Catatan harian yang semakin renta dan tua

Selasa, 05 Februari 2019

[Movie] Kartini (2017)

Sumber Foto
Judul: Kartini
Sutradara: Hanung Bramantyo
Produser: Robert Ronny
Skenario: Hanung Bramantyo, Bagus Bramanti
Cerita: Robert Ronny
Musik: Andi Rianto, Charlie Meliala
Sinematografi: Faozan Rizal
Penyunting: Wawan I. Wibowo
Perusahaan Produksi: Legacy Pictures, Screenplay Films
Tanggal Rilis: 19 April 2017
Durasi: 122 Menit
Negara: Indonesia
Bahasa: Bahasa Jawa, Bahasa Belanda, Bahasa Indonesia
Pemain:
 Dian Sastrowardoyo as Raden Adjeng Kartini
Neysa Chan as Raden Adjeng Kartini Kecil
Deddy Sutomo as Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat
Christine Hakim as M.A. Ngasirah
Nova Eliza as M.A Ngasirah Muda
Djenar Maesa Ayu as Raden Adjeng Moeriam
Acha Septriasa as Roekmini
Ayushita as Kardinah
Reza Rahadian as Sosrokartono
Adinia Wirasti as Soelastri
Denny Sumargo as Slamet
Dwi Sasono as Raden Adipati Joyodiningrat
Rianti Cartwright as Wilhelmina

Credit: Wikipedia

Film ini adalah film biografi yang mengangkat kisah salah satu pahlawan perempuan Indonesia Raden Adjeng Kartini. Menceritakan latar belakang kehidupan Kartini sejak ia masih kecil hingga kemudian mendirikan sekolah gratis bagi perempuan dan orang-orang miskin.

Raden Adjeng Kartini adalah putri Bupati Raden Mas Adipati Sosroningrat bersama seorang perempuan bernama Ngasirah. Mengikuti adat dan budaya Jawa, Kartini sebagai perempuan tidak diwajibkan untuk menempuh pendidikan. Ia hanya perlu berada di rumah sampai saatnya nanti dipingit lalu kemudian dipinang oleh lelaki sebagai istri pertama, kedua, ketiga, atau bahkan seterusnya. Kartini pun demikian. Bersama saudara-saudaranya Kardinah dan Roekmini, mereka pun menjalani pingitan. Namun, sifat pemberontak yang sudah ada pada dirinya sejak ia masih kecil tetap tertanam hingga ia beranjak remaja bahkan dewasa.

Sebelum berangkat menempuh pendidikan di luar negeri, salah satu kakak laki-laki Kartini yang bernama Sosrokartono meninggalkan beberapa buku yang akan membuat Kartini melihat dunia luar bahkan tanpa perlu meninggalkan kamar pingitannya. Dari sinilah keinginan Kartini untuk belajar dan menempuh pendidikan bermula. Lewat buku yang ditinggalkan Sosrokartono, ia mampu menatap dunia yang tidak pernah ada dalam bayangannya selama ini.

 Film ini adalah film beraliran feminis. Selain penekanan terhadap tokoh utamanya, dalam hal ini Raden Adjeng Kartini sendiri, film ini juga memuat kisah tentang memperjuangkan hak-hak perempuan. Memang, dalam hal ini, budaya yang amat ditekankan adalah budaya Jawa, mengingat Raden Adjeng Kartini sendiri adalah seorang wanita berdarah Jawa. Hanya saja, meski belum pernah mendengar kisah tentang perjuangan hak perempuan terutama dalam menempuh pendidikan dan mendapat tempat serta kedudukan yang sama di dalam bermasyarakat dalam budaya saya, tetap saja saya berterima kasih sekali kepada Raden Adjeng Kartini. Karena, jika melihat sekeliling, meski mungkin sudah tidak nampak, pada beberapa lapisan masyarakat, hak perempuan masih menjadi hal yang tabu. Walau tidak lagi seperti dulu, tetap saja kita masih bisa menemukan pembatasan-pembatasan tingkat bagi perempuan dalam menempuh pendidikan; contoh paham yang mengatakan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi atau tidak perlu menempuh pendidikan hingga ke perguruan tinggi karena ujung-ujungnya akan menjadi ibu rumah tangga juga. Oleh karena itu, film ini seperti memberi rasa kesyukuran yang teramat bagi saya, karena kini, saya bisa bersekolah tanpa dibatasi di jenjang pendidikan tertentu saja.

Namun demikian, perjalanan Kartini, kalau dilihat dari flm ini, tidak sepenuhnya berjalan hanya karena usahanya sendiri saja. Memiliki Ayah seorang Bupati yang paham pendidikan, serta Ibu yang meski tidak sekolah tinggi, namun berpandangan luas, menjadi keuntungan tersendiri bagi Kartini untuk memperjuangkan impiannya. Terlebih, sang suami yang kemudian melamarnya juga tidak keberatan. Walaupun memang ada banyak hambatan yang ia temui sebelumnya.

Film ini cukup menguras air mata. Para pemerannya juga juara sih, bisa dibilang bertabur bintang. Berisi aktor dan aktris yang memang sudah malang melintang di industri perfilman. Secara kesleuruhan, film ini tidak hanya menceritakan tentang perjuangan hak perempuan namun juga mengajak kita semua untuk memahami pentingnya pendidikan. Seperti kata Ayah Kartini, suatu saat pasti akan ada perubahan, dan kita yang harus memulainya. Salah satu caranya, meski secara tersirat dijelaskan adalah dengan memberikan dan mencari pendidikan. Secara tidak langsung pula, pendidikan yang dimaksud bukan hanya pendidikan formal yang dapat kita temui di bangku sekolah, tapi juga pendidikan yang bisa kita dapatkan dan usahakan sendiri yakni dengan memperbanyak membaca.

Film ini menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa utamanya. Dan, saya terkesan sekali dengan akting para pemainnya terutama Dian Sastro. Saya nggak bisa bahasa Belanda, tidak bisa menilai apa bahasa Belandanya fasih atau nggak, tapi saya suka. Rasanya juga malah tertarik buat belajar. Dijajah selama kurang lebih 450 tahun, kayaknya sih adalah hal yang wajar kalau ikut mempelajari bahasanya juga. Karena sudah barang tentu, ada sejarah bangsa kita yang ditulis dalam Bahasa Belanda.

Kemdudian, karena pada zamannya pendidikan memang masih diberikan oleh orang Belanda, jadi dapat kita lihat juga bahwa ada aliran modern yang masuk ke dalam kisah Kartini ini. Tapi, satu pertanyaan Ngasirah terhadap Kartini menjadi nasihat yang begitu baik untuk kita ambil.

"Ilmu apa yang sudah kamu pelajari dari aksara Londo?"
"Kebebasan."
"Dan apa yang tidak ada dalam aksara Londo?"
"Nil tidak tahu."
"Bakti..." 
Menjadi pesan yang teramat jelas bahwa sejauh apa pun kita menuntut ilmu, setinggi apa pun ilmu itu kita junjung, kita tidak boleh melupakan budi pekerti dan nilai-nilai luhur yang sudah ditanamkan sejak lama. 

1 komentar:

  1. Aku malah belum sempat nonton film ini, padahal disas ya pemerannya.

    BalasHapus