Catatan harian yang semakin renta dan tua

Senin, 28 April 2014

It's Destiny #16


Wenda berjalan menyusuri koridor rumah sakit sambil bersenandung. Ia sedang gembira. Mbak Farrah, istri kakaknya – Mas Wahyu baru saja melahirkan putri pertama mereka. Mengingat ia telah punya keponakan ia jadi senang. Bahkan kegalauannya gara-gara putus dari Nugrah pun jadi sedikit terlupakan. Ia memang masih belum bisa melupakan Nugrah. Ia cinta mati sama cowok itu kalau boleh jujur. Walaupun ia tidak menunjukannya pada siapapun termasuk Fahri – sahabat Nugrah yang akhir-akhir ini jadi sering sekali menemani dan menghiburnya. Mungkin kasihan atau merasa tidak enak karena pada dasarnya Fahrilah yang memperkenalkan Nugrah padanya dan membuatnya jatuh cinta. Jadi, tidak heran jika sejak ia dan Nugrah putus, Fahari terkesan jadi sedikit perhatian padanya.
Ketika hendak berbelok ke arah di mana kamar rawat Mas Farrah berada, matanya tak sengaja menangkap sosok wanita paruh baya yang sepertinya sangat ia kenal.
Itu tante Rima – mamanya Nugrah. Ia memang mengenal tante Rima. Ia pernah beberapa kali main ke rumah Nugrah bersama Fahri. Sayangnya Nugrah tidak pernah berinisiatif memperkenalkan dirinya sebagai pacar pada mamanya. Jadi, sampai saat ini mamanya tidak pernah tahu bahwa sebenarnya ia main ke rumah Nugrah itu buat ngapel. Yah walaupun sama Fahri sih datangnya.
Ngapain tante Rima kesini? Apa tante Rima sakit? Tanyanya dalam hati. Samperin ah, putusnya kemudian setelah beberapa detik menimbang-nimbang apakah tidak masalah ia menghampiri tante Rima saat ini. Dan ia pikir tidak. Ia kan hanya ingin bersopan santun.
Dilangkahkannya kakinya  ke arah tante Rima. Ketika sudah berjarak kurang dari dua meter…
“Tan…” Panggilannya terputus karena tante Rima telah terlebih dahulu masuk ke ruangan salah seorang dokter.
Bibirnya langsung manyun. Sebal. “Tante Rima kebangetan deh ah. Masa jarak udah deket begini gue nggak keliahatan. Seenggaknya nengok bentar kek. Atau tante Rime udah lupa sama gue? Masa sih? Tega banget.” Ucapnya pada dirinya sendiri. “Atau gue tunggu aja, ya. Ah tapi nggak kelihatan aneh emang kalo gue sampe nungguin segala. Kesannya kok pengen banget ketemu, gitu. Nggak usah deh.”
Akan tetapi, ketika hendak beranjak dari depan pintu ruangan sang dokter, telinganya tak sengaja menangkap suara berat seseorang dari dalam.
“Ibu…bisa saya bertanya sesuatu?”
Mendengar pertanyaan itu, Wenda yang memang memiliki tingkat kekepoan yang cukup tinggi tidak jadi pergi. Didekatinya pintu ruangan dan mengintip ke dalam. Pintu itu memang tidak tertutup sempurna. Ada celah sedikit yang membuatnya bisa mengintip ke dalam. Terlihat seorang dokter berjas putih dengan wajah tampan serta tante Rima yang membelakanginya.
Sejenak Wenda berpikir sepertinya wajah dokter itu agak familier.

“Mau bertanya apa?” Tanya tante Rima kemudian.
Dokter itu berdehem sedikit untuk menetralkan tenggorokannya. “Apa benar bahwa Ibu Rima adalah Ibu kandung saya?”
APA???!!! Mata Wenda melotot hebat mendengar pertanyaan dokter itu. Kepalanya berputar-putar mencoba berpikir bahwa ia tidak salah dengar. Dan ya! Ia memang tidak salah dengar! Apa maksudnya?
****
Seperti orang kesetanan Wenda berlari menyusuri koridor rumah sakit dan berhenti di taman. Napasnya naik-turun seperti orang yang baru saja berolahraga habis-habisan. Bagaimana tidak? Ia baru saja berlari heboh seperti banci dikejar kamtib di rumah sakit. Membuat para suster, dokter, pesien maupun pebesuk terheran-heran dibuatnya. Ia seperti seseorang yang sedang lomba atletik.
Dengan napas yang masih memburu didudukkannya dirinya di salah satu bangku taman yanga ada. Tangannya gemetar. Ia ketakutan. Sungguh ia tidak menyangka baru saja mendengar rahasia kelam keluarga orang yang dicintainya. Keluarga Nugrah. Rahasia yang sepertinya ditutup rapat. Rahasia yang entah Nugrah tahu atau tidak. Tante Rima punya anak lain selain Nugrah. Dan dia adalah dokter tampan tadi. Pantas saja wajahnya seperti familier. Karena ia mirip Nugrah. Wajahnya mirip wajah Nugrah.
Diaduknya tasnya dan mencari keberadaan ponselnya. Dihubunginya nomor seseorang.
“Halo?”
“,,,”
“Bang bisa kesini nggak?”
“…”
“Di Rumah Sakit.”
“…”
“Kesini aja duluuuu.”
“…”
“Bawain minum ya aku minta tolong.”
“…”
“Jangan lama!”
Tiga puluh menit kemudian, orang yang dihubungi gadis itu datang. Fahri. Ia datang sambil membawa sebotol air mineral. Disodorkannya minuman tersebut ke arah Wenda yang memang terlihat pucat bersama sedotannya. Ia memang penasaran dengan apa yang membuat gadis ini jadi terlihat super panik seperti ini, tapi sepertinya ia lebih membutuhkan air minum daripada pertanyaan yang sarat akan rasa penasaran darinya. Tanpa ba bi bu, Wenda langsung menyambar minuman itu dan menenggaknya sampai tersisa setengah. Ia bahkan tidak menggunakan sedotan yang ada. Langsung minum dari botol. Fahri yang melihatnya jadi mengernyitkan keningnya bingung. Bukannya Wenda ini tipe cewek feminin yang sangat mengutamakan keanggunan? Kenapa jadi brutal begini?
Setelah minum, perasaannya jadi sedikit lebih baik. Ditariknya dapas dalam dalam kemudian dihembuskannya dengan kuat. Fahri kini sudah duduk di sampingnya sambil menatap aneh ke arah gadis itu. Menunggu ia menceritakannya sendiri karena Wenda memang tipe cewek yang cukup terbuka dan enak diajak bicara.
Beberapa menit berlalu dan gadis itu hanya diam. Tiba-tiba ia memutar tubuhnya ke arah Fahri.
“Bang masa tadi aku….”
Fahri mengangguk menunggu Wenda menlanjutkan cerintanya, tapi gadis itu hanya kembali diam.
“Wen…” Tegur Fahri saat disadarinya Wenda melamun.
“Eh?”
“Kamu tadi….apa?” Tanya Fahri.
“Hmmm…itu….anu…. nggak papa kok Bang.” Jawabnya tergeragap yang ditutup dengan senyum terpaksa. Sebenarnya ia ingin menceritakan apa yang baru saja didengarnya tadi pada cowok di depannya ini. Tapi diurungkannya niatnya tersebut. Ia merasa tidak seharusnya ia menceritakannya pada Fahri sekarang. Ia merasa ada waktu yang lebih tepat selain hari ini. Entah kapan dan mengapa, ia sendiri tidak tahu.
Fahri mengerutkan keningnya tanda tak mengerti.
“Kakak ipar aku baru aja ngelahirin. Anaknya perempuan. Mau nemenin aku liat nggak?” Tawar Wenda kemudian.
Dengan berat Fahri menganggukkan kepalanya tanda setuju. Ada yang tidak beres dengan gadis ini, pikirnya. Pasti ada sesuatu!

2 komentar:

  1. Cerita bloj ini kok ga da lanjutannya semua

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan ga ada tapi lagi dipikirin lanjutannya hehe. Terima kasih sudah mau baca :))

      Hapus