Catatan harian yang semakin renta dan tua

Senin, 13 Juni 2016

Kontrak Cinta #10


Akhirnya dengan berat hati Vivian rela diantar oleh Rafael ke kantor. Waktu juga sudah menunjukkan jam enam lebih empat puluh lima menit dan Vivian pasti akan terlambat jika menolak tawara Rafael. Sepanjang perjalanan, tidak ada yang bersuara. Vivian bungkam, sedangkan Rafael tidak berani memulai pembicaraan. Sebenarnya, bukan tanpa maksud ia memberikan tawaran tumpangan untuk ke kantor bagi Vivian, jelas dia punya maksud lain. "Iya gue tahu saat ini gue emang sedang memperlakukan Ivy sebagai keset kaki:", tapi Rafael tidak punya pilihan lain. Hanya Vivianlah yang dapat membantunya untuk mendapatkan Nindy kembali.

Jengah dengan kebisuan, akhirnya Rafael membuka suara. "Vy!" Panggilnya.

"Hmmm..." hanya gumaman yang keluar dari bibir Vivian.

"Malem minggu nanti, perusahaan gue ngadain acara. Yah perayaan kecil-kecilan sih, gue menang tender besar. Dan sebagai partner in crime yang baik hati, gue bermaksud mengundang lo untuk hadir di acara itu.... sebagai tamu kehormatan." Akhirnya Rafael menjelaskan maksudnya. Tentu saja dengan berusaha tidak menyelipkan kata 'tolong' ke dalamnya. Rafael tidak pernah membayangkan bagaimana reaksi Vivian jika sampai ia mengucapkan kalimat "Vy, di kantor ada acara. Lo mau nggak nemenin gue hadir?" Mungkin Ivy akan sujud syukur!

Dalam hati Vivian mencibir. Huh! Dasar kucing! Udah gue duga ni anak pasti ada maunya sampe bela-belain mau nganter gue ke kantor segala." Diliriknya Rafael sekilas dan berkata tegas "Sorry, gue nggak tertarik buat jadi tamu kehormatan di perusahaan lo!"

Rafael tidak tersinggung. Ia malah kembali melanjutkan "Eits! Jangan nolak dulu. Ini undangan khusus Vy dan lo sebagai TAMU KEHORMATAN, loakan dapat bonus dijemput oleh Rafael Pradipta yang tampan sejagat raya."

-_______________-

"Plus bebas gandeng tangan gue sepuasnya!" Buru-buru Rafael menambhkan sebelum Vivian kembali menolak. Ia yakin, promosi-nya terhadap dirinya akan sukses. Perempuan mana yang nggak mau sama Rafael Pradipta? Ehm... kecuali kalau saingannya Fay Bara Putra sih, dalam hati Rafael mengutuk fakta itu dan Nindy Paramitha, kekasih for the rest of life-nya dengan apesnya malah termakan jampi-jampi Bara.

Wajah Vivian langsung berubah sumringah. Matanya memancarkan binar kekaguman, tapi secepat kedipan mata Rafael, binar itu segera lenyap, berganti wajah sedih yang diikuti kalimat "mohon maaf yang sebesarnya Pak Rafael, saya nggak mau kena penyakit kusta kalo gandengan sama Bapak."

Sial!

****
Sebuah undangan berwarna silver dengan kesan elegan diterima Nindy dengan wajah heran. Apalagi setelah melihat nama pengirimnya. Dari perusahaan Rafael. Undangan apa? Perlahan ia membuak undanga tersebut, dan selanjutnya, sebuah ide cemerlang langsung menancap di dalam kepalanya. Ini akan jadi kesempatan besar yang menyenangkan!

Segera diambilnya ponselnya dan mengetikkan sebuah nama di kolom phonebook-nya dan menekan gambar telepon berwarna hijau. Panggilannya diangkat pada dering ketiga.

"Hallo... Bara..."

****

"Vy... mama dengar perusahannya Rafael mau ngadain acara ya?" Seperti biasa, setiap weekend Vivian selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi kedua orang tuanya. Meski sudah bisa membiayai hidup sendiri bahkan memilih untuk tinggal mandiri di apartemen, Vivian sama sekali tidak pernah berpikir untuk lepas dari kedua orangtuanya secara total. Karena bagaimana pun juga, keduanya sudah tidak lagi muda dan hanya Vivian yang mereka miliki. Sebisa mungkin Vivian ingin berusaha ada untuk mama dan papanya, seperti dulu saat mereka selalu menyayangi dan melindunginya. Jika anak adalah harta paling berharga bagi orang tua yang harus selalu dilindungi, maka orangtua adalah harta anak yang harus senantiasa dijaga. Hanya itu yang bisa dilakukan untuk membalas budi mereka, meski itu tidak akan pernah senilai dengan apa yang telah mereka lakukan dan korbankan.

"Iya ma. Ael ngasih tahu aku tadi pagi." Jawab Vivian sambil terus melanjutkan aktivitasnya menonton Spongebob di televisi. Mendengarnya, mama tersenyum.

"Mama senang kamu mau mencoba untuk mengenal Rafael lebih dekat. Mama harap, semuanya dapat berjalan lancar, ya, Nak." Memang, di depan kedua keluarga, Rafael dan Vivian bersikap seolah mereka benar-benar menyetujui rencana perjodohan mereka. Setidaknya untuk sementara hingga Rafael mendapatkan apa yang dia inginkan dan Vivian dapat terbebas dari belenggu laki-laki itu. Mama dan Papa juga pasti akan menolak menikahkan putri kesayangan mereka dengan laki-laki yang jelas-jelas mencintai dan menjalin hubungan dengan wanita lain. Maka dari itu, mau tidak mau Vivian juga harus membantu Ael untuk mendapatkan Nindy kembali. Serasa babu, tapi itu setimpal untuk masa depan cerah yang menantinya.

"Jangan berharap terlalu banyak, Ma. Vivian nggak bisa janji apa-apa." Vivian tidak mau Mamanya berekspektasi terlalu tinggi perihal hubungannya dengan Rafael. Karena bisa dipastikan apa yang mereka harapkan tidak akan mewujud sebagai kenyataan. Perlahan mama mengusap rambut panjang Vivian, memberikan tanda pengertian tanpa disuarakan.

"Kamu diundang, nggak sama Rafael?" Mama bertanya lagi. Vivian rasanya ingin berbohong saja, tapi seperti yang dikatakan Rafael tadi pagi, laki-laki itu akan menjemputnya ba'da maghrib. Jadi, lebih baik dia jujur  meski nanti ia akan tetap menolak undagan itu dan menyuruh Rafael pergi sendirian. Toh dia sudah menolaknya, siapa suruh Ael maksa!

"Iya ma diundang." Jawab Vivian pendek.

"Acaranya jam berapa?"

"Jam tujuh lima belas."

Dan sekarang jam sudah menunjukkan pukul lima sore sementara Vivian sama sekali belum siap-siap. Mama langsung saja heboh. "Kok kamu belum siap-siap? Udah jam lima loh, Vy. Kalau Rafael jemput dan kamu belum ngapa-ngapain kan kasihan nanti telat ke acaranya. Nggak lucu dong tuan rumah malah terlambat bla...bla...bla..."

"Aku nggak ikut ma!"

Cerocosan mama langsung berhenti. "Kenapa?"

"Vivian capek. Mau istirahat aja di rumah."

"Kan tadi kamu udah istirahat. Sabtu nggak masuk kantor. Udah sana cepet siap-siap!"

"Tapi maa....."

"Nggak ada tapi-tapian. Cepet siap-siap!"

****

Pukul 18.15!

Rafael memencet tombol bel di depan pagar rumah Vivian yang segera saja dibukakan oleh pembantu rumah tangga keluarga gadis itu! Ia dipersilakan masuk dan disambut oleh 'calon mertuanya' dengan wajah berseri.

"Langsung ke atas aja Nak Rafa. Vivian ada di atas. Kalau tante yang manggilin bakal lama dia turunnya."

Rafael mengucap terima kasih lalu bergegas ke lantai dua. Diketuknya pintu kamar Vivian...
"Vy... ini gue." Panggilnya.

"Buka aja. Pintunya nggak dikunci." Sekilas Rafael ragu. Ini beneran Vivian nyuruh dia masuk saat lagi ganti baju? Ah bodo amat!

Akan tetapi, apa yang menyambutnya kemudian benar-benar nyaris membuatnya pingsan! VIVIAN MASIH ASYIK BERKUTAT DENGAN HAIRDRYER-NYA!"


6 komentar:

  1. Udah,??? Cuma sampe #10 aja ??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Belum dapat inspirasi buat lanjutin hehe

      Hapus
    2. Masukkan balasan Anda...ayo donk mba dilanjut ceritanya penasaran nih...

      Hapus
  2. Udah,??? Cuma sampe #10 aja ??

    BalasHapus
  3. ini kapan mau diterusin ya ceritanya??? sayang banget kalo ga cerita nya bagua tp endingnya ngegantung begini

    BalasHapus