Catatan harian yang semakin renta dan tua

Senin, 27 Januari 2014

Cinta Tak Sempurna #8



            Bara membanting tubuhnya di atas sofa ruang tamu apartemen Bimo. Bimo langsung menuju dapur dan membuat dua cangkir kopi untuk mereka berdua. Diletakkannya satu cangkir di meja depan Bara dan cangkir lainnya di depannya. Dilihatnya Bara menarik napas dengan keras.

“Udah berapa lama dia tinggal disini?” Tanya Bara sambil menerawang.

“Sekitar dua tahun.” Jawab Bimo singkat. Sebenarnya ia juga sedikit merasa bersalah terhadap Bara. Seharusnya ia tidak membiarkan sahabatnya ini kesini. Seharusnya ia mencegahnya sejak tadi.

Bara terdiam. Tidak menanggapi maupun kembali bertanya kepada Bimo. Pikirannya masih melayang ke kejadian tadi. Tadi itu Vian. Vivian Laisa. Mantan pacarnya saat ia masih duduk di bangku kelas XII SMA. Satu-satunya perempuan yang pernah singgah dan menetap lama di hatinya. Bahkan sampai saat ini, ia yakin Vian masih memiliki suatu tempat khusus di sudut hatinya. Satu tempat yang tidak akan pernah bisa dijangkau oleh perempuan lain. Ia kira ia sudah melupakannya. Ia kira Vian sudah menjadi salah satu bagian dalam kepingan kenangannya. Ternyata tidak semudah itu meskipun sudah empat tahun berlalu, Vian masih memiliki tempat dalam salah satu kotak harapan dalam hidupnya.

            Bimo hanya diam. Menyesap kopinya sedikit demi sedikit. Pikirannya melayang pada Bianca. Gadis yang selama ini dicintainya. Gadis yang selama ini hanya mampu ditatapnya dari kejauhan. Gadis yang datang dalam kehidupannya kemudian pergi dengan membawa satu-satunya hati yang ia miliki. Meninggalkan luka di dirinya saat ia mengetahui bahwa selama ini ia tidak pernah memiliki sedikit saja tempat di hati maupun di kehidupan Bianca. Ia sama seperti Nindy. Hanya figuran. Sepertinya ia bisa sedikit mengerti bagaimana perasaan Nindy oleh karenanya ia tak pernah menolak jika Bara meminta tolong terhadapnya untuk membawa gadis obsesif itu sejenak menjauh dari hidupnya. Ia tidak tahu kapan Bianca akan mengembalikannya. Ia sama sekali tidak punya ide. Ia juga tak mau menebak dan mengira-ngira. Ia takut, tebakannya nanti akan jatuh pada hal yang lebih meyakiti dirinya. Pun jika hati yang telah dibawa pergi itu kembali, entah masih akan utuh seperti semula atau tidak dan layak untuk diberikan pada cinta yang lain.


Ia sudah pernah mengungkapkan perasaannya pada gadis itu, tapi dengan halus gadis itu menolak dengan alasan ia mencintai laki-laki lain. Mungkin Bianca tidak tahu, tapi alasan yang mendasari dibalik penolakan terhadap perasaannya benar-benar telah mematahkan hatinya dan membuatnya jatuh berkeping-keping. Berantakan. Gadis itu tidak ‘memungutnya’. Ia tidak mengambil hati yang berserakan itu. Ia juga tidak pernah membawanya dengan sengaja. Hatinya yang mengikutinya dengan sukarela. Hatinya sendiri yang memilih untuk menetap di samping Bianca tanpa gadis itu mengetahuinya. Kenapa harus laki-laki itu yang dicintai Bianca?

“Eh lo kok bisa kenal sama Bina?” Tanya Bara tiba-tiba.

“Eh?” Bimo tersentak dari lamunannya.

“Bina…. Kok lo bisa kenal sama dia?” Bara mengulang kembali pertanyaannya.

“Ngapain lo nanyain Bina?” Bimo malah balik bertanya. Heran. Ngapain ni bocah nanyain Bina? Biasanya juga kerjaannya nanyain saham mulu.

“Emang nggak boleh? Trus si Bian itu siapa? Yang tadi lo tanyain sama Bina di mobil.” Bara kembali bertanya. Kali ini pertanyaannya sudah menyangkut Bian. Sebenarnya ia sudah bisa menebak siapa Bian itu. Bisa jadi yang disebut Bian itu adalah laki-laki yang tadi mengantar Bina ke kantor. Ia memang melihatnya tadi pagi.

“Boleh aja sih. Cuman si Bina itu punya orang!” Jawab Bara sambil mengambil bungus rokok yang tergeletak di atas meja dan mengeluarkannya kemudian menghisapnya dengan terlatih.

“Punya orang. Emang barang?!” Komentar Bara jadi sedikit jengkel. Kenapa nggak langsung dijawab ke point aja sih. Pake bertele-tele segala.

“Ya itu. Bina itu punya Bian. Bian itu punya Bina.” Jawab Bimo santai. Ia yakin Bara mengerti apa maksudnya.

Bara mengangguk. “Udah berapa lama emang?” Tanyanya.

“Kepo banget sih lo sama urusan orang. Buat apa coba lo nanyain itu.”

“Jawab aja kenapa sih? Susah amat tinggal ngomong doang.”

“Empat tahun!.” Bara membulatkan matanya mendengar jawaban Bimo. Gila! Lama juga, ya. Gue nggak bakal punya kesempatan dong. Batinnya. Sebenarnya ia juga bingung kesempatan apa yang ia maksud sendiri disini. Yang pasti ia ingin Bina. Tidak tahu apa yang ia inginkan dari gadis itu. Ia sendiri juga bingung.

“Lo naksir?” Tanya Bimo.

“Nggak!” Jawab Bara cepat.

“Trus?”

“Gue juga nggak tahu.” Bara mengedikkan bahunya. Bukan karena tidak tahu, tapi lebih karena ia tak perduli apa alasan yang membuatnya menginginkan Bina. Cinta? Jelas saja tidak. Cintanya sudah mati sejak empat tahun yang lalu. Sejak Vian memutuskan untuk meninggalkannya entah karena alasan apa. Jadi jelas tidak mungkin ia naksir Bina. Ah.. masa bodohlah. Ia tidak mau pusing.

“Gue saranin lo jangan cari masalah. Bian bukan orang sembarangan!” Nasehat Bimo. Ia sangat megenal Bian. Meskipun dari luar laki-laki itu tampak kalem, tapi di dalamnya ia adalah orang yang sangat berbeda. Bina mungkin saja tidak tahu. Bianca juga. Tapi ia tahu. Sangat tahu kesaharian Bian sampai ke titik-titik terkecil kehidupan laki-laki itu. Tidak banyak yang tahu memang. Hanya segelintir orang saja. Itupun mereka masuk dalam kategori yang tidak dikenal oleh kedua gadis itu.

“Kita liat aja nanti. Kalau emang diperluin, mau gimana lagi?” Komentar Bara sambil mengikuti kegiatan Bimo yang sejak tadi merokok. Diambilnya kotak rokok, mengeluarkan sebatang dan menyalakannya. Bimo menatapnya tajam.

“Tenang aja. Gue tahu mana yang boleh gue lakuin, dan mana yang enggak. Emang gue elo sampe punya sarang tersembunyi kayak gini? Gue bukan banci yang suka lari dari kenyataan.” Bimo mengerutkan keningya bingung. “Nggak mungkin elo sampe punya tempat ngumpet kayak gini kalo nggak ada yang mau lo hindarin.” Lanjut Bara  sambil balas menatap Bimo dan tersenyum penuh arti.

”Sialan lo!” Maki Bimo kesal namun juga geli. Ternyata sohibnya ini sudah tahu masalah hatinya. Ternyata tetap tidak mudah menyembunyikan sesuatu dari ‘paranormal’ berdasi di depannya ini.
****
            Bian baru saja keluar dari komplek perumahan Bina. Dipacunya motornya dengan kecepatan di atas normal. Ia ingin segera mencapai tempat tujuannya. Ada ‘arena’ yang harus ia selesaikan.

Kurang dari tiga puluh menit, kendaraan roda dua berbadan besar itu sampai ke destinasinya. Salah satu arena balap liar yang terkenal di Jakarta. Dihentikannya motornya di samping salah satu motor yang juga terparkir disana. Pengendara motor putih yang juga berbadan besar itu menghampiri pengemudi yang baru saja tiba itu.

“Lama banget sih lo!!?” Tegurnya ketika sampai di depan Bian.

Bian mengeluarkan kotak rokok yang terselip di saku jaketnya. Kotak rokok yang tidak pernah bisa disentuhnya jika ia tidak bertandang ke tempat ini. Sebenarnya ia sudah berhenti merokok sejak lama. Sejak ia menjalin hubungan dengan Bina, ia selalu berusaha untuk menjaga image-nya agar tidak terlihat buruk di mata kekasihnya itu. Dan untungnya, Bina tidak pernah tahu bahkan sudah empat tahun berlalu. Akan tetapi, ada saat-saat dimana ia juga merasa butuh untuk sedikit menenangkan pikiran maupun mencari kesenangan sendiri dengan dunianya. Dan hal yang tersisa dari sekian banyak masa lalu yang sedang berusaha ia tinggalkan adalah rokok dan balap liar yang hampir selalu ia lakukan setiap malam. Ia juga tidak mengerti mengapa ia begitu sulit meninggalkan hobi sekaligus kebiasaan buruknya ini.

            Diserahkannya bungkus rokok itu pada Richie – sahabat karibnya. Richie menerimanya namun tidak segera membukanya.

“Gimana Bina?” Tanya Richie sambil memperhatikan arena balap. Balapan yang seharusnya diikuti Bian itu sudah dimulai. Salah satu kerugian bagi geng mereka mengingat Bian begitu banyak menyumbang kemenangan dan uang traktiran untuk makan-makan. Bian memang anak orang kaya, tapi ia tidak mau membuang-buang uang orang tuanya untuk hura-hura.

“Ada. Udah di rumah.” Jawab Bian singkat. Richie mengangguk. “Oke. Race selanjutnya lo ikut kan?” Tanyanya sambil menepuk bahu Bian dan beranjak dari situ. Bian tidak menjawab. Sambil menunggu race kedua itu selesai, Bian bertanya-tanya dalam hati. Siapa laki-laki yang mengantar Bina pulang tadi? Tidak mungkin Bina mengkhianatinya. Berbohong dan segala hal yang sejenis dengan hal itu sama sekali buka tabiat Bina. Ia sangat mengenal gadis itu. Yang pasti ia melihat Bimo tadi. Ia tahu Bimo adalah salah satu seniornya di Akuntansi. Senior yang seharusnya sudah diwisuda tapi masih saja tetap betah bercokol di kampus. Ia juga sekelas dengan Bina dalam beberapa mata kuliah. Tapi ia tidak tahu bahwa mereka sedekat itu sampai harus pulang bersama. Lalu laki-laki itu? Siapa dia? Laki-laki dengan tampilan kemeja dan dasi. Kelihatan keren. Ia sama sekali tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan laki-laki itu. Laki-laki itu terlihat mapan dan lebih bisa diharapkan. Untuk Bimo, ia sama sekali tidak merasa tersaingi. Bimo bukan orang yang pantas untuk dibandingkan dengan dirinya. Ia merasa ia lebih baik daripada Bimo. Mesipun pendapat itu terdengar terlalu percaya diri, ia tetap merasa lebih baik kemana-mana dibanding Bimo walaupun tidak ada standar yang dijadikan sebagai patokan siapa yang lebih baik dan siapa yang tidak.

            Rasa takut tiba-tiba saja menyergap dirinya. Ia takut kehilangan Bina. Ia takut Bina berbalik dan berpaling. Ia takut Bina kehilangan ‘rasa’ terhadapnya. Ia takut dengan keberadaan laki-laki entah siapa namanya itu.
****
            Bina baru saja hendak tidur ketika ponselnya mengeluarkan ringtone panggilan masuk khusus dari Bian. Dengan mata mengantuk diangkatnya panggilan telepon itu.

“Halo? HOAAAAMM…” Sapanya sambil menguap. Ia baru saja menyelesaikan laporan observasinya. Ia sangat mengantuk, jadi ia tidak perduli jika Bian mendengar ia menguap heboh seperti itu. Lagipula ini Bian, bukan orang lain. Jadi, untuk apa terlalu menjaga image? Baginya, kita tidak perlu ragu untuk menjadi sosok yang apa adanya di depan pacar sendiri. Ngapain harus ditutup-tutupin? Bukannya lebih baik kalau pacar kita tahu kelebihan maupun kekurangan kita? Jadi kita bisa tahu sejauh mana dia bisa menerima kita sebagaimana adanya kita.

“Ngantuk?” Tanya Bian lembut.

“Iyaaaa…” Jawab Bina memelas. Sebenarnya sih maksudnya supaya Bian menyudahi saja acara teleponnya.

“Maaf ya aku ganggu kamu malem-malem, tapi aku lagi pengen denger suara kamu.”

Bina mengerutkan keningnya bingung. Kok Bian kayak jadi berubah gini, ya? Kemaren kadar perhatiannya nambah. Sekarang malah kadar manjanya yang awalnya nol besar. Plus gombalnya juga.

“Na…? Kamu udah tidur?” Tanya Bian. Sepertinya Bina sudah cukup lama mendiamkan Bian.

“Nggak kok. Aku masih disini.”

“Aku harap kamu bakal selalu ‘disini’, ya. Jangan tinggalin aku.” Bina kembali mengerut heran. Kok Bian jadi kedengeran kayak orang yang lagi memohon gini?

“Kamu baik-baik aja kan Bi? Nggak kenapa-kenapa? Kamu nggak abis kejedot, kan?” Bina memberondong Bian dengan pertanyaan. Aneh juga kalo Bian udah kayak gini.

“Iya.” Jawab Bian singkat.

“Iya apanya? Kamu jawab pertanyaan yang mana?”

Bian tertawa pelan. Pacarnya ini memang masih polos. Dan kadang-kadang polosnya juga keterlaluan. “Iya aku abis kejedot.” Jelasnya.

“HAH? Kejedot apa? Dimana? Bukan tiang listrik, kan? Benjol nggak kepalanya?” Tanya Bina panik.

“Bukan di tiang listrik, sih. Tapi kepala aku bocor.” Jawab Bian santai.

“BOCOR?!!! Bocor gimana maksud kamu? Kamu jangan bikin aku khawatir dong Bi….” Bina panik bukan main. Apa maksudnya bocor? Kayak ban gitu?

“Ya gitu.” Bian kembali menjawab. Dengan nada yang tetap santai namun membuat Bina semakin panik dibuatnya. Ini sudah hampir dua jam pagi dan Bian tiba-tiba saja meneleponnya, mengabarkan bahwa kepalanya bocor.

“Gitu apanya??” Desak Bina tak sabar.

“Maaf ya kalo aku bikin kamu khawatir.” Bian terdengar menyesal.

“Kamu jangan minta maaf deh. Sebenernya kamu kenapa?” Tanya Bina hampir menangis.

“Aku kecelakaan tadi. Motor aku keserempet motor lain.” Jawab Bian.

Bina shock. KECELAKAAN? BIAN KECELAKAAN?! “Keserempet gimana? Dimana? Kok bisa? Kamu bawa motornya nggak pelan-pelan?” Kali ini pertanyaan Bina diiringi tangis tertahan. Sama sekali tidak terpikir olehnya bahwa waktu kecelakaan Bian sedikit tidak masuk akal. Bagaimana bisa laki-laki itu kecelakaan di jam seperti ini? Kecuali jika ia jalan-jalan dulu setelah pulang dari rumah Bina tadi.

“Aduh sayang jangan nagis dong. Aku minta maaf. Tapi kamu jangan nagis. Maaf aku nggak hati-hati. Jangan nangis, ya…” Bujuk Bian. Ia jadi panik mendengar tangisan Bina. Bagaimana tidak? Ini sudah hampir pagi dan ia malah membuat gadis di seberang telepon sana itu menangis.

“Kok kamu bisa kecelakaan?” Tanya Bina lagi masih sambil menangis.

“Aku cuman nggak hati-hati tadi. Kamu jangan nagis dong. Ya?” Bujuk Bian lagi.

“Aku mau ketemu!” Pinta Bina.

“Iya. Tapi besok, ya. Aku jemput besok.”

“Nggak mau. Kamu istirahat aja di rumah. Aku nggak mau kamu jemput. Nanti aku yang ke rumah.” Tolak Bina mentah-mentah.

“Ya udah. Gimananya kamu aja. Sekarang kamu bobo aja ya. Udah malem.” Bujuk Bian lagi. Kali ini agar Bina tidak lagi menangis. Ia benar-benar tidak bisa mendengar gadisnya itu menangis. Apalagi penyebabnya adalah karena dirinya. Bina memang tergolong perempuan yang sangat mudah mengeluarkan air mata. Makanya, Bian tidak pernah bisa marah pada gadis itu.

“Nggak mau.” Tolak Bina lagi sambil menggeleng kuat-kuat seolah Bian bisa melihatnya.

“Nggak. Kamu bobo aja. Nanti aku nyanyiin, ya?” Bujuk Bian lagi.

“Nggak mau. Kamu istirahat aja. Kamu lagi sakit.” Tolak Bina lagi.

“Tapi kamu bobo ya.” Bian kembali berusaha membujuk.

“Ya udah. Met bobo aja. Besok aku ke rumah kamu.” Bina mengangguk dan menuruti perintah Bian. Direbahkannya tubuhnya di atas kasur dan menarik selimut sampai ke dagunya.

“Iya. Met bobo juga.” Bian tersenyum puas. Dimatikannya sambungan telepon dan meletakkannya di atas nakas samping tempat tidurnya. Tidak sia-sia pengorbanannya. Sebenarnya kecelakaan yang ia maksudkan tadi bukan kecelakaan murni. Itu adalah kecelakaan yang disengaja. Saat balapan tadi, ia sengaja menabrakkan motornya dan berharap dengan begitu Bina tidak meninggalkannya. Alasan yang aneh tapi ia tidak perduli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar