Catatan harian yang semakin renta dan tua

Sabtu, 25 Maret 2017

[Ebook Review] The School For Good and Evil: Dunia Tanpa Pangeran By Soman Chainani

Judul Buku: The School For Good and Evil: Dunia Tanpa Pangeran
Penulis: Soman Chainani
Penerbit: HarperCollins Publishers
Tahun Terbit: 2014
Ilustrasi: Iacopo Bruno
Pengalih Bahasa: Kartika Sofyan
Penyunting: Agatha Tristanti
Desain: Yanyan Wijaya
Penerbit di Indonesia: PT. BIP
Tahun Terbit di Indonesia: 2015
ISBN 10: 602-249-949-6
ISBN 13: 978-602-249-949-7
Rating: 4/5

Sophie dan Agatha sudah berhasil pulang ke Gavaldon, menjalani "bahagia selamanya" versi mereka. Namun, hidup tak seperti dongeng yang mereka harapkan.

Agatha diam-diam berharap seandainya ia memilih akhir bahagia yang lain bersama pangerannya. Permohonan rahasia itu membuka kembali pintu menuju Sekolah Kebaikan dan Kejahatan. Tak disangka, dunia yang dulu pernah ia ketahui bersama Sophie ternyata telah berubah.

Penyihir dan putri, tukang tenung dan pangeran, bukan lagi musuh. Ikatan baru telah terbentuk, menghancurkan hubungan lama. Namun di balik hubungan rumit antara Kebaikan dan Kejahatan ini, perang sedang dipersiapkan. Musuh yang sangat berbahaya tersembunyi di balik topeng wajah yang mereka kenal. Saat Agatha dan Sophie berjuang untuk memulihkan kedamaian, sebuah ancaman tak terduga bisa menghancurkan segalanya dan semua orang yang mereka cintai. Kali ini, ancaman itu datang dari dalam diri mereka sendiri....

"Sebuah petualangan dongeng yang menegangkan dan berbahaya."
R.L.STINE., penulis serial laris Goosebumps

****

Sophie dan Agatha berhasil pulang ke Gavaldon dalam keadaan utuh dan sehat. Seluruh penduduk menyambut meriah kebebasan mereka. Sophie dan Agatha seketika menjelma menjadi idola, dimintai tanda tangan di mana-mana bahkan dibuatkan patung. Namun, seperti gosip yang bisa terlupa dengan cepat, kepopuleran Sophie dan Agatha pun menjelma sejarah. Sekuat tenaga Sophie berusaha mengembalikan posisinya dan Agatha ke tempat semula, dimana ia dipuja dan dianggap sebagai pahlawan.

Namun, belum sempat itu terwujud, kabar mengejutkan datang dari Ayahnya. Stefan akan segera menikahi Honora - wanita gempal yang telah merebut Ayahnya bukan hanya darinya tapi juga dari Ibunya.

"Ibu menyayangiku, tidak peduli seberapa lemahnya dirinya setelah melahirkan aku, tidak peduli seberapa sering ia menyaksikan suaminya pergi dan menghilang di balik pintu rumah sahabatnya sendiri - Sophie, hlmn 27"

Kebenciannya pada sang Ayah membuat Sophie marah dan murka, tapi keinginannya untuk tetap menjadi baik dan tidak berubah jadi penyihir botak (lagi) membuat ia menekan kemarahannya dan merelakan perikahan itu. Berusaha tegar, Sophie memasang senyum pada kedua calon adik tirinya bahkan menyambut Agatha dengan wajah riang saat datang ke pesta perikahan Ayahnya. Namun, sebelum janji pernikahan berhasil diucapkan, sebuah kejutan tak terduga tiba-tiba saja terjadi. Sebuah peremohonan tak terencana telah berhasil mengacaukan segalanya. Ratusan anak panah secara tiba-tiba menyerang tempat diadakannya pesta, merobohkan tenda dan mengejar-ngejar Sophie - hendak membunuhnya!

Untuk menyelamatkan diri, Sophie dan Agatha memilih bersembunyi di gereja. Namun hal itu tidak berarti banyak. Sophie hanya akan berakhir terus terkurung disana karena anak-anak panah itu selalu saja menghujaninya tiap kali ia berusaha keluar.

"Siapa pun yang ingin mmebunuhnya rela menunggu selama apa pun - hlmn 40"

Tidak berhasil membunuh Sophie, pembunuh yang entah siapa itu mengubah sasaran. Yang diserang bukan hanya Sophie lagi melainkan seluruh penduduk Gavaldon. Jika mereka tidak menyerahkan Sophie, maka seluruh Gavaldon akan jadi korbannya. Ketakutan yang melanda membuat masyarakat akhirnya menyerahkan urusan Sophie pada para sesepuh. Dengan dalih melindungi, tiga pria tua berjanggut itu ternyata justru ingin menyerahkan Sophie pada Sang Pembunuh.

Agatha, sebagai sahabat yang teramat menyayangi Sophie - bahkan lebih memilihnya dibanding Tedros, pangerannya (Sekolah Kebaikan dan Kejahatan), berusaha keras menyelamatkan Sophie. Pelarian dan penyelamatan mereka pun menuntun mereka kembali ke dunia dongeng, ke Sekolah Kebaikan dan Kejahatan, namun keadaan disana telah berubah. Jika dulu dua sekolah mendidik murid-murid untuk menjadi pangeran dan putri, serta para penyihir, maka kini Sekolah Kebiakan dan Kejahatan telah menjelma menjadi Sekolah Putri dan Sekolah Putra. Akhir bahagia Sophie dan Agatha ternyata telah melukai Tedros begitu dalamnya, membuat ia merasa terbuang dan dendam terhadap perempuan - makhluk yang telah merebut Sang Putri dari pelukannya.

"Kalian membuat para pangeran menjadi tidak penting. Kalian membuat mereka tak terpakai. Dan sekarang kalian membuat mereka mengikuti pemimpin baru demi membalas dendam - Lady Lesso, hlmn 100"

Bagaimana ini? Keinginan Agatha adalah kembaili bertemu dengan Tedros. Tapi kini pangerannya itu justru berbalik  memusuhi kaumnya, kaum perempuan. Bencananya, perubahan ini tak hanya terjadi di antara dua menara sekolah itu tapi juga meluas hingga ke seluruh daratan dunia dongeng. Buku dongeng Sophie dan Agatha benar-benar telah menginspirasi para putri di seluruh jagad demikian dahsyatnya. 

****

Kisah dua sahabat Sophie dan Agatha dibuka kembali. Kata tamat yang dulunya dituliskan Storian terhapus dan berubah menjadi kata bersambung. Ending seri pertama buku ini memang agak terasa aneh tapi buat saya kalau dipandang dari sisi ikatan emosional persahabatan, seharusnya sudah pas. Namun ternyata penulisnya memiliki ide lain untuk tetap mempertahankan eksistensi Sophie dan Agatha.

Akhir kisah Sophie dan Agatha ternyata justru membuka awal baru bagi Tedros dan itu sangat masuk akal. Logika pertalian hidup manusia dimana setiap keputusan yang kita ambil dalam hidup tak hanya mempengaruhi hidup kita tapi juga orang lain berlaku dalam cerita ini. Dan jujur saja untuk buku kedua ini, petualangan Agatha dan Sophie terasa lebih asyik untuk dinikmati.

Sifat ambisius Sophie tentang dirinya sebagai seorang putri memang belum sepenuhnya hilang, tapi Sophie telah menjelma sosok yang benar-benar berbeda. Ikatan persahabatan dan hubungan emosional antara dirinya dan Agatha benar-benar terasa. Bisa dikatakan, dalam buku ini kisahnya lebih menyentuh. Persahabatan Hester, Dot, Anadil dan Agatha juga patut diacungi jempol. Contoh persahabatan yang murni kalau menurut saya, walau terkadang Hester mengeluarkan kalimat sarkastik dan ucapan seolah ia benci Agatha, justru disini ia terasa amat meyayangi putri-yang-mirip-penyihir itu. Sophie juga, walau Agatha adalah satu-satunya orang yang bisa membuatnya baik hampir pasti adalah alasan terbesar ia bertahan mendampingi Agatha, tak dipungkiri ia juga begitu menyayanginya.

Seperti pada buku pertama, alur dalam cerita ini juga twist banget. Tidak tertebak dan banyak memberikan kejutan tak terduga. Walau di awal sikap Tristan terhadap Storian sudah memberikan clue serta membuka wajah Yara lebih cepat, tapi hal ini tetap saja membuat saya kagum dengan kepiawayan penulis mengolah dongeng dan cerita fantasi menegangkan.

Unsur persahabatan adalah hal yang paling melekat dalam buku ini, disusul warna keserakahan kekuasaan bahkan cinta. Kejujuran juga menjadi tumpuan penting dalam membina hubungan baik dengan siapa saja yang ditekankan dalam buku ini. Selain itu, sikap objektif dalam memberikan penilaian, komentar juga cara pandang terhadap sesuatu adalah hal yang sangat dibutuhkan. Sesuatu yang baik boleh jadi tak sebaik kelihatannya dan hal buruk yang ditangkap indra juga bisa saja bahkan lebih baik dari yang kita duga.

Ada beberapa kesalahan penulisan dan juga terjemahan yang bolong dalam buku ini taapi tidak banyak dan sama sekali tidak mengganggu. Kutipan-kutipan menarik juga ada yang saya ambil yakni:

1. Sewaktu kau masih kecil, bagimu sahabat adalah segalanya. Tetapi setelah kau menemukan cinta sejatinya... semua berubah. Persahabatanmu tidak akan pernah sama seperti sebelumnya. Karena tidak peduli seberapa besar usahamu untuk menjaga keduanya, kesetiaanmu hanya akan bisa tertanam pada salah satunya - Tedros, hlmn 396

2. Teman sejati saling membiarkan satu sama lain tumbuh dewasa. Teman sejati tidak menghalang-halangi satu sama lain untuk mencintai. Teman sejati tidak berbohong - Agatha, hlmn 488"

3. Teman yang dibentuk atas kebohongan bukanlah teman - Tedros, hlmn 497

4. Permohonan adalah hal yang sangat kuat jika kau rela melakukan apa pun untuk mewujudkannya - Evelyn Sader, hlmn 502 

2 komentar:

  1. Ceritanya seruuuu. Aku baru tau nih ada buku ini. Udah lama gak main ke toko buku :-/ Aku suka banget dongeng-dongeng begini.

    BalasHapus
  2. Baca deh. seru... saya baru baca dua seri dan sukses penasaran sama seri ketiganya

    BalasHapus