Catatan harian yang semakin renta dan tua

Kamis, 23 Januari 2014

Kontrak Cinta #2

“Ogah!. Gue nggak mau dan lo nggak bisa maksa gue!” Tolak Vivian mentah-mentah. Ia tidak mau. Enak saja main suruh-suruh. Dia saja tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada orang lain, kenapa Rafa bisa memaksakan kehendaknya padanya? Walau sampai kapanpun ia tidak akan mau memenuhi permintaan konyol Rafa.

“Kenapa? Lo naskir gue sampe nggak mau? Lo nggak pengen gue balik sama mantan gue supaya perjodohan ini bisa terus berlanjut?” Tanya Rafa pede sejuta.

“Gue? Naksir lo? Kayak stock cowok di bumi udah abis aja.” Bantah Vivian tegas.

“Trus kenapa nggak mau?” Tanya Rafa.

“Eh harusnya gue ya yang ngatain lo bego. Pake nanya lagi apa alasannya. Gue nggak mau beurusan sama lo apalagi sama kehidupan pribadi lo. Mau cewek lo ninggalin lo kek, mutusin lo, bawa kabur duit lo, gue nggak peduli!” Jawab Vivian kemudian melangkah pergi meninggalkan Rafa yang tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu.

Lo nggak bisa nolak. Lo nggak boleh nolak. Gue nggak suka denger orang lain bilang nggak sama gue. Liat aja. Lo bakal tetap lakuin perintah gue, suka atau nggak.

****
            Vivian menghempaskan tubuhnya di tempat tidurnya. Ia capek. Baru saja pulang kerja, langsung disuguhi dengan berita menyebalkan seperti ini. Belum lagi si Rafael tukang maksa itu. Bener-bener deh. Dia kira gue pembokatnya apa sampe dia bisa seenaknya. Nggak bakalan y ague ngikutin keinginan lo.

Sementara itu, di taman belakang rumah Vivian, Rafa sedang sibuk berbicara di telepon dengan seorang temannya. Daniel. Salah satu teman sekaligus detektif yang disewa oleh Rafa sendiri sejak mengetahui bahwa ia dijodohkan dengan seorang gadis yang awalnya tak dikenalinya sebagai teman masa kecilnya dulu. Dari Daniel lah Rafa mengetahui identitas calon istrinya dengan sangat detail. Mulai dari hal-hal umum sampai hal-hal yang mungkin tidak banyak orang tahu. Saat mengetahui bahwa yang akan dijodohkan dengannya adalah Ivy, gadis yang sering diusilinya dulu, Rafael begitu senang. Mengingat bahwa gadis itu adalah gadis yang cukup mudah untuk ditaklukan. Akan tetapi ternyata perkiraannya salah. Ivy telah berubah dan tidak mudah dipaksa. Maka, jika ceritanya sudah begini, ia akan menjalankan rencana keduanya yang memang sudah ia susun agar Ivy tidak bisa menolak ataupun menghindari apa yang nanti akan Rafa perintahkan terhadapnya.

“Oke. Thank’s Bro. Nanti gue transfer.” Tutupnya menakhiri pembicaraan. Ia dan Daniel memang berteman, tapi ia tidak mau merepotkan orang lain tanpa membalsa jasa mereka.

****
Vivian baru saja pulang dari kantor. Hari ini ia sangat lelah. Pekerjaannya yang biasanya hanya mengatur jadwal Indra – atasan sekaligus temannya sekaligus menemani Indra meeting bersama klien hari ini harus ia relakan sedikit bertambah dengan membantu observasi yang dilakukan oleh salah satu mahasiswi yang datang ke perusahaan. Kenapa juga observasi tuh mahasiswi harus berkaitan dengan pemasaran? Tapi sudahlah. Ketika ia hendak membuka pintu apartemennya, tiba-tiba saja ia dikejutkan oleh sebuah tangan yang merangkul pundaknya.

“Hai sayang.” Sapa suara itu sambil tak lupa mengecup pipi kanannya.

Vivian kaget setengah mati. Terlebih karena kecupan tiba-tiba itu. Dengan cepat dilepaskannya tangan yang melingkari pundaknya dan berbalik. Rafael sialan! Ternyata dia.

BUKK!! Dengan sekali hentakan, tas yang sejak tadi dijinjingnya telah mendarat mulus di kepala Rafa.

“Aduh!” Rafa meringis sambil mengusap kepalanya yang agak nyut-nyutan gara-gara digebuk Vivian. “Kasar banget sih, Yang.” Tegurnya.

“Yang Yang pala po peyang! Siapa suruh tuh tangan sama tuh bibir kurang ajar! Nggak pernah disekolahin, ya?!” Geram Vivian.

“Emang nggak. Yang pernah aku sekolahin cuma ini doing.” Jawab Rafa sambil menunjuk kepalanya.

“Sinting!”

“Lho masa orang sekolah dibilang sinting? Kamu ini gimana sih Yang? Aneh deh. Tapi lucu.”

“Nggak usah sok imut kalo ngomong. Biasa aja.”

Rafa segera merubah ekspresi wajahnya. Disedekapkannya kedua tangannya. Mulai serius. “Gue mau konfirmasiin jawaban lo tentang permintaan lo kemaren. Gimana? Lo masih nolak? Nggak dong pasti.” Rafa benar-benar percaya diri.

“Lo tahu dari man ague tinggal disini?” Tanya Vivian sengit.

“Jawabannya nggak sinkron sayang sama pertanyaannya. Aku nggak nanya itu.” Jawab Rafa kalem.

“Aku…aku biasa aja kalo ngomong. Nggak usah sok deket!”

“Emang deket, kan? Kita berdua udah kenal sejak kecil. Dan sekarang, lo calon istri gue. Jadi itu artinya kita emang deket.”

“Udah ya Ael. Sampai kapanpun jawaban gue nggak bakalan berubah. Gue nggak mau. Harus berapa kali sih gue bilang sama lo?”

“Lo harus mau!” tandas Rafa. Tatapan matanya menajam.

“Kenapa harus? Lo bukan siapa-siapa gue. Gue nggak harus dengerin lo.”

“Karena lo nggak punya pilihan lain.” 

Vivian memutar bola matanya mendengar jawaban Rafa. Ia tak habis pikir. Kenapa laki-laki di depannya ini begitu memiliki tingkat percaya diri yang tinggi? Padahal menurutnya, sama sekali tidak ada yang bisa dibanggakan dari Rafael. Segala hal yang ada di dirinya selalu negatif di mata Vivian. Sejak dulu, dan tidak akan pernah berubah.

“You know what… you are truly person with baseless confidence.” Cela Vivian sambil tersenyum mengejek.

“Whatever. I don’t care ‘bout how’s your opinion.” Vivian membalik tubuhnya dan membuka pintu ketika ia melihat Bimo yang baru saja keluar dari lift bersama seseorang. Bimo – temannya sejak SMA sekaligus tetangganya di gedung apartemen ini. Dirinya tinggal di apartemen 1125 sedangkan Bimo di 1124. Tak disadarinya Rafa telah melangkah lebih dulu dan memasuki aparetemennya.

“Hai Bim.” Sapanya ramah.

“Hai Vi.” Jawab Bimo pun ramah. Tubuh Vian seketika menegang ketika melihat dengan jelas siapa orang yang datang bersama Bimo. Bara!

“Bara?” Gumamnya tak percaya yang ternyata didengar oleh orang itu. Bara berbalik.
 
“Vian!” Bara terlihat sama terkejutnya.

Lima detik mereka terdiam dan saling menatap satu sama lain. “Baru pulang kerja ya Vi?” Tanya Bimo, membuyarkan Bara dan Vivian.

“Iya Bim.” Jawabnya sambil berusaha tersenyum. Bara hanya diam.

“Apa kabar Bar?” Tanya Vivian kepada Bara. Mencoba ramah pada atasan tertinggi di kantornya. Ia memang bekerja di perusahaan milik keluarga Bara. Penyerahan wewenang terhadap Bara tempo hari sebenarnya juga cukup membuatnya terkejut. Tak disangkanya Bara akan kembali ke Indonesia lagi bahkan menjadi orang yang kini memimpin perusahaan. Namun, mengingat jabatan Bara yang bukan hanya sebagai orang biasa tidak membuatnya takut terhadap kemungkinan untuk bertemu laki-laki itu. Tapi ternyata ia salah. Ia masih bisa bertemu dengan Bara. Di luar kantor.

“Baik.” Jawab Bara singkat.

“Baguslah.” Komentarnya.

“Yang masih ngapain? Lama banget sih.” Tegur sebuah suara disusul sosok Ael yang menyembul dari arah pintu dengan wajah sok polosnya. Vivian melirik Rafa sinis. Dasar Kunyuk! Ngapain juga dia pake acara masuk. Pake manggil-manggil gue Yang segala lagi.

“Eh maaf. Aku nggak tahu. Temen kamu, ya?” Tanyanya lagi dengan wajah sok polosnya yang tak ketinggalan.

“Pacar Vivian, ya?” Tanya Bimo.

“Bukan. Gue tunangannya.” Jawaban Rafa benar-benar membuat Vivian menatapnya tak percaya. Dasar gilaaaaaaaaaaaaaa…………

“Nggak…nggak gitu..” Bantah Vivian gelagapan. Rafa kembali merangkul pundak Vivian. Kali ini dengan lebih mesra.

“Selamat, ya.” Ucap Bara yang sejak tadi hanya diam.

****
Vivian menutup pintu apartemennya dengan kesal. Dicarinya sosok Rafa yang ternyata sudah melenggang ke arah televisi. Diliriknya dengan sinis laki-laki yang kini tengah duduk santai itu lalu melangkah masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri. Rafa hanya menatapnya aneh.

            Tiga puluh menit kemudian, Vivian telah selesai mandi. Dicarinya novel yang kemarin baru saja dibelinya dan mendudukkan dirinya di atas ranjang, mencoba untuk mengusir bayangan Bara dari pikirannya dengan membaca. Ketika pikirannya agak tenang dan ia sudah bisa berkonsentrasi pada cerita, tiba-tiba Rafa melangkah masuk ke dalam kamar dan membaringkan tubuhnya di kasur.

“Serius amat, Yang?” Tanyanya sambil menatap Vivian yang sudah terlena dalam dunia fantasy dengan posisi tubuh menghadap gadis itu. Vivian memang menyukai cerita-cerita berlatar fantasy. Dan Rafa tahu itu.

BUK!! Kembali Vivian menggetok kepalanya. Kali ini dengan buku. “Aduh!” Rafa meringis untuk kedua kalinya. “Kamu tuh hobi banget ya nepok kepala orang!”

“Eh Kodong. Siapa yang ngizinin lo masuk?” Tanya Vivian sengit.

“Bentar aja. Gue capek Vy. Ngantuk.” Jawabnya sambil menutup matanya. Beberapa saat kemudian terdengar dengkuran halus dari Rafa. Vivian menghembuskan napasnya pelan sambil menarik selimut sampai ke bahu Rafa. Kayaknya beneran capek. Batinnya.

            Diletakkannya novel yang tadi dibacanya di atas nakas samping tempat tidurnya dan berjalan ke arah dapur untuk menyiapkan makan malam.

****
            Rafa terbangun ketika ia mencium sesuatu yang harum. Bau makanan. Perutnya tiba-tiba saja keroncongan. Disibaknya selimut yang menutupi tubuhnya dan beranjak dari tempat tidur sambil menggerak-gerakkan tangan kanannya yang kram karena posisi tidurnya yang tidak berubah sejak tadi. Rafa memang tergolong orang yang tenang saat tidur. Posisinya tidak akan berubah dari semula sampai saat ia bangun. Alhasil, ia harus selalu meregangkan otot-otot tubuhnya yang kram setiap kali bangun tidur.

Dengan wajah mengantuk ia keluar dari kamar dan berjalan ke arah dimana kira-kira bau makanan itu berasal. Ternyata Vivian sedang menyiapkan makan malam di atas meja. Rafa tersenyum. Belum pernah ada perempuan yang masak untuknya selain Ibu dan pembantu di rumah. Bahkan gadis-gadis yang pernah dipacarinya pun tidak pernah ada satupun yang bersedia untuk masak untuknya.

“Masak apa?” Tanyanya ketika ia sampai di meja makan dan duduk di salah satu kursi.

“Liat aja sendiri.” Jawab Vivian ketus.

Rafa hanya memonyongkan bibirnya sambil menatap makanan yang tersedia di atas menja. Tumis kangkung dan ayam goreng. Benar-benar makanan rumahan. Tapi kelihatannya enak. Vivian hanya bisa menahan tawa melihat ekspresi Rafa. Benar-benar ekspresi anak kecil yang ngambek karena tidak dibelikan mainan.

“Cuci muka dulu sana!” Perintahnya saat melihat Rafa sudah bersiap untuk menyendokkan nasi ke piringnya. Dengan bersungut-sungut Rafa mengikuti perintah Vivian. Vivian jadi geli sendiri. Keadaan jadi seperti terbalik. Rafa jadi seperti mengikuti perintahnya tanpa banyak protes.s


Tidak ada komentar:

Posting Komentar