dengan bertambahnya usia dan meluasnya pergaulan serta pengetahuan yang didapatkan, impian masa kecil tersebut ternyata tidak bertahan. Ia berganti oleh sesuatu yang datang dari rasa kagum.

Saat saya SD, saya berkenalan untuk pertama kali dengan sepupu jauh Ayah saya yang bekerja sebagai seorang Pramugari. Kecantikan dan kecerdasannya membuat saya kagum dan detik itu juga saya memutuskan untuk mengubah impian saya dari seorang guru menjadi Pramugari.Saat itu, yang saya tahu, dasar utama dalam menjadi Pramugari adalah kecerdasan bahasa asing, terutama bahasa inggris. Di samping ketertarikan yang besar dengan bahasa Inggris, impian untuk menjadi Pramugari juga memacu saya untuk mempelajari bahasa Inggris dengan lebih giat. Sayang, impian itu kandas saat memasuki bangku SMP dikarenakan saya sudah dapat menduga bahwa proporsi tubuh saya tidak akan memenuhi syarat untuk menjadi Pramugari.

Menginjak kelas VIII saya kembali menemukan impian. Menjadi pengacara! Saat itu, saya sangat menyukai pelajaran PPKN sekaligus gurunya, beliau bernama Ibu Djamila, dan materi yang sangat saya sukai adalah tentang proses persidangan. Sejak saat itu, saya sangat tertarik untuk menjadi Pengacara. Hadirnya sinetron Bunda yang dibintangi Meriam Bellina juga membuat semangat saya semakin menanjak. Namun, impian itu juga berakhir dilupakan ketika saya menemukan hobi baru; mendengarkan radio.

VJ radio sepintas didengar adalah profesi biasa saja. Lantas, apa yang membuat saya menempatkannya sebagai pengganti impian sebagai seorang Pengacara? Jawabannya adalah suara. Meski tidak dilihat, bertatap secara langsung, VJ radio adalah pembicara yang didengarkan oleh masyarakat umum tidak peduli penting atau tidak penting yang dikatakannya. Jika itu penting, maka orang-orang akan mendengarkannya dengan serius. Jika tidak maka mereka akan meganggapnya sebagai hiburan, jika itu lucu maka orang-orang akan tertawa, jika itu membosankan mereka akan mengganti saluran radio, tapi tetap saja pasti akan ada yang mendengarkan karena selera tidaklah sama dan setiap orang selalu memiliki cara berbeda dalam menerima dan memproses informasi. Bagi saya itu sangat keren! Menjadi selebriti misterius yang hanya dikenal lewat suara dan nama samaran. Saya bisa tetap berjalan-jalan ke mana saja dengan bebas tanpa takut dikerubuti pendengar yang ingin berkenalan atau pun berteman. Dan sama seperti sebelumnya, cita-cita itu pun menemukan penggantinya.

Menulis adalah hal yang baru saya kenal ketika menginjak bangku X SMK. Tentu saja menulis Diary dan curahan hati sudah saya lakukan sejak SMP, akan tetapi menuliskan cerita dengan konflik sekaligus penyelesaian yang masuk akal adalah sesuatu yang baru. Saat itu, saya ingat, bahwa saya pertama kali menemukan keinginan untuk menulis adalah setelah membaca karya novel teman saya yang duduk di bangku X MA (Madrasah Aliyah). Tulisannya benar-benar menginspirasi saya yang doyan menyusun cerita di dalam kepala sebagai pengantar tidur karena dongeng sudah bukan lagi hal yang dapat diberikan kedua orang tua.

Dari situ saya berpikir bahwa akan lebih baik jika cerita-cerita yang berputar di dalam kepala itu saya tuliskan agar tidak mudah dilupakan dan dapat kembali diulang jika saya menginginkan. Sejak saat itu, saya jadi sering menuliskan apa pun. Tak terhitung berapa banyak cerita yang tak selesai atau bahkan tak diselesaikan sebelum menemuka konflik. Akan tetapi, ternyata hal itulah yang membuat saya menemukan dunia saya.

Menulis membantu saya menemukan kebahagiaan nyata yang didapat dari sesuatu yang sederhana. Saya menemukan impian saya yang sebenarnya! Saya ingin menulis, ingin dibaca dan ingin agar tulisan saya suatu saat nanti bisa dibaca dan menginspirasi banyak orang. Dan ini adalah impian yang tidak akan pernah berubah lagi. Meski mungkin nanti saya menemukan hal menyenangkan lain, menulis akan tetap memiliki tempat tersendiri di dalam hati dan tidak akan pernah saya tanggalkan selama-lamanya.

Menulis membuat saya menemukan dunia baru yang tidak pernah saya datangi sebelumnya. Membuat saya berhasil menemukan diri di saat muncul keraguan akan kekonsistenan diri dalam mengusahakan dan mempertahankan sesuatu. Sejak impian untuk menjadi VJ itu berakhir, pertanyaan akan impian tidak lagi datang dari orang tua atau pun keluarga melainkan dari diri sendiri.

What am I wanna be?

Sebenarnya ingin jadi apa aku. Kenapa impian terus saja berubah dan tidak pernah menemukan kesejatiannya?

Kini, akhirnya saya menemukan hal yang benar-benar ingin saya lakukan. Saya ingin menulis! Entah tulisa itu akan dapat dibukuka suatu saat nanti atau tidak, saya tetap ingin melakukannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar