Catatan harian yang semakin renta dan tua

Rabu, 22 Januari 2014

Cinta Tak Sempurna #7

Akhirnya Bina sampai juga di komplek tempat tinggalnya. Lega sekali rasanya. Bukannya apa-apa. Ia memang mengenal Bimo karena Bimo adalah salah satu seniornya di kampus, walaupun tidak dekat. Akan tetapi, bagaimanapun juga ia tetap khawatir berada satu mobil dengan orang yang sama sekali tidak dikenalnya, pun bersama orang yang ia tahu tapi tidak dikenalnya dengan baik. Entah apa yang akan Bian katakana padanya jika ia mengetahuinya.

Eh? Tunggu dulu! Tiba-tiba jadi ingat Bian. Ia belum menghubunginya sama sekali sejak siang tadi dan kini waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lewat sedikit. Astaga! Bagaimana bisa ia pergi selama itu dengan laki-laki lain yang tidak dikenalnya sama sekali?

Dengan cepat dikeluarkannya ponselnya yang sejak tadi tersimpan di dalam tasnya. Dengan wajah menyesal Bina harus rela menerima bahwa ponselnya kehabisan baterai. Bagaimana ini? Bagaimana kalau sampai Bian mencarinya.

Mobil berhenti tepat di depan pagar rumah Bina. Sekilas dilihatnya Bara sempat melirik ke arah rumahnya. Mungkin heran melihat rumah sederhana seperti rumahnya. Maklum, orang kaya memang selalu seperti itu. Terkesan ‘udik’ melihat tempat-tempat yang menurut mereka tidak masuk dalam kategori elit.

            Bergegas Bina turun dari mobil Bara tanpa lupa mengucapkan terima kasih yang dibalas dengan anggukan oleh Bara dan Bimo serta kalimat “sampai ketemu lagi” dari Bara sambil tersenyum ramah. Lagi-lagi Bina hanya tersenyum kikuk menanggapi. Entah sudah yang ke berapa kalinya. Yang pasti ia sama sekali tidak berharap akan bertemu lagi dengan Bara. Kecuali Bimo, ia tidak bisa apa-apa karena pada beberapa mata kuliah Bimo memang masuk di kelasnya.


Sepeninggal mobil Bara, Bina segera memasuki pekarangan rumahnya namun tertahan oleh sebuah suara.
“Dari mana?” Tanya suara itu. Bina hampir saja terlonjak ketika berbalik dan mendapati Bian berdiri tepat di belakangnya.
“Dianter siapa tadi?” Tanyanya lagi. Entah kenapa tiba-tiba saja Bina kehilangan suaranya untuk menjawab pertanyaan Bian. Ia takut saat ini. Memang Bian bertanya secara baik-baik. Tapi, jika dilihat lebih saksama, wajah dan ekspresi yang ditampakkan laki-laki itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia bertanya secara baik-baik.
“Kok nggak jawab?” Tanyanya lagi. Tingkat kekesalannya benar-benar sudah mencapai puncaknya. Ia sudah tidak mampu menahannya, namun ia berusaha untuk tetap terlihat tenang.
Please Bina jawab pertanyaan aku.” Pintanya dengan wajah memelas. Bina tetap bungkam.
“Kenapa? Kenapa kamu nggak mau jawab? Aku nanya baik-baik. Bina… tolong. Seharian kamu nggak bisa dihubungi, aku datengin ke lokasi observasi mereka bilang kamu udah pulang dari tadi siang, aku samperin ke rumah, Ayah Bunda bilang kamu belum pulang, aku tanya Bianca dia nggak tahu kamu ada dimana. Kamu pikir gimana perasaan aku? Aku khawatir…” Omel Bian panjang lebar dengan wajah yang sarat akan ketakutan. Takut terjadi apa-apa pada gadis yang sangat disayanginya ini.
“Maaf. HP aku lowbatt.” Jawab Bina akhirnya dengan wajah tertunduk.
“Ya udah. Nggak papa kamu nggak mau cerita siapa yang anter kamu tadi. Aku percaya sama kamu. Tapi janji, kamu nggak bakal kayak gini lagi.” Pinta Bian sambil memegang kedua bahu Bina dan menatap wajah gadis itu dalam. Bina hanya mengangguk sambil menahan air mata yang hampir saja jatuh di pipinya. Ia merasa bersalah telah membuat Bian khawatir dan mondar-mandir kesana kemari untuk mencarinya sementara sejak tadi ia malah asyik menikmati eskrim dengan CEO itu selama berjam-jam. Dengan perasaan lega Bian memeluk Bina erat.
“Ya udah. Masuk gih! Kamu pasti capek.” Perintah Bian sambil mengedipkan sebelah matanya. Bina hanya menatapnya sambil mengerutkan kening tanda tak mengerti. Harusnya kan ia yang bilang begitu. Tanpa ditanya orang-orang pasti tahu bagaimana capeknya Bian seharian ini karena harus mencarinya sendirian.
“Iya capek. Abis jalan-jalan sama dua cowok sekaligus. Keren-keren lagi tadi aku lihat.” Sambung Bian sambil menjawil dagu Bina.
“Apa deh Bi?” Gerutu Bina kesal. Apa maksudnya coba?
“Apa?” Tanya Bian lagi sambil tersenyum geli. Bina hanya cemberut. Ia tahu Bian sedang menggodanya. Tapi ia tidak suka. Apalagi harus dikait-kaitkan dengan kejadian hari ini.
“Ya udah masuk!” Perintah Bian lagi sambil menepuk jidat Bina pelan lalu berbalik ke arah motornya yang diparkir tak jauh dari halaman rumah Bina.

****
            Dad baru saja meletakkan tas kerja beserta jasnya ke atas kursi ruang keluarga ketika Bianca memasuki rumah. Dengan perasaan was-was dicobanya untuk menganggap bahwa Ayahnya tidak berada disana. Ia sudah jarang bertemu dengan Dad. Dad jarang pulang. Beliau lebih suka menghabiskan waktunya di luar bersama perempuan-perempuan entah siapa, membunuh waktu dengan pekerjaannya yang bertumpuk di kantor, atau bahkan ke luar negeri.

“Bianca.” Panggil Dad tiba-tiba ketika Bianca baru saja hendak menuju kamarnya di lantai dua.
“Iya Dad?” Jawab Bianca tanpa berniat menghampiri Ayahnya.
“Dimana mamamu?” Tanya Dad lagi.
“Dad mau apa ketemu mama?” Tanya Bianca dengan perasaan semakin was-was.
“Memangnya seorang suami tidak diperbolehkan untuk bertemu istrinya?” Tanya Ayahnya tanpa memandang Bianca sama sekali. Bianca tidak menjawab. Ia yakin Dad tahu pasti apa jawabannya.
“Tolong buatkan Dad kopi kalau begitu. Lagipula Dad sedang capek.” Perintah Ayahnya. Perintah yang sebenarnya bukan sesuatu yang patut untuk dipermasalahkan tapi justru menjadi masalah buat Bianca sendiri. Apa maksudnya dengan lagipula masih capek? Jadi kalau Dad sedang tidak capek, Dad akan dengan senang hati memukuli Mama kapanpun Dad mau? Pertanyaan yang dengan terpaka harus ditelan bulat-bulat oleh Bianca dan beranjak menuju dapur membuatkan kopi untuk Ayahnya.
Selagi membuat kopi, tiba-tiba saja Ayahnya sudah berada di meja makan. Bianca yang baru saja berbalik hendak mengantarkan kopi tersebut, terkejut mendapati sang Ayah sudah duduk manis disana sambil membolak-balik beberapa berkas. “Letakkan saja disini.” Perintah beliau. Bianca menurut. “Kamu silahkan duduk.” Lagi-lagi perintah. Bianca kembali menurut.
Didudukkannya tubuhnya di salah satu kursi yang melingkari meja makan yang agak jauh dari tempat beliau duduk.
“Tadi itu siapa?” Tanyanya. Siapa? Yang mana? Batin Bianca.
“Laki-laki tadi itu pacarmu?” Tanya Ayahnya lagi. Oh? Sekarang Bianca mengerti siapa apa yang dimaksud Sang Ayah.
“Bukan.” Jawab Bianca cepat.
“Lalu?” tanya Ayahnya lagi.
“Lalu apa?” Bianca jadi bingung sendiri sebenarnya kemana arah pembicaraan Ayahnya.
“Apa yang dia lakukan disini?” Tanya Ayahnya lagi. Bianca jadi heran. Kenapa Ayahnya tiba-tiba jadi super kepo seperti ini?
“Hanya bertanya saja.” Jawab Bianca singkat.
“Apa yang dia tanyakan?” Tanya Ayahnya lagi.
“Bukan hal penting dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan Dad!” Tandas Bianca. Ia tidak suka ditanya-tanya seperti ini. Diinterogasi seperti pelaku kejahatan yang tertangkap basah.
“Kata siapa tidak ada hubungannya denganku? Kau anakku dan sudah sewajarnya aku tahu siapa saja yang bertemu maupun berhubungan denganku. Apalagi itu seorang laki-laki!” Jawab Ayahnya tegas.
Bianca memutar bola matanya. Rasa takutnya terhadap Ayahnya selama ini entah terbang kemana. Ia hanya ingin berdebat. Benar-benar ingin berdebat.
“Yang benar saja. Dad saja sudah tidak pernah berlaku sebagai seorang Ayah. Lalu, apa keharusanku untuk bertindak sebagai seorang ana?!” Tangkis Bianca.
“Jaga bicaramu Bianca Lewis! Kau tidak berhak membantahku! Kau masih menyandang nama Lewis di belakang namamu. Jangan salahkan aku jika aku menanggalkan nama itu darimu!” Gertak Dad.
“Silahkan saja. Lagipula aku juga sudah mempertimbangkan untuk mencopotnya sesegera mungkin. Aku selalu seperti memikul beban yang berat setiap kali ada yang memanggilku dengan sebutan putrid seorang Lewis.” Bianca sama sekali tidak terpengaruh. Dengan cepat ditinggalkannya Ayahnya dari meja makan. Ia sudah tidak tahan.
“Jangan pernah membantahku Bianca!” Terdengar Ayahnya masih tetap berkoar-koar. Bianca tidak perduli. Ia terus saja melangkah memasuki kamarnya dan menutup pintud dengan bantingan keras. Dadanya sudah sesak. Paru-parunya seolah terisi penuh oleh karbondioksida. Oksigen benar-benar tidak lagi mampu diserapnya. Dengan segera dihempaskannya tubuhnya ke ranjang kamarnya dan menangis sejadi-jadinya. Ia rindu Dad. Ia rindu Ayahnya. Ia ingin sekali memeluk beliau tapi entah mengapa rasa marahnya terhadapnya terlalu besar dan tidak lagi bisa ditahannya. Dad terlalu ikut campur urusanku. Dad tidak berhak. Dad tidak pantas mencampuri urusanku.

TOK…TOK…
Terdengar ketukan dari arah pintu. Beberapa detik kemudian Mama masuk. Bianca langsung menghambur ke pelukan Ibunya dan menangis. Ibunya hanya mengusap kepala putri bungsunya itu dengan sayang.

“Bian benci sama Dad, Ma.” Keluh Bianca. “Dad jahat. Dad ‘ninggalin’ kita.”
“Nggak sayang. Dad nggak pernah ninggalin kita.” Hibur sang mama. Bianca menggeleng dalam pelukan mamanya dan semakin memeluk mamanya erat.

Dad hanya meninggalkan mama… Dad tidak pernah meninggalkan kamu… Alasannya untuk tetap bertahan di rumah ini selama bertahun-tahun adalah karena kamu. Maafkan mama. Sendainya itu tidak pernah terjadi… Jihan membatin. Ia tahu ini semua kesalahannya. Ia tidak yakin jika Bianca bisa memaafkannya jika nantinya ia tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan rumah tangganya dengan Marc – suaminya.
****
Bara memarkir mobilnya di carport gedung apartemen Bimo. Ia sengaja kabur kesini. Ia yakin, meskipun hampir setengah hari ia kabur dari kantor, Nindy pasti akan tetap berusaha mencarinya sampai ketemu. Dan satu-satunya tempat yang aman adalah apartemen sahabatnya yang satu ini. Tidak banyak yang tahu dan bahkan mungkin tidak ada.

“Yakin lo mau ngabur disini? Kenapa nggak ke hotel aja?!” Tanya Bimo. Bara mengerutkan keningnya sambil terus berjalan kea rah lift. Heran dengan Bimo.
“Kenapa? Nggak boleh gue kesini? Lo nyembunyiin cewek ya di apartemen lo?!” Tebak Bara.
“Iya!” Jawab Bimo tegas. Jawaban yang kontan membuat bola mata Bara membulat maksimal. Sejak kapan orang dengan maniak kesetiaan seperti Bimo ini suka menyembunyikan cewek. Di apartemennya lagi. Eh tapi kan belum tentu juga. Sudahlah. Itu tidak penting. Bukan urusannya.
“Lantai berapa?” Tanyanya yang kini akan menekan panel lift.
“25.” Jawab Bimo. Sudahlah. Tidak ada gunanya berdebat dengan orang ini. Tidak mungkin ia harus terus-terus menyembunyikannya. Lagipula Bara tidak harus selalu menghindarinya. Sudah empat tahun berlalu.
Dengan segera lift membawa mereka menuju lantai dua puluh lima dimana apartemen Bimo berada. Bara segera melangkah keluar ketika pintu terbuka dan menuju apartemen nomor 1124 dengan cuek. Ia tidak harus bertanya berapa password apartemen Bimo karena jawabannya sudah pasti ulang tahun Ibunda Bimo sendiri. Bimo mengikutinya dari belakang.
“Hai Bim.” Sapa suara seorang gadis. Bara menebak itulah gadis yang disembunyikan Bimo. Tapi kenapa sepertinya suara itu ia kenal, ya?
“Hai Vi.” Jawab Bimo ramah.
“Bara?” Ucap suara gadis itu. Bara yang baru saja akan menekan angka password, menoleh.
“Vian!” Gumamnya tak percaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar