Bunyi
benda kuning berbentuk kepala salah satu tokoh anime favoritku membangunkan
tidurku. Ku lirik benda orange kesayanganku itu dengan malas. Jarum panjang
mengarah pada angka enam, sedangkan jarum pendek bertengger di sebelahnya. Aku
tersadar. Mataku membulat maksimal. Setengah tujuh??! Ku singkirkan selimut
yang sedari tadi menutupi tubuhku, kemudian menyambar handuk dan segera berlari
ke kamar mandi. Mati aku.
Tanpa
sarapan pagi, aku berlari keluar dari rumah setelah sebelumnya berpamitan
kepada mama. Papa pasti sudah ke kantor. Dan Tio mungkin juga sudah ke sekolah.
Kepalaku
terus sibuk celingak celinguk kanan kiri. Sejak lima belas menit yang lalu, bus
yang ku tunggu tak juga nampak. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh
kurang sepuluh menit. Aku benar-benar sial pagi ini.
Tiba-tiba
sebuah motor besar berhenti di depanku.
****
Ku picingkan mataku menatap sosok tak jauh di depanku.
Kepalanya terus saja menengok kiri kanan tanda tak sabar. Seperti sedang
menunggu sesuatu. Kakinya sesekali dihentak-hentakkan. Ku tajamkan
penglihatanku yang memang agak sedikit silau karena sinar matahari. Aku
mengenali sosok itu. Sosok mungil yang menjadi korbanku minggu lalu. Sebuah ide
melintas di dalam tempurung kepalaku. Ku hentikan motor kebanggaanku tepat di depannya.
Ia
menatapku sekilas kemudian kembali melanjutkan aktivitas tengak-tengok kiri
kanannya yang sempat tertunda. Sepertinya ia tidak peduli dan tidak mau tahu.
Ku lepaskan pelindung kepala yang sejak tadi menutupi wajahku. Tampaknya ia
tidak sadar ini aku.
“Good morning, mam.” Ucapku memberi salam dengan nada
khas anak SD. Ibu Anya – guru magang baru disekolahku menoleh cepat. Tatapan
kaget menggantikan tatapan resah dan tak sabarnya sejak tadi. Kaget dengan
kehadiranku.
“Good morning.” Idiiiwwww. Ketus amat?! Sepertinya ia
masih kesal terhadapku.
“Are you need a help?” tanyaku.
“No, I’m not.” Makin ketus.
“I think yes, you are.” Komentarku santai.
“So? What do you want?”
“If you don’t mind, I’ll be happy to help you.” Jawabku
sekenanya sambil kembali memakai helm hitam yang sejak tadi ku letakkan di atas
tangki motorku. “It’s Monday, mam.” Sambungku sambil bersiap menstrater
motorku.
Sebentuk senyum mengembang di bibirku saat ku rasakan
tangan seseorang berpegang pada bahuku dan dengan kesulitan duduk di boncengan.
“Done?” Tanyaku sambil melirik spion. Sebuah anggukan
kecil menjadi jawabannya. Ku lajukan motorku membelah lalu lintas yang mulai
padat, mencoba meminimalisir kemungkinan terlambat meskipun aku tahu itu
sia-sia.
Sekalian ngerjain.
****
Dengan
sangat terpaksa aku terima tawaran bantuan dari makhluk menyebalkan ini. Iya.
Aku menyebutnya tawaran bantuan, karena aku memang sama sekali tidak
memintanya. Dialah yang menawarkan jasa ojek gratis secara suka rela. Meskipun
jujur aku sangat bersyukur. Ku gunakan bahunya sebagai pegangan untuk menaiki
motor besarnya. Dengan rok pendekku, aku terpaksa harus duduk menyamping ala
ibu-ibu, walaupun aku merasa sedikit takut, tidak dapat menjaga keseimbangan
tubuhku dan dengan naas terlempar saat motor besar ini sedang melaju. Aku yakin
pemandangan Nugrah memboncengku lebih terlihat seperti adegan seorang anak yang
berbakti sedang mengantar ibunya pergi bekerja.
Baru
saja ku jatuhkan pantatku di boncengan, tiba-tiba motor melaju dengan sangat
kencang. Ku pegang besi pegangan motornya kuat-kuat. Aku benar-benar takut.
Dasar geblek!!! Umpatku dalam hati. Kalo aku jatuh bagaimana?! Tampak truk
besar dengan angkutannya yang aku yakin melebihi satu ton itu, melaju tepat di
belakang kami. Ya Tuhan. Aku benar-benar akan remuk tak berbentuk jika aku
jatuh, terpental dan kemudian terlindas ban kendaraan itu.
Tanpa
ragu ku cengkeram kemeja makhluk tak berperasaan yang kini sudah mulai meliuk
di antara padatnya lalu lintas. Membuat gerakan zig zag yang membuatku mati-matian
menahan jantungku agar tidak melompat keluar karena rasa takut.
Nugrah
menghentikan motornya tak jauh dari gerbang sekolah yang sudah ditutup
setengahnya. Aku yakin saat ini murid-murid dan para guru sudah bersiap untuk
melaksanakan upacara bendera. “I’m afraid, mam. Sepertinya Anda harus turun
disini. Saya tidak mau argument tidak masuk akal muncul nanti.” Ucapnya kalem
namun terdengar sok. Pede banget?! Dengan tangan yang masih gemetar ketakutan
aku turun dari motor besar itu. Dari sudut mata aku dapat menangkap bahwa ia
sedang menekan tawanya kuat-kuat agar tidak menghambur. Sialan!! Gue dikerjain.
“Thank’s.” Jawabku ketus.
“Anytime.” Jawabnya santai kemudian melajukan motornya
melewati gerbang , meninggalkan raungan keras.
Dasar!
Tidak sopan! Anytime… anytime… Walau bagaimanapun aku ini kan gurunya. Walaupun
hanya guru magang, tetap saja statusku adalah pengajar. Tidak bisakah ia
mengucapkannya dengan sedikit formal?! Apakah kata Your Welcome terlalu
panjang dan sulit untul diucapkan?! Ku langkahkan kakiku menuju ke sekolah.
Upacara bendera sudah bersiap di lapangan. Dengan bangga aku berdiri dan
berbaris di barisan para guru. Ini adalah upacara bendera pertamaku bukan
sebagai seorang murid, tapi seorang guru. Impianku.
****
“Nak Chandra.” Panggil dokter Ronald.
“Iya dok?” Tanyaku sambil mendekati dokter Ronald yang
saat ini sedang berdiri di depan ruangannya.
“Sebentar nanti ada pasien yang akan datang. Namanya Ibu
Rima. Tolong kamu tangani, ya. Pokoknya mulai hari ini sampai waktu magang kamu
selesai, kamu yang akan menanganinya menggantikan saya” Pinta dokter Ronald.
“Baik dok.”Aku terima dengan senang hati. Inilah
impianku. Berinteraksi dengan pasien secara langsung. Aku merasa seperti telah
benar-benar menjadi dokter sungguhan.
“Kalau begitu terima kasih. Saya permisi dulu, ada rapat
dengan dokter-dokter lain.”
“Iya dok. Terima kasih.” Senyum sumringah tercetak dengan
jelas di bibirku. Dirga, teman sesama magangku menghampiriku sambil menepuk
pelan kepalaku.
“Woiii orang gila! Ngapain lo senyum-senyum sendiri
gitu?” Tanyanya
“Yah namanya juga orang gila.” Jawabku enteng sambil
tersenyum dan berjalan meninggalkannya.
“Sinting lo!” Sahutnya tapi tak ku pedulikan. Aku sedang
bahagia saat ini.
Akhirnya pasien yang ku tunggu datang juga. Hari ini
jadwal check upnya. Aku lihat dari catatan dokter Ronald sih tidak ada
penyakit yang berarti. Tapi kalau dilihat dari penampilannya, sepertinya beliau
orang kaya. Jad maklum saja kalau sering mengontrol kesehatannya.
****
Ibu
Rima, pasien dokter Ronald memasuki ruangan. Ditatapnya calon dokter yang
sedang magang, yang dikatakan dokter Ronald tadi padanya via telepon. Hmm…
masih muda. Tapi beliau cukup percaya terhadap dokter Ronald. Dijabatnya tangan
pemuda tersebut. Awalnya biasa saja. Mulanya. Sampai kalimat itu meluncur dari
bibir pemilik tangan itu.
“Selamat datang, bu. Perkenalkan saya Chandra. Chandra
Dwi Sena Adipatra. Saya yang ditugaskan oleh dokter Ronald untuk menangani ibu
mulai hari ini.” Ucap pemuda itu ramah dengan sebuah senyum. Seketika tubuhnya
membeku. Tidak mungkin!! Ini tidak mungkin terjadi. Dia Chandra!!?? Benarkah
dia Chandra??!! Chandra Dwi Sena Adipatra??!! Bukankah Ia….
Ibu Rima menjatuhkan dirinya di kursi di depan meja
Chandra dengan kaku. Tatapannya terus tertuju pada wajah Chandra yang kini
sedang berbicara. Chandra sama sekali tidak menyadari hal itu. Sampai saat ia
mendongak. Didapatinya wajah pucat pasien pertamanya itu.
“Ibu. Ibu tidak apa-apa?!” Tanya Chandra sambil menatap
Ibu Rima khawatir.
“Eh,,,, ya. Saya tidak apa-apa.” Jawab Ibu Rima tergagap.
“Baiklah. Kalau begitu mari ikut saya.” Chandra berdiri
sambil masuk ke sebuah ruangan yang ditutupi tirai di sampingnya (Itu lho
tempat yang biasanya ada di ruangan dokter, buat meriksa pasiennya). Ibu Rima mengikutinya
dari belakang dengan langkah berat.
Selama pemeriksaan, Ibu Rima tidak hentinya menatap wajah
Chandra. Chandra menyadarinya, tapi mencoba rileks. Mungkin karena gue kelewat
ganteng. Pikirnya dalam hati.
Mereka
mirip. Bena-benar mirip. Matanya, tatapannya, hidungnya, alisnya, semuanya.
Bahkan cara bicaranya. Sangat mirip. Semuanya. Mereka
begitu mirip. Bahkan…. Moment ini. Moment pertemuannya dengan Chandra dan orang
itu pertama kali. Jas putih yang melekat ditubuhnya pun…. Astaga!! Firasat buruk
apa ini?!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar