“Aku memang selalu yang kedua”
_Bianca Lewis_
“Si CEO”
_Shabrina Ariesta”
*LIMA*
“Halo”?
Sapa Bian begitu ia mengangkat panggilan telepon malam itu.
“Halo.
Dimana?” Tanya sebuah suara takut-takut.
Bian
tersenyum tipis dan menjawab pertanyaan itu. “Di rumah.” Jawabnya singkat.
“Oooooohh…”
Suara itu ber-oh panjang.
Hening.
Tidak ada lagi suara setelahnya. Bian mengerutkan kening sambil menjauhkan
ponsel dari telinganya dan menatap layar ponselnya. Masih tersambung.
Diembuskannya napas kuat-kuat dan kembali mendekatkan ponsel itu ke telinganya.
Kali ini ia bicara.
“Udah
makan?” Tanyanya perhatian. Hal yang memang sudah selalu menjadi kebiasaannya
tiap kali bertemu atau berkomunikasi dengan seseorang yang sedang berada di
ujung telepon saat ini. Tepatnya gadis yang sedang berada di ujung telepon
dengan suara takut-takut ini. Bina. Bina-nya.
“Belum.”
Jawab suara itu lesu.
“Kok
belum?” Diliriknya jam yang terpasang di dinding kamarnya. Jam sembilan malam.
Waktu yang sudah sangat terlambat mengingat Bina memiliki penyakit maag yang bisa dikategorikan akut dan ia
belum makan sama sekali.
“Nggak
laper.”
“Emang
tadi siang kamu makan berapa banyak sampe udah jam segini kamu nggak laper
laper juga? Aku aja tadi makan siang dua piring, tapi tadi jam tujuh aku udah
laper lagi.” Tanyanya lagi.
“Kamu….masih marah?” Bina balik bertanya.
Takut takut.
“Siapa?”
“Tadi
siang itu…aku minta maaf. Aku sama sekali nggak ada maksud buat marah marah
sama kamu. Apalagi sampe bikin kamu bête. Padahal tadi kamu ada ujian. Aku
minta maaf, ya.” Jelas Bina panjang lebar.
Bian
kembali tersenyum. Bina…Bina… gadis itu. Memang selalu seperti ini. Setiap kali
mereka bertengkar walaupun hanya karena hal sepele, gadis itu selalu bersikap
berlebihan.
“Shabrina..”
Panggil Bian.
“Ya?”
Jawab gadis itu gugup. Ia hanya satu kali mendengar Bian memanggil nama
depannya secara lengkap. Itu pun dua tahun lalu, saat mereka masih sama-sama
ada di bangku kelas XI SMA dan Bian salah paham terhadap salah satu teman
sekelas Bina. Ia mengira bahwa Bina memiliki hubungan khusus dengan temannya
itu yang hampir saja membuat hubungan mereka berantakan. Untung saja Bian bukan
tipe cowok tempramen yang akan langsung melampiaskan kemarahannya dengan
kekerasan. Ia hanya memanggil nama depan Bina, menatapnya lurus-lurus dengan
tatapan yang menurut Bina adalah tatapan tertajam yang pernah Bian tujukan
padanya, dan memintanya untuk menjelaskan secara jujur.
“Kamu
mau aku anterin gorengan, nggak?” Tanyanya lagi. Namun dengan suara riang,
seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
“Eh?”
Bina jadi tidak nyambung. Tapi
seketika ia tersadar maksud pertanyaan Bian. Ia sama sekali tidak
mempermasalahkan kejadian tadi siang. “Iya aku mau.” Jawab Bina antusias sambil
tersenyum lebar meskipun ia sadar Bian tidak akan bisa melihatnya.
“Oke.
Lima belas menit lagi aku nyampe.”
Telepon
ditutup. Bergegas Bian menyambar kunci motor serta jaket dan dompetnya dan
langsung turun ke bawah. Mencari gorengan untuk Bina. Di seberang sana, Bina
tersenyum sambil menarik dan memeluk Si Deedee. Boneka Donald Duck pemberian
Bian. Hadiah ulang tahunnya yang ke tujuh belas, tahun lalu.
Bian.
Satu nama itu. Satu nama yang selalu menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Seseorang yang paling mengerti dirinya
****
Pagi
pukul 08.30. Bian dan Bina baru saja sampai di depan kantor Brata Putra Group
ketika sebuah mobil mewah memasuki pelataran parkir perusahaan. Bina turun dari
boncengan motor besar Bian dengan satu kali lompatan. Bian hanya tersenyum
melihat tingkah pacarnya yang memang terkadang agak kekanak-kanakkan.
“Yakin
nggak harus aku temenin?” Tanya Bian sambil menatap Bina khawatir.
Bina
mengangguk mantap sembari tersenyum.
“Beneran
nih?” Tanya Bian lagi memastikan.
“Iya.
Kamu nggak percaya banget sama aku.” Bina jadi kesal juga jadinya.
“Bukannya
nggak percaya, cuma agak nggak yakin aja.” Ucap Bian sambil tersenyum jahil.
PLETAKK!!
Sebuah jitakan mendarat di kepala Bian. “Aduh. Kasar banget sih jadi cewek?!”
Bian pura-pura protes dengan wajah yang terlihat sekali sedang menahan tawa.
“Biarin.
Wee…” Ledek Bina sambil menjurkan lidahnya.
Tanpa
mereka sadari, beberapa meter dari di samping mereka, sepasang mata seseorang
terus memperhatikan sejak ia turun dari mobilnya. Bara. Bibirnya membentuk
senyum mengejek entah apa artinya. Ia kenal siapa cewek itu. Bukan kenal juga
sih. Tapi ia tahu. Ia gadis yang kemarin datang untuk melakukan observasi.
Sepertinya observasinya belum selesai makanya ia kembali lagi.
Melihat adegan yang baginya
memuakkan itu seketika menimbulkan ide dalam tempurung kepalanya yang
menurutnya sangat brilian. Ia tidak percaya cinta. Ia sama sekali tidak ingin
kembali merasakannya. Dan melihat adegan dua orang itu yang jelas-jelas sedang
saling jatuh cinta benar-benar merusak penglihatannya. Bikin rusuh aja di
kantor. Ini tempat orang kerja, bukan tempat orang pacaran.
****
Dengan
langkah yang dibuat serileks mungkin, Bina memasuki area lobby kantor.
Pandangannya tertuju ke arah resepsionis yang kemarin juga membantu
observasinya. Mbak Gina namanya.
“Permisi Mbak.” Sapa Bina ramah.
“Eh Mbak Shabrina. Masih pagi-pagi sudah kesini.” Jawab
Mbak Gina.
“Iya
nih Mbak mau ngelanjutin yang kemaren. Sengaja dateng pagi biar cepet selesai.
Soalnya Dateline-nya emang cuma
seminggu. Jadi harus buru,” Jelas Bina panjang lebar.
“Oh
begitu. Ya sudah. Mbak Bina mau bertemu dengan Bapak Indra Setiawan, kan? Nanti
akan saya hubungkan ke sekertaris beliau.” Tanya Mbak Gina.
“Oh
iya Mbak. Terima…”
Belum
selesai Shabrina bicara, sebuah suara sudah memotongnya terlebih dahulu dengan
nada memerintah.
“Gina
tolong hubungi sekertaris Bapak Fay. Saya mau buat janji!” Perintahnya dengan
nada tegas.
“Ah
iya Bu.” Jawab Mbak Gina patuh.
Sambil
menunggu Mbak Gina bicara di telepon, Bina mengedarkan pandangannya ke seluruh
penjuru kantor yang dapat dijangkau penglihatannya. Biar saja. Nggak papa
diserobot. Lagipula kayaknya perempuan ini orang penting sampai sampai Mbak
Gina nurut aja diperintah kayak gitu, pikirnya.
Tanpa
disadarinya, Nindy sedang memperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Sedang menilai. Ketika Bina menoleh, barulah ia mneyadari pandangan Nindy yang
terus terarah padanya.
“Ada
apa ya, Bu?” Tanya Bina langsung. Bukan karena kesal, tapi lebih karena
khawatir jangan-jangan memang ada yang salah dengan penampilannya atau mungkin
ada sisa nasi goreng sarapannya tadi pagi yang menempel di wajah hingga ia
diperhatikan sedemikian intensya. Tak disangkanya, Nindy malah memberinya
sebentuk senyum yang tidak simetris. Mengejek. Sial!
“Gimana?”
Tanyanya dengan gaya angkuhnya kepada Mbak Gina yang kini sudah menyelesaikan
panggilan teleponnya.
“Maaf
Bu Nindy, saat ini Bapak Fay belum bisa diganggu. Beliau sedang banyak
pekerjaan.” Jawab Mbak Gina hati-hati seolah takut perempuan dengan penampilan
super modis wanita kerier di depannya ini akan mengamuk.
“Eh
nggak mungkin ya, Bara kayak gitu. Lo jangan mengada-ngada.” Tuduh Nindy seenak
jidatnya yang memang agak lebar dan sepertinya memang sengaja ditonjolkan itu.
“Maaf
Bu. Tapi Pak Fay sendiri yang mengatakan sedang banyak pekerjaan.” Jawab Mbak
Gina lagi semakin hati-hati.
Bina
hanya diam sambil berdiri memandangi adegan menuduh versus meminta maaf yang
berlangsung kurang lebih lima belas menit itu dengan pandangan heran. Aneh
banget sih ni orang. Udah jelas-jelas dibilang si Bapak Fay itu lagi sibuk.
Kesal karena tidak bisa membuat
janji dengan Bara akhirnya Nindy memutuskan untuk menghubungi ponsel Bara
meskipun sudah jelas-jelas Bara melarangnya menghubunginya lewat ponselnya jika
sedang jam kerja.
Sepertinya
tidak diangkat karena beberapa menit setelah ia menempelkan ponselnya ke
telinganya, ia kembali menekan satu tombol ponsel dan kembali mendekatkan
ponsel itu ke telinganya.
“Halo.
Lo tega banget sih? Masa gue mau ketemu sama lo nggak bisa?” Semburnya sesaat
setelah panggilannya diangkat. Mbak Gina yang hendak mengantar Bina ke ruangan
Pak Indra sampai berhenti dan melongo saking tak percayanya dengan apa yang
dilakukan Nindy. Menelpon ponsel sang CEO dan langsung marah-marah bahkan belum
sampai semenit teleponnya diangkat. Bina pun sama. Bukannya Pak Fay itu atasan
dengan jabatan tertinggi disini, ya? Tapi kok?
“Kok
lo yang angkat sih? Bara mana?” Tanyanya lagi dengan nada bicara yang semakin
menunjukkan kekesalannya. Ternyata yang mengangkat ponsel Bara bukan Bara
melainkan Bimo. Nindy memang baru beberapa minggu ini mengenal Bimo, namun
mereka sudah sangat akrab satu sama lain dikarenakan Nindy yang suka sok cari
perhatian pada siapapun terutama Bara dan orang-orang terdekatnya, juga karena
Bimo yang tidak merasa rugi untuk akrab dengan Nindy. Baginya Nindy cukup baik
untuk dijadikan sebagai seorang teman. Hanya sifat materialis dan obsesifnya
saja yang memang agak menyebalkan.
“…………..”
“Masa
masih pagi begini udah rapat aja? Gue mau ketemu. Gue udah kangen.”
GLODAK!!
Kangen sama Bapak CEO? Sepertinya hubungan mereka memang bukan hanya hubungan
biasa. Sepertinya mereka memang cukup dekat.
“Lagian
kenapa juga ponsel Bara bisa ada di lo? Kayak homo aja lo berdua!”
“…………”
“Enak
aja. Bara itu cowok normal. Emang elo?” Sembur Nindy tambah ketus.
“Nggak
usah ketawa lo! Gue lagi bête nih.” Ucap Nindy lagi sambil berjalan ke luar
kantor.
Sepeninggal
Nindy, Mbak Gina dan Bina kembali melanjutkan perjalanannya ke ruangan Pak
Indra, Manajer Pemasaran perusahaan.
“Ehm…Mbak.”
Panggil Bina hati-hati.
“Mau
nanya Bu Nindy itu siapa, ya?” Tebak Mbak Gina tepat.
“He…he…”
Bina cuma nyengir. Malu. “Abisnya setau saya Pak Fay itu CEO disini. Tapi kok
Ibu itu kayaknya ngomongnya nggak sopan banget.”
“Kok
kamu tahu kalau Pak Fay itu CEO disini?” Tanya Mbak Gina cukup kaget. “Padahal
pelimpahan wewenangnya baru sekitar dua minggu yang lalu lho.”
“Ya
gimana nggak tahu, Mbak. Infotainment udah
heboh banget gitu ngabarinnya.” Jawab Bina.
“Ya
begitulah. Yang saya denga sih Bu Nindy itu calon istrinya Pak Fay. Tapi kata
Mas Bimo bukan. Jadi nggak tahu pasti juga. Semua orang di perusahaan juga
tahunya begitu.”
“Calon
istri? Wah pasti mereka serasi banget ya kalo berdampingan. Yang ceweknya,
wanita karier. Yang cowoknya, CEO.” Komentar Bina kagum.
“Sepertinya
sih begitu. Oh iya ini ruangannya. Nanti kamu langsung masuk saja dan bicara
sama Mbak Vivian, ya. Beliau sekertarisnya Pak Indra.”
“Oh
iya. Terima kasih ya Mbak.” Ucap Bina tulus sambil tersenyum.
“Iya
sama-sama.”
****
Akhirnya observasinya selesai juga.
Tak seperti perkiraannya, observasi itu tidak semenegangkan apa yang ia
pikirkan. Dan leganya sudah selesai bahkan tidak sampai dua hari. Berarti
tinggal membuat laporan saja dan menyerahkannya kepada Ibu Merry, dosen mata
kuliah Manajemen Strateginya. Ternyata Mbak Vivian dan Bapak Indra adalah orang
yang sangat ramah. Tidak seperti orang-orang denga jabatan tinggi pada umumnya
yang terkesan sombong dan angkuh. Seperti Bu Nindy misalnya. Pak Indra dan Mbak
Vivian juga masih sangat muda. Kira-kira tiga atau empat tahun lebih muda
darinya. Dan mereka juga kelihatan sangat dekat. Seperti dua orang yang
bersahabat.
Dengan senyum yang mengembang di
wajahnya, Bina keluar dari area kantor sambil menempelkan ponselnya ke telinga
kanannya. Menghubungi Bian. Tiga kali dicobanya, tapi tidak diangkat. Ini sudah
jam setengah dua belas. Tadi malam Bian bilang ia ada ujian jam sebelas siang
ini. Mungkin masih belum selesai. Sebaiknya ia menghubungi siapa, ya? Aha!
Bianca saja. Dengan cepat dikontaknya Bianca.
Beberapa
detik berselang dan akhirnya teleponnya diangkat.
“Halo?”
Salam Bianca.
“Halo
Bi. Lagi dimana?” Tanya Bina antusias.
“Lo
nelepon cuma buat nanya gue ada dimana? Dengan nada suara seantusias ini?”
Tanya Bianca penuh selidik.
“He…he…
Enggak sih. Gue cuma mau ngabarin kalo observasi gue udah
selesaaaaaaaaaaaaaaiiiiii…..” ceritanya penuh semangat. “Tadinya gue mau
ngehubungin Bian tapi nggak diangkat. Kayaknya masih ujian soalnya semalem dia
bilang dia ujiannya mulai jam sebelas siang ini. Jadinya gue hubungi elo deh.”
Bianca
tersenyum miris. Seharusnya ia sudah bisa menerima kenyataan bahwa sampai
kapanpun ia akan selalu menjadi orang yang dinomorduakan dalam hal apapun.
Begitu pula bagi Bina. Ia adalah nomor dua. Nomor satu sudah disabet Bian sejak
dulu. Sementara bagi Bian, entah bahkan nomor dua itu ada untuknya atau tidak.
Ia sendiri tidak yakin.
“Bian
semalem ke rumah lo?” Tanya Bianca dengan hati yang sudah siap semakin hancur.
“Iya.
He…he… Lo tahu kan kalo kemaren gue sama dia emang agak ribut.” Bianca mengangguk
tanpa sadar.
“Nah
makanya semalem dia dateng buat baikan. Tapi bukan baikan juga sih tepatnya.
Gue duluan yang nelpon dia. Maksudnya pengen minta maaf, tapi ternyata dia
nggak mempermasalahkan sama sekali. Bahkan nggak kedengeran marah sedikitpun.” Cerita
Bina panjang lebar. Langkah-langkah santai dan cerianya kini sudah terhenti.
Saking seriusnya bercerita.
“Ehm…
Na. Sorry ya. Gue lagi ngerjain laporan nih. Nanti aja ya telepon lagi.” Ucap
Bianca.
“Oh…”
Bina seolah baru tersadar bahwa panggilannya mungkin sedikit mengganggu kali
ini. “Lo udah selesai juga observasinya?” Tanyanya.
“Iya
udah gue rampungin dari kemaren.” Jawab Bianca.
“Oh
ya udah kalo gitu. Maaf ya ganggu. Gue nggak tahu.” Ucapnya tulus tidak enak
hati.
“Iya
nggak papa.”
Setelah
memasukkan ponselnya ke dalam tas, Bina kembali melanjutkan langkahnya. Namun
tiba-tiba terhenti karena ada sosok tinggi menjulang yang tengah memblokir
jalannya.
“HAAAAHH”
Jerit Bina kaget dan refleks mundur ke belakang.
“Lo
siapa?” Tanya Bna kaget sambil menunjuk orang di depannya. “Ngapain lo blokir
jalan gue?” Tuduhnya.
“Harusnya
gue yang nanya. Ngapain lo ke arah mobil gue? Ngarep dikasih tumpangan?” Tanya
cowok itu.
“Mak….sud
lo?” Tanya Bina terbata. Oh Tuhan. Bodoh sekali? Saking antusianya berbicara
dengan Bianca sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa saat ini ia berada di area
parkir perusahaan dan hampir saja menabrak seseorang beserta mobilnya. Di
belakang cowok itu sedang terparkir mobil BMW dengan posisi body kanan mobil menghadap ke arahnya
yang artinya ia hampir saja menabrak pintu kemudi mobil.
“Eh
sorry…sorry… Gue nggak liat.” Ucap Bina meminta maaf.
“Lo
nggak kenal siapa gue?” Tanya cowok itu percaya diri.
“Emang
lo siapa sampe gue harus kenal? Sok penting banget.” Jawab Bina.
“Lo
emang ada urusan penting sama gue yang sayangnya kata penting itu cuma berlaku
buat lo. Kalo buat gue sih…kata penting itu lebih tepat diganti dengan
bantuan.”
Bina
mengernyitkan dahinya bingung. Percaya diri sekali orang ini.
“Beneran
lo nggak kenal gue?”
Dengan
ekspresi serius, Bina memperhatikan cowok angkuh dengan tingkat kepedean
selangit ini dengan saksama. Sepertinya pernah lihat. Tapi dimana, ya? Dengan
daya ingat yang minim Bina mencoba untuk mengingat siapa sosok menjulang
pemilik mobil mewah di depannya ini.
Seketika memorinya berputar.
Mengulang segala kejadian yang masih tersimpan dengan fresh di dalam otaknya. Ia pernah lihat orang ini. Tidak salah
lagi. Ini adalah orang itu. Si penggempar infotainment
itu. CEO baru Brata Putra Group. Bapak Fay Bara Putra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar