Catatan harian yang semakin renta dan tua

Selasa, 21 Februari 2017

[CERPEN] UNTOLD


“Bagaimana kabarnya?” Kutatap wanita yang kini terbaring pucat di ranjangnya. Selang infus menancap pada salah satu tangannya, beruntung ia sudah kembali bisa bernapas dengan normal jadi oksigen telah dilepas siang tadi.

“Baik, Dok. Apa saya sudah boleh pulang?” Wanita itu menjawab lalu bertanya penuh harap. Aku maklum, rumah sakit memang bukan tempat yang enak untuk ditinggali berlama-lama. Seraya tersenyum, aku menggeleng. Sekilas kugenggam tangannya yang diletakkan di atas perutnya.

“Sabar, ya. Kalau kondisi kamu sudah membaik, saya pasti akan segera mengizinkan kamu pulang.”

Kulihat kilat harapan di matanya meredup seketika. Dalam hati aku sedikit merasa bersalah. Tapi aku melarangnya pulang bukan karena ingin ia bisa lebih lama aku tatap dan aku kunjungi kapan saja. Kondisinya belum memungkinkannya untuk meninggalkan rumah sakit. Aku khawatir kesehatannya kembali menurun, penyakit yang dideritanya mungkin sudah umum dan sering ditemui. Jika tidak berhati-hati, akibatnya bisa fatal. Kanker sama sekali tak bisa disepelekan. Meski jinak, ia tetaplah salah satu pembunuh paling berbahaya. Dan kini, ia menggerogoti Nayla, pasienku. Pasien yang telah aku cintai sejak lama.

Aku ingat dua tahun lalu, saat pertama kali Nayla divonis menderita penyakit kanker. Aku takkan pernah lupa bagaimana ekspresinya dan betapa ia terluka dengan kenyataan itu. Tak ingin berlama-lama, secara cepat, operasi pun dilakukan. Operasi yang kulakukan itu berjalan lancar. Sel-sel kanker yang mulai menggerogoti otak Nayla pun berhasil diangkat. Hanya saja, kenyataan pahit menamparku tiga bulan lalu. Saat Nayla tiba-tiba saja dilarikan di rumah sakit karena sakit kepala hebat yang mendera dan membuatnya kehilangan kesadaran.

Sel-sel mematikan itu kembali, kanker itu kembali. Seketika itu juga, aku merasa gagal sebagai dokter. Aku merasa gagal menyelamatkan pasienku, karena kini, ia harus kembali berjuang dengan kondisi yang lebih parah dari sebelumnya.

“Apa menurut dokter saya masih bisa.... sembuh, selamat?” Pertanyaan Nayla yang tiba-tiba itu membuyarkan lamunanku.

Sedikit kebingungan, aku mencoba menjawab pertanyaannya. “Nayla.... yang namanya penyakit selalu bisa diusahakan kesembuhannya. Dan saya sebagai dokter akan selalu berusaha membantu kamu, membantu pasien-pasien saya. Kuncinya adalah berusaha dan tak luput berdoa. Saya selalu percaya hal itu, dan saya yakin Tuhan akan selalu menolong orang-orang yang bersabar.”

Tak kusangka ia tertawa. Tawa yang terdengar pahit ditelingaku, “Kalau begitu, saya rasa dua tahun lalu saya kurang bersabar sehingga Tuhan kembali memberikan saya penyakit yang sama.”

****

Berdiri mematung di depan pintu, Chandra menatap Nayla dari balik kaca yang menutupi sebagian kecil pintu tersebut. Lebih tepatnya, ia sedang mengintip. Melihat wajah pucat Nayla, ingin rasanya ia mendobrak pintu itu dan berlari memeluknya. Membenamkan wajahnya erat-erat pada lekukan leher wanita itu, seperti yang selama ini selalu ia lakukan. Tapi sekarang ia tidak bisa, kuasanya kini terbatas. Nayla menolak untuk ia kunjungi.

“Kamu sebaiknya meninggalkan aku, Ndra.” Ujar Nayla siang itu. Masih terkejut dengan fakta bahwa kini Nayla kembali harus memperjuangkan hidupnya di atas ranjang rumah sakit dan perawatan intensif, wanita itu kini memberinya kejutan tambahan.

“Maksud kamu apa?” Sedikit kebingungan, ia bertanya. Dalam hati, ia was-was juga. Mengenal Nayla bertahun-tahun membuat ia paham betul dengan watak dan tabiat wanita itu. Sekali ia kesusahan, didera kesulitan dan penderitaan, ia tak ingin siapa pun terlibat.

“Iya. Aku nggak mau kalau kamu harus mengalami kesulitan bersamaku.” Jawabnya.

Chandra menarik napas gusar. Sejujrunya, ia sangat tidak suka dengan sifat Nayla yang satu ini. Kalau bisa ia ingin marah, tapi kondisi Nayla membuat kemarahannya surut dalam sekejap.

“Kamu bicara apa, sih? Kita berdua, sudah sewajarnya hidup saling berdampingan dalam keadaan apa pun. Saling menguatkan satu sama lain, memberi kekuatan agar tidak menyerah bertahan. Itu adalah hal yang wajar, Nayla. Kamu nggak perlu merasa terbebani dengan kehadiranku.” Chandra mencoba memberi pengertian, berharap kalimatnya barusan akan membuat Nayla berubah pikiran.

“Justru sebaliknya aku yang nggak mau menjadi beban buat kamu. Aku cinta kamu, Ndra. Dan hal yang selalu ingin aku berikan adalah kebahagiaan, dalam kondisiku yang seperti ini, aku nggak akan bisa memberikan hal itu.” Sayangnya, Nayla adalah wanita yang keras kepala. Ia tetap ngotot.

“Aku sudah bahagia dengan ada kamu, mendampingi kamu di saat tersulitmu bahkan akan lebih bisa melengkapi kebahagiaanku.”

“Tapi aku nggak. Aku harap kamu mau mengerti.”

Keputusan final Nayla memang berhasil membuat Chandra mengalah dan meninggalkan wanita itu sendirian. Tidak dalam artian sebenarnya, karena faktanya, walau dari jauh, walau tanpa kentara, ia selalu berusaha ada dan memantau perkembangan kesehatan Nayla. Hanya saja, Chandra tak bisa berbohong bahwa ia tersiksa dengan keadaan ini.

Beberapa menit kemudian, dilihatnya dokter Irwan, dokter yang dua tahun lalu juga menangani Nayla sudah selesai melakukan pemeriksaan. Kini ia sedang berjalan menuju pintu dan Chandra tak ada pilihan selain menyingkir. Ia tak mau Nayla melihatnya karena bisa dipastikan wanita itu akan marah. Ia memilih berjalan dan menuju ruangan dokter Irwan. Ia akan menunggu dokter itu disana, kondisi kesehatan Nayla di atas segalanya dan ia wajib tahu segalanya.

“Chandra...” Ternyata dokter Irwan sudah langsung mengenalinya dari jarak jauh. Dengan langkah panjang, ia berjalan menghampiri Chandra dan menjabat tangannya. “Apa kabar? Sepertinya saya sudah lama tidak melihat Anda di rumah sakit?”

“Nayla menolak saya kunjungi....” Jawaban itu terlontar tanpa direncanakan dari mulut Chandra. Kening dokter Irwan sedikit mengerut, menunjukkan kebingungannya dan secepat kilat Chandra langsung mengalihkan pembicaraan. Dokter Irwan tidak perlu tahu masalah pribadinya dengan Nayla, walau diakui kondisi psikologis Nayla bisa dikatakan adalah bagian tanggung jawab dokter Irwan juga. “Saya kemari untuk membicarakan kondisi kesehatan Nayla,” ujarnya kemudian.

“Oh iya, tentu saja. Silakan masuk.”

****

Sebenarnya bisa dikatakan aku berpura-pura ketika bertanya kenapa Chandra sudah jarang mengunjungi rumah sakit. Walau tidak menjelaskan secara gamblang, kusadari bahwa ada yang tak beres antara hubungannya dengan Nayla. Bukan kapasitasku untuk ikut campur dalam kehidupan pribadi kedua pasangan ini, namun entah mengapa jauh di dalam sana, sisi jahat diriku membisikkan sesuatu yang tak kuduga akan terbersit dan terlintas dalam kepalaku. Menggunakan kesempatan renggangnya hubungan dua orang demi mendapatkan posisi penting di antara mereka berdua bukanlah caraku dalam menjalani hidup dan mendapatkan apa yang aku inginkan, hanya saja ketidakhadiran Chandra di samping Nayla membuatku merasa jadi satu-satunya sandaran wanita itu. Dan hal itu membuatku bangga dan merasa ‘penting’.

Kuperhatikan wajah Chandra yang sangat tidak terurus itu. Jambangnya yang sudah panjang dan jenggot yang sudah waktunya dicukur tumbuh hampir di sepanjang dagu dan pipinya. Matanya yang berkantung dan penampilannya yang jauh dari kata rapi sudah dapat menggambarkan bahwa lelaki ini didera stres berat namun tak ada tempat untuk membaginya.

“Bagaimana keadaan Nayla, Dok?” Pertanyaannya memutus konsentrasiku dari menganalisisnya.

“Kondisinya sudah cukup membaik, tapi berdasarkan hasil pemeriksaan, Nayla sudah harus dijadwalkan untuk operasi. Meski kanker yang menyerangnya masih tergolong jinak, kami khawatir jika tidak diambil tindakan secara cepat maka hal-hal yang tidak diinginkan bisa saja terjadi.”

Wajah Chandra bertambah pucat demi mendengar penjelasanku, tapi itulah kenyataannya. Kanker yang menyerang Nayla tidaklah begitu menyeramkan tapi tetap saja, ia adalah salah satu penyakit yang paling berpotensi membunuh siapa saja tanpa aba-aba.

“Kira-kira kapan operasinya bisa dilaksanakan, Dok?” Tanyanya, berusaha mengembalikan ketenangannya. Aku yakin sekali bukan kata kanker yang membuat lelaki di depanku ini begitu merasa takut, melainkan kalimat terakhirku.

Siapa pun yang jatuh cinta pasti tidak akan rela jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada orang yang dicintinya seperti yang kuucapkan tadi.

“Kami memerlukan persetujuan pihak keluarga agar bisa segera mengambil tindakan.” Jawabku. “Saya sudah membicarakan hal ini dengan Nayla, tapi sepertinya ia kurang setuju.”

Kening Chandra megerut mendengarnya. “Maksud Anda, kurang setuju bagaimana?” Sudah pasti ia heran, siapa pun yang sakit sudah normalnya mengharapkan kesembuhan. Bukan justru menunda-nunda tindakan penyelamatan seperti yang Nayla lakukan.

“Begini  Chandra... saya tidak bermaksud untuk ikut campur tapi saya rasa Nayla mengalami paranoid. Ia sudah pernah menjalani operasi sebelumnya, dinyatakan sehat lalu dua tahun kemudian harus kembali menelan pil pahit bahwa penyakitnya itu kembali.” Chandra mendengarkan dengan sangat serius. “Itu sebabnya, ketika saya menuturkan soal operasi, ia menjadi ragu. Ia takut, ia paranoid bahwa hal yang sama akan kembali terulang dan ia hanya harus menjalani operasi berulang-ulang dan tak berkseudahan.” Chandra menarik napas, sepertinya kalimatku bukan hanya menambah tingkat stresnya tapi juga membuatnya frustrasi kini.

“Oleh sebab itu, dukungan keluarga adalah yang terpenting disini. Nayla membutuhkan dorongan dan motivasi sehingga keinginannya untuk mengusahakan kesembuhannya dapat kembali.”

****

Apa yang Dokter Irwan katakan tentu saja benar. Nayla butuh dukungan, wanita itu butuh sokongan motivasi dan semangat untuk sembuh kembali. Tapi, bagaimana Chandra bisa melakukannya jika kehadirannya ditolak mentah-mentah, jika Nayla berkata bahwa ia tak ingin Chandra ada untuknya? Sebagai satu-satunya keluarga yang wanita itu miliki, siapa lagi yang bisa memberikan motivasi jika bukan Chandra sendiri?

Mengumpulkan kekuatan di saat jiwa sudah benar-benar kelalahan tentu saja bukan hal mudah. Bukan kali pertama kehadirannya mendapatkan penolakan, dan ditolak berkali-kali oleh orang yang kita cintai tentu saja menyakitkan. Tapi Chandra menolak diam, bahkan jika ia harus menerima makian, bagaimana pun caranya ia harus meyakinkan Nayla agar ia mau menjalani operasi pengangkatan kanker kembali.

Dikutuknya pintu kamar rawat Nayla dua kali lalu memegang handle pintu dan membukanya. Terlihat Nayla sedikit terkejut dengan kehadirannya, ada kerinduan yang terpancar jelas dari matanya kala menatap Chandra, tapi binar itu dengan cepat lenyap entah kemana. Dipalingkannya wajahnya, enggan menatap apalagi menyambut kahadiran Chandra.

“Assalamualaikum.” Chandra mengucapkan salam seraya duduk di salah satu kursi di samping Nayla. Wanita itu menjawab tanpa suara. Hanya gerak bibir yang menandakan bahwa wanita itu tak sepenuhnya mengabaikannya.

“Nayla....”

Tidak ada jawaban. Wanita itu bungkam.

“Nay, please.....

“Aku sudah bilang aku nggak mau dikunjungi!” Nayla berujar tajam. Nada suaranya menyiratkan kemarahan.

“Aku tahu, aku minta maaf. Tapi tadi aku baru saja bicara dengan Dokter Chandra. Beliau menyarankan untuk operasi....” belum selesai Chandra bicara, Nayla sudah memotong... “Aku nggak mau bertaruh untuk sesuatu yang nggak pasti lagi.”

“Ini pasti Nayla. Pasti tujuannya untuk kesembuhan kamu. Aku mau kita sama-sama lagi seperti dulu.”

“Kamu bisa menjamin bahwa aku akan sembuh total, bahwa kanker sialan ini akan lenyap selamanya dari tubuhku?!” Seketika Nayla berpaling menatap Chandra. Sorot terluka tercetak jelas dari matanya.

“Nay... tolong jangan kalah. Ini hanya kanker jinak yang bisa dengan mudah diangkat.”

“Mungkin kamu menyepelekan kejinakannya, tapi tetap saja bagiku ia adalah monster yang menggerogoti dan bisa membunuhku kapan saja!!”

“Aku nggak menyepelekan! Sekalipun nggak pernah aku mengaggap enteng penyakit kamu. Justru sikap kamu yang demikian, kalau kamu memang berpikir bahwa kanker itu bisa membunuh kamu kapan saja, sudah seharusnya kamu menuruti saran dokter dan nggak bersikap keras kepala seperti ini.” Tanpa terduga, kalimat kasar itu terlontar dari mulut Chandra. Gumpalan air tiba-tiba memenuhi pelupuk mata Nayla demi mendengarnya. Ini adalah kali pertama Chandra marah karena penyakitnya.

Melihatnya, kontan saja lelaki itu merasa bersalah. “Maaf... aku nggak bermaksud berkata sekasar itu. Tapi tolong, Nay. Aku nggak bisa kalau harus ditinggal pergi sama kamu. Aku suami kamu dan aku benar-benar mengharapkan kesembuhan kamu. Aku mau kita sama-sama lagi seperti dulu, aku nggak mau hal apa pun bahkan penyakit paling mematikan sekali pun mengubah apa yang sudah kita bina sejak dulu. Kamu nggak mau aku kunjungi karena nggak mau aku terbebani masih bisa aku terima Nay. Aku tetap bisa memantau kondisi kamu walau dari jauh. Tapi kalau diminta membiarkan kamu terjebak pada penyakit ini dan meninggalkan aku selamanya, demi Tuhan aku nggak akan pernah bersedia.”

Nayla menangis. Menangis dengan teramat keras, menandakan betapa ia juga ingin sembuh dan kembali lagi ke pelukan Chandra, kembali menjadi istri yang baik untuk lelaki yang dicintainya.

****

Sejujurnya aku terluka. Pelukan Chandra yang begitu erat dan bagaimana eratnya pula Nayla membalasnya membuatku cemburu dan terluka. Posisi selalu ada untuk Nayla dengan sangat terpaksa harus aku kembalikan pada pemiliknya, pada Chandra, suami sah Nayla. Memang, sutau kebodohan yang pasti saat seorang dokter yang sukses sepertiku jatuh cinta pada pasienku yang sudah bersuami. Tapi seperti kata adikku Irna, cinta selalu tak bisa diprediksi datangnya. Seperti cintaku pada Nayla.

Meski begitu, aku berterima kasih pada Chandra. Berkatnya, secara tidak langsung ia sudah berhasil meyakinkan Nayla untuk mengusahakan kesembuhannya. Kehadiranku memang benar-benar hanya sebagai dokter di mata Nayla, tidak kurang dan tidak lebih. Tapi dalam kasus ini, aku menolak mengakuinya. Aku akan menganggap Chandra sebagai pembawa pesan berharga dan bukti cintaku pada Nayla.

Some things better left untold.... dan karena sampai kapan pun perasaaanku tidak akan pernah terungkapkan, maka aku akan menyatakannya lewat kesembuhannya

2 komentar: