“WHAAATTTTT??”
Saking kagetnya dengan pernyataan laki-laki seumuran Ayah, Vivian sampai
memekik keras. Pekikkan yang sontak membuat Bunda melotot ke arahnya. Ia tahu
itu tidak sopan. Tapi hal ini benar-benar di luar dugaannya. Pendengaran dan otaknya
tidak siap untuk mencerna apa saja yang baru saja terungkap.
“Jadi
begini Vian.” Ayah mengambil alih pembicaraan. “Perjodohan ini sebenarnya juga
sudah direncanakan sejak tiga bulan yang lalu saat Ayah sama Bunda pulang ke
Bandung. Ayah sama Bunda juga sudah lama mengenal Om Firman dan Tante Lidya. Jadi
Ayah pikir, tidak ada salahnya menerima perjodohan ini.” Jelas Ayah.
“Tapi
yah…” sebelum sempat melancarkan protesnya, Ayah sudah memotong pembicaraan
terlebih dahulu.
“Ya
sudah. Kalau begitu kita makan malam dulu.” Jadi Ayah nggak minta persetujuan
nih? Batin Vivian. Ayah kemudian berdiri dan beranjak dari sofa ruang tamu
menuju meja makan disusul Bunda dan kedua orang tua Rafa. Rafa sejak tadi hanya
diam sambil mengutakk-atik gadgetnya.
Benar-benar tidak sopan. Sementara Vivian masih diam tak tahu harus berbuat
apa.
****
Makan malam berjalan dengan lancar. Lancar dengan obrolan
nostalgia masa lalu Ayah Bunda, Om Firman Tante Lidya. Saking asyiknya mereka
mengenang masa lalu hingga tidak menyadari bahwa Vivian dan Rafa sama-sama
tidak menyentuh makanan apapun yang ada di meja. Rafa hanya menenggak segelas
air putih kemudian sibuk kembali dengan gadgetnya
dan Vivian yang hanya sibuk dengan pikirannya sendiri.
Ketika makan malam selesai, hampir saja Vivian terlonjak
oleh getaran di saku kanan blazernya. Ada pesan masuk dari nomor tidak dikenal.
Gue perlu ngomong sama lo!
B2.
Ini
siapa coba? Sok penting banget.
Ini syp?
Balas
Vivian dengan cepat.
Abis ini Bonyok gue sama Bonyok lo bkln
lanjut ngobrol d ruang keluarga.
Gue harap qt bs ngomong d taman blkg rmh
lo.
Hah?
Apa lagi ini coba? Ditanya lain, jawab lain. Sejak kapan org punya nama
sepanjang ini? Dua puluh lima kata plus dua titik. Tapi… kalo dilihat dari isi
SMSnya…. Nggak mungkin Rafa, kan? Dari mana coba dia dapet nomor telepon gue?!
Benar
saja. Setelah selesai makan malam, keempat sahabat kental saat masih muda itu
langsung beranjak ke ruang keluarga tanpa pamit ataupun mengajak Rafa dan
Vivian turut serta. Sementara Rafa entah sudah menghilang ke mana.
Drrtt…drrttt…
sebuah pesan kembali masuk ke ponsel Vivian.
Buruan! Gue d taman skrg!
Ini
siapa sih? Merintah-merintah aja kayak penjajah. Dengan kesal Vivian
melangkahkan kakinya menuju taman belakang rumahnya. Terlihat ada seseorang
yang sedang duduk di bangku samping kolam renang. Rafa! Jadi beneran tadi yang
ngirim SMS itu Rafa? Dia dapet nomor telepon gue dari mana?
“Lo
dapet nomor gue dari mana?” Tanya Vivian langsung begitu ia sampai di depan
Rafa, Rafa mengibaskan tangan kanannya di depan wajahnya tanda ia tak mau
menjawabnya. Atau lebih tepatnya tak mau membuang waktu membahas hal yang tidak
penting.
“Lo
lupa sama gue?” Tanya Rafa.
“Maksud
lo?!”
“Ivy…sejak
kapan lo jadi pikun?”
Ivy?
Ivy siapa? Emang ada orang lain disini. Tapi tunggu…sepertinya cuma satu orang
yang sering memanggilnya dengan sebutan Ivy dan itupun saat ia masih SD. Jangan
bilang kalau…..
“Ael.
Gue Ael kalo lo lupa.” Jawab Rafa.
“Ael……..?!
RAFAEL PRADIPTA???” Teriak Vivian kaget.
“Iya.
Tapi lo nggak usah histeris gitu juga kali.”
“Sejak
kapan lo ada disini? Dan juga…ngapain lo di rumah gue? Kenapa harus elo yang
dijodohin sama gue? Emang nggak ada orang lain yang kerenan dikit, apa?” Vivian
segala memberondong Rafa dengan lima pertanyaan berturut-turut tanpa jeda
bahkan untuk mengambul napas sekalipun.
“Heh!
Nenek lampir. Gue juga nggak mau dijodohin sama lo. Ini juga karena terpaksa.
Gue punya tujuan sendiri. Dan lo harus bantuin gue!” Rafa jadi kesal karena
pertanyaan terakhir Vivian yang baginya merendahkan itu. Emang gue kurang keren
apa coba? Kece begini.
“Tujuan
buat hancurin hidup gue, kan? Lo balas dendam kan karena dulu pas tahun
terakhir di SD gue bikin lo nyebur empangnya Kang Parto.” Memang, dulu saat
masih SD, sebelum kelulusan, Vivian dan Rafa sempat terlibat perkelahian ala
anak kecil yang membuat Rafa harus rela terdorong dan jatuh nyemplung ke
empangnya Kang Parto, salah satu tetangga mereka saat mereka kecil dulu dan masih
sama-sama tinggal di Bandung.
“Lo
pikir gue se-nggak gentle itu apa
sampe bela-belain buat mau dijodohin sama lo gara-gara tuh emapng rese!?” Harga
diri Rafa sedikit terusik mendengar tuduhan Vivian yang sama sekali tidak
berkelas itu. Masa cuma gara-gara nyebur di empang? Itupun dulu.
“Trus?”
Tanya Vivian sambil melirik Rafa tajam
“Ehem…”
Rafa berdehem sedikit untuk menormalkan suaranya. Sepertinya memang bukan
masalah biasa saja.
“Oke
sebenernya gue agak malu buat ngakuin ini tapi mau nggak mau harus dengan
catatan karena terpaksa. Gue baru putus dari cewek gue gara-gara dia milih
cowok lain. Dan gue mau elo bantuin gue buat bikin cewek gue balik sama gue.”
“Maksudnya?”
“Bego
banget sih lo! Pokoknya lo bantuin gue terserah gimanapun caranya, gue nggak
mau tahu! Yang gue tahu, dia harus balik sama gue!” Tandas Rafa. Vivian yang
tidak menyangka akan mendengar permintaan tolong konyol seperti ini hanya mampu
memandang Rafa dengan pandangan tak percaya.
“Ekspresi
lo nggak usah segitunya, kali.” Tegur Rafa yang merasa tidak nyaman dengan cara
Vivian memandangnya.
“Eh
emang lo pikir tu permintaan masuk akal apa? Lo pikir gue tool gitu yang bisa lo gunain seenak jidat lo?” Sembur Vivian.
“Tool tool… Lo pikir gue mau ngapai lo
sampe pake kata gunain segala. Pokoknya lo bantuin gue. Tuh cewek harus balik
sama gue.”
“Idih..minta
tolong maksa. Pake ngatain gue bego lagi tadi. Lagian lo kayak orang pshyco tahu nggak? Maksain orang yang
jelas-jelas udah nggak suka sama lo buat tetep suka sama lo. Harusnya lo tuh
introspeksi diri. Gue kira lo udah berubah. Ternyata nggak. Masih sama kayak
dulu. Arogan. Nggak mau ngalah. Tukang maksa. Kayak gini nih. Jadi terima
kenyataan aja kalo tuh cewek udah muak sama lo!” Jawaban panjang lebar Vivian
yang memang sengaja dibuatnya setajam silet itu, yang entah kenapa tiba-tiba
muncul sebagai ide untuk membatalkan perjodohan ini, meluncur begitu saja yang
sayangnya sama sekali tidak memberikan efek apa-apa kepada Rafa. Padahal
harapannya sih dia mencak-mencak trus jerit jerit kayak mak lampir yang bakalan
langsung bikin orang tua Vivian membatalkan perjodohan karena nggak mau anaknya
nikah sama orang gila.
“Terserah
apa kata lo! Yang pasti…..elo bantuin gue! Nggak pake nolak. Jawabannya harus
iya, mau atau saya bersedia. Titik!” Jawab Rafa final tidak mau dibantah lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar