Catatan harian yang semakin renta dan tua

Jumat, 02 Juni 2017

[Ebook Review] A Scent of Love in London By Indah Hanaco

Judul Buku: A Scent of Love in London
Penulis: Indah Hanaco
Penerbit: PT. Elexmedia Komputindo
Terbit: 2015
Editor: Afrianty P. Pardede
ISBN: 978-602-02-5775-4
Rating: 3/5

Ivana Zelde bukan sosok sempurna yang diimpikan para gadis. Dia penderita disleksia hingga sampai pada taraf tidak mampu membaca. Dikhianati kekasih dengan cara yang sulit dibayangkan memang terjadi di dunia nyata. Karena kekurangannya, seumur hidup Ivana dihujani perhatian yang justru dianggap menyesakkan.

Hugh Joaquin Levine pernah berada di puncak dunia. Hingga kecelakaan di Valencia seakan merenggut udara dan gravitasi dari hidup Hugh. Semua jungkir balik dan membuat cowok itu berakhir dalam kondisi menyedihkan.

Hugh pernah sangat ingin mengakhiri hidupnya, hingga bertemu dengan Ivana. Lalu dunia bergerak cepat di sekitar mereka, termasuk perasaan yang terus bertumbuh tanpa bisa dihalau. Namun mereka punya terlalu banyak perbedaan sehingga sulit untuk tetap bersama. Tapi, apakah Hugh kembali menyerah dan melepaskan Ivana dengan mudah? Karena tanpa Ivana, Hugh takkan bisa bahagia lagi.

****
Ivana Zelde adalah seorang wanita yang berasal dari keluarga berkecukupan namun tidak dianugerahi kemampuan membaca dan menulis. Ia penderita disleksia yang sama sekali buta huruf. Meski demikian, hidupnya cukup bahagia dengan kehadiran kedua orangtua yang amat menyayanginya, dua kakak laki-laki – Hans dan Irving selalu sedia menjadi pelindungnya, serta Damon, sang kekasih yang bersedia menerima dan mencintai apa adanya. Namun, ternyata kebahagiaan itu tidak berselang lama. Pengkhianatan yang Damon lakukan justru mendatangkan kerugian untuknya. Sebagai penderita disleksia, Ivana sudah terbiasa mendapat perhatian super dari orang-orang di sekelilingnya, bahkan perlindungan yang tiada tara. Dan, kabar putusnya hubungannya dengan Damon membuat keluarganya jadi makin ekstra memperhatikannya, perhatian yang membuat Ivana justru merasa dikekang, bukannya disayangi. Oleh karenanya, Ivana memutuskan untuk sejenak menjauh dari keluarganya. Ia ingin membuktikan bahwa meski menyandang cacat, ia bisa diberi kepercayaan untuk pergi sendiri. Akhirnya, dengan sedikit paksaan, Ivana berhasil memperoleh izin sang mama untuk menyusul Irving ke London.

Sementara itu, Hugh Joaquine Levine, seorang pembalap terkenal harus menelan pil pahit dan melupakan impiannya karena kecelakaan yang terjadi saat uji coba ajang Formula One di Valencia. Kenyataan bahwa ia tak bisa menjadi pembalap lagi membuat Hugh hancur. Ditambah sang kekasih – Claudia, memilih meninggalkannya ketika karir balap Hugh terhenti secara tak terduga. Hal tersebut membuat Hugh kehilangan semangat hidupnya dan berusaha untuk mengakhiri segalanya dengan cara bunuh diri.

Ivana tidak pernah menduga akan berhubungan dengan cowok asing yang tidak dikenalnya, tapi secara naluriah, Ivana yang saat itu sudah berada di London, dengan kecepatan yang tak pernah ia bayangkan, serta keberanian yang entah datang dari mana nekad menyelamatkan sesosok cowok yang sedang melakukan usaha bunuh diri dengan menabrakkan dirinya ke Double Dekker.

Aksi nekad yang Ivana lakukan ternyata justru menjadi jembatan penghubung antara dirinya dan Hugh. Membuat cowok itu dengan terpaksa menceritakan kisah pahit hidupnya pada Ivana karena merasa bertanggungjawab untuk sebuah penjelasan dan alasan kenapa ia lebih memilih mengakhiri hidupnya.
Kebersamaan yang dibangun oleh sesuatu yang insidentil itupun secara perlahan malah menimbulkan benih-benih cinta antara mereka dalam waktu kurang dari tiga hari.

****
Konflik dalam buku ini tergolong ringan, hanya seputar kisah cinta. Walau demikian, keberadaan Hugh dan profesinya sebagai pembalap menjadi warna tersendiri. Jujur saja, saya bukan penyuka olahraga ini walau kadang-kadang kalau lagi iseng suka nonton, tapi kisah Hugh dan perjuangannya dalam berkarir sekaligus mengejar impiannya cukup mengesankan saya. Sisi menarik lainnya adalah Ivana diceritakan sebagai wanita yang menderita diskleksia juga menjadi keunikan tersendiri. Walau disini penyakitnya tersebut tidak begitu nampak karena kisahnya dimulai di pertengahan hidupnya, bukan saat awal-awal ia dikenali sebagai penderita disleksia. Sayang, untuk hal ini kurang diulas. Ivana dan Hugh adalah dua orang dengan kisah hidup pahit yang berbeda, tapi menurut saya yang lebih kelihatan pahitnya disini justru Hugh. Jadi, bukunya memang berkisah seputar Ivana si wanita penderita disleksia yang jatuh cinta dalam beberapa hari saja pada mantan pembalap yang pernah mencoba bunuh diri, tapi sisi sedih justru datang dari Hugh, bukan Ivana.

Jadi, dapat dikatakan bahwa permainan emosi dalam buku ini kurang ngena, padahal hidup Ivana dan Hugh cukup rumit.

Asyiknya, pertemuan pertama Ivana dan Hugh cukup mengesankan. Saya suka dengan karakter Ivana disini, tapi setelah ia dan Hugh saling mengakui perasaan masing-masing, saya justru didera bosan. Entah kenapa, karakter keduanya malah membuat saya jadi kurang tertarik lagi. Belum kegalauan Ivana yang diakibatkan oleh permaninan pikirannya sendiri. Yang justru menarik hati saya adalah Irving, sang kakak yang punya mulut pedas tapi senantiasa bicara dengan logika dan realita.

Untuk penyelesaian konfliknya terasa biasa. Memang sih akan jatuh terlalu drama kalau kisahnya dibuat lebih rumit lagi, tapi ya itu tidak drama tapi tidak greget juga. Namun, satu hal penting yang dapat kita petik dari kisah Ivana dan Hugh adalah kekurangan yang dimiliki keduanya justru hal yang membuat mereka sempurna ketika bertemu. Ivana ‘memberi hidup’ pada Hugh yang sudah kehilangan semangat untuk bertahan, sebaliknya Hugh memberikan kepercayaan diri pada Ivana bahwa meski dengan keterbatasan kemampuan yang ia miliki, ia masih dapat melakukan banyak hal dan mengisi harinya dengan kebahagiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar