Catatan harian yang semakin renta dan tua

Senin, 20 Januari 2014

Cinta Tak Sempurna #5

“Aku memang selalu yang kedua”
_Bianca Lewis_

“Si CEO”
_Shabrina Ariesta”

*LIMA*
“Halo”? Sapa Bian begitu ia mengangkat panggilan telepon malam itu.
“Halo. Dimana?” Tanya sebuah suara takut-takut.
Bian tersenyum tipis dan menjawab pertanyaan itu. “Di rumah.” Jawabnya singkat.
“Oooooohh…” Suara itu ber-oh panjang.
Hening. Tidak ada lagi suara setelahnya. Bian mengerutkan kening sambil menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap layar ponselnya. Masih tersambung. Diembuskannya napas kuat-kuat dan kembali mendekatkan ponsel itu ke telinganya. Kali ini ia bicara.
“Udah makan?” Tanyanya perhatian. Hal yang memang sudah selalu menjadi kebiasaannya tiap kali bertemu atau berkomunikasi dengan seseorang yang sedang berada di ujung telepon saat ini. Tepatnya gadis yang sedang berada di ujung telepon dengan suara takut-takut ini. Bina. Bina-nya.
“Belum.” Jawab suara itu lesu.
“Kok belum?” Diliriknya jam yang terpasang di dinding kamarnya. Jam sembilan malam. Waktu yang sudah sangat terlambat mengingat Bina memiliki penyakit maag yang bisa dikategorikan akut dan ia belum makan sama sekali.
“Nggak laper.”
“Emang tadi siang kamu makan berapa banyak sampe udah jam segini kamu nggak laper laper juga? Aku aja tadi makan siang dua piring, tapi tadi jam tujuh aku udah laper lagi.” Tanyanya lagi.
 “Kamu….masih marah?” Bina balik bertanya. Takut takut.
“Siapa?”
“Tadi siang itu…aku minta maaf. Aku sama sekali nggak ada maksud buat marah marah sama kamu. Apalagi sampe bikin kamu bête. Padahal tadi kamu ada ujian. Aku minta maaf, ya.” Jelas Bina panjang lebar.
Bian kembali tersenyum. Bina…Bina… gadis itu. Memang selalu seperti ini. Setiap kali mereka bertengkar walaupun hanya karena hal sepele, gadis itu selalu bersikap berlebihan.
“Shabrina..” Panggil Bian.
“Ya?” Jawab gadis itu gugup. Ia hanya satu kali mendengar Bian memanggil nama depannya secara lengkap. Itu pun dua tahun lalu, saat mereka masih sama-sama ada di bangku kelas XI SMA dan Bian salah paham terhadap salah satu teman sekelas Bina. Ia mengira bahwa Bina memiliki hubungan khusus dengan temannya itu yang hampir saja membuat hubungan mereka berantakan. Untung saja Bian bukan tipe cowok tempramen yang akan langsung melampiaskan kemarahannya dengan kekerasan. Ia hanya memanggil nama depan Bina, menatapnya lurus-lurus dengan tatapan yang menurut Bina adalah tatapan tertajam yang pernah Bian tujukan padanya, dan memintanya untuk menjelaskan secara jujur.
“Kamu mau aku anterin gorengan, nggak?” Tanyanya lagi. Namun dengan suara riang, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
“Eh?” Bina jadi tidak nyambung. Tapi seketika ia tersadar maksud pertanyaan Bian. Ia sama sekali tidak mempermasalahkan kejadian tadi siang. “Iya aku mau.” Jawab Bina antusias sambil tersenyum lebar meskipun ia sadar Bian tidak akan bisa melihatnya.
“Oke. Lima belas menit lagi aku nyampe.”
Telepon ditutup. Bergegas Bian menyambar kunci motor serta jaket dan dompetnya dan langsung turun ke bawah. Mencari gorengan untuk Bina. Di seberang sana, Bina tersenyum sambil menarik dan memeluk Si Deedee. Boneka Donald Duck pemberian Bian. Hadiah ulang tahunnya yang ke tujuh belas, tahun lalu.
Bian. Satu nama itu. Satu nama yang selalu menjadi bagian penting dalam hidupnya. Seseorang yang paling mengerti dirinya
****

Pagi pukul 08.30. Bian dan Bina baru saja sampai di depan kantor Brata Putra Group ketika sebuah mobil mewah memasuki pelataran parkir perusahaan. Bina turun dari boncengan motor besar Bian dengan satu kali lompatan. Bian hanya tersenyum melihat tingkah pacarnya yang memang terkadang agak kekanak-kanakkan.
“Yakin nggak harus aku temenin?” Tanya Bian sambil menatap Bina khawatir.
Bina mengangguk mantap sembari tersenyum.
“Beneran nih?” Tanya Bian lagi memastikan.
“Iya. Kamu nggak percaya banget sama aku.” Bina jadi kesal juga jadinya.
“Bukannya nggak percaya, cuma agak nggak yakin aja.” Ucap Bian sambil tersenyum jahil.
PLETAKK!! Sebuah jitakan mendarat di kepala Bian. “Aduh. Kasar banget sih jadi cewek?!” Bian pura-pura protes dengan wajah yang terlihat sekali sedang menahan tawa.
“Biarin. Wee…” Ledek Bina sambil menjurkan lidahnya.
Tanpa mereka sadari, beberapa meter dari di samping mereka, sepasang mata seseorang terus memperhatikan sejak ia turun dari mobilnya. Bara. Bibirnya membentuk senyum mengejek entah apa artinya. Ia kenal siapa cewek itu. Bukan kenal juga sih. Tapi ia tahu. Ia gadis yang kemarin datang untuk melakukan observasi. Sepertinya observasinya belum selesai makanya ia kembali lagi.
            Melihat adegan yang baginya memuakkan itu seketika menimbulkan ide dalam tempurung kepalanya yang menurutnya sangat brilian. Ia tidak percaya cinta. Ia sama sekali tidak ingin kembali merasakannya. Dan melihat adegan dua orang itu yang jelas-jelas sedang saling jatuh cinta benar-benar merusak penglihatannya. Bikin rusuh aja di kantor. Ini tempat orang kerja, bukan tempat orang pacaran.
****
            Dengan langkah yang dibuat serileks mungkin, Bina memasuki area lobby kantor. Pandangannya tertuju ke arah resepsionis yang kemarin juga membantu observasinya. Mbak Gina namanya.
“Permisi Mbak.” Sapa Bina ramah.
“Eh Mbak Shabrina. Masih pagi-pagi sudah kesini.” Jawab Mbak Gina.
“Iya nih Mbak mau ngelanjutin yang kemaren. Sengaja dateng pagi biar cepet selesai. Soalnya Dateline-nya emang cuma seminggu. Jadi harus buru,” Jelas Bina panjang lebar.
“Oh begitu. Ya sudah. Mbak Bina mau bertemu dengan Bapak Indra Setiawan, kan? Nanti akan saya hubungkan ke sekertaris beliau.” Tanya Mbak Gina.
“Oh iya Mbak. Terima…”
Belum selesai Shabrina bicara, sebuah suara sudah memotongnya terlebih dahulu dengan nada memerintah.
“Gina tolong hubungi sekertaris Bapak Fay. Saya mau buat janji!” Perintahnya dengan nada tegas.
“Ah iya Bu.” Jawab Mbak Gina patuh.
Sambil menunggu Mbak Gina bicara di telepon, Bina mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kantor yang dapat dijangkau penglihatannya. Biar saja. Nggak papa diserobot. Lagipula kayaknya perempuan ini orang penting sampai sampai Mbak Gina nurut aja diperintah kayak gitu, pikirnya.
Tanpa disadarinya, Nindy sedang memperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sedang menilai. Ketika Bina menoleh, barulah ia mneyadari pandangan Nindy yang terus terarah padanya.
“Ada apa ya, Bu?” Tanya Bina langsung. Bukan karena kesal, tapi lebih karena khawatir jangan-jangan memang ada yang salah dengan penampilannya atau mungkin ada sisa nasi goreng sarapannya tadi pagi yang menempel di wajah hingga ia diperhatikan sedemikian intensya. Tak disangkanya, Nindy malah memberinya sebentuk senyum yang tidak simetris. Mengejek. Sial!
“Gimana?” Tanyanya dengan gaya angkuhnya kepada Mbak Gina yang kini sudah menyelesaikan panggilan teleponnya.
“Maaf Bu Nindy, saat ini Bapak Fay belum bisa diganggu. Beliau sedang banyak pekerjaan.” Jawab Mbak Gina hati-hati seolah takut perempuan dengan penampilan super modis wanita kerier di depannya ini akan mengamuk.
“Eh nggak mungkin ya, Bara kayak gitu. Lo jangan mengada-ngada.” Tuduh Nindy seenak jidatnya yang memang agak lebar dan sepertinya memang sengaja ditonjolkan itu.
“Maaf Bu. Tapi Pak Fay sendiri yang mengatakan sedang banyak pekerjaan.” Jawab Mbak Gina lagi semakin hati-hati.
Bina hanya diam sambil berdiri memandangi adegan menuduh versus meminta maaf yang berlangsung kurang lebih lima belas menit itu dengan pandangan heran. Aneh banget sih ni orang. Udah jelas-jelas dibilang si Bapak Fay itu lagi sibuk.
            Kesal karena tidak bisa membuat janji dengan Bara akhirnya Nindy memutuskan untuk menghubungi ponsel Bara meskipun sudah jelas-jelas Bara melarangnya menghubunginya lewat ponselnya jika sedang jam kerja.
Sepertinya tidak diangkat karena beberapa menit setelah ia menempelkan ponselnya ke telinganya, ia kembali menekan satu tombol ponsel dan kembali mendekatkan ponsel itu ke telinganya.
“Halo. Lo tega banget sih? Masa gue mau ketemu sama lo nggak bisa?” Semburnya sesaat setelah panggilannya diangkat. Mbak Gina yang hendak mengantar Bina ke ruangan Pak Indra sampai berhenti dan melongo saking tak percayanya dengan apa yang dilakukan Nindy. Menelpon ponsel sang CEO dan langsung marah-marah bahkan belum sampai semenit teleponnya diangkat. Bina pun sama. Bukannya Pak Fay itu atasan dengan jabatan tertinggi disini, ya? Tapi kok?
“Kok lo yang angkat sih? Bara mana?” Tanyanya lagi dengan nada bicara yang semakin menunjukkan kekesalannya. Ternyata yang mengangkat ponsel Bara bukan Bara melainkan Bimo. Nindy memang baru beberapa minggu ini mengenal Bimo, namun mereka sudah sangat akrab satu sama lain dikarenakan Nindy yang suka sok cari perhatian pada siapapun terutama Bara dan orang-orang terdekatnya, juga karena Bimo yang tidak merasa rugi untuk akrab dengan Nindy. Baginya Nindy cukup baik untuk dijadikan sebagai seorang teman. Hanya sifat materialis dan obsesifnya saja yang memang agak menyebalkan.
“…………..”
“Masa masih pagi begini udah rapat aja? Gue mau ketemu. Gue udah kangen.”
GLODAK!! Kangen sama Bapak CEO? Sepertinya hubungan mereka memang bukan hanya hubungan biasa. Sepertinya mereka memang cukup dekat.
“Lagian kenapa juga ponsel Bara bisa ada di lo? Kayak homo aja lo berdua!”
“…………”
“Enak aja. Bara itu cowok normal. Emang elo?” Sembur Nindy tambah ketus.
“Nggak usah ketawa lo! Gue lagi bête nih.” Ucap Nindy lagi sambil berjalan ke luar kantor.
Sepeninggal Nindy, Mbak Gina dan Bina kembali melanjutkan perjalanannya ke ruangan Pak Indra, Manajer Pemasaran perusahaan.
“Ehm…Mbak.” Panggil Bina hati-hati.
“Mau nanya Bu Nindy itu siapa, ya?” Tebak Mbak Gina tepat.
“He…he…” Bina cuma nyengir. Malu. “Abisnya setau saya Pak Fay itu CEO disini. Tapi kok Ibu itu kayaknya ngomongnya nggak sopan banget.”
“Kok kamu tahu kalau Pak Fay itu CEO disini?” Tanya Mbak Gina cukup kaget. “Padahal pelimpahan wewenangnya baru sekitar dua minggu yang lalu lho.”
“Ya gimana nggak tahu, Mbak. Infotainment udah heboh banget gitu ngabarinnya.” Jawab Bina.
“Ya begitulah. Yang saya denga sih Bu Nindy itu calon istrinya Pak Fay. Tapi kata Mas Bimo bukan. Jadi nggak tahu pasti juga. Semua orang di perusahaan juga tahunya begitu.”
“Calon istri? Wah pasti mereka serasi banget ya kalo berdampingan. Yang ceweknya, wanita karier. Yang cowoknya, CEO.” Komentar Bina kagum.
“Sepertinya sih begitu. Oh iya ini ruangannya. Nanti kamu langsung masuk saja dan bicara sama Mbak Vivian, ya. Beliau sekertarisnya Pak Indra.”
“Oh iya. Terima kasih ya Mbak.” Ucap Bina tulus sambil tersenyum.
“Iya sama-sama.”
****
            Akhirnya observasinya selesai juga. Tak seperti perkiraannya, observasi itu tidak semenegangkan apa yang ia pikirkan. Dan leganya sudah selesai bahkan tidak sampai dua hari. Berarti tinggal membuat laporan saja dan menyerahkannya kepada Ibu Merry, dosen mata kuliah Manajemen Strateginya. Ternyata Mbak Vivian dan Bapak Indra adalah orang yang sangat ramah. Tidak seperti orang-orang denga jabatan tinggi pada umumnya yang terkesan sombong dan angkuh. Seperti Bu Nindy misalnya. Pak Indra dan Mbak Vivian juga masih sangat muda. Kira-kira tiga atau empat tahun lebih muda darinya. Dan mereka juga kelihatan sangat dekat. Seperti dua orang yang bersahabat.
            Dengan senyum yang mengembang di wajahnya, Bina keluar dari area kantor sambil menempelkan ponselnya ke telinga kanannya. Menghubungi Bian. Tiga kali dicobanya, tapi tidak diangkat. Ini sudah jam setengah dua belas. Tadi malam Bian bilang ia ada ujian jam sebelas siang ini. Mungkin masih belum selesai. Sebaiknya ia menghubungi siapa, ya? Aha! Bianca saja. Dengan cepat dikontaknya Bianca.
Beberapa detik berselang dan akhirnya teleponnya diangkat.
“Halo?” Salam Bianca.
“Halo Bi. Lagi dimana?” Tanya Bina antusias.
“Lo nelepon cuma buat nanya gue ada dimana? Dengan nada suara seantusias ini?” Tanya Bianca penuh selidik.
“He…he… Enggak sih. Gue cuma mau ngabarin kalo observasi gue udah selesaaaaaaaaaaaaaaiiiiii…..” ceritanya penuh semangat. “Tadinya gue mau ngehubungin Bian tapi nggak diangkat. Kayaknya masih ujian soalnya semalem dia bilang dia ujiannya mulai jam sebelas siang ini. Jadinya gue hubungi elo deh.”
Bianca tersenyum miris. Seharusnya ia sudah bisa menerima kenyataan bahwa sampai kapanpun ia akan selalu menjadi orang yang dinomorduakan dalam hal apapun. Begitu pula bagi Bina. Ia adalah nomor dua. Nomor satu sudah disabet Bian sejak dulu. Sementara bagi Bian, entah bahkan nomor dua itu ada untuknya atau tidak. Ia sendiri tidak yakin.
“Bian semalem ke rumah lo?” Tanya Bianca dengan hati yang sudah siap semakin hancur.
“Iya. He…he… Lo tahu kan kalo kemaren gue sama dia emang agak ribut.” Bianca mengangguk tanpa sadar.
“Nah makanya semalem dia dateng buat baikan. Tapi bukan baikan juga sih tepatnya. Gue duluan yang nelpon dia. Maksudnya pengen minta maaf, tapi ternyata dia nggak mempermasalahkan sama sekali. Bahkan nggak kedengeran marah sedikitpun.” Cerita Bina panjang lebar. Langkah-langkah santai dan cerianya kini sudah terhenti. Saking seriusnya bercerita.
“Ehm… Na. Sorry ya. Gue lagi ngerjain laporan nih. Nanti aja ya telepon lagi.” Ucap Bianca.
“Oh…” Bina seolah baru tersadar bahwa panggilannya mungkin sedikit mengganggu kali ini. “Lo udah selesai juga observasinya?” Tanyanya.
“Iya udah gue rampungin dari kemaren.” Jawab Bianca.
“Oh ya udah kalo gitu. Maaf ya ganggu. Gue nggak tahu.” Ucapnya tulus tidak enak hati.
“Iya nggak papa.”
Setelah memasukkan ponselnya ke dalam tas, Bina kembali melanjutkan langkahnya. Namun tiba-tiba terhenti karena ada sosok tinggi menjulang yang tengah memblokir jalannya.
“HAAAAHH” Jerit Bina kaget dan refleks mundur ke belakang.
“Lo siapa?” Tanya Bna kaget sambil menunjuk orang di depannya. “Ngapain lo blokir jalan gue?” Tuduhnya.
“Harusnya gue yang nanya. Ngapain lo ke arah mobil gue? Ngarep dikasih tumpangan?” Tanya cowok itu.
“Mak….sud lo?” Tanya Bina terbata. Oh Tuhan. Bodoh sekali? Saking antusianya berbicara dengan Bianca sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa saat ini ia berada di area parkir perusahaan dan hampir saja menabrak seseorang beserta mobilnya. Di belakang cowok itu sedang terparkir mobil BMW dengan posisi body kanan mobil menghadap ke arahnya yang artinya ia hampir saja menabrak pintu kemudi mobil.
“Eh sorry…sorry… Gue nggak liat.” Ucap Bina meminta maaf.
“Lo nggak kenal siapa gue?” Tanya cowok itu percaya diri.
“Emang lo siapa sampe gue harus kenal? Sok penting banget.” Jawab Bina.
“Lo emang ada urusan penting sama gue yang sayangnya kata penting itu cuma berlaku buat lo. Kalo buat gue sih…kata penting itu lebih tepat diganti dengan bantuan.”
Bina mengernyitkan dahinya bingung. Percaya diri sekali orang ini.
“Beneran lo nggak kenal gue?”
Dengan ekspresi serius, Bina memperhatikan cowok angkuh dengan tingkat kepedean selangit ini dengan saksama. Sepertinya pernah lihat. Tapi dimana, ya? Dengan daya ingat yang minim Bina mencoba untuk mengingat siapa sosok menjulang pemilik mobil mewah di depannya ini.
            Seketika memorinya berputar. Mengulang segala kejadian yang masih tersimpan dengan fresh di dalam otaknya. Ia pernah lihat orang ini. Tidak salah lagi. Ini adalah orang itu. Si penggempar infotainment itu. CEO baru Brata Putra Group. Bapak Fay Bara Putra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar