Catatan harian yang semakin renta dan tua

Jumat, 12 Januari 2018

[Resensi] Ayahku (Bukan) Pembohong By Tere Liye

Judul Buku: Ayahku (Bukan) Pembohong
Penulis: Tere Liye
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: April 2011
Cetakan Kedua: Mei 2011
Cetakan Ketiga: Juni 2011
Tebal Buku: 340 hlmn; 20 cm
ISBN: 978-979-22-6905-5
Rating: 4/5

Kapan terakhir kali kita memeluk Ayah kita? Menatap wajahnya, lantas bilang kita sungguh sayang padanya? Kapan terakhir kali kita bercakap ringan, tertawa gelak, bercengkerama, lantas menyentuh lembut tangannya, bilang kita sungguh bangga padanya?

Inilah kisah tentang anak yang dibesarkan dengan dongeng-dongeng tentang kesederhanaan hidup. Kesederhanaan yang justru membuat ia membenci ayahnya sendiri. Inilah kisah tentang hakikat kebahagiaan sejati. Jika kalian tidak menemukan rumus itu dalam novel ini, tidak ada lagi cara terbaik untuk menjelaskannya.

Mulailah membaca novel ini dengan hati lapang, dan saat tiba di halaman terakhir, berlarilah secepat mungkin menemui ayah kita, sebelum semuanya terlambat, dan kita tidak pernah sempat mengatakannya.

Tere Liye adalah pengarang beberapa novel dengan rating tinggi di website para pencinta buku www.goodreads.com. Tere Liye banyak menghabiskan waktu untuk melakukan perjalanan, mencoba memahami banyak hal dengan melihat banyak tempat. Selamat membaca novel kecil ini.

Selamat membaca buku ini, satu hal yang pasti nyata: saya menangguk banyak kearifan di kedalaman cerita. A. Fuadi, Penulis Trilogi 5 Menara

Sungguh Tere-Liye berhasil menggugah saya sebagai pembaca sekaligus seorang anak dari seorang ayah yang sangat saya banggakan. A must read.
Amang Suramang, Penggerak di Goodreads Indonesia

Isinya tak hanya menggugah dan membuat haru, tapi membuat kita merasa perlu meneguhkan kembali keyakinan dan kecintaan pada keluarga. Salut atas novel ini!
Arwin Rasyid, Presiden Direktur Bank CIMB-Niaga

Novel ini dapat menjadi langkah awal untuk menata ulang konsep budi pekerti di negeri ini.
Muliaman D. Hadad, Deputi Gubernur Bank Indonesia

****
Dongeng selalu menjadi cerita pertama yang akrab dengan anak-anak. Sejak dulu hingga sekarang, masih ada beberapa orangtua yang gemar membacakan cerita, ataupun menceritakan sesuatu yang menarik kepada anak-anaknya saat menjelang tidur. Dan, semua cerita tersebut pasti memiliki pesan moral di dalamnya. Seperti Dam, ia pun mendapat perlakuan yang sama dari Sang Ayah. Bedanya, ia mendengarkan cerita-cerita ini bukan saat  menjelang tidur namun ada sesi tertentu yang biasanya dilakukannya berdua ayahnya untuk bercerita.

Ayah Dam akan menceritakan pengalaman-pengalaman hebat yang pernah ia alami. Petualangan-petualangan seru yang pernah ia alami. Dam benar-benar takjub akan hal itu dan kelak menjadi anak yang amat bijak memandang hidup karenanya. Namun, menginjak dewasa, Dam mulai menyadari ada yang 'tidak beres' dengan cerita-cerita Ayahnya. Belum lagi, beberapa teori Retro, temannya di Akademi Gajah juga seolah mendukung beberapa bukti yang Dam temukan di perpustakaan.

Masalah muncul ketika Dam telah berkeluarga dan memiliki anak bernama Zas dan Qon. Sama seperti dirinya saat masih kecil, anak-anak itu pun sama tertariknya dengan cerita-cerita kakeknya. Sejak sang kakek tinggal serumah dengan mereka, sesi bercerita adalah bagian yang paling mereka tunggu. Dan, Dam tidak suka itu. Dam tidak suka anak-anaknya dididik dengan cara yang sama dengannya. Karena yang Dam tahu, cerita-cerita ayahnya adalah bohong.

Yang paling menarik dari buku ini adalah konsep yang ditawarkan penulis. Di zaman yang sudah serba modern seperti sekarang ini, banyak para orangtua yang sudah meninggalkan budaya mengajar dan mendidik lewat dongeng. Padahal, meski cerita-cerita tersebut kadang tidak nyata, pesan moral yang dikandungnya amatlah besar. Saya sendiri sudah membuktikan kebenarannya lewat kebiasaan berdongeng yang sudah diterapkan kedua orangtua. Berdongeng adalah salah satu cara mengenalkan dan menanamkan budi pekerti luhur.

Pada beberapa cerita, teori yang ditanamkan adalah berbohong untuk kebaikan. Seperti yang dilakukan Ayah Dam, namun dalam beberapa hal ada juga ketidaksetujuan saya seperti ketika Ayah Dam menceritakan Suku Penguasa Angin sebagai bagian yang pernah terjadi dalam hidupnya. Rasa-rasanya akan lebih baik jika dalam penceritaan itu beliau menceritakan itu sebagai 'sebuah kisah dari antah berantah'. 

Buku ini mengharukan, memberikan banyak pemahaman terutama dalam hal kesederhanaan hidup, membuat rindu rumah, terutama pada kedua orangtua. Seperti yang dikatakan penulis:

"Mulailah membaca novel ini dengan hati lapang, dan saat tiba di halaman terakhir, berlarilah secepat mungkin menemui ayah kita, sebelum semuanya terlambat, dan kita tidak pernah sempat mengatakannya."

Buku ini jadi semacam pengingat bagi kita anak-anak, bahwa orangtua, seperti apapun mereka, adalah bentuk kasih sayang Tuhan yang tidak bisa kita abaikan. Adalah sebentuk nasihat bahwa tidak selamanya kita bisa memeluk Ayah dan Bunda. Maka bersyukurlah, sayangi, perlakukan mereka dengan baik dan berbaktilah selagi waktu masih ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar