Vivian
baru saja memarkir mobilnya di carport gedung
dimana apartemennya berada saat ponselnya tiba-tiba mengeluarkan dering yang
cukup keras. “Rumah” itulah yang tertera Iayar ponselnya. Ada apa, ya?
Pikirnya. Ini memang jam pulang kantor jadi tidak aneh jika orang tuanya
menghubunginya mengingat mereka selalu berusaha untuk tidak mengganggu jam
kantornya. Tapi ibunya tahu seperti apa pekerjaannya. Benar-benar melelahkan
mengingat ia harus mengatur jadwal atasannya dan mengikuti kemanapun atasannya
pergi. Baik untuk meeting dengan
klien atau sekedar makan siang bersama. Jadi tidak mungkin beliau menelepon
saat ia baru saja pulang kantor jika tidak ada yang penting. Dengan cepat
diusapnya gambar berwarna hijau di layar ponsel dan menempelkan ponselnya ke
telinga kanan.
“Halo?”
sapanya.
“Assalamualaikum…”
Suara Ibunya membuka pembicaraan.
“Walaikumsalam.
Ada apa Bun?” Tanyanya langsung.
“Kamu
tuh bukannya nanyain kabar Ayah sama Bunda, langsung aja tembak tanya Bunda ada
perlu apa. Emang nggak boleh kalo Bunda menghubungi kamu?” Omel Bunda seketika.
“Bukan
gitu Bun. Cuma Vian lagi capek banget. Baru pulang kerja. Pengen cepet-cepet
mandi terus istirahat.”
“Udah
istirahatnya nanti di rumah aja. Sekarang mending kamu cepet kesini. Ada hal
penting yang Ayah sama Bunda mau bicarakan.”
“Hal
penting apa?”
“Nanti
juga kamu tahu. Pokoknya sekarang kamu langsung ke rumah. Oh iya jangan lupa
bawa pakaian ya. Tapi bukan pakaian kesaharian kamu itu. Bawa pakaian yang
rapi.” Instruksi sang Bunda.
“Emang
mau ada acara, ya Bun?”
“Sudah
kesini saja. Assalamualaikum.” Putus sang Bunda seiring sambungan telepon yang
juga terputus.
Dengan
kesal Vivian melempar ponselnya ke jok penumpang, memasukkan gigi dan memutar
mobilnya ke arah rumah kedua orang tuanya. Sebodoh amat sama pakaian yang rapi.
Lagipula sekarang pakaiannya masih tergolong rapi. Pakaian kantor. Hanya saja
memang tampilannya tidak se-fresh tadi
pagi.
****
Vivian
sampai di rumahnya lima belas menit setelah adzan maghrib dikumadangkan. Dengan
cepat ia berlari keluar dari mobil tanpa memarkir mobilnya terlebih dahulu di carport. Nanti juga Mang Dudung yang
bakal markirin, pikirnya. Dengan berlari-lari ia masuk ke dalam rumah dan
bergegas menuju kamarnya di lantai dua yang sudah jarang digunakannya lagi
semenjak ia memilih untuk tinggal sendiri di apartemen. Sekilas dilihatnya
lewat ekor mata di ruang tamu ada Ayah dan Bunda serta dua laki-laki dan satu
perempuan entah siapa.
“Vian
yang sopan kalau masuk!” Tegur Bunda.
“Maaf
Bun. Vian mau sholat maghrib dulu. Takut nggak keburu.” Jawabnya sambil lalu
menuju lantai dua.
***
Sepuluh
menit kemudian, Vivian telah berada di ruang tamu bersama kedua orang tuanya
dan tiga orang entah siapa itu. Sepertinya mereka satu keluarga jika dilihat
dari formasinya: satu perempuan seumuran Bunda, satu laki-laki seusia Ayah dan
satu laki-laki yang sepertinya seusia dirinya.
“Nak Vian apa kabar?” Tanya si perempuan seumuran Bunda.
“Alhamdulillah
baik tante.” Jawabnya kikuk. Gimana nggak kikuk, coba? Yang nanyain kabar ini
entah siapa.
“Nak
Vian makin cantik aja, ya. Tapi sayang, kayaknya nak Vian sudah lupa sama
saya.” Vivian hanya tersenyum ragu menanggapi komentar si perempuan.
“Jadi
langsung saja ya Nak Vian…” Ucap si laki-laki seusia Ayah sambil memandang Ayah
dan Bunda seolah meminta persetujuan. Ayah dan Bunda hanya mengangguk sambil
tersenyum.
“Jadi
maksud kedatangan kami disini adalah untuk melamar nak Vian untuk menjadi istri
anak saya, Rafa.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar