Catatan harian yang semakin renta dan tua

Jumat, 02 Desember 2016

[Ebook Review] Katarsis By Anastasia Aemilia

Judul Buku: Katarsis
Penulis: Anastasia Aemilia
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Editor: Hetih Rusli
Desain dan Ilustrasi Cover: Staven Andersen
Terbit: 2013
Tebal Buku: 264 hlmn; 20 cm
Kategori: Novel Psychothriller
ISBN: 978-979-22-9466-8
Rating: 4/5

Tara Johandi, gadis berusia delapan belas tahun, menjadi satu-satunya saksi dalam perampokan tragis di rumah pamannya di Bandung. Ketika ditemukan dia disekap dalam kotak perkakas kayu dalam kondisi syok berat. Polisi menduga pelakunya sepasang perampok yang sudah lama menjadi buronan. Tapi selama penyelidikan, satu demi satu petunjuk mulai menunjukkan keganjilan.
Sebagai psikiater, Alfons berusaha membantu Tara lepas dari traumanya. Meski dia tahu itu tidak mudah. Ada sesuatu dalam masa lalu Tara yang disembunyikan gadis itu dengan sangat rapat. Namun, sebelum hal itu terpecahkan, muncul Ello, pria teman masa kecil Tara yang mengusik usaha Alfons.
Dan bersamaan dengan kemunculan Ello, polisi dihadapkan dengan kasus pembunuhan berantai yang melibatkan kotak perkakas kayu seperti yang dipakai untuk menyekap Tara. Apakah Tara sesungguhnya hanya korban atau dia menyembunyikan jejak masa lalu yang kelam? 

ULASAN

"Aku mohon, jangan panggil aku Tara... Jangan..."

Tara adalah anak yang 'berbeda'. Sejak kecil, ia tidak menyukai nama pemberian orangtuanya. Hal yang aneh mengingat tidak pernah ada sejarah bayi tidak suka dengan nama pemberian kedua orangtuanya kecuali saat mereka sudah bertumbuh besar dan berniat mengganti nama. Tapi Tara berbeda. Fakta bahwa namanya terbentuk dari nama Ayah dan Ibunya, Bara dan Tari membuatnya benci. Selain itu, ia juga suka dengan hal-hal ganjil, termasuk bau darah. Ia suka bau anyir yang ditimbulkan oleh darah dan sangat menikmatinya. Hingga suatu hari Ibunya meninggal dan Bara, sang Ayah memutuskan untuk menitipkannya pada Paman dan Bibinya.

Meski tidak suka dengan namanya, Tara tak bisa berbuat apa-apa ketika Paman dan Bibinya juga memanggilnya dengan nama yang diberikan orangtuanya. Namun mereka cukup baik, memberi Tara perhatian dan kasih sayang, tidak seperti Bara yang suka memakinya dan kerjanya marah-marah saja. Paman dan Bibinya punya anak laki-laki, Moses namanya.

Moses nakal, fakta yang tak diketahui kedua orangtuanya. Ia kerap mengganggu Tara bahkan membuat gadis itu terjatuh dari sepeda. Tapi hal itu justru mempertemukannya dengan anak laki-laki yang memberinya koin lima rupiah. Ia berkata bahwa koin itu bisa mengurangi rasa sakit Tara. Sejak saat itu, jika Tara cemas, ketakutan atau kesakitan, ia akan menggenggam koin itu erat-erat. Seolah seluruh hidupnya bergantung pada koin itu. Ketergantungan Tara akan koin itu membuat Paman dan Bibinya khawatir, ditambah sifat Tara yang sangat pendiam. Akhirnya mereka memutuskan untuk membawa Tara ke psikiater. Seorang psikiater muda dari Jakarta pun merawat Tara dan berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan gadis itu. Namun sayang, sebelum pengobatannya selesai, sebelum keanehan Tara ditemukan jawabannya, sebuah pembantaian menimpa keluarga gadis itu. Paman dan Bibinya ditemukan bersimbah darah di rumah mereka, berikut Ayah kandung Tara, Bara. Sementara Tara ditemuka di dalam kotak perkakas berbentuk persegi di dalam gudang, dengan tubuh yang ditekuk sedemikian rupa agar tubuhnya muat disana. Ayah dan Bibinya tewas, Pamannya kritis dan Tara mengalami syok berat.

****

Ngeri adalah perasaan pertama yang menhinggapi hati saya ketika membaca novel ini. Dibuka dengan pemandangan Tara yang disekap dalam kotak perkakas, ditambah gaya bercerita yang menggunakan sudut pandang orang pertama dalam hal ini Tara membuat saya sedikit banyak bisa merasakan ngilu dan kengerian yang harus Tara alami selama mendekam di dalam kotak sempit berhari-hari. Kelegaan luar biasa juga saya rasakan saat Tara ditemukan dalam kondisi masih bernyawa.

Saya sempat mengira bahwa buku ini bercerita tentang detektif dan penyelidikan. Sudah sempat menduga pula bahwa buku ini berkaitan dengan sesuatu yang bersifat atau mendekati teori mental illness. Dugaan saya tidak sepenuhnya salah namun tidak sepenuhnya benar. Buku ini menyajikan kisah yang berbalut darah dan kengerian. Bab-bab pertama saya sempat kebingungan dan sedikit kesusahan untuk memahami isi buku ini. Alurnya yang maju mundur membuat saya harus menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi namun sayang tidak mendapat jawaban pasti. Kepastian yang saya dapatkan hanyalah kengerian disana-sini, pada setiap sudut cerita yang coba dipaparkan oleh Tara sebagai pencerita dalam buku ini.

Ketika sudah bisa memahami dan masuk ke dalam alur cerita, saya kemudian didera rasa penasaran yang tentu saja masih berbalut kengerian, terkadang merasa deg-degan juga mual di saat bersamaan. Seketika pula saya dapat menyimpulkan bahwa buku ini bergenre psychothriller. Percayalah tidak ada yang lebih menyeramkan dibanding orang yang jiwanya terguncang lalu kemudian merasakan kesenangan untuk melakukan hal-hal yang dapat membuat orang lain juga ikut terguncang. Oh dan ya saya juga sangat suka tata bahasanya, puitis namun mengerikkan di saat bersamaan. Perpaduannya cantik dan memesona.

Meski memang ada beberapa bagian yang menurut saya bolong. Seperti pada kasus Tara, hingga akhir cerita saya tidak menemukan hal apa yang cocok untuk mendeskripsikan tingkah laku, sifat dan latar belakang yang membentuk pemikirannya menjadi begitu aneh dan terstruktur. Tara adalah sosok yang senantiasa melakukan hal-hal yang menurutnya bisa diterima orang lain atau minimal dipandang wajar oleh orang lain. Saat jatuh dan terluka ia merasa harus menangis meski pada kenyataannya ia tidak ingin menangis. Ia hanya ingin hal itu terlihat majar di mata orang lain, air matanya tentu akan dinilai sebagai kewarasan dibanding ia tertawa atau bahkan mematung setelah terjatuh dari sepeda. Dengan usianya yang masih terbilang sangat muda, darimana ia mendapatkan pola pikir seperti itu? Penjelasan itu yang tak bisa saya peroleh dari buku ini. Memang ada bagian saat ia mencoba menguraikan dirinya di depan Alfons, psikiaternya, namun hanya pemicu atau salah satu kejadian saja yang ia sebutkan dan bagi saya itu hampir tidak menjelaskan apa-apa. Akan lebih mudah jika setidaknya ada penyebutan satu saja nama jenis penyakit mental seperti congenital insensitivity to pain yang bisa dialami manusia.

Kemudian sikap Bara yang begitu membenci Tara. Saya paham bahwa dimana-mana suami pasti akan berusaha melindungi istrinya, tapi membenci anak sendiri yang baru berusia kisaran tujuh tahun hingga memaki dan menganggapnya benalu di tengah keluarga yang sangat berkecukupan saya rasa kurang wajar. Tidak saya temukan penjelasan pasti mengenai hal ini, yang saya tahu hanyalah Bara membenci Tara dan kebenciannya semakin meningkat saat kematian istrinya.

Buku ini membuat saya kagum pada psikiater dan bahkan mungkin kepada seluruh dokter yang menangani masalah kejiwaan. Pada titik ini, saya berpikir bahwa mungkin hanya psikiater dan dokter di rumah sakit jiwalah orang-orang yang paling bisa berempati dan dapat memahami orang lain. Buat yang suka genre psychothriller buku ini sangat cocok untuk dibaca. Ada beberapa kutipan yang saya ambil dari buku ini, yakni:

Kewarasan divonis tanpa menggunakan stetoskop, termometer, atau rontgen. Buatku itu sama sekali tidak masuk akal - hlmn 51
Bunyi hantaman yang meremukkan tengkoraknya seperti timpani dalam orkestra besar yang membawakan simfoni di telingaku - hlmn 57
Teman. Rasanya itu juga tidak ada dalam kosakataku. Aku tak pernah punya teman. Tak seorang pun cukup layak menjadi temanku - hlmn 61

Tidak ada komentar:

Posting Komentar