Bara
membanting tubuhnya di atas sofa ruang tamu apartemen Bimo. Bimo langsung
menuju dapur dan membuat dua cangkir kopi untuk mereka berdua. Diletakkannya
satu cangkir di meja depan Bara dan cangkir lainnya di depannya. Dilihatnya
Bara menarik napas dengan keras.
“Udah berapa lama dia tinggal disini?” Tanya Bara sambil
menerawang.
“Sekitar dua tahun.” Jawab Bimo singkat. Sebenarnya ia
juga sedikit merasa bersalah terhadap Bara. Seharusnya ia tidak membiarkan
sahabatnya ini kesini. Seharusnya ia mencegahnya sejak tadi.
Bara terdiam. Tidak menanggapi maupun kembali bertanya
kepada Bimo. Pikirannya masih melayang ke kejadian tadi. Tadi itu Vian. Vivian
Laisa. Mantan pacarnya saat ia masih duduk di bangku kelas XII SMA.
Satu-satunya perempuan yang pernah singgah dan menetap lama di hatinya. Bahkan
sampai saat ini, ia yakin Vian masih memiliki suatu tempat khusus di sudut
hatinya. Satu tempat yang tidak akan pernah bisa dijangkau oleh perempuan lain.
Ia kira ia sudah melupakannya. Ia kira Vian sudah menjadi salah satu bagian
dalam kepingan kenangannya. Ternyata tidak semudah itu meskipun sudah empat
tahun berlalu, Vian masih memiliki tempat dalam salah satu kotak harapan dalam
hidupnya.
Bimo
hanya diam. Menyesap kopinya sedikit demi sedikit. Pikirannya melayang pada
Bianca. Gadis yang selama ini dicintainya. Gadis yang selama ini hanya mampu
ditatapnya dari kejauhan. Gadis yang datang dalam kehidupannya kemudian pergi
dengan membawa satu-satunya hati yang ia miliki. Meninggalkan luka di dirinya
saat ia mengetahui bahwa selama ini ia tidak pernah memiliki sedikit saja
tempat di hati maupun di kehidupan Bianca. Ia sama seperti Nindy. Hanya
figuran. Sepertinya ia bisa sedikit mengerti bagaimana perasaan Nindy oleh
karenanya ia tak pernah menolak jika Bara meminta tolong terhadapnya untuk
membawa gadis obsesif itu sejenak menjauh dari hidupnya. Ia tidak tahu kapan
Bianca akan mengembalikannya. Ia sama sekali tidak punya ide. Ia juga tak mau
menebak dan mengira-ngira. Ia takut, tebakannya nanti akan jatuh pada hal yang
lebih meyakiti dirinya. Pun jika hati yang telah dibawa pergi itu kembali,
entah masih akan utuh seperti semula atau tidak dan layak untuk diberikan pada
cinta yang lain.
Ia sudah pernah mengungkapkan perasaannya pada gadis itu,
tapi dengan halus gadis itu menolak dengan alasan ia mencintai laki-laki lain.
Mungkin Bianca tidak tahu, tapi alasan yang mendasari dibalik penolakan
terhadap perasaannya benar-benar telah mematahkan hatinya dan membuatnya jatuh
berkeping-keping. Berantakan. Gadis itu tidak ‘memungutnya’. Ia tidak mengambil
hati yang berserakan itu. Ia juga tidak pernah membawanya dengan sengaja.
Hatinya yang mengikutinya dengan sukarela. Hatinya sendiri yang memilih untuk
menetap di samping Bianca tanpa gadis itu mengetahuinya. Kenapa harus laki-laki
itu yang dicintai Bianca?
“Eh lo kok bisa kenal sama Bina?” Tanya Bara tiba-tiba.
“Eh?” Bimo tersentak dari lamunannya.
“Bina…. Kok lo bisa kenal sama dia?” Bara mengulang
kembali pertanyaannya.
“Ngapain lo nanyain Bina?” Bimo malah balik bertanya.
Heran. Ngapain ni bocah nanyain Bina? Biasanya juga kerjaannya nanyain saham
mulu.
“Emang nggak boleh? Trus si Bian itu siapa? Yang tadi lo
tanyain sama Bina di mobil.” Bara kembali bertanya. Kali ini pertanyaannya
sudah menyangkut Bian. Sebenarnya ia sudah bisa menebak siapa Bian itu. Bisa
jadi yang disebut Bian itu adalah laki-laki yang tadi mengantar Bina ke kantor.
Ia memang melihatnya tadi pagi.
“Boleh aja sih. Cuman si Bina itu punya orang!” Jawab Bara
sambil mengambil bungus rokok yang tergeletak di atas meja dan mengeluarkannya
kemudian menghisapnya dengan terlatih.
“Punya orang. Emang barang?!” Komentar Bara jadi sedikit
jengkel. Kenapa nggak langsung dijawab ke point
aja sih. Pake bertele-tele segala.
“Ya itu. Bina itu punya Bian. Bian itu punya Bina.” Jawab
Bimo santai. Ia yakin Bara mengerti apa maksudnya.
Bara mengangguk. “Udah berapa lama emang?” Tanyanya.
“Kepo banget sih lo sama urusan orang. Buat apa coba lo
nanyain itu.”
“Jawab aja kenapa sih? Susah amat tinggal ngomong doang.”
“Empat tahun!.” Bara membulatkan matanya mendengar
jawaban Bimo. Gila! Lama juga, ya. Gue nggak bakal punya kesempatan dong.
Batinnya. Sebenarnya ia juga bingung kesempatan apa yang ia maksud sendiri
disini. Yang pasti ia ingin Bina. Tidak tahu apa yang ia inginkan dari gadis
itu. Ia sendiri juga bingung.
“Lo naksir?” Tanya Bimo.
“Nggak!” Jawab Bara cepat.
“Trus?”
“Gue juga nggak tahu.” Bara mengedikkan bahunya. Bukan
karena tidak tahu, tapi lebih karena ia tak perduli apa alasan yang membuatnya
menginginkan Bina. Cinta? Jelas saja tidak. Cintanya sudah mati sejak empat
tahun yang lalu. Sejak Vian memutuskan untuk meninggalkannya entah karena
alasan apa. Jadi jelas tidak mungkin ia naksir
Bina. Ah.. masa bodohlah. Ia tidak mau pusing.
“Gue saranin lo jangan cari masalah. Bian bukan orang
sembarangan!” Nasehat Bimo. Ia sangat megenal Bian. Meskipun dari luar
laki-laki itu tampak kalem, tapi di dalamnya ia adalah orang yang sangat
berbeda. Bina mungkin saja tidak tahu. Bianca juga. Tapi ia tahu. Sangat tahu
kesaharian Bian sampai ke titik-titik terkecil kehidupan laki-laki itu. Tidak
banyak yang tahu memang. Hanya segelintir orang saja. Itupun mereka masuk dalam
kategori yang tidak dikenal oleh kedua gadis itu.
“Kita liat aja nanti. Kalau emang diperluin, mau gimana
lagi?” Komentar Bara sambil mengikuti kegiatan Bimo yang sejak tadi merokok.
Diambilnya kotak rokok, mengeluarkan sebatang dan menyalakannya. Bimo
menatapnya tajam.
“Tenang aja. Gue tahu mana yang boleh gue lakuin, dan
mana yang enggak. Emang gue elo sampe punya sarang tersembunyi kayak gini? Gue
bukan banci yang suka lari dari kenyataan.” Bimo mengerutkan keningya bingung. “Nggak
mungkin elo sampe punya tempat ngumpet kayak
gini kalo nggak ada yang mau lo hindarin.” Lanjut Bara sambil balas menatap Bimo dan tersenyum penuh
arti.
”Sialan lo!” Maki Bimo kesal namun juga geli. Ternyata
sohibnya ini sudah tahu masalah hatinya. Ternyata tetap tidak mudah
menyembunyikan sesuatu dari ‘paranormal’ berdasi di depannya ini.
****
Bian
baru saja keluar dari komplek perumahan Bina. Dipacunya motornya dengan
kecepatan di atas normal. Ia ingin segera mencapai tempat tujuannya. Ada
‘arena’ yang harus ia selesaikan.
Kurang dari tiga puluh menit, kendaraan roda dua berbadan
besar itu sampai ke destinasinya. Salah satu arena balap liar yang
terkenal di Jakarta. Dihentikannya motornya di samping salah satu motor yang
juga terparkir disana. Pengendara motor putih yang juga berbadan besar itu
menghampiri pengemudi yang baru saja tiba itu.
“Lama banget sih lo!!?” Tegurnya ketika sampai di depan
Bian.
Bian mengeluarkan kotak rokok yang terselip di saku
jaketnya. Kotak rokok yang tidak pernah bisa disentuhnya jika ia tidak
bertandang ke tempat ini. Sebenarnya ia sudah berhenti merokok sejak lama.
Sejak ia menjalin hubungan dengan Bina, ia selalu berusaha untuk menjaga image-nya agar tidak terlihat buruk di
mata kekasihnya itu. Dan untungnya, Bina tidak pernah tahu bahkan sudah empat
tahun berlalu. Akan tetapi, ada saat-saat dimana ia juga merasa butuh untuk
sedikit menenangkan pikiran maupun mencari kesenangan sendiri dengan dunianya.
Dan hal yang tersisa dari sekian banyak masa lalu yang sedang berusaha ia
tinggalkan adalah rokok dan balap liar yang hampir selalu ia lakukan setiap malam.
Ia juga tidak mengerti mengapa ia begitu sulit meninggalkan hobi sekaligus
kebiasaan buruknya ini.
Diserahkannya
bungkus rokok itu pada Richie – sahabat karibnya. Richie menerimanya namun
tidak segera membukanya.
“Gimana Bina?” Tanya Richie sambil memperhatikan arena
balap. Balapan yang seharusnya diikuti Bian itu sudah dimulai. Salah satu
kerugian bagi geng mereka mengingat Bian begitu banyak menyumbang kemenangan
dan uang traktiran untuk makan-makan. Bian memang anak orang kaya, tapi ia
tidak mau membuang-buang uang orang tuanya untuk hura-hura.
“Ada. Udah di rumah.” Jawab Bian singkat. Richie
mengangguk. “Oke. Race selanjutnya lo
ikut kan?” Tanyanya sambil menepuk bahu Bian dan beranjak dari situ. Bian tidak
menjawab. Sambil menunggu race kedua
itu selesai, Bian bertanya-tanya dalam hati. Siapa laki-laki yang mengantar
Bina pulang tadi? Tidak mungkin Bina mengkhianatinya. Berbohong dan segala hal
yang sejenis dengan hal itu sama sekali buka tabiat Bina. Ia sangat mengenal
gadis itu. Yang pasti ia melihat Bimo tadi. Ia tahu Bimo adalah salah satu
seniornya di Akuntansi. Senior yang seharusnya sudah diwisuda tapi masih saja
tetap betah bercokol di kampus. Ia juga sekelas dengan Bina dalam beberapa mata
kuliah. Tapi ia tidak tahu bahwa mereka sedekat itu sampai harus pulang
bersama. Lalu laki-laki itu? Siapa dia? Laki-laki dengan tampilan kemeja dan
dasi. Kelihatan keren. Ia sama sekali tidak ada apa-apanya jika dibandingkan
dengan laki-laki itu. Laki-laki itu terlihat mapan dan lebih bisa diharapkan. Untuk
Bimo, ia sama sekali tidak merasa tersaingi. Bimo bukan orang yang pantas untuk
dibandingkan dengan dirinya. Ia merasa ia lebih baik daripada Bimo. Mesipun
pendapat itu terdengar terlalu percaya diri, ia tetap merasa lebih baik
kemana-mana dibanding Bimo walaupun tidak ada standar yang dijadikan sebagai
patokan siapa yang lebih baik dan siapa yang tidak.
Rasa
takut tiba-tiba saja menyergap dirinya. Ia takut kehilangan Bina. Ia takut Bina
berbalik dan berpaling. Ia takut Bina kehilangan ‘rasa’ terhadapnya. Ia takut
dengan keberadaan laki-laki entah siapa namanya itu.
****
Bina
baru saja hendak tidur ketika ponselnya mengeluarkan ringtone panggilan masuk khusus dari Bian. Dengan mata mengantuk
diangkatnya panggilan telepon itu.
“Halo? HOAAAAMM…” Sapanya sambil menguap. Ia baru saja
menyelesaikan laporan observasinya. Ia sangat mengantuk, jadi ia tidak perduli
jika Bian mendengar ia menguap heboh seperti itu. Lagipula ini Bian, bukan
orang lain. Jadi, untuk apa terlalu menjaga image?
Baginya, kita tidak perlu ragu untuk menjadi sosok yang apa adanya di depan
pacar sendiri. Ngapain harus ditutup-tutupin? Bukannya lebih baik kalau pacar
kita tahu kelebihan maupun kekurangan kita? Jadi kita bisa tahu sejauh mana dia
bisa menerima kita sebagaimana adanya kita.
“Ngantuk?” Tanya Bian lembut.
“Iyaaaa…” Jawab Bina memelas. Sebenarnya sih maksudnya
supaya Bian menyudahi saja acara teleponnya.
“Maaf ya aku ganggu kamu malem-malem, tapi aku lagi
pengen denger suara kamu.”
Bina mengerutkan keningnya bingung. Kok Bian kayak jadi
berubah gini, ya? Kemaren kadar perhatiannya nambah. Sekarang malah kadar
manjanya yang awalnya nol besar. Plus gombalnya
juga.
“Na…? Kamu udah tidur?” Tanya Bian. Sepertinya Bina sudah
cukup lama mendiamkan Bian.
“Nggak kok. Aku masih disini.”
“Aku harap kamu bakal selalu ‘disini’, ya. Jangan
tinggalin aku.” Bina kembali mengerut heran. Kok Bian jadi kedengeran kayak
orang yang lagi memohon gini?
“Kamu baik-baik aja kan Bi? Nggak kenapa-kenapa? Kamu
nggak abis kejedot, kan?” Bina memberondong Bian dengan pertanyaan. Aneh juga
kalo Bian udah kayak gini.
“Iya.” Jawab Bian singkat.
“Iya apanya? Kamu jawab pertanyaan yang mana?”
Bian tertawa pelan. Pacarnya ini memang masih polos. Dan
kadang-kadang polosnya juga keterlaluan. “Iya aku abis kejedot.” Jelasnya.
“HAH? Kejedot apa? Dimana? Bukan tiang listrik, kan?
Benjol nggak kepalanya?” Tanya Bina panik.
“Bukan di tiang listrik, sih. Tapi kepala aku bocor.”
Jawab Bian santai.
“BOCOR?!!! Bocor gimana maksud kamu? Kamu jangan bikin
aku khawatir dong Bi….” Bina panik bukan main. Apa maksudnya bocor? Kayak ban
gitu?
“Ya gitu.” Bian kembali menjawab. Dengan nada yang tetap
santai namun membuat Bina semakin panik dibuatnya. Ini sudah hampir dua jam pagi
dan Bian tiba-tiba saja meneleponnya, mengabarkan bahwa kepalanya bocor.
“Gitu apanya??” Desak Bina tak sabar.
“Maaf ya kalo aku bikin kamu khawatir.” Bian terdengar
menyesal.
“Kamu jangan minta maaf deh. Sebenernya kamu kenapa?”
Tanya Bina hampir menangis.
“Aku kecelakaan tadi. Motor aku keserempet motor lain.” Jawab
Bian.
Bina shock. KECELAKAAN? BIAN KECELAKAAN?! “Keserempet
gimana? Dimana? Kok bisa? Kamu bawa motornya nggak pelan-pelan?” Kali ini
pertanyaan Bina diiringi tangis tertahan. Sama sekali tidak terpikir olehnya
bahwa waktu kecelakaan Bian sedikit tidak masuk akal. Bagaimana bisa laki-laki
itu kecelakaan di jam seperti ini? Kecuali jika ia jalan-jalan dulu setelah
pulang dari rumah Bina tadi.
“Aduh sayang jangan nagis dong. Aku minta maaf. Tapi kamu
jangan nagis. Maaf aku nggak hati-hati. Jangan nangis, ya…” Bujuk Bian. Ia jadi
panik mendengar tangisan Bina. Bagaimana tidak? Ini sudah hampir pagi dan ia
malah membuat gadis di seberang telepon sana itu menangis.
“Kok kamu bisa kecelakaan?” Tanya Bina lagi masih sambil
menangis.
“Aku cuman nggak hati-hati tadi. Kamu jangan nagis dong.
Ya?” Bujuk Bian lagi.
“Aku mau ketemu!” Pinta Bina.
“Iya. Tapi besok, ya. Aku jemput besok.”
“Nggak mau. Kamu istirahat aja di rumah. Aku nggak mau kamu
jemput. Nanti aku yang ke rumah.” Tolak Bina mentah-mentah.
“Ya udah. Gimananya kamu aja. Sekarang kamu bobo aja ya.
Udah malem.” Bujuk Bian lagi. Kali ini agar Bina tidak lagi menangis. Ia
benar-benar tidak bisa mendengar gadisnya itu menangis. Apalagi penyebabnya
adalah karena dirinya. Bina memang tergolong perempuan yang sangat mudah
mengeluarkan air mata. Makanya, Bian tidak pernah bisa marah pada gadis itu.
“Nggak mau.” Tolak Bina lagi sambil menggeleng kuat-kuat
seolah Bian bisa melihatnya.
“Nggak. Kamu bobo aja. Nanti aku nyanyiin, ya?” Bujuk
Bian lagi.
“Nggak mau. Kamu istirahat aja. Kamu lagi sakit.” Tolak
Bina lagi.
“Tapi kamu bobo ya.” Bian kembali berusaha membujuk.
“Ya udah. Met bobo aja. Besok aku ke rumah kamu.” Bina
mengangguk dan menuruti perintah Bian. Direbahkannya tubuhnya di atas kasur dan
menarik selimut sampai ke dagunya.
“Iya. Met bobo juga.” Bian tersenyum puas. Dimatikannya
sambungan telepon dan meletakkannya di atas nakas samping tempat tidurnya.
Tidak sia-sia pengorbanannya. Sebenarnya kecelakaan yang ia maksudkan tadi
bukan kecelakaan murni. Itu adalah kecelakaan yang disengaja. Saat balapan
tadi, ia sengaja menabrakkan motornya dan berharap dengan begitu Bina tidak
meninggalkannya. Alasan yang aneh tapi ia tidak perduli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar