Akhirnya dengan berat hati Vivian rela diantar
oleh Rafael ke kantor. Waktu juga sudah menunjukkan jam enam lebih empat puluh
lima menit dan Vivian pasti akan terlambat jika menolak tawara Rafael.
Sepanjang perjalanan, tidak ada yang bersuara. Vivian bungkam, sedangkan Rafael
tidak berani memulai pembicaraan. Sebenarnya, bukan tanpa maksud ia memberikan
tawaran tumpangan untuk ke kantor bagi Vivian, jelas dia punya maksud lain.
"Iya gue tahu saat ini gue emang sedang memperlakukan Ivy sebagai keset
kaki:", tapi Rafael tidak punya pilihan lain. Hanya Vivianlah yang
dapat membantunya untuk mendapatkan Nindy kembali.
Jengah dengan kebisuan, akhirnya Rafael membuka
suara. "Vy!" Panggilnya.
"Hmmm..." hanya gumaman yang keluar
dari bibir Vivian.
"Malem minggu nanti, perusahaan gue ngadain
acara. Yah perayaan kecil-kecilan sih, gue menang tender besar. Dan sebagai partner in crime yang baik hati, gue bermaksud
mengundang lo untuk hadir di acara itu.... sebagai tamu kehormatan."
Akhirnya Rafael menjelaskan maksudnya. Tentu saja dengan berusaha tidak
menyelipkan kata 'tolong' ke dalamnya. Rafael tidak pernah membayangkan
bagaimana reaksi Vivian jika sampai ia mengucapkan kalimat "Vy, di
kantor ada acara. Lo mau nggak nemenin gue hadir?" Mungkin Ivy akan
sujud syukur!
Dalam hati Vivian mencibir. Huh! Dasar kucing!
Udah gue duga ni anak pasti ada maunya sampe bela-belain mau nganter gue ke
kantor segala." Diliriknya Rafael sekilas dan berkata tegas "Sorry,
gue nggak tertarik buat jadi tamu kehormatan di perusahaan lo!"
Rafael tidak tersinggung. Ia malah kembali
melanjutkan "Eits! Jangan nolak dulu. Ini undangan khusus Vy dan lo
sebagai TAMU KEHORMATAN, loakan dapat bonus dijemput oleh Rafael Pradipta yang
tampan sejagat raya."
-_______________-
"Plus bebas gandeng tangan gue
sepuasnya!" Buru-buru Rafael menambhkan sebelum Vivian kembali menolak. Ia
yakin, promosi-nya terhadap dirinya akan sukses. Perempuan mana yang
nggak mau sama Rafael Pradipta? Ehm... kecuali kalau saingannya Fay Bara Putra
sih, dalam hati Rafael mengutuk fakta itu dan Nindy Paramitha, kekasih for
the rest of life-nya dengan apesnya malah termakan jampi-jampi Bara.
Wajah Vivian langsung berubah sumringah. Matanya
memancarkan binar kekaguman, tapi secepat kedipan mata Rafael, binar itu segera
lenyap, berganti wajah sedih yang diikuti kalimat "mohon maaf yang
sebesarnya Pak Rafael, saya nggak mau kena penyakit kusta kalo gandengan sama
Bapak."
Sial!
****
Sebuah undangan berwarna silver dengan kesan
elegan diterima Nindy dengan wajah heran. Apalagi setelah melihat nama
pengirimnya. Dari perusahaan Rafael. Undangan apa? Perlahan ia membuak undanga
tersebut, dan selanjutnya, sebuah ide cemerlang langsung menancap di dalam
kepalanya. Ini akan jadi kesempatan besar yang menyenangkan!
Segera diambilnya ponselnya dan mengetikkan
sebuah nama di kolom phonebook-nya dan menekan gambar telepon berwarna
hijau. Panggilannya diangkat pada dering ketiga.
"Hallo... Bara..."
****
"Vy... mama dengar perusahannya Rafael mau
ngadain acara ya?" Seperti biasa, setiap weekend Vivian selalu
menyempatkan diri untuk mengunjungi kedua orang tuanya. Meski sudah bisa
membiayai hidup sendiri bahkan memilih untuk tinggal mandiri di apartemen,
Vivian sama sekali tidak pernah berpikir untuk lepas dari kedua orangtuanya
secara total. Karena bagaimana pun juga, keduanya sudah tidak lagi muda dan
hanya Vivian yang mereka miliki. Sebisa mungkin Vivian ingin berusaha ada untuk
mama dan papanya, seperti dulu saat mereka selalu menyayangi dan melindunginya.
Jika anak adalah harta paling berharga bagi orang tua yang harus selalu
dilindungi, maka orangtua adalah harta anak yang harus senantiasa dijaga. Hanya
itu yang bisa dilakukan untuk membalas budi mereka, meski itu tidak akan pernah
senilai dengan apa yang telah mereka lakukan dan korbankan.
"Iya ma. Ael ngasih tahu aku tadi
pagi." Jawab Vivian sambil terus melanjutkan aktivitasnya menonton
Spongebob di televisi. Mendengarnya, mama tersenyum.
"Mama senang kamu mau mencoba untuk mengenal
Rafael lebih dekat. Mama harap, semuanya dapat berjalan lancar, ya, Nak."
Memang, di depan kedua keluarga, Rafael dan Vivian bersikap seolah mereka
benar-benar menyetujui rencana perjodohan mereka. Setidaknya untuk sementara
hingga Rafael mendapatkan apa yang dia inginkan dan Vivian dapat terbebas dari
belenggu laki-laki itu. Mama dan Papa juga pasti akan menolak menikahkan putri
kesayangan mereka dengan laki-laki yang jelas-jelas mencintai dan menjalin
hubungan dengan wanita lain. Maka dari itu, mau tidak mau Vivian juga harus
membantu Ael untuk mendapatkan Nindy kembali. Serasa babu, tapi itu setimpal
untuk masa depan cerah yang menantinya.
"Jangan berharap terlalu banyak, Ma. Vivian
nggak bisa janji apa-apa." Vivian tidak mau Mamanya berekspektasi terlalu
tinggi perihal hubungannya dengan Rafael. Karena bisa dipastikan apa yang
mereka harapkan tidak akan mewujud sebagai kenyataan. Perlahan mama mengusap
rambut panjang Vivian, memberikan tanda pengertian tanpa disuarakan.
"Kamu diundang, nggak sama Rafael?"
Mama bertanya lagi. Vivian rasanya ingin berbohong saja, tapi seperti yang
dikatakan Rafael tadi pagi, laki-laki itu akan menjemputnya ba'da maghrib.
Jadi, lebih baik dia jujur meski nanti ia akan tetap menolak undagan itu
dan menyuruh Rafael pergi sendirian. Toh dia sudah menolaknya, siapa suruh Ael
maksa!
"Iya ma diundang." Jawab Vivian pendek.
"Acaranya jam berapa?"
"Jam tujuh lima belas."
Dan sekarang jam sudah menunjukkan pukul lima
sore sementara Vivian sama sekali belum siap-siap. Mama langsung saja heboh.
"Kok kamu belum siap-siap? Udah jam lima loh, Vy. Kalau Rafael jemput dan
kamu belum ngapa-ngapain kan kasihan nanti telat ke acaranya. Nggak lucu dong
tuan rumah malah terlambat bla...bla...bla..."
"Aku nggak ikut ma!"
Cerocosan mama langsung berhenti.
"Kenapa?"
"Vivian capek. Mau istirahat aja di
rumah."
"Kan tadi kamu udah istirahat. Sabtu nggak
masuk kantor. Udah sana cepet siap-siap!"
"Tapi maa....."
"Nggak ada tapi-tapian. Cepet
siap-siap!"
****
Pukul 18.15!
Rafael memencet tombol bel di depan pagar rumah
Vivian yang segera saja dibukakan oleh pembantu rumah tangga keluarga gadis
itu! Ia dipersilakan masuk dan disambut oleh 'calon mertuanya' dengan
wajah berseri.
"Langsung ke atas aja Nak Rafa. Vivian ada
di atas. Kalau tante yang manggilin bakal lama dia turunnya."
Rafael mengucap terima kasih lalu bergegas ke
lantai dua. Diketuknya pintu kamar Vivian...
"Vy... ini gue." Panggilnya.
"Buka aja. Pintunya nggak dikunci."
Sekilas Rafael ragu. Ini beneran Vivian nyuruh dia masuk saat lagi ganti baju?
Ah bodo amat!
Akan tetapi, apa yang menyambutnya kemudian
benar-benar nyaris membuatnya pingsan! VIVIAN MASIH ASYIK BERKUTAT DENGAN HAIRDRYER-NYA!"
Udah,??? Cuma sampe #10 aja ??
BalasHapusBelum dapat inspirasi buat lanjutin hehe
HapusMasukkan balasan Anda...ayo donk mba dilanjut ceritanya penasaran nih...
HapusUdah,??? Cuma sampe #10 aja ??
BalasHapusditunggu lanjutannya
BalasHapusini kapan mau diterusin ya ceritanya??? sayang banget kalo ga cerita nya bagua tp endingnya ngegantung begini
BalasHapus