Catatan harian yang semakin renta dan tua

Kamis, 23 Januari 2014

It's Destiny #3

Bunyi benda kuning berbentuk kepala salah satu tokoh anime favoritku membangunkan tidurku. Ku lirik benda orange kesayanganku itu dengan malas. Jarum panjang mengarah pada angka enam, sedangkan jarum pendek bertengger di sebelahnya. Aku tersadar. Mataku membulat maksimal. Setengah tujuh??! Ku singkirkan selimut yang sedari tadi menutupi tubuhku, kemudian menyambar handuk dan segera berlari ke kamar mandi. Mati aku.
Tanpa sarapan pagi, aku berlari keluar dari rumah setelah sebelumnya berpamitan kepada mama. Papa pasti sudah ke kantor. Dan Tio mungkin juga sudah ke sekolah.

Kepalaku terus sibuk celingak celinguk kanan kiri. Sejak lima belas menit yang lalu, bus yang ku tunggu tak juga nampak. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit. Aku benar-benar sial pagi ini.
            Tiba-tiba sebuah motor besar berhenti di depanku.
****
Ku picingkan mataku menatap sosok tak jauh di depanku. Kepalanya terus saja menengok kiri kanan tanda tak sabar. Seperti sedang menunggu sesuatu. Kakinya sesekali dihentak-hentakkan. Ku tajamkan penglihatanku yang memang agak sedikit silau karena sinar matahari. Aku mengenali sosok itu. Sosok mungil yang menjadi korbanku minggu lalu. Sebuah ide melintas di dalam tempurung kepalaku. Ku hentikan motor kebanggaanku tepat di depannya.


            Ia menatapku sekilas kemudian kembali melanjutkan aktivitas tengak-tengok kiri kanannya yang sempat tertunda. Sepertinya ia tidak peduli dan tidak mau tahu. Ku lepaskan pelindung kepala yang sejak tadi menutupi wajahku. Tampaknya ia tidak sadar ini aku.

“Good morning, mam.” Ucapku memberi salam dengan nada khas anak SD. Ibu Anya – guru magang baru disekolahku menoleh cepat. Tatapan kaget menggantikan tatapan resah dan tak sabarnya sejak tadi. Kaget dengan kehadiranku.
“Good morning.” Idiiiwwww. Ketus amat?! Sepertinya ia masih kesal terhadapku.
“Are you need a help?” tanyaku.
“No, I’m not.” Makin ketus.
“I think yes, you are.” Komentarku santai.
“So? What do you want?”
“If you don’t mind, I’ll be happy to help you.” Jawabku sekenanya sambil kembali memakai helm hitam yang sejak tadi ku letakkan di atas tangki motorku. “It’s Monday, mam.” Sambungku sambil bersiap menstrater motorku.

Sebentuk senyum mengembang di bibirku saat ku rasakan tangan seseorang berpegang pada bahuku dan dengan kesulitan  duduk di boncengan.
“Done?” Tanyaku sambil melirik spion. Sebuah anggukan kecil menjadi jawabannya. Ku lajukan motorku membelah lalu lintas yang mulai padat, mencoba meminimalisir kemungkinan terlambat meskipun aku tahu itu sia-sia.
Sekalian ngerjain.

****
            Dengan sangat terpaksa aku terima tawaran bantuan dari makhluk menyebalkan ini. Iya. Aku menyebutnya tawaran bantuan, karena aku memang sama sekali tidak memintanya. Dialah yang menawarkan jasa ojek gratis secara suka rela. Meskipun jujur aku sangat bersyukur. Ku gunakan bahunya sebagai pegangan untuk menaiki motor besarnya. Dengan rok pendekku, aku terpaksa harus duduk menyamping ala ibu-ibu, walaupun aku merasa sedikit takut, tidak dapat menjaga keseimbangan tubuhku dan dengan naas terlempar saat motor besar ini sedang melaju. Aku yakin pemandangan Nugrah memboncengku lebih terlihat seperti adegan seorang anak yang berbakti sedang mengantar ibunya pergi bekerja.

            Baru saja ku jatuhkan pantatku di boncengan, tiba-tiba motor melaju dengan sangat kencang. Ku pegang besi pegangan motornya kuat-kuat. Aku benar-benar takut. Dasar geblek!!! Umpatku dalam hati. Kalo aku jatuh bagaimana?! Tampak truk besar dengan angkutannya yang aku yakin melebihi satu ton itu, melaju tepat di belakang kami. Ya Tuhan. Aku benar-benar akan remuk tak berbentuk jika aku jatuh, terpental dan kemudian terlindas ban kendaraan itu.

           Tanpa ragu ku cengkeram kemeja makhluk tak berperasaan yang kini sudah mulai meliuk di antara padatnya lalu lintas. Membuat gerakan zig zag yang membuatku mati-matian menahan jantungku agar tidak melompat keluar karena rasa takut.

            Nugrah menghentikan motornya tak jauh dari gerbang sekolah yang sudah ditutup setengahnya. Aku yakin saat ini murid-murid dan para guru sudah bersiap untuk melaksanakan upacara bendera. “I’m afraid, mam. Sepertinya Anda harus turun disini. Saya tidak mau argument tidak masuk akal muncul nanti.” Ucapnya kalem namun terdengar sok. Pede banget?! Dengan tangan yang masih gemetar ketakutan aku turun dari motor besar itu. Dari sudut mata aku dapat menangkap bahwa ia sedang menekan tawanya kuat-kuat agar tidak menghambur. Sialan!! Gue dikerjain.

“Thank’s.” Jawabku ketus.
“Anytime.” Jawabnya santai kemudian melajukan motornya melewati gerbang , meninggalkan raungan keras.
            Dasar! Tidak sopan! Anytime… anytime… Walau bagaimanapun aku ini kan gurunya. Walaupun hanya guru magang, tetap saja statusku adalah pengajar. Tidak bisakah ia mengucapkannya dengan sedikit formal?! Apakah kata Your Welcome terlalu panjang dan sulit untul diucapkan?! Ku langkahkan kakiku menuju ke sekolah. Upacara bendera sudah bersiap di lapangan. Dengan bangga aku berdiri dan berbaris di barisan para guru. Ini adalah upacara bendera pertamaku bukan sebagai seorang murid, tapi seorang guru. Impianku.
****
“Nak Chandra.” Panggil dokter Ronald.
“Iya dok?” Tanyaku sambil mendekati dokter Ronald yang saat ini sedang berdiri di depan ruangannya.
“Sebentar nanti ada pasien yang akan datang. Namanya Ibu Rima. Tolong kamu tangani, ya. Pokoknya mulai hari ini sampai waktu magang kamu selesai, kamu yang akan menanganinya menggantikan saya” Pinta dokter Ronald.
“Baik dok.”Aku terima dengan senang hati. Inilah impianku. Berinteraksi dengan pasien secara langsung. Aku merasa seperti telah benar-benar menjadi dokter sungguhan.
“Kalau begitu terima kasih. Saya permisi dulu, ada rapat dengan dokter-dokter lain.”
“Iya dok. Terima kasih.” Senyum sumringah tercetak dengan jelas di bibirku. Dirga, teman sesama magangku menghampiriku sambil menepuk pelan kepalaku.
“Woiii orang gila! Ngapain lo senyum-senyum sendiri gitu?” Tanyanya
“Yah namanya juga orang gila.” Jawabku enteng sambil tersenyum dan berjalan meninggalkannya.
“Sinting lo!” Sahutnya tapi tak ku pedulikan. Aku sedang bahagia saat ini.
Akhirnya pasien yang ku tunggu datang juga. Hari ini jadwal check upnya. Aku lihat dari catatan dokter Ronald sih tidak ada penyakit yang berarti. Tapi kalau dilihat dari penampilannya, sepertinya beliau orang kaya. Jad maklum saja kalau sering mengontrol kesehatannya.
****
            Ibu Rima, pasien dokter Ronald memasuki ruangan. Ditatapnya calon dokter yang sedang magang, yang dikatakan dokter Ronald tadi padanya via telepon. Hmm… masih muda. Tapi beliau cukup percaya terhadap dokter Ronald. Dijabatnya tangan pemuda tersebut. Awalnya biasa saja. Mulanya. Sampai kalimat itu meluncur dari bibir pemilik tangan itu.

“Selamat datang, bu. Perkenalkan saya Chandra. Chandra Dwi Sena Adipatra. Saya yang ditugaskan oleh dokter Ronald untuk menangani ibu mulai hari ini.” Ucap pemuda itu ramah dengan sebuah senyum. Seketika tubuhnya membeku. Tidak mungkin!! Ini tidak mungkin terjadi. Dia Chandra!!?? Benarkah dia Chandra??!! Chandra Dwi Sena Adipatra??!! Bukankah Ia….

Ibu Rima menjatuhkan dirinya di kursi di depan meja Chandra dengan kaku. Tatapannya terus tertuju pada wajah Chandra yang kini sedang berbicara. Chandra sama sekali tidak menyadari hal itu. Sampai saat ia mendongak. Didapatinya wajah pucat pasien pertamanya itu.
“Ibu. Ibu tidak apa-apa?!” Tanya Chandra sambil menatap Ibu Rima khawatir.
“Eh,,,, ya. Saya tidak apa-apa.” Jawab Ibu Rima tergagap.
“Baiklah. Kalau begitu mari ikut saya.” Chandra berdiri sambil masuk ke sebuah ruangan yang ditutupi tirai di sampingnya (Itu lho tempat yang biasanya ada di ruangan dokter, buat meriksa pasiennya). Ibu Rima mengikutinya dari belakang dengan langkah berat.

Selama pemeriksaan, Ibu Rima tidak hentinya menatap wajah Chandra. Chandra menyadarinya, tapi mencoba rileks. Mungkin karena gue kelewat ganteng. Pikirnya dalam hati.

            Mereka mirip. Bena-benar mirip. Matanya, tatapannya, hidungnya, alisnya, semuanya. Bahkan cara bicaranya. Sangat mirip. Semuanya. Mereka begitu mirip. Bahkan…. Moment ini. Moment pertemuannya dengan Chandra dan orang itu pertama kali. Jas putih yang melekat ditubuhnya pun…. Astaga!! Firasat buruk apa ini?!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar