Catatan harian yang semakin renta dan tua

Selasa, 11 April 2017

Pertanyaan Tentang Tuhan

Sumber Gambar
Malam ini gue kembali dengan bahasan yang mungkin udah lama gue tinggalkan, cerita yag mungkin juga lebih cocok mejeng di blog yang gue beri nama Diary Lusuh ini, cerita tentang hal-hal yang menarik (menurut gue) yang gue alami ataupun terjadi pada orang-orang di sekitar gue.

Tuhan. Kalau ditanya satu per satu, definisi Tuhan bagi setiap orang mungkin berbeda-beda. Bagi gue pribadi, gue nggak pernah bisa membuat definisi atau penjelasan mengenai Dia yang nggak pernah gue lihat namun selalu gue rasakan keberadaanNya di mana pun gue berada. Mungkin kalau ditanya lebih spesifik ke agama yang dianut, Muslim akan memberi jawaban bahwa Tuhannya adalah Allah, bagi penganut atheis, Tuhan mungkin bisa jadi sesuatu yang belum bisa dibuktikan kebenarannya. Namun malam ini, gue menemukan kemungkinan baru bahwa bagi beberapa orang Tuhan bisa saja adalah sebuah pertanyaan. Siapa Dia? Bagaimana Rupanya? Bagaimana ia bisa ada? Dan pertanyaan itu datang dari satu-satunya adik yang gue miliki, Vika.

Seperti biasa, karena gue jauh dari perantauan, malam-malam kayak gini kadang gue isi dengan bertukar cerita bersama keluarga, menanyakan kabar hingga ke hal seremeh apa yang dimasak di rumah. Nggak lupa pula, gue selalu menanyakan perkembangan Vika dan nyokap juga nggak pernah keberatan untuk bercerita. Bisa dibilang, Vika kini bukan cuma tanggung jawab orang tua gue tapi juga jadi tanggung jawab gue. 

Nggak hanya tumbuh sebagai adik yang chubby dan lebih berat dari kakaknya, Vika juga adalah anak yang cerewet dan selalu ingin tahu, banyak bertanya ini dan itu. Sejauh ini sudah cukup banyak pertanyaan yang ia ajukan dan ada beberapa yang terkadang membuat gue atau siapapun yang ia tanyai harus memutar otak untuk menjawab.

Dia pernah nanya:

"Vika terbuat dari apa?"

"Orang kalau udah meninggal akan kemana?"

"Ke surga itu gampang atau nggak?"

Dan malam ini dia bertanya tentang Tuhan. Harus gue akui bahwa pertanyaan tentang Tuhan yang datang dari anak-anak yang masih polos ternyata lebih sulit dijawab daripada pertanyaan yang ditanyakan oleh seorang atheis. Kepolosan seorang anak dan keingintahuannya yang masih tulus membuat kita harus benar-benar jeli dalam memilih dan memberikan jawaban yang pas. Malam ini, gue nggak tahu apakah jawaban yang gue berikan sudah bagus atau nggak.

Kira-kira begini rentet pertanyaan adik gue itu:

Vika: Kakak, Allah itu punya mama nggak sih?

Gue: Nggak ada (gue jawab segini doang karena hanya jawaban ini yang bisa gue berikan. Gue yakin kalo ngasih dalil ataupun hadits, Vika malah makin nggak paham dan pertanyaan makin melebar).

Vika: Terus yang nyiptain Allah siapa?

Gue: Nggak ada. Allah itu kan pencipta, yang nyiptain kita - manusia. 

Vika: Oh jadi kita ini cuma dititipin gitu ya sama Allah ke mama papa.

Gue: Iya. (Gue sempat kaget bahwa pemikira adik gue udah bisa sampai kesana, ke hal yang mengarah pada amanah).

Vika: Kalo gitu kak Nabi Isa itu siapa?

Gue: Sama kayak kita manusia. Tapi Nabi Isa itu tuh manusia yang paling disayang sama Allah.

Vika: Oh gitu. Terus sekarang ada dimana?

Gue: Ada di langit (Gue jawab gini karena menurut agama yang gue pelajari salah satu manusia yang paling istimewa ini sekarang ada di langit dan menunggu untuk melaksanakan tugas akhirnya; menumpas Dajjal).

Vika. Oh kirain ada disini. Kalo ada mau Vika ajak selfie

Untuk tanggapannya yang terakhir sumpah gue ngakak. Bukan menertawakan Nabi Isa ya, gue ketawa karena tanggapan itu kedengaran lucu banget. Dari sini gue benar-benar baru menyadari bahwa anak-anak adalah makhluk yang amat polos, yang karena hal itulah ia dititipkan pada kita untuk kita bimbing. Gue nggak tahu apa ke depannya Vika bakal tetap secerewet dan sekepo ini, tapi gue bersyukur. Walau hanya sedikit dan baru tahap pengenalan standar, setidaknya gue dan kedua orang tua gue sudah bisa mulai memberikan bekal dasar dalam mempelajari agama ke adik gue. Gue sih selalu percaya, untuk menjadi orang tua atau panutan yang baik, untuk bisa mengajarkan hal yang baik, kita nggak perlu jadi otoriter dengan memasakan kehendak dan pemahaman kita pada anak-anak, atau memberikan pendidikan yang keras sejak dini. Karena mereka masihlah anak-anak, maka sudah sewajarnya kita menyesuaikan diri dengan usia mereka sehingga pelajaran dan nasehat apa pun yang kita berikan lebih bisa ia cerna dengan baik dan bukan mustahil menjadi hal menyenangkan baginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar