Akhirnya
Bina sampai juga di komplek tempat tinggalnya. Lega sekali rasanya. Bukannya
apa-apa. Ia memang mengenal Bimo karena Bimo adalah salah satu seniornya di
kampus, walaupun tidak dekat. Akan tetapi, bagaimanapun juga ia tetap khawatir
berada satu mobil dengan orang yang sama sekali tidak dikenalnya, pun bersama
orang yang ia tahu tapi tidak dikenalnya dengan baik. Entah apa yang akan Bian
katakana padanya jika ia mengetahuinya.
Eh?
Tunggu dulu! Tiba-tiba jadi ingat Bian. Ia belum menghubunginya sama sekali
sejak siang tadi dan kini waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lewat
sedikit. Astaga! Bagaimana bisa ia pergi selama itu dengan laki-laki lain yang
tidak dikenalnya sama sekali?
Dengan
cepat dikeluarkannya ponselnya yang sejak tadi tersimpan di dalam tasnya.
Dengan wajah menyesal Bina harus rela menerima bahwa ponselnya kehabisan
baterai. Bagaimana ini? Bagaimana kalau sampai Bian mencarinya.
Mobil
berhenti tepat di depan pagar rumah Bina. Sekilas dilihatnya Bara sempat
melirik ke arah rumahnya. Mungkin heran melihat rumah sederhana seperti
rumahnya. Maklum, orang kaya memang selalu seperti itu. Terkesan ‘udik’ melihat
tempat-tempat yang menurut mereka tidak masuk dalam kategori elit.
Bergegas
Bina turun dari mobil Bara tanpa lupa mengucapkan terima kasih yang dibalas
dengan anggukan oleh Bara dan Bimo serta kalimat “sampai ketemu lagi” dari Bara sambil tersenyum ramah. Lagi-lagi
Bina hanya tersenyum kikuk menanggapi. Entah sudah yang ke berapa kalinya. Yang
pasti ia sama sekali tidak berharap akan bertemu lagi dengan Bara. Kecuali
Bimo, ia tidak bisa apa-apa karena pada beberapa mata kuliah Bimo memang masuk
di kelasnya.
Sepeninggal mobil Bara, Bina segera memasuki pekarangan
rumahnya namun tertahan oleh sebuah suara.
“Dari mana?” Tanya suara itu. Bina hampir saja terlonjak
ketika berbalik dan mendapati Bian berdiri tepat di belakangnya.
“Dianter siapa tadi?” Tanyanya lagi. Entah kenapa
tiba-tiba saja Bina kehilangan suaranya untuk menjawab pertanyaan Bian. Ia
takut saat ini. Memang Bian bertanya secara baik-baik. Tapi, jika dilihat lebih
saksama, wajah dan ekspresi yang ditampakkan laki-laki itu sama sekali tidak
menunjukkan bahwa ia bertanya secara baik-baik.
“Kok nggak jawab?” Tanyanya lagi. Tingkat kekesalannya
benar-benar sudah mencapai puncaknya. Ia sudah tidak mampu menahannya, namun ia
berusaha untuk tetap terlihat tenang.
“Please Bina
jawab pertanyaan aku.” Pintanya dengan wajah memelas. Bina tetap bungkam.
“Kenapa? Kenapa kamu nggak mau jawab? Aku nanya
baik-baik. Bina… tolong. Seharian kamu nggak bisa dihubungi, aku datengin ke
lokasi observasi mereka bilang kamu udah pulang dari tadi siang, aku samperin
ke rumah, Ayah Bunda bilang kamu belum pulang, aku tanya Bianca dia nggak tahu
kamu ada dimana. Kamu pikir gimana perasaan aku? Aku khawatir…” Omel Bian
panjang lebar dengan wajah yang sarat akan ketakutan. Takut terjadi apa-apa
pada gadis yang sangat disayanginya ini.
“Maaf. HP aku lowbatt.”
Jawab Bina akhirnya dengan wajah tertunduk.
“Ya udah. Nggak papa kamu nggak mau cerita siapa yang
anter kamu tadi. Aku percaya sama kamu. Tapi janji, kamu nggak bakal kayak gini
lagi.” Pinta Bian sambil memegang kedua bahu Bina dan menatap wajah gadis itu
dalam. Bina hanya mengangguk sambil menahan air mata yang hampir saja jatuh di
pipinya. Ia merasa bersalah telah membuat Bian khawatir dan mondar-mandir
kesana kemari untuk mencarinya sementara sejak tadi ia malah asyik menikmati
eskrim dengan CEO itu selama berjam-jam. Dengan perasaan lega Bian memeluk Bina
erat.
“Ya udah. Masuk gih! Kamu pasti capek.” Perintah Bian
sambil mengedipkan sebelah matanya. Bina hanya menatapnya sambil mengerutkan
kening tanda tak mengerti. Harusnya kan ia yang bilang begitu. Tanpa ditanya
orang-orang pasti tahu bagaimana capeknya Bian seharian ini karena harus
mencarinya sendirian.
“Iya capek. Abis jalan-jalan sama dua cowok sekaligus.
Keren-keren lagi tadi aku lihat.” Sambung Bian sambil menjawil dagu Bina.
“Apa deh Bi?” Gerutu Bina kesal. Apa maksudnya coba?
“Apa?” Tanya Bian lagi sambil tersenyum geli. Bina hanya
cemberut. Ia tahu Bian sedang menggodanya. Tapi ia tidak suka. Apalagi harus
dikait-kaitkan dengan kejadian hari ini.
“Ya udah masuk!” Perintah Bian lagi sambil menepuk jidat
Bina pelan lalu berbalik ke arah motornya yang diparkir tak jauh dari halaman
rumah Bina.
****
Dad baru
saja meletakkan tas kerja beserta jasnya ke atas kursi ruang keluarga ketika
Bianca memasuki rumah. Dengan perasaan was-was dicobanya untuk menganggap bahwa
Ayahnya tidak berada disana. Ia sudah jarang bertemu dengan Dad. Dad jarang
pulang. Beliau lebih suka menghabiskan waktunya di luar bersama
perempuan-perempuan entah siapa, membunuh waktu dengan pekerjaannya yang
bertumpuk di kantor, atau bahkan ke luar negeri.
“Bianca.” Panggil Dad tiba-tiba ketika Bianca baru saja
hendak menuju kamarnya di lantai dua.
“Iya Dad?” Jawab Bianca tanpa berniat menghampiri
Ayahnya.
“Dimana mamamu?” Tanya Dad lagi.
“Dad mau apa ketemu mama?” Tanya Bianca dengan perasaan
semakin was-was.
“Memangnya seorang suami tidak diperbolehkan untuk
bertemu istrinya?” Tanya Ayahnya tanpa memandang Bianca sama sekali. Bianca
tidak menjawab. Ia yakin Dad tahu pasti apa jawabannya.
“Tolong buatkan Dad kopi kalau begitu. Lagipula Dad
sedang capek.” Perintah Ayahnya. Perintah yang sebenarnya bukan sesuatu yang
patut untuk dipermasalahkan tapi justru menjadi masalah buat Bianca sendiri.
Apa maksudnya dengan lagipula masih capek? Jadi kalau Dad sedang tidak capek,
Dad akan dengan senang hati memukuli Mama kapanpun Dad mau? Pertanyaan yang
dengan terpaka harus ditelan bulat-bulat oleh Bianca dan beranjak menuju dapur
membuatkan kopi untuk Ayahnya.
Selagi membuat kopi, tiba-tiba saja Ayahnya sudah berada
di meja makan. Bianca yang baru saja berbalik hendak mengantarkan kopi
tersebut, terkejut mendapati sang Ayah sudah duduk manis disana sambil
membolak-balik beberapa berkas. “Letakkan saja disini.” Perintah beliau. Bianca
menurut. “Kamu silahkan duduk.” Lagi-lagi perintah. Bianca kembali menurut.
Didudukkannya tubuhnya di salah satu kursi yang
melingkari meja makan yang agak jauh dari tempat beliau duduk.
“Tadi itu siapa?” Tanyanya. Siapa? Yang mana? Batin
Bianca.
“Laki-laki tadi itu pacarmu?” Tanya Ayahnya lagi. Oh?
Sekarang Bianca mengerti siapa apa yang dimaksud Sang Ayah.
“Bukan.” Jawab Bianca cepat.
“Lalu?” tanya Ayahnya lagi.
“Lalu apa?” Bianca jadi bingung sendiri sebenarnya kemana
arah pembicaraan Ayahnya.
“Apa yang dia lakukan disini?” Tanya Ayahnya lagi. Bianca
jadi heran. Kenapa Ayahnya tiba-tiba jadi super kepo seperti ini?
“Hanya bertanya saja.” Jawab Bianca singkat.
“Apa yang dia tanyakan?” Tanya Ayahnya lagi.
“Bukan hal penting dan sama sekali tidak ada hubungannya
dengan Dad!” Tandas Bianca. Ia tidak suka ditanya-tanya seperti ini.
Diinterogasi seperti pelaku kejahatan yang tertangkap basah.
“Kata siapa tidak ada hubungannya denganku? Kau anakku
dan sudah sewajarnya aku tahu siapa saja yang bertemu maupun berhubungan
denganku. Apalagi itu seorang laki-laki!” Jawab Ayahnya tegas.
Bianca memutar bola matanya. Rasa takutnya terhadap
Ayahnya selama ini entah terbang kemana. Ia hanya ingin berdebat. Benar-benar
ingin berdebat.
“Yang benar saja. Dad saja sudah tidak pernah berlaku
sebagai seorang Ayah. Lalu, apa keharusanku untuk bertindak sebagai seorang ana?!”
Tangkis Bianca.
“Jaga bicaramu Bianca Lewis! Kau tidak berhak
membantahku! Kau masih menyandang nama Lewis di belakang namamu. Jangan salahkan
aku jika aku menanggalkan nama itu darimu!” Gertak Dad.
“Silahkan saja. Lagipula aku juga sudah mempertimbangkan
untuk mencopotnya sesegera mungkin. Aku selalu seperti memikul beban yang berat
setiap kali ada yang memanggilku dengan sebutan putrid seorang Lewis.” Bianca sama
sekali tidak terpengaruh. Dengan cepat ditinggalkannya Ayahnya dari meja makan.
Ia sudah tidak tahan.
“Jangan pernah membantahku Bianca!” Terdengar Ayahnya
masih tetap berkoar-koar. Bianca tidak perduli. Ia terus saja melangkah
memasuki kamarnya dan menutup pintud dengan bantingan keras. Dadanya sudah
sesak. Paru-parunya seolah terisi penuh oleh karbondioksida. Oksigen benar-benar
tidak lagi mampu diserapnya. Dengan segera dihempaskannya tubuhnya ke ranjang
kamarnya dan menangis sejadi-jadinya. Ia rindu Dad. Ia rindu Ayahnya. Ia ingin
sekali memeluk beliau tapi entah mengapa rasa marahnya terhadapnya terlalu
besar dan tidak lagi bisa ditahannya. Dad terlalu ikut campur urusanku. Dad
tidak berhak. Dad tidak pantas mencampuri urusanku.
TOK…TOK…
Terdengar ketukan dari arah pintu. Beberapa detik
kemudian Mama masuk. Bianca langsung menghambur ke pelukan Ibunya dan menangis.
Ibunya hanya mengusap kepala putri bungsunya itu dengan sayang.
“Bian benci sama Dad, Ma.” Keluh Bianca. “Dad jahat. Dad ‘ninggalin’
kita.”
“Nggak sayang. Dad nggak pernah ninggalin kita.” Hibur
sang mama. Bianca menggeleng dalam pelukan mamanya dan semakin memeluk mamanya
erat.
Dad hanya
meninggalkan mama… Dad tidak pernah meninggalkan kamu… Alasannya untuk tetap
bertahan di rumah ini selama bertahun-tahun adalah karena kamu. Maafkan mama. Sendainya
itu tidak pernah terjadi… Jihan membatin. Ia tahu ini semua
kesalahannya. Ia tidak yakin jika Bianca bisa memaafkannya jika nantinya ia
tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan rumah tangganya dengan Marc –
suaminya.
****
Bara memarkir mobilnya di carport gedung apartemen Bimo. Ia sengaja kabur kesini. Ia yakin,
meskipun hampir setengah hari ia kabur dari kantor, Nindy pasti akan tetap
berusaha mencarinya sampai ketemu. Dan satu-satunya tempat yang aman adalah
apartemen sahabatnya yang satu ini. Tidak banyak yang tahu dan bahkan mungkin
tidak ada.
“Yakin lo mau ngabur disini? Kenapa nggak ke hotel aja?!”
Tanya Bimo. Bara mengerutkan keningnya sambil terus berjalan kea rah lift. Heran dengan Bimo.
“Kenapa? Nggak boleh gue kesini? Lo nyembunyiin cewek ya
di apartemen lo?!” Tebak Bara.
“Iya!” Jawab Bimo tegas. Jawaban yang kontan membuat bola
mata Bara membulat maksimal. Sejak kapan orang dengan maniak kesetiaan seperti Bimo
ini suka menyembunyikan cewek. Di apartemennya lagi. Eh tapi kan belum tentu
juga. Sudahlah. Itu tidak penting. Bukan urusannya.
“Lantai berapa?” Tanyanya yang kini akan menekan panel lift.
“25.” Jawab Bimo. Sudahlah. Tidak ada gunanya berdebat
dengan orang ini. Tidak mungkin ia harus terus-terus menyembunyikannya. Lagipula
Bara tidak harus selalu menghindarinya. Sudah empat tahun berlalu.
Dengan segera lift membawa
mereka menuju lantai dua puluh lima dimana apartemen Bimo berada. Bara segera
melangkah keluar ketika pintu terbuka dan menuju apartemen nomor 1124 dengan
cuek. Ia tidak harus bertanya berapa password
apartemen Bimo karena jawabannya sudah pasti ulang tahun Ibunda Bimo
sendiri. Bimo mengikutinya dari belakang.
“Hai Bim.” Sapa suara seorang gadis. Bara menebak itulah
gadis yang disembunyikan Bimo. Tapi kenapa sepertinya suara itu ia kenal, ya?
“Hai Vi.” Jawab Bimo ramah.
“Bara?” Ucap suara gadis itu. Bara yang baru saja akan
menekan angka password, menoleh.
“Vian!” Gumamnya tak percaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar