Catatan harian yang semakin renta dan tua

Jumat, 07 Juli 2017

[Ebook Review] Cantik Itu Luka By Eka Kurniawan

Judul Buku: Cantik Itu Luka
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Januari 2015
Tebal Buku: 496 hlmn
ISBN: 9786020312583
Rating: 3.8/5

Di akhir masa kolonial, seorang perempuan dipaksa menjadi pelacur. Kehidupan itu terus dijalaninya hingga ia memiliki tiga anak gadis yang kesemuanya cantik. Ketika mengandung anaknya yang keempat, ia berharap anak itu akan terlahir buruk rupa. Itulah yang terjadi, meskipun secara ironik ia memberikan nama Si Cantik.

"Perihal berbagai gaya dan bentuk yang diaduk jadi satu ini, Cantik Itu Luka memang sebuah penataan berbagai capaian sastra yang pernah ada. Seluruh referensi yang ada dalam bagasi penulisnya, hadir bercampur aduk membentuk mozaik konstruksi linguistik yang dinamis."
_Alex Supartono, Kompas



"Mencermati isinya, kita seperti memasuki dunia yang di sana, segalanya ada."
_Maman S. Mahayana, Media Indonesia



"Inilah sebuah novel berkelas dunia! Membaca novel karya pengarang Indonesia kelahiran 1975 dan alumnus filsafat UGM ini, kita akan merasakan kenikmatan yang sama dengan nikmatnya membaca novel-novel Kanon dalam kesusastraan Eropa dan Amerika Latin."
_Horison



"It's nice that, after a half a century, Pramoedya Ananta Toer has found a successor. The young Sundanese Eka Kurniawan has published two astonishing novels in the past half-decade. If one considers they often nightmarish plots and chatacters, one could say there is no hope. But the sheer beauty and elegance of their language, and the exubarence of their imagining, give one the exhilaration of watching the snowdrops poke their little heads up towards a wintry sky."
_Benedict R.O'G. Anderson, New Left Review


****


Novel yang panjang dengan cerita yang complicated. Kenapa begitu? Karena novel ini tidak hanya menceritakan kisah hidup satu tokoh saja, yakni Dewi Ayu sebagai salah satu pelacur Halimunda di zaman akhir kolonial, tapi hampir semua kisah hidup tokoh yang bersinggungan dengan Dewi Ayu diangkat, beberapa hanya sepintas, ada yang mungkin setengah hidupnya, ada juga yang dibahasa sejak ia dilahirkan. Feelnya itu kayak Naruto Shippuden. Buku ini ditulis dengan alur mundur, kemudian maju beberapa tahun, mundur lagi ke zaman yang entah kapan, maju lagi meski bukan ke masa sekarang tapi ke masa lalu yang tidak terlalu lalu, kemudian banyak filler pada beberapa tempat. Bedanya, kalau dalam NS fillernya kadang dikeluhkan, dalam novel ini, fillernya justru dibutuhkan untuk melengkapkan cerita dan membangun pemahaman yang utuh bagi pembaca. Dan saya sangat mengagumi kelihaian Eka dalam meramunya, namun sayang pada beberapa tempat saya didera kebosanan.

Selain pertaburan karakter dan sejarah hidupnya, sebut saja biografi singkat, buku ini juga mengandung unsur sejarah. Saya tidak tahu apa dalam sejarah yang dipaparkan disini segalanya berasal dari kisah nyata, beberapa bagian memang pernah saya ketahui dari pengalaman membaca sejarah, contohnya, paksaan untuk menjadi pelacur ketika Nippon masuk menjajah di Indonesia, tapi apa kejadian di Halimunda ini benar adanya, saya tidak tahu. Harus diakui pula, tidak hanya cerdas meramu kisah, Eka juga mampu membawa perasaan pembacanya untuk terhanyut dalam perasaan-perasaan yang dirasakan tokoh-tokohnya. Sumpah mati, saya ngeri dengan apa yang dialami Dewi Ayu dan teman-temannya saat dibawa ke Bloedankamp, dan juga ngeri dengan pembantaian para anggota PKI beberapa tahun setelahnya. Well, hal itu memang pernah terjadi dan pembantaian itu sukses menempatkan Indonesia ke urutan pertama pelanggar HAM terberat pada masanya. Walau saya bukan seorang komunis, saya mengaku sedikit sosialis dan selalu berusaha menjaga hubungan baik dengan manusia. Jadi, bagaimana Eka mendeskripsikan kisah pembantaian dalam buku ini membuat saya merasa horror berlipat-lipat.

Saya juga ikutan dibuat baper oleh kisah cinta mengharukan antara Kamerad Kliwon dan Alamanda, juga dibuat terpesona pada cinta Maya Dewi dan suaminya. Pun oleh Dewi Ayu yang tak menginginkan nasib malang menimpa anak-anaknya. Namun, yang membuat buku ini tidak bisa saya kasih 4 bintang adalah unsur dendam roh halus. Bukan apa-apa, saya merasa sekalian baca fantasi daripada kisah hidup yang diikutcampuri orang-orang mati demikian dalamnya. Yah namanya fiksi kan memang bisa terserah mau dibuat gimana aja, mungkin juga saya yang belum terlalu paham dalam menilai atau gimana tapi dendam kesumat Ma Gedik dirasa berlebihan. Meski ya, itulah yang membuat buku ini jadi penuh cerita dan sarat makna juga pesan-pesan kehidupan maupun kematian.

Yang menyebalkan adalah saya tidak rela dengan nasib yang menimpa tiga bersepupu Krisan, Rengganis Si Cantik dan terutama Nurul Aini. Tragisnya tidak bisa terterima oleh perasaan. Pun kisah cinta Si Cantik dengan keponakannya juga sama sekali bikin saya bete. Apaan coba, kenapa begini menderitanya, gitu? Tapi disitulah suksesnya Eka, berhasil bikin saya ikutan benci tokoh sebuah novel seolah dia mengganggu hidup saya, patut diacungi jempol, kan?

Terakhir, I love the ending. Sukaaaak banget. Rasanya kekesalan dan kebetean juga sedikit kebosanan yang saya alami diobati dengan kalimat terakhir milik Krisan.

4 komentar:

  1. makasih reviewnya, belum baca nih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kembali kasih Mbak :)
      Cukup seru mbak, ada banyak peristiwa2 tak terduga walau beberapa di antaranya cukup nyebelin juga 😅

      Hapus
  2. penasaran banget sama buku2 Eka Kurniawan..
    masih sedang baca yang Lelaki Harimau, Cantik itu Luka bisa deh jadi my next tbr :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya suka bangeeet sama Lelaki Harimau. Keren 😆
      Semangatttt 💪

      Hapus