Catatan harian yang semakin renta dan tua

Selasa, 15 April 2014

It's Destiny #15



Anya baru saja hendak berangkat sekolah untuk mengajar ketika sebuah jeep berhenti di depannya. Wika. Ngapain tuh cowok pagi-pagi udah kesini? Eh tapi udah biasa sih.
“Masuk!” Perintahnya.
Kening Anya berkerut mendengar peruntah yang sarat akan peringatan itu. Dari nada bicara bahkan ekspresi wajahnya, sangat jelas bahwa ia tidak mau dibantah dan ingin agar perintahnya dituruti. Tapi Anya tidak mau. Enak aja nyuruh-nyuruh. Mentang-mentang lo orang yang gue taksir sampe lo bisa seenaknya, gitu?
“Masuk Anya. Budek, ya?” Ulangnya sekali lagi. Kali ini dengan nada kesal.
“Kenapa gue mesti masuk?” Tanya Anya.
“Elah. Gue mau nganter lo sekolah.” Jawab Wika malas.
“Oh…ngomong kek dari tadi. Sok merintah-merintah.” Komentar Anya sambil bersiap untuk naik ke atas jeep tinggi besar itu. Baru saja ia hendak meraih pintu, sebuah klakson mengagetkannya.
TIN…TIN…
Anya terkesiap. Ia langsung mengenali siapa pemilik motor besar itu walaupun wajahnya terbungkus pelindung kepala full face. Itu Nugrah.
Ngapain dia…. Jangan bilang dia mau jemput gue sekolah juga? Adu mati.
Wika yang tadinya sempat mengecek ponselnya juga jadi ikut melihat ke mana arah pandang Anya. Matanya menyipit menyadari keberadaan seseorang berseragam putih abu-abu di atas motor besar dengan wujud seperti Power Ranger itu. Pake helm.
Siapa?
Dialihkannya pandangannya ke arah Anya yang tiba-tiba saja terlihat gusar.
“Anya… masuk. “ Tegurnya.
Anya menoleh kaget.
“Eh?” Tanyanya linglung.
“Lo nggak jadi masuk? Atau pilih gue gendong?”
TIN…TIN….
Lagi-lagi bunyi klakson. Anya jadi bingung sendiri.
Aduh mati! Kalo gue ikut Wika, ntar Nugie marah. Tapi kalo gue ikut Nugie, nanti Wika tau dong kalo Nugie masih SMA.
Tanpa pikir panjang, Anya langusng ikut Wika. Urusan Nugrah nanti aja deh. Yang penting Wika dulu. Secepat kilat Wika menggas jeepnya dan meninggalkan kediaman keluarga Anya.
Nugrah yang tak menyangka akan ditinggal begitu saja kontan melotot hebat. Apaan? Sial.
****

TEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEETTTTTTTTTTTTTTTT……………..TEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEETTTTTTTTTTTTTTTTTTTT…………………..
Bel istirahat berbunyi. Anya segera merapikan buku-bukunya yang ia gunakan untuk mengajar dan meninggalkan kelas XI IPA-2. Baru saja dua langkah ia dari depan kelas, seseorang menabrak tubuhnya sehingga mengakibatkan buku-buku yang dibawanya terjatuh.
“Aw.” Jeritnya ketika pantatnya menghantam ubin koridor.
Sorry mam,” Ucap sebuah suara kemudian ngacir dari sana. Ternyata Udin. Salah satu murid kelas yang baru saja diajarnya.
Kurang ajar. Nggak sopan. Makinya dalam hati. Segera ia memunguti buku-bukunya dan berusaha berdiri. Ketika sedang memunguti buku-buku yang berserakan di lantai tersebut, tak sengaja ia menangkap sosok Nugrah yang sedang berjalan ke arahnya. Tanpa kentara ia mencoba tersenyum. Agak malu sih sebenernya ketahuan ‘pacar’ abis jatoh. Tapi… what the hell?
Tanpa membalas senyumannya, Nugrah melewatinya begitu saja dengan tampang cuek seolah mereka tidak saling kenal. Maksudnyaaaaaaaaaaaaaa?
Oke. Anya nggak berharap Nugrah datang menghampiri dengan wajah cemas binti khawatir plus bilang “Sayang kamu nggak papa?” dan membantunya berdiri sambil merangkul bahunya. Bukan. Nggak kayak gitu. Tapi seenggaknya dia bisa bantuin gue kan? Mungutin buku kek.
****
Chandra menghela napasya gusar. Lima belas menit lagi Ibu Rima akan datang untuk check-up. Aduh Tuhan. Tak terbayangkan bagaimana rasanya kembali bertemu Ibu Rima dengan fakta bahwa ternyata ia adalah ibu kandungnya. Begitu banyak pertanyaan yang tersimpan di kepalanya. Bagaimana bisa Ibu Rima menjadi Ibu kandungnya? Kenapa bisa begitu? Lali bagaimana dengan mama? Mamanya bersama Wika? Kenapa Wika tahu fakta ini sedangkan dirinya tidak? Kenapa Wika sampai meminta bantuan Om Ronald agar fakta ini bisa terus tersembunyi? Lalu papa? Ah…seandainya beliau masih hidup, ia pasti sudah menanyakannya sejak kemarin.
Tok…Tok…
Sebuah ketukan menyadarkannya dan membuat kegelisahannya semakin meningkat. Beberapa detik kemudian, pintu itu terbuka dan menampilkan sesosok wanita yang tak lagi muda namun tetap terlihat cantik itu. Ibu Rima.
“Selamat siang dokter.” Sapanya sambil mendudukkan dirinya di kursi depann Chandra.
“S-selamat siang.” Jawabnya ramah.
Jika biasanya ia langsung menuntun Ibu Rima ke ruang pemeriksaan, kali ini tidak. Ia sendiri tidak menyadari apa yang dilakukannya ketika sebuah suara yang ternyata keluar dari mulutnya sendiri terdengar.
“Ibu…bisa saya bertanya sesuatu?”
****
Anya baru saja berjalan ke arah halte dekat sekolah ketika sebuah motor lewat di sampignya. Posisinya yang memang berada tepat di pinggir jalan itu membuatnya hampir saja terserempet.
“Astagfirullah” Ucapnya beristighfar.
Si pengendara motor itu mengehntikan motornya lima menit tak jauh dari Anya. Ia menolah sebentar kemudian kembali melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.
Anya hanya bisa terperangah.
****
Sialan tuh anak! Maki Anya dalam hati. Ia baru saja sampai di rumah. Dihempaskannya tubuhnya ke atas ranjang. Napasnya naik turun menahan geram. Beberapa detik kemudian, disambarnya ponselnya dan mengetikkan sebuah pesan.
30 menit kemudian, sebuah pesan masuk ke ponselnya.
Kt ktmu di taman dkt rmh km! Skrg!
****
Anya sudah sampai di taman. Ditelusurinya setiap sudut taman namun tak ditemukannya orang yang dicarinya. Akhirnya ia putuskan untuk duduk di salah satu bangku yang ada.
5 menit…
10 menit…
30 menit…
1 jam…
Apaan? Orang yang ditunggu-tunggunya tak juga menunjukkan batang hidungnya.
Diputuskannya untuk sabar dan menunggu beberapa saat lagi sampai akhirnya ia tertidur
****
Hmmm….nyamannya…
Dieratkannya pelukannya pada sesuatu sambil tetap memejamkan matanya. Dirasakannya sesuatu itu juga balas memelukanya. Tunggu! Peluk?
Sontak matanya terbuka. Ditatapnya sesuatu yang kini ia peluk dan juga balas memeluknya. Ada tangan. Tangan itu melinkar di tubuhnya. Trus ada… John Lennon? Lalu… The Beatles?
Ah wait. Ini kok kayak baju yaaa??
Baju?? BAJU?? BAJU YANG BISA DIPELUK? Astaga!
Ia terkesiap. Dilepaskannya pelukannya pada baju yang nyaman itu. Matanya melotot lebar. Didepannya, ada orang. Cowok. Dan itu Nugrah!
“KAMU NGAPAIN?????!!!” Jeritnya tak percaya. Diperiksanya tubuhnya dan ia masih berpakaian lengkap. Diarahkannya matanya ke sekeliling dan ia langsung tahu bahwa ia ada di taman. Taman dekat rumahnya. Dan Nughrah…
Oh ia sadar sekarang.
Nugrah menatapnya dengan pandang bingung dan bertanya. Anya menatapnya garang.
“Aku peluk kamu biar nggak jatuh.” Ujarnya beberapa saat kemudian. Sepertinya sudah paham dengan maksud jeritan yang diikuti dengan tatapan garang gadis di depannya ini.
“Nggak sopan.” Gerutu Anya kesal.
“Loh. Aku kan Cuma nolongin kamu biar nggak jatuh dan kepala kamu kejedot batu. Tuh.” Ujarnya sambil menunjuk sebuah batu yang tertanam di tanah di depan bangku yang sedang mereka duduki.
Anya mengikuti arah yang ditunjuk Nugrah itu dan tersadar. Akan sangat menyenangkan sekali jika Nugrah yang kepalanya kejedot tuh batu!
“Kamu kenapa ngajakin aku ketemuan?” Tanya Nugrah.
Anya menatapnya aneh tapi kemudian ia merutuki kebodohannya. Ia ya? Ngapain gue ngajak ni bocah ketemuan? Mau marah-marah karena nggak nolong gue tadi pagi? Ah tidak! Bodohnya dirimu…eh diriku…eh ah sial.
“Hmmm?” Tanya Nugrah lagi dengan menggumam.
Anya menoleh. “Apa?” Tanyanya balik dengan wajah kesal.
“Kok kamu marah?” Tanya Nugrah bingung.
Anya mendelik sebal “Ish.” Entah kenapa ia jadi tambah kesal mendengar pertanyaan Nugrah. Entah apa alasannya.
“Lho. Harusnya kan aku yang marah.”
“Apa?” Tanya Anya. Nada suaranya jadi meninggi.
“Kok kamu teriak?”
“Kamu nanya mulu!”
“Loh?”
“Tau ah males!”
Baru saja Anya hendak beranjak dari duduknya, tangannya ditarik oleh Nugrah dan dipaksanya gadis itu untuk kembali duduk di sampingnya.
“Apaan sih?”
“Anya… yang marah itu harusnya aku. Bukan kamu!”
“Eh…maksud kamu apa tadi nyuekin aku gitu? Kamu nggak liat apa tadi aku jatoh? Seenggaknya bantuin aku kek. Aku kan juga udah bantuin kamu. Trus tadi apa coba meluk meluk. Bukan muhrim tau!” Teriaknya kesal sambil berkacak pinggang.
Nugrah jadi bingung.
“Eh kamu mau bongkar hubungan kita depan anak-anak satu sekolah? Kan aneh kalo aku yang di sekolah keliatan nggak suka banget sama kamu tiba-tiba nolongin kamu. Kamu mau anak-anak tau kalo kita pacaran? Trus masalah meluk. Aku juga tau kalo kita bukan muhrim. Tapi aku Cuma nolongin. Kalo ada orang lain yang berjenis kelamin cewek disini juga aku udah minta tolong sama mereka. Itupun kalo mereka mau. Tapi coba liat. Ada nggak orang lain disini? Nggak ada kan? Kita berdua doang. Lagian tadi ada tapi cowok. Masa aku minta tolong dia? Enak aja cewek aku dipegang-pegang orang.” Balas Nugrah kesal dan panjang lebar.
Anya merona. Aneh memang padahal di depannya Nugrah jelas sedang marah-marah. Tapi cara maranya lucu sih. Ia tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti tadi.
Hubungan kita…
Cewek aku…
Kenapa ia senang mendengarnya?
Sementara itu Nugrah yang baru saja marah-marah panjang lebar juga bingung sendiri. Gue ngomong apa ya barusan?
Ah iya! Dia kan lagi marah
“Oh.” Komentar Anya pendek.
Eh? Maksudnya?
“Oke. Sekarang aku mau tanya. Kamu tadi ke sekolah sama siapa?” Tanya Nugrah.
“Aku? Sama Wika.” Jawab Anya enteng.
“Yang jemput kamu pake jeep tadi?” Tanyanya lagi.
Anya tersadar. OMIGOD OMIGOD!!! Tadi pagi kan….
“Kamu nggak liat aku ya tadi? Perasaan aku ngeklakson sampe dua kali.”
“Ehmmm…ituuu…aku nggak tau kalo itu kamu.” Bohong banget! Jelas-jelas ia tahu kalo itu Nugrah.
“Eh kok kamu tadi siang nyerempet aku?”
“Siapa?”
“Kamu. Aku liat kok. Yang di motor tadi itu kamu kan?” Todong Anya.
Nugrah terdiam beberapa detik.
“Nugie!!” Teriak Anya di samping telinga Nugrah. Kesal lagi.
“Aduh. Budek nih.” Gerutu Nugrah sambil mengusap kupingnya. “Aku lagi mikir.” Sambungnya.
Anya berkerut. “Mikir apa?” Tanyanya kepo.
“Kok tadi pagi kamu nggak ngenalin aku ya pas aku jemput aku?” Tanya Nugrah dengan pandang bertanya.
“Ehmm… kamu…kamu kan nggak lepas helm.” Jawab Anya terbata.
“Tapi kok kamu bisa tau ya kalo yang nyerempet kamu tadi aku. Padahal kan seinget aku, aku nggak lepas helm juga.”
Skakmat!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar