Catatan harian yang semakin renta dan tua

Selasa, 08 November 2016

[Review] Siwa - Kesatria Wangsa Surya by Amish

Judul Buku: Siwa - Kesatria Wangsa Surya
Penulis: Amish Tripathi
Penerbit: JAVANICA an imprint PT Kaurama Buana Antara
Diterjemahkan dari: The Immortals of Meluha
Copyright: 2008 Amish Tripathi
Versi Bahasa Inggris: Tara Press 2010
Tahun Terbit: 2016
Penerjemah: Desak Nyoman Pusparini
Penyunting: Shalahuddin Gh
Pemindai Aksara: Jenny M Indarto
Penyelaras Bahasa: I Wayan Sariana
Penggambar Sampul: Iman Bucah
Penata Letak: deenand651
Kategori: Novel Sejarah
ISBN: 978-602-6799-15-9

BLURB

Kisah ini terjadi ribuan tahun silam di Lembah Sungai Indus. Orang-orang di kurun itu menyebutnya Meluha. Penduduknya berumur sangat panjang berkat ramuan misterius bernama Somras, yang dicipta dari pohon Sanjiwani dan tirta suci Saraswati. Negeri yang dihuni Wangsa Surya ini menghadapi ancaman hebat ketika sungai utama mereka mengering perlahan-lahan. Mereka pun dirundung serangan para pengacau dari timur: negeri Wangsa Chandra. Keadaan bertambah gawat ketika Wangsa Chandra tampaknya bersekutu dengan kaum Naga, bangsa yang sangat lihai berperang.

Ketika kejahatan merajalela, rakyat Meluha berharap pada sebuah ramalan kuno tentang seorang kesatria yang bakal tiba dan membebaskan mereka dari malapetaka. Dalam keputusasaan, muncul seorang pengungsi liar dari Gunung Kailasha, Tibet. Siwa namanya. Ciri-cirinya persis seperti ramalan. Apakah ia memang kesatria pembebas yang diramalkan? Terseret oleh arus takdirnya, oleh dharma, oleh cinta kepada kekasihnya, Siwa memimpin Wangsa Surya menerjang badai prahara.

Didasarkan pada wiracarita dan sejarah kuno, novel langka ini mengungkap kisah tersembunyi tentang kehidupan Siwa sang Mahadewa.

ULASAN

Di kaki Gunung Kailasha, Tibet hiduplah seorang pemimpin bernama Siwa bersama para rakyatnya. Mereka disebut Suku Guna. Kehidupan mereka tidak bisa dikatakan makmur, bahkan bisa dibilang sangat tidak teratur dan nyaman. Hampir setiap hari mereka digerogoti oleh Suku Pakrati, suku yang ingin merebut wilayah kekuasaan Suku Guna yang berlokasi di pinggir Danau Manasowara. Pertarungan hampir terjadi setiap hari mengingat Suku Pakrati yang sangat berambisi mendapatkan wilayah itu. Di antara orang-orang Suku Guna, Nandi - yang merupakan tamu atau pendatang menawarkan perpindahan dan tempat pengungsian yang dikenal makmur, sejahtera dan karenanya akan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi Siwa dan rakyatnya. Karena sudah tidak bisa lagi membiarkan rakyatnya terus-terusan bertarung untuk hidup yang bahkan tidak ada jaminan akan menjadi lebih baik, akhirnya Siwa menyetujui usul Nandi dan bersama rakyatnya mereka berbondong-bondong ke Meluha.

Pemandangan yang diperoleh Siwa di Meluha adalah negeri ini teramat tertata, rapi, dan seratus kali lipat lebih baik dari tepi danau tempatnya dan rakyatnya selama ini bermusim. Mereka juga menyediakan tempat pengungsian yang sangat megah, serta adalah negeri yang senantiasa menjaga kebersihan. Selain itu, mereka juga menyediakan pengobatan da perawatan awal bagi para pengungsi serta obat-obatan yang membantu membersihkan tubuh para pengungsi yang mungkin saja hampir tak kenal dengan kata mandi. Berbeda dengan rakyatnya yang menderita demam setelah meminum Somras, Siwa justru mengalami perubahan pada tubuhnya. Ibu jari kakinya yang mati rasa kembali berfungsi, bahunya yang bergeser kembali pada tempatnya semula dan lehernya berubah warna menjadi Nila!

Reaksi orang-orang Meluha yang melihat itu, Ayurwati - tabib tersohor yang memberikanperawatan, dan Nandi (bisa disebut sebagai orang pertama yang melihatnya) adalah terpana, terkesima lalu selanjutnya megucap syukur bahkan bersujud untuk Siwa. Mereka menyebut Siwa sebagai Sang Nilakantha, dia yang berleher Nila yang akan membantu orang-orang Wangsa Surya menumpas kejahatan dan keburukan yang menggerogoti mereka. Siwa yang tidak mengerti akhirnya harus meminta penjelasan, dan terbukalah rahasia bahwa di balik megah dan makmurnya masyarakat Meluha, orang-orang Wangsa Surya sedang menghadapi masalah pelik dengan negeri tetangga mereka, orang-orang Wangsa Chandra yang menurut mereka jahat dan tidak beradab, serta harus dimusnahkan. Menurut ramalan, Sang Nilakantha akan datang dan membantu mereka untuk menghadapi peliknya perselisihan yang dihadapi serta memberi kemenangan mutlak kepada orang-orang Wangsa Surya di atas orang-orang Wangsa Chandra.

Keadaan ini memberikan pertanyaan bagi logika Siwa yang tidak percaya ramalan serta beban berat baru di bahunya, yakni kewajiban untuk memberikan kemenangan seperti yang diharapkan orang-orang Wangsa Surya. Tentu saja ia bisa menolak, tapi mengingat kebaikan orang-orang Wangsa Surya, cinta yang tiba-tiba berlabuh tanpa syarat pada Putri Sati, putri Raja Daksha - penguasa Meluha serta harapan yang tumbuh di mata putri cantik yang meski selama hidupnya dikucilkan karena hal yang tidak masuk akal namun tetap mencintai negerinya, dan harapan-harapan yang tumbuh di wajah masyarakat Meluha, dan beberapa pertimbangan lainnya, Siwa akhirnya memaksa logika dan nuraninya untuk percaya akan kejahatan Wangsa Chandra setelah sebelumnya bertarung dengan kaum Naga - yang dikabarkan memang bekerja sama dengan Wangsa Chandra, untuk turut serta memerangi kejahatan yang melanda tanah Meluha.

Novel Siwa adalah salah satu novel yang menyabet gelar International Bestseller dengan penjualan lebih dari 2,5 juta. Sebelum memberikan ulasan tentang novel ini terlebih dulu saya akan menjelaskan siapa itu Siwa. Pengetahuan terbatas saya hanya menyimpan memori bahwa Siwa adalah salah satu Dewa umat Hindu. Menurut Wikipedia, Siwa adalah salah satu trimurti umat Hindu, dewa lainnya adalah Dewa Brahma dan Dewa Wisnu. Berperan sebagai Dewa Pelebur yang bertugas untuk melebur segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak berada di dunia fana lagi sehingga harus dikembalikan ke dunia asalnya. Berpasangan dengan Dewi Sati, Dewi Parwati, Dewi Uma, Dewi Durga dan Dewi Kali, Siwa dikenal dengan nama Jagatpathi, Nilakantha, Parameswara, Rudra, Trinetra. Ia masuk golongan Dewa dengan sejatanya yang terkenal adalah Trisula.

Novel ini dibuka dengan sejarah atau penyebab Sang Nilakantha harus pindah dan akhirnya tiba ke Meluha (tanah Wangsa Surya), bukan ke Ayodhya (tanah Wangsa Chandra). Kegigihan Wangsa Surya yang kaya namun putus asa untuk menemukan Sang Nilakantha akhirnya membuat mereka melakukan berbagai macam cara untuk menemukannya, salah satunya dengan sengaja mencari pengungsi, memberi mereka Somras dan kemudian menunggu apakah akan ada perubahan pada warna lehernya. Awalnya saya masih kurang paham dan agak sulit untuk bisa benar-benar hanyut ke dalam cerita. Kesukaan menonton drama kolosal ternyata kurang mampu mebawa imajinasi saya untuk membayangkan tanah Meluha bahkan karakter Siwa sendiri. Namun demikian, semakin dibaca saya justru semakin penasaran dengan perjalanan Siwa. Tanggung jawab yang diembannya membuat saya terus bertanya-tanya akankah Siwa mampu menjalankannya dengan baik serta mengambil keputusan yang tepat untuk setiap tindakannya.

Selain itu, karena tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang umat Hindu dan kepercayaan mereka, sepanjang membaca novel ini saya selalu beranya-tanya tentang apa sajakah unsur mitologi murni yang ada dalam novel fiksi ini. Saya baru bisa menarik kesimpulannya setelah membaca Wikipedia bahwa novel Siwa karya Amish ini memuat cerita fiksi murni yang berbaur dengan mitologi. Terdapat beberapa hal dalam buku yang kebenarannya menurut mitologi adalah sah dan juga unsur fiksinya tidak terlepas. Kisah ini 'murni fiksi' seperti cerita Percy Jackson yang menggunakan mitologi Yunani.

Ada banyak sekali pengetahuan yang saya dapatkan terkait umat Hindu dari membaca novel ini di antaranya tentang pembagian atau penggolongan umat hindu dari Brahma, Kesatria, Waisya dan Sudra. Pembagian golongan ini ternyata memang didasarkan pada kasta orangtua hanya saja pada masa yang lama, pembagian golongan ini tidak serta merta dilakukan begitu saja dengan melihat dari latar belakang namun dengan ujian sulit yang menilai karakter dan kemampuan setiap orang. Kemdian asal muasal reinkarnasi atau cerita tentang kita yang memiliki kehidupan sebelum kehidupan kita di dunia ini. Kalau tidak salah mengolah informasi, yang saya ketahui adalah bahwa kita yang mati di dunia ini akan lahir kembali sebagai bentuk lain (dalam hal ini bentuk hewan), di dalam novel ini ada penjelasan tentang Wikarma. Orang-orang yang dianggap kotor bahkan hampir tak memiliki kehormatan karena kesalahan atau dosa yang mereka lakukan di kehidupan sebelumnya sehingga mereka dan orang-orang di sekitarnya mnedapatkan kesialan di kehidupan saat ini. Fakta yang melatarbelakangi pemahaman dan kepercayaan ini sedikit banyak membuat saya tercengang. Keinginan yang kuat untuk mengatur dan memberikan tatanan negeri yang baik yang penuh dengan hukum dan penegakannya ternyata adalah apa yang melandasi pemberian hukuman bernama Wikarma.

Seperti yang diceritakan, orang-orang Wangsa Surya adalah mereka yang begitu tertur dan taat. Segala hal dalam hidup mereka diatur oleh negara dan mereka wajib mengikuti aturan itu meskipun hal tersebut terkadang merenggut harga diri dan kehormatan mereka sebagai manusia yang beradab. Tatanan ini membuat saya teringat akan sistem ekonomi sosialis dimana semua harta mutlak adalah milik negara dan pengaturan serta pembagiannya dilakukan secara merata. Tidak ada yang kaya dan yang miskin dari negeri Meluha, yang ada hanyalah semua orang dengan derajat atau kasta berbeda namun mendapat perlakuan hukum yang sama serta wajib menaati aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Sebaliknya, melihat kehidupan Wangsa Chandra yang serba awut-awutan, hampir tidak mengenal aturan,  sedikit banyak merepresentasikan sistem ekonomi kapitalis dan sedikit liberal. Terjadi kesenjangan yang teramat kentara antara si miskin dan si kaya dalam kehidupan sehari-harinya, serta kebebasan dalam berlaku dan berbuat, hampir tidak diatur oleh hukum dan aturan ketat dari negara. Tidak bisa dibilang sama tapi sedikit banyak menyerupai.

Meski baru mulai menikmati alurnya di pertengahan cerita, terus terang saya sangat penasaran dengan buku kedua dari novel ini. Ending-nya masih gantung banget, sepanjang cerita kita hanya disuguhkan oleh perjalanan Siwa dengan orang-orang Meluha, hal ini membuat kita seolah disetir oleh kepercayaan akan kejahatan Wangsa Chandra oleh Wangsa Surya, pikiran kita seolah memang diatur untuk menjadi seperti Wangsa Surya, membanci Wangsa Chandra yang wajahnya hanya orang Wangsa Chandra sendiri yang tahu, kita seolah ikut berperan sebagai pendatang atau pengungsi yang karena orang Wangsa Surya percaya bahwa Wangsa Chandra itu jahat, kita pun berpikir demikian. Meski seperti Siwa, kita juga akan mempertanyakan hukum di Meluha yang terkadang lebih banyak tidak logisnya. Membaca hukum yang berlaku di negeri ini membuat saya jujur saja membuat saya sampai pada pemahaman bahwa Wangsa Surya hanya modern di kulitnya saja, hanya maju dari segi pembangunan dan ekonominya saja, meski mereka cerdas dan memiliki strategi pemerintahan terbaik di masanya, mereka tetaplah pelaku konservatif yang cenderung menolak inovasi dan pemikiran cerdas baru yang lebih logis.

Kehidupan Wangsa Chandra yang sangat jauh berbeda dengan Wangsa Surya yang baru disuguhkan menjelang akhir cerita secara perlahan justru memutar isi kepala saya dan kembali seolah disetir saya justru berbalik bersimpati terhadap tanah Ayodhya dan mempertanyakan kejayaan dan kabajikan yang selalu diagung-agungkan Wangsa Surya di atas segalanya. Kemudian, saya juga mendapatkan tokoh favorit yang ternyata tidak berasal dari Wangsa Surya melainkan Wangsa Chandra. Karakternya yang bebas menurut saya lucu dan terbentuk dari kemanjaannya sebagai putri kerajaan adalah tokoh pertama yang mengundang tawa geli saya sepenuhnya. Putri Raja Dilipa, Anandmayi adalah karakter yang saya sukai dari buku ini. Meski logikanya juga tersesat dalam ramalan kuno, setidaknya ia lebih berpikiran terbuka.

Berbagai ketegangan juga sering tercipta saat membaca buku ini. Banyknya pertempuran yang terjadi membuat saya deg-degan setiap kali ada adegan one on one (meski kurang paham dan kurang bisa menghayati strategi perang Siwa yang amatlah cerdas menurut Parwateshwar). Yang paling bikin deg-degan adalah adegan Sati yang mencoba melindungi Siwa dari panah beracun. Mereka benar-benar pasangan cinta diam-diam yang bikin gemes dan gregetan :D. Dan tentu saja ada banyak sekali kata bijak yang quoteable dalam buku ini. Meski bukan tentang cinta, akan ada banyak pemahaman baru yang kita temukan dalam buku Siwa.

Untuk tahap ini saya beri 3 bintang untuk buku ini dan saya akan menungu untuk seri keduanya yang menurut perkiraan pasti akan lebih seru dari buku pertama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar