Catatan harian yang semakin renta dan tua

Selasa, 21 Januari 2014

Kontrak Cinta #1


“WHAAATTTTT??” Saking kagetnya dengan pernyataan laki-laki seumuran Ayah, Vivian sampai memekik keras. Pekikkan yang sontak membuat Bunda melotot ke arahnya. Ia tahu itu tidak sopan. Tapi hal ini benar-benar di luar dugaannya. Pendengaran dan otaknya tidak siap untuk mencerna apa saja yang baru saja terungkap.
“Jadi begini Vian.” Ayah mengambil alih pembicaraan. “Perjodohan ini sebenarnya juga sudah direncanakan sejak tiga bulan yang lalu saat Ayah sama Bunda pulang ke Bandung. Ayah sama Bunda juga sudah lama mengenal Om Firman dan Tante Lidya. Jadi Ayah pikir, tidak ada salahnya menerima perjodohan ini.” Jelas Ayah.
“Tapi yah…” sebelum sempat melancarkan protesnya, Ayah sudah memotong pembicaraan terlebih dahulu.
“Ya sudah. Kalau begitu kita makan malam dulu.” Jadi Ayah nggak minta persetujuan nih? Batin Vivian. Ayah kemudian berdiri dan beranjak dari sofa ruang tamu menuju meja makan disusul Bunda dan kedua orang tua Rafa. Rafa sejak tadi hanya diam sambil mengutakk-atik gadgetnya. Benar-benar tidak sopan. Sementara Vivian masih diam tak tahu harus berbuat apa.
****

Makan malam berjalan dengan lancar. Lancar dengan obrolan nostalgia masa lalu Ayah Bunda, Om Firman Tante Lidya. Saking asyiknya mereka mengenang masa lalu hingga tidak menyadari bahwa Vivian dan Rafa sama-sama tidak menyentuh makanan apapun yang ada di meja. Rafa hanya menenggak segelas air putih kemudian sibuk kembali dengan gadgetnya dan Vivian yang hanya sibuk dengan pikirannya sendiri.
Ketika makan malam selesai, hampir saja Vivian terlonjak oleh getaran di saku kanan blazernya. Ada pesan masuk dari nomor tidak dikenal.
Gue perlu ngomong sama lo!
B2.
Ini siapa coba? Sok penting banget.
Ini syp?
Balas Vivian dengan cepat.
Abis ini Bonyok gue sama Bonyok lo bkln lanjut ngobrol d ruang keluarga.
Gue harap qt bs ngomong d taman blkg rmh lo.
Hah? Apa lagi ini coba? Ditanya lain, jawab lain. Sejak kapan org punya nama sepanjang ini? Dua puluh lima kata plus dua titik. Tapi… kalo dilihat dari isi SMSnya…. Nggak mungkin Rafa, kan? Dari mana coba dia dapet nomor telepon gue?!
Benar saja. Setelah selesai makan malam, keempat sahabat kental saat masih muda itu langsung beranjak ke ruang keluarga tanpa pamit ataupun mengajak Rafa dan Vivian turut serta. Sementara Rafa entah sudah menghilang ke mana.
Drrtt…drrttt… sebuah pesan kembali masuk ke ponsel Vivian.
Buruan! Gue d taman skrg!
Ini siapa sih? Merintah-merintah aja kayak penjajah. Dengan kesal Vivian melangkahkan kakinya menuju taman belakang rumahnya. Terlihat ada seseorang yang sedang duduk di bangku samping kolam renang. Rafa! Jadi beneran tadi yang ngirim SMS itu Rafa? Dia dapet nomor telepon gue dari mana?
“Lo dapet nomor gue dari mana?” Tanya Vivian langsung begitu ia sampai di depan Rafa, Rafa mengibaskan tangan kanannya di depan wajahnya tanda ia tak mau menjawabnya. Atau lebih tepatnya tak mau membuang waktu membahas hal yang tidak penting.
“Lo lupa sama gue?” Tanya Rafa.
“Maksud lo?!”
“Ivy…sejak kapan lo jadi pikun?”
Ivy? Ivy siapa? Emang ada orang lain disini. Tapi tunggu…sepertinya cuma satu orang yang sering memanggilnya dengan sebutan Ivy dan itupun saat ia masih SD. Jangan bilang kalau…..
“Ael. Gue Ael kalo lo lupa.” Jawab Rafa.
“Ael……..?! RAFAEL PRADIPTA???” Teriak Vivian kaget.
“Iya. Tapi lo nggak usah histeris gitu juga kali.”
“Sejak kapan lo ada disini? Dan juga…ngapain lo di rumah gue? Kenapa harus elo yang dijodohin sama gue? Emang nggak ada orang lain yang kerenan dikit, apa?” Vivian segala memberondong Rafa dengan lima pertanyaan berturut-turut tanpa jeda bahkan untuk mengambul napas sekalipun.
“Heh! Nenek lampir. Gue juga nggak mau dijodohin sama lo. Ini juga karena terpaksa. Gue punya tujuan sendiri. Dan lo harus bantuin gue!” Rafa jadi kesal karena pertanyaan terakhir Vivian yang baginya merendahkan itu. Emang gue kurang keren apa coba? Kece begini.
“Tujuan buat hancurin hidup gue, kan? Lo balas dendam kan karena dulu pas tahun terakhir di SD gue bikin lo nyebur empangnya Kang Parto.” Memang, dulu saat masih SD, sebelum kelulusan, Vivian dan Rafa sempat terlibat perkelahian ala anak kecil yang membuat Rafa harus rela terdorong dan jatuh nyemplung ke empangnya Kang Parto, salah satu tetangga mereka saat mereka kecil dulu dan masih sama-sama tinggal di Bandung.
“Lo pikir gue se-nggak gentle itu apa sampe bela-belain buat mau dijodohin sama lo gara-gara tuh emapng rese!?” Harga diri Rafa sedikit terusik mendengar tuduhan Vivian yang sama sekali tidak berkelas itu. Masa cuma gara-gara nyebur di empang? Itupun dulu.
“Trus?” Tanya Vivian sambil melirik Rafa tajam
“Ehem…” Rafa berdehem sedikit untuk menormalkan suaranya. Sepertinya memang bukan masalah biasa saja.
“Oke sebenernya gue agak malu buat ngakuin ini tapi mau nggak mau harus dengan catatan karena terpaksa. Gue baru putus dari cewek gue gara-gara dia milih cowok lain. Dan gue mau elo bantuin gue buat bikin cewek gue balik sama gue.”
“Maksudnya?”
“Bego banget sih lo! Pokoknya lo bantuin gue terserah gimanapun caranya, gue nggak mau tahu! Yang gue tahu, dia harus balik sama gue!” Tandas Rafa. Vivian yang tidak menyangka akan mendengar permintaan tolong konyol seperti ini hanya mampu memandang Rafa dengan pandangan tak percaya.
“Ekspresi lo nggak usah segitunya, kali.” Tegur Rafa yang merasa tidak nyaman dengan cara Vivian memandangnya.
“Eh emang lo pikir tu permintaan masuk akal apa? Lo pikir gue tool gitu yang bisa lo gunain seenak jidat lo?” Sembur Vivian.
Tool tool… Lo pikir gue mau ngapai lo sampe pake kata gunain segala. Pokoknya lo bantuin gue. Tuh cewek harus balik sama gue.”
“Idih..minta tolong maksa. Pake ngatain gue bego lagi tadi. Lagian lo kayak orang pshyco tahu nggak? Maksain orang yang jelas-jelas udah nggak suka sama lo buat tetep suka sama lo. Harusnya lo tuh introspeksi diri. Gue kira lo udah berubah. Ternyata nggak. Masih sama kayak dulu. Arogan. Nggak mau ngalah. Tukang maksa. Kayak gini nih. Jadi terima kenyataan aja kalo tuh cewek udah muak sama lo!” Jawaban panjang lebar Vivian yang memang sengaja dibuatnya setajam silet itu, yang entah kenapa tiba-tiba muncul sebagai ide untuk membatalkan perjodohan ini, meluncur begitu saja yang sayangnya sama sekali tidak memberikan efek apa-apa kepada Rafa. Padahal harapannya sih dia mencak-mencak trus jerit jerit kayak mak lampir yang bakalan langsung bikin orang tua Vivian membatalkan perjodohan karena nggak mau anaknya nikah sama orang gila.
“Terserah apa kata lo! Yang pasti…..elo bantuin gue! Nggak pake nolak. Jawabannya harus iya, mau atau saya bersedia. Titik!” Jawab Rafa final tidak mau dibantah lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar