Catatan harian yang semakin renta dan tua

Selasa, 29 November 2016

[Ebook Review] 57 Detik By Ken Terate - Yogyakarta Porak Poranda

Judul Buku: 57 Detik
Penulis: Ken Terate
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Desain Ilustrasi dan Sampul: Yustisea
Terbit: 2009
Tebal Buku: 232 hlmn; 20 cm
Kategori: Teenlit
Versi: Ebook
ISBN-10: 979-22-4632-0
ISBN-13: 978-979-22-4632-2
Rating: 4/5

Kehebatan Tiga Remaja Menghadapi Bencana
JOGJA, KORAN REMAJA - Aji, Ayomi, dan Nisa adalah remaja "biasa", kayak kita-kita gitu deh. Mereka mengaku kadang bosan dengan hari-hari mereka. Sekali-sekali mereka pengin juga mengalami kejadian seru. Tapi tentu saja bukan seru yang menyengsarakan seperti GEMPA. Namun, itulah yang terjadi! Gempa itu tiba-tiba datang dan mengacaukan semuanya. Cuma 57 detik, tapi akibatnya begitu mengerikan. Petualangan luar biasa terpaksa mereka jalani. Apa aja cerita mereka? Bagaimana mereka bertahan? Apa ada kejadian lucu dalam tragedi ini? Berikut wawancara dengan mereka.

Tanya: Waktu gempa rasanya seperti apa? 
Aji: Seperti ditabrak buldoser.
Ayomi: Seperti naik roller coaster... tanpa sabuk pengaman.
Nisa: (lirih) seperti sulap.

Tanya: Apa yang membuat kamu paling sedih?
Aji: Bencana itu rasanya nggak adil, seperti selalu menimpa orang yang sudah susah.
Ayomi: Aku nggak bisa menari lagi, padahal menari adalah hidupku.
Nisa: (lirih juga) Sahabatku Aisyah... dia... (tidak berhasil melanjutkan)

Tanya: Apa hikmah yang bisa kamu dapatkan?
Aji: Akhirnya gue tau apa yang gue inginkan, setelah gue capek memenuhi harapan orang lain.
Ayomi: Dapet pacar baru.
Nisa: Aku sadar aku sangat sayang pada keluargaku, meski mereka sama sekali nggak keren.


Wow! Petualangan mereka bener-bener seru dan menarik untuk disimak. Misalnya, Nisa yang harus bertahan di puing-puing tanpa makanan lebih dari sehari-semalam, lalu Aji yang jadi relawan dadakan, dan Ayomi yang merasa dunianya hilang sekejap gara-gara isu tsunami fiktif. 
Oh iya, ada cerita-cerita lucu dan romantisnya juga lho.

ULASAN

Nisa adalah salah satu anggota cheerleaders yang cukup terkenal di sekolahnya. Posisinya sebagai flyer membuat dia selalu jadi pusat perhatian setiap kali tampil. Hanya saja, kehidupannya di rumah sangat berbanding terbalik dengan kesahariannya di sekolah. Tinggal di Bantul dengan rumah yang sederhana, Ibu yang cerewet, Ayah yang lebih peduli pada warung besarnya ketimbang mengantar anaknya ke pesta ulang tahun temannya membuat Nisa selalu mengeluhkan hidupnya. Menggerutu sudah jadi khas Nisa apalagi soal bangun pagi. Ibunya selalu panik kalau Nisa terlambat beberapa menit saja. Belum lagi kehadiran Ayomi, mantan temannya yang anak anggota DPR yang sayangnya menyebalkan. Iya, Ayomi itu MANTAN teman Nisa, entah sudah berapa lama mereka nggak bertegur sapa.

Ayomi, sama seperti Nisa adalah anggota cheerleaders juga. Sayangnya, kemampuan menari Ayomi nggak sebagus Nisa, bahkan nyaris nol. Keberuntungan banget Ayomi bisa masuk tim pemandu sorak dengan gerakannya yang kaku dan lebih banyak salah. Tak heran saat gerakan posisi, ia selalu di bawah dan paling belakang pula! Hal itu menjengkelkannya, karena nggak ada satu pun kemampuan yang ia miliki kecuali cheerleading. Hanya itu yang bisa membuat Papanya yang super sibuk bangga, namun kehadiran Nisa membuat ia nggak bisa mecapai posisi flyer. Hal yang membat Ayomi sebel banget sama Nisa yang sok itu. Mama Ayomi juga menyebalkan. Masa, menjelang ulang tahunnya yang keenam belas, Mama lebih memilih belanja sama Ibu ibu Dharma Wanita ketimbang menemaninya. Sama seperti Nisa, Ayomi juga mengeluhkan hidupnya, nggak ada asyik-asyiknya.

Aji adalah mahasiswa kedokteran UI yang tidak menyukai rutinitasnya. Tugas yang segunung membuatnya stres dan rasanya ingin berhenti kuliah saja. Aji merasa lelah selalu memenuhi kebutuhan harapan orang lain dengan prestasinya. Aji bosan dan juga mulai mengeluhkan hidupnya yang menurutnya nggak berjalan seperti yang ia inginkan. Untuk itu, ia memutuskan untuk lari sejenak. Liburan, menghilangkan penat. Yogyakarta jadi pilihannya, namun bukannya refreshing, Aji justru berhadapan dengan bencana yang tak pernah diprediksinya. Pukul 5.55 pagi, keesokan hari setelah Aji sampai di Jogja, gempa berkekuatan 5.7 SR memorakmorandakan segalanya, termasuk kebahagiaan di kota itu. Dan, seperti Aji, Nisa dan Ayomi juga terkena gempa. Apalagi Nisa, yang tinggal di daerah Bantul, salah satu daerah yang mengalami kerusakan paling parah.

Dalam 57 detik, segalanya berubah. Kaki Ayomi patah, rumah Nisa ambruk, rencana liburan Aji berantakan.

****

Sejak masih SMK dulu, buku ini udah sering lewat di depan mata kalau berkunjung ke toko buku. Entah kenapa nggak pernah terpikirkan untuk membelinya, dan benar-benar menyesal baru baca sekarang. Tapi bersyukur juga saya nggak kehilangan kesempatan membaca buku sebagus ini. Jujur saja, saya suka gaya penulisan Ken Terate. Bentuknya yang seperti diary benar-benar bercerita. Dengan sudut pandang orang pertama tunggal dari setiap tokoh utama, kita benar-benar bisa menghayati cerita dan menyatu dengan kisah yang ada.

Seperti dalam buku ini, saya nggak hanya diajak bertualang tapi juga diajak berduka untuk gempa yang menghantam Jogja. Buku ini ditulis berdasarkan kisah nyata tahun 2007 silam saat gempa di pagi buta memorakmorandakan Yogyakarta. Saya benar-benar terhanyut dan seperti Nisa, Aji dan Ayomi, ikut terluka membayangkan apa yang Yogyakarta alami. Saya belum pernah terjebak dalam gempa yang meluluhlantakkan tapi saya tahu rasanya ketakutan kala bumi terguncang. Beberapa kali saat saya masih tinggal di Manado, terjadi gempa yang cukup kencang dan membuat pusing, serta isu tsunami bawaan Jepang pada tahun 2011. Saya tahu bagaimana rasanya disergap ketakutan akan bencana, apalagi kalau saat sekeliling kita sudah porak poranda.

Saya sangat mengapresiasi Ken Terate atas tulisannya ini. Mungkin memang terlambat sekali bagi saya untuk berduka 9 tahun setelah bencana itu terjadi, namun mungkin juga buku ini sengaja ditulis untuk mengecek apakah pintu hati kemanusiaan dan nurani kita masih berfungsi. Agak malu mengatakan, tapi ceritanya benar menghanyutkan dan ikut membuat saya sedih bahkan menangis. Belum lagi selipan beberapa foto para korban gempa, benar-benar membuat hati terenyuh dan pilu.

Terdapat tiga tokoh utama dalam buku ini yang masing-masing berperan sebagai pencerita juga sangat saya sukai. Meski sama-sama mengeluhkan hidup masing-masing, karakter yang kuat dan gaya bercerita yang berbeda benar-benar membedakan ketiga tokoh ini. Mereka unik dengan caranya masing-masing. Bukunya sangat asyik dan memiliki pesan moral yang sangat mendalam, hal yang paling ditekakan adalah bersyukur dan senantiasa mengambil hikmah dan pelajaran dari setiap kejadian yang kita alami. Buknya keren, teenlit yang mampu mengetuk pintu hati kemanusiaan pembacanya. Ada beberapa kesalahan penulisan dan inkosistensi dalam penyebutan diri sendiri misal yang mulanya aku jadi gue atau kamu jadi elo, padahal itu dilakukan oleh tokoh yang biasa ngomong aku-kamu atau gue-elo, tapi itu nggak mengganggu. Jumlahnya juga tidak banyak. 

Kutipan favorit dari buku ini juga tentu saja ada, yakni:
1. Aduh, betapa murahnya harga pertemanan. Semangkuk mi ayam aja udah bikin mereka lengkat padaku - Ayomi, hlmn 60
2. Sepanjang siang itu Aisyah terlihat shock, tapi juga sangat kuat. Mungkin kalau itu terjadi padaku, aku sudah pingsan atau menjerit-jerit histeris. Atau bunuh diri - Nisa, hlmn 90
3. Ndak apa-apa kok, Mas, kalau sudah mati. Itu lebih baik, daripada dia tahu kami ndak punya rumah lagi - Korban Gempa, hlmn 116
4. Bagaimana mungkin kematian menjadi jalan yang lebih baik? - Aji, hlmn 116
5. Gimana gue mau lapar kalau yang gue lihat adalah darah dan luka-luka menganga? Tapi, untuk meolong orang lain, elo harus menolong diri lo sendiri dahulu. Itu prinsip pertolongan di mana pun - Aji, hlmn 118
6. Jadi, begini rasanya kelaparan. Kelaparan itu beda dengan lapar, asal tahu saja. Kelaparan itu lapar tanpa tahu kapan kamu bisa makan lagi. Ketidakpastian itu yang membuat akal sehatmu lenyap. Dan ketika ada makanan di depanmu, ingin rasanya kamu menerkam semua dan membunuh yang lain supaya kamu bisa mendapat semua makanan di hadapanmu - Nisa, hlmn 132
7. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menyadari rumah tidak hanya bangunan semata. Rumah adalah sejarah - Nisa, hlmn 140
8. Manusia memang mesin yang sangat menakjubkan. Sangat adaptif dalam segala cuaca. Tetap bertahan dalam situasi yang paling tidak mungkin - Nisa, hlmn 147
9. Kita ini kan milik-Nya. Dia mau banting kita, mau nenggelamin kita dengan tsunami, atau mengirim badai salju, itu kan hak prerogatif-Nya, bukan?

Pada kutipan yang kesembilan ini, saya sejenak me-review dan menyadari esensi ikhlas yang sebenarnya. Memasrahkan segalanya dan yakin bahwa segala sesuatu berjalan sesuai kehendak Tuhan mungkin adalah ikhlas yang sesungguhnya.

10. Manusia memang punya sisi masokis, menikmati kesengsaraan, tentu saja kesengsaraan orang lain - Aji, hlmn 219
11. Bencana itu telah mengajarkan sesuatu. Bahwa hidup ini begitu berharga sekaligus rapuh - Aji
12. Tidak ada hari buruk untuk Bumi. Hujan, panas, badai, bahkan gempa sama-sama dibutuhkan Bumi. Hari buruk itu hanya untuk manusia yang egois dan gemar mengeluh - Aji, hlmn 220
13. Ingatan adalah sesuatu yang sangat aneh. Ia sering melupakan hal yang seharusnya diingat, seperti tumus trigonometri, dan justru terus mengingat hal-hal yang sangat ingin kita lupakan, seperti tragedi gempa - Nisa, hlmn 223

Kalau mau dapat sesuatu, ya kamu harus berjuang untuk mendapatkannya. Korban bencana aja yang super-duper sengsara, terus memperjuangkan hidup mereka. Masa kita nggak?

Berikut ada beberapa foto-foto para korban gempa yang terdapat dalam bukunya








Miris banget, ya lihatnya. Bukunya sangat saya rekomendasikan deh. Rugi kalo nggak baca :))

2 komentar:

  1. Terimakasih untuk reviewnya, kau membuatku ingin punya buku ini dan segera baca. Andai dicetak ulang aku pasti beli ^^ Aku suka quotes no. 5, ah tokoh Aji ini bikin aku terpesona. Btw, Ken ini orang Jogja, jadi dia menguasai cerita dan kondisi disana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih udah bacaaa :D. Aku juga ngerasa rugi dulu nggak beli padahal sempet lihat nangkring di Gramed.
      Aji emang something banget. Bikin klepek-klepek.
      Iyaa... aku sempat baca ucapan terima kasihnya dan pas tahu kalau Ken orang Jogja bener-bener kagum. Sebagai penulis dia berusaha untuk melakukan sesuatu terhadap tanah kelahirannya.

      Hapus