Catatan harian yang semakin renta dan tua

Minggu, 20 April 2014

Kontrak Cinta #7

Shit! Maki Ael sambil membanting majalah digenggamannya ke atas meja kerja di kantornya. Sialan! Sialan! Sialan! Apa maksud reporter bernama Aurora Amora itu coba?
 Gadis Tanpa Nama atau Nindy Paramitha. Siapa sebenarnya Kekasih Fay Bara Putra?
Diraihnya kembali majalah yang baru saja dibantingnya itu. Matanya nanar menatap headline berita tersebut. Di sana, di dalam majalah sialan itu, terdapat sosok Nindy bersama Bara. Terlihat bahwa Bara sedang menunggui Nindy di salon. Demi Tuhan ia sangat ingin meninju seseorang saat ini. Apalagi si Aurora Amora, reporter sialan itu. Dari mana ia mendapat berita ini?
Oh ya tentu saja ini bukan asal berita atau gossip murahan. Ia sangat ingat pakaian yang dikenakan Nindy beberapa hari yang lalu saat ia dan Ivy mengintainya dan Bara. Jadi setelah dari restoran, mereka ke salon. Sebenarnya ia sedikit lega mengingat bahwa apa yang dikhawatirkannya kemarin itu tidak terjadi. Ia bukan menganggap Nindy perempuan murahan sehingga gadis itu mau melakukan hal-hal ‘aneh’ dengan Bara. Tapi mengingat pesona dan kekuasaan Bara, ia tidak bisa memungkiri bahwa laki-laki itu bisa mendapatkan apa saja yang diinginkannya dengan mudah, termasuk harga diri seorang perempuan.
Diremasnya pemukaan majalah tersebut dengan kasar. Ia tahu siapa yang harus disalahkan atas hal ini.
****
“Viv tolong kerjain, ya.” Perintah Indra ramah sambil menyodorkan beberapa dokumen kea rah gadis itu.
Dengan semangat Vivian mengangguk sambil tersenyum. Dahi Indra mengerut mendapati ekspresi Vivian.
“Semangat banget kayaknya.” Komentarnya.

“Iya doooonggg.” Jawab Vivian lebih semangat lagi sambil kembali menyodorkan deretan giginya yang putih. Tersenyum manis.
“Lo lagi nggak nyoba buat ngegoda gue, kan?” Indra tersenyum miring.
“Maaf Bapak Indra tapi ini di kantor. Hubungan pertemanan maupun persahabatn tidak berlaku disini.” Balas Vivian sambil tersenyum usil. Sekali-sekali mengerjai bos bin sahabatnya ini tidak apa-apa, kan?
“Ya sudahlah. Terserah Anda saja. Tolong selesaikan sebelum jam pulang. Semoga kesenangan Anda berlangsung lama.” Ujar Indra sambil beranjak kembali ke ruangannya.
“Pasti.” Ujarnya yakin sambil mulai mengerjakan tugas yang baru saja diserahkan Indra tadi.
Oh semua pasti penasaran dengan apa yang terjadi padanya. Ia sangat senang hari ini. Siapa yang tidak menyangka bahwa sudah sejak tiga hari yang lalu si egois Ael belum menemuinya lagi. Ia menebak laki-laki itu benar-benar tertipu dengan akting tidurnya beberapa hari kemarin. Atau… laki-laki itu memutuskan untuk tidak menemuinya lagi serta memutuskan kontrak aneh itu secara sepihak? Oh itu lebih bagus lagi. Ia berjanji akan puasa tujuh hari lamanya jika itu memang terjadi. Bukan pusa makan dan minum tentunya karena bernazar seperti itu adalah hal yang dilarang agamanya. Ia berjanji akan puasa baca novel fantasi dan mencoba untuk membaca novel-novel roman picisan jika ia masih hidup sampai tujuh hari ke depannya. Meskipun ia yakin ia akan mati bosan.
****
“Na…na…na…na….” Ivy berjalan ke arah pintu apartemennya sambil bersenandung riang. Ia sangat senang. Ia bahkan tidak perduli jika lagu yang ia senandungkan adalah lagi happy birthday yang membuat orang-orang selalu menoleh ke arahnya jika berpapasan sambil bertanya-tanya apakah gadis itu sedang berulang tahun atau ingin merayakan ulang tahun seseorang. Tidak apa-apa. Ia merasa sedang berulang tahun hari ini.
Dengan santai ia masuk ke apartemen. Namun, tanpa diduganya, seseorang tiba-tiba mendorong tubunya hingga ia masuk sempurna ke dalam setelah kemudia orang itu ikut melangkah di belakangnya dan mengunci pintu dengan cepat. Untung saja ia tidak sampai terjatuh dan mencium lantai.
Dibalikkannya tubuhnya dan menghadap siapapun yang baru saja mendorongnya dengan sangat tidak sopan itu. Di depannya, Ael berdiri menjulang. Ketika hendak berkacak pinggang, tiba-tiba saja Ael maju, mendekatinya dan membuat tubuhnya mundur secara otomatis bahkan sampai membentur dinding apartemen. Tubuh laki-laki itu menegang. Rahangnya mengeras. Tatapannya tajam dan menakutkan.
“Ael… lo… mau…” ucapannya yang terbata itu terhenti dengan ancaman laki-laki itu.
“Diem kalo lo nggak mau tuh bibir gue cium sampe sobek.” Bisiknya menyeramkan.
Ivy bungkam tanpa protes. Ngeri. Takut. Ini bukan Ael. Ini monster. Dia nggak akan ngomong sekasar itu.
Ael yang sedang marah, meneliti keseluruhan wajah Ivy yang kini hanya berjarak 3 cm di depan wajahnya dengan tatapan tajam. Tubuh gadis itu bergetar. Matanya menyorotkan rasa takut yang teramat sangat. Ia bahkan bisa melihat bahwa cairan bening mulai terkumpul di sana. Namun gadis itu mencoba untuk menahan agar tidak sampai merembes ke luar.
Dijauhkannya tubuhnya beberapa detik kemudian lalu membanting sebuah majalah ke meja di dekat sofa di depan televisi.
Ivy yang masih ketakutan sontak menjerit kaget.
“Ini semua salah lo!” Teriak Ael menggelegar.
“Maksud lo?” Tanya Ivy dengan suara yang nyaris tak terdengar. Dihampirinya meja tersebut denga langkah terseok sambil meraih majalah yang baru saja dibanting Ael. Tenggorokannya tercekat. Ditelannya ludahnya yang kini terasa pahit.
“Nindy….pacaran…sama….Bara?” Ucapnya. Kalimat bernada pertanyaan yang bukan hanya ditujukan kepada Ael tapi juga kepada dirinya sendiri.
“Itu salah lo!” Ujar Ael lagi.
“Maksud lo apa?” Tanyanya memberanikan diri karena sejak tadi laki-laki itu terus saja mengatakan bahwa ia salah. Entah salah apa.
“Iya. Itu salah lo!” Ujar Ael lagi.
“Salah gue?” Tanyanya bingung.
“Iya. Kalo lo nggak minum terus, nggak pura-pura muntah, nggak pura-pura pengen makan, nggak pura-pura tidur, itu semua nggak bakal kejadian.”
Ivy menganga tak percaya. Pura-pura? Oke untuk yang terakhir Ael benar. Tapi ia pura-pura muntah? Pura-pura ingin makan? Oh tidak. Ia tidak dengan sengaja mengeluarkan isi perutnya dan membuat tubuhnya terasa lemas. Ia juga tidak pura-pura ingin mengisi perut karena ia merasa dengan makan mungkin tenaganya bisa pulih lebih cepat.
“Gue nggak pura-pura.” Ujarnya sedih.
“Bohong!” Teriak Ael. “Gue tau lo sengaja. Gue tau lo sengaja sok mau bantuin. Gue tau lo mau ngegagalin rencana gue. Gue tau lo dedam sama gue. Gue tau lo nggak mau gue balik lagi sama Vivian.” Sambungnya sambil menunjuk wajah Ivy. “Kenapa? Lo suka sama gue?”
Ivy yang awalnya ketakutan setengah mati, langsung emosi mendengar tuduhan tidak benar dan tidak berdasar Ael padanya itu.
“Eh denger ya Rafael Pradipta. Oke. Gue emang pura-pura tidur waktu itu. Tapi gue sama sekali nggak ada niat buat ngegagalin rencana lo. Gue Cuma mau lo sedikit peduli dan mikirin gue dan nggak bertindak terlalu egois mikirin diri lo sendiri.”
Ael tersenyum mengejek. “Hhh… kenapa gue mesti peduli sama lo? Lo bukan siapa-siapa gue. Bahkan kalo gue mau pura-pura buat nggak kenal lo juga gue bisa.”
Mati-matian Ivy menahan sesak di dadanya mendengar ucapan Ael barusan. “Gue tau gue emang bukan siapa-siapa lo. Tapi inget. Gue nggak pernah datengin lo. Elo sama keluarga lo yang dateng tiba-tiba ke rumah gue dan sok mau ngelamar gue. Tapi ternyata tujuan lo Cuma mau manfaatin gue buat balikan lagi sama mantan lo entah siapa itu.” Air matanya kini telah dengan sukses meluncur.
“Gue nggak mau karena itu nggak penting dan bukan urusan gue. Tapi lo maksa. Lo nyewa orang buat nguntit dan nyelidikin gue. Lo ngancem lo bakal lamar gue secepetnya. Lo bikin kehebohan di kantor gue. Nyebar berita nggak bener kalo lo tunangan gue. Lo bikin Bimo percaya kalo lo bukan orang berbahaya. Lo paksa gue buat menandatangani kontrak konyol dan aneh lo. Kontrak nggak bermutu yang nggak gue sangka bakal keluar dari pengusaha sukses kayak lo. Lo minta gue berpakaian aneh dan menjadi penguntit. Tindakan yang sebenarnya masuk dalam kaegori kriminal. Dengan pertimbangan demi masa depan gue yang gue nggak mau berakhir dengan terjebak menjabat sebagai istri lo dan menderita seumur hidup, akhirnya gue mau. Karena gue rasa kalo itu setimpal dengan masa depan cerah yang menanti gue di depan sana, yang gue pikir nggak bakal ada lagi sejak kedatangan lo dan keluarga lo pertama kali ke rumah gue.” Ivy berhenti sejenak untuk menarik napas dan mengusap air matanya dengan kasar.
“Dan sekarang lo nyalahin gue gara-gara gossip di majalah yang belum tentu bener itu? Lo bilang itu salah gue? Lo bodoh atau gimana sih? Gue nggak bisa ngatur tuh reporter mau nulis apa. Gue nggak bisa ngatur ke mana mantan sialan lo itu mau pergi dan dianter siapa. Gue nggak bisa ngatur kalo Bara emang jadian sama tuh cewek.” Ujarnya sambil tersenyum miris.
Ael diam saja. Tidak bisa berbicara maupun membantah apa yang Ivy katakan karena ia sadar bahwa itu memang benar.
“Dan sekarang lo bilang kalo lo bisa pura-pura buat nggak kenal gue? Silahkan. Gue ikhlas – ridho dunia akhirat. Gue bahkan berharap kalo kita emang nggak pernah kenal. Sekarang…silahkan tinggalkan apartemen gue!” Tutupnya dan setelahnya masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu.

2 komentar: