Catatan harian yang semakin renta dan tua

Selasa, 21 Januari 2014

Cinta Tak Sempurna #6

Bina benar-benar kaget. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan CEO muda ini. Apalagi dengan scenario cerita seperti ini. Ia yang tak sengaja hampir menabrak sang CEO, ia yang seolah ingin minta tumpangan dan ia yang membentak dan menunjuk-nunjuk Fay Bara Putra. Bara yang memang awalnya sudah berencana untuk mendekati gadis ini dengan alasan yang sama sekali tak masuk akal: tidak suka melihat dua orang terlalu berbahagia karena cnta, diam-diam bersiul dalam hati. Takdir benar-benar berpihak padanya sekarang. Dewi Fortunanya dengan suka rela membimbing gadis ini ke hadapannya. Menarik. Begitu pikirnya.

Namun kesenangannya itu hanya sesaat. Tanpa sengaja ia menangkap sosok yang sejak tadi dihindarinya. Nindy. Ia sengaja meminta Bimo untuk mengangkat panggilan telepon dari Nindy pagi tadi. Dengan cepat ia menarik pergelangan tangan Bina dan memaksanya untuk masuk ke dalam mobil. Setelah sukses mendudukkan Bina di jok penumpang dengan keadaan setengah sadar, dengan cepat pula Bara memutari mobil dan masuk ke jok pengemudi dan mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas normal. Dari kaca spion dapat dilihatnya Nindy berlari keluar dari kantor dan berusaha menyusulnya namun sia-sia. Sama sekali lupa mengecek keadaan gadis di sampingnya atau tidak. Masih hidup atau sudah tidak bernyawa karena serangan jantung tiba-tiba.

Begitu mobil agak jauh dari kantor, barulah ia sadar bahwa ia baru saja menarik paksa anak orang untuk mengikutinya yang entah karena alasan apa. Dengan segera dihentikannya laju mobil dan menatap ke samping kirinya dimana gadis itu duduk sambil terus menatap ke depan seperti patung. Pucat pasi. Itulah yang ditangkapnya saat melihat wajah gadis itu.


Denga pelan ditepuknya pundak si gadis yang kontan membuat gadis itu menjerit keras. Bara kaget bukan main dibuatnya. Tidak menyangka gadis ini akan histeris seperti ini. Dengan cepat dibekapnya mulut gadis yang belum diketahuinya siapa namanya itu dengan tangan kanannya dan tangan kirinya yang bebas mendekap tubuh gadis itu.

“Diem!” Bentaknya tertahan. “Gue nggak mau orang-orang ngira gue ngapa-ngapain lo. Sebenarnya Bara yakin bahwa orang-orang di luar tidak akan mendengar jeritan gadis ini karena saat ini mereka ada di dalam mobil dalam keadaan semua kaca tertutup rapat. Belum lagi kaca yang membingkai jendela mobilnya adalah kaca berwarna gelap. Jadi orang-orang pun pasti tidak akan tahu apa yang sedang terjadi di mobil saat ini. Tapi mendengar jeritan gadis ini yang sepertinya bisa mencapai delapan oktaf jika dibiarkan, membuat dirinya refleks untuk menutup mulut gadis itu.

Bina yang diperlakukan sedemikian rupa semakin berontak ketakutan. Berbagai macam pikiran buruk sudah berseliweran di dalam kepalanya. Ia takut. Benar-benar takut. Bian… kamu dimana? Bisiknya dalam hati.
“Stop. Stop. Gue nggak ada maksud jahat sama lo! Tolong diem.” Ucap Bara lagi kali ini lebih lembut.
Dengan mata yang masih menyiratkan ketakutan dan tangis tertahan akhirnya Bina berhenti berontak.
“Sorry. Gue sama sekali nggak ada maksud buat bawa lo ataupun nyulik lo. Gue juga nggak tahu kenapa gue bisa sampe ngelakuin itu. Gue lagi ngehindarin seseorang tadi.” Bara menjelaskan.
Dengan perlahan ketakutan di mata Bina memudar sedikit demi sedikit. Dengan tubuh lemas akhirnya ia mencoba membuka pintu mobil tapi ternyata terkunci.
“Bisa tolong buka pintunya, nggak?” Tanya Bina perlahan.
“Lo mau kemana?” Tanya Bara.
“Saya mau pulang, Pak.” Jawab Bina sopan dengan sengaja menggunakan bahasa formal. Sadar bahwa yang ada di depannya ini bukanlah orang biasa saja.
“Gue anterin.” Ucap Bara. Sama sekali bukan bentuk tawaran tapi pernyataan.
“Nggak usah Pak. Saya bisa pulang sendiri.” Tolak Bina sopan dan halus.
“Kenapa? Ada yang bakalan jemput lo?” Tanya Bara. Bina hanya menggeleng sebagai jawaban.
“Oke. Kalo gitu gue anterin.” Bara kembali melajukan mobilnya tanpa menunggu persetujuan Bina lebih dulu. Bina hanya bisa diam. Tidak bisa protes. Mobil sudah melaju. Mau bagaimana lagi? Ia tidak mungkin melompat keluar saat mobil sedang dalam keadaan berjalan seperti ini dan meniru adegan di film-film action yang sering ia tonton. Bagus kalo jatohnya keren. Kalo jatohnya pas kecebur got, malu-maluin banget.
Bara melajukan mobil dengan kecepatan normal menuju daerah Gambir. Bina kaget. Sepertinya ia belum memberi tahu dimana alamat rumahnya. Dan lagipula, ini bukan jalan menuju rumahnya.
“Ini mau kemana Pak?” Tanya Bina hati-hati.
“Gua bekal nganterin lo pulang. Tapi sebelumnya kita mampir dulu di suatu tempat.” Jawab Bara santai.
Mobil berhenti di depan sebuah restoran es krim yang cukup terkenal. Ragusa Es Italia. Itulah namanya. Bian tidak menyangka Bara akan membawanya kesini. Ia belum pernah sekalipun mencicipi eskrim di restoran yang terletak di Jl. Veteran itu. Apakah Bapak Fay ini akan mentraktirnya? Sebagai permohonan maaf. Bisa jadi karena setahu Bina orang kaya memang selalu menggunakan uang mereka untuk hal appaun yang mereka inginkan. Termasuk membeli permintaan maaf.
“Kita mampir dulu. Sebagai permintaan maaf, gue bakal traktir lo.” Ucap Bara sambil keluar dari mobil. Dengan cepat Bina mengikutinya.
“Nggak usah Pak. Lebih baik saya pulang saja.” Tolak Bina.
“Jangan nolak. Nggak baik nolak rezeki.” Bantah Bara halus sambil berlalu memasuki restoran.
Bina terkagum-kagum menatap restoran itu. Dengan toko model vintage zaman penjajahan Hindia Belanda yang menandakan bahwa took tersebut sudah lama berdiri. Bina memesan Banana Split dan Bara menjatuhkan pilihannya pada Chocolate Sundae. Sebenarnya Bara yang memilihkan. Bina hanya mengiyakan saja.
“Oh iya. Kenalin gue Bara.” Bara mengulurkan tangannya ke arah Bina saat mereka sedang menikmati pesanan mereka. Ragu-ragu Bina menjabat uluran tangan Bara dan menyebutkan namanya. “Sabrina.” Ucapnya kikuk.
“Gue panggil Bina boleh, kan?” Tanya Bara. Sempat membuat Bina terkejut kenapa Bara bisa tahu nama panggilannya.
“Soalnya nama panggilan yang cocok buat Shabrina itu cuma Bina. Masa lo gue panggil Shab…Shab.. Nggak lucu banget dengernya.” Jelas Bara. Tahu benar kekagetan Bina. Sepertinya cewek ini adalah sosok yang ekspresif. Terka Bara dalam hati.
Bina hanya menanggapi dengan senyuman penjelasan Bara tersebut. “Lo beneran nggak kenal gue?” Bara mengulang pertanyaannya yang tadi. Sepertinya ia ngotot banget pengen dikenal sama Bina.
“Saya tahu Bapak. Saya pernah lihat di infotainment.” Jawab Bina. Tapi saya nggak kenal. Sambungnya dalam hati. Tidak berani menyuarakannya entah kenapa.
“Suka infotainment juga?” Tanya Bara dengan senyum sumringah bercampur geli yang tercetak di wajahnya. Emang jawaban gue selucu itu apa? Bina hanya kembali tersenyum kikuk. Bingung harus merespon seperti apa.
Acara menikmati eskri itu berjalan dengan begitu banyak pertanyaan yang dilontarkan dan komentar-komentar menggelikan dari Bara. Bina sempat berdecak dalam hati. Kagum. Sepertinya Pak Fay ini bukan jenis orang sombong yang menyebalkan. Cukup menyenangkan untuk dijadikan sebagai seorang teman. Tapi Bina tahu dengan jelas bahwa itu adalah hal yang kemungkinannya bahkan tidak mencapai o,1%.
Pertanyaan terakhir yang dilontarkan Bara adalah tentang dimana alamat rumah Bina. Bina tahu dengan jelas kenapa. Tidak mungkin Bara mengantarnya sampai di rumah jika ia tidak memberi tahu dimana alamat rumahnya. Dengan perasaan berat akhirnya Bina memberi tahu dimana tempat tinggalnya dan dengan cepat Bara melajukan mobilnya mengantarkannya pulang.
****
Bianca baru saja keluar dari mobilnya yang diparkir di carport rumahnya ketika telinganya menangkap sosok suara yang menyerukan namanya. Suara yang sudah sangat dihapalnya bahkan sampai di luar kepalanya.
“Bianca!” Seru suara itu.
Dengan detak jantung yang tiba-tiba saja menjadi tidak normal Bianca memutar tubuhnya dan menghadap ke arah pagar rumahnya yang baru setengah ditutup oleh satpam rumah. Bian!
“Kenapa Bi?” Dengan cepat Bianca melangkah dan mendekati Bian. Wajah Bian tampak begitu keruh. “Masuk dulu?” Tawar Bianca.
Bian mengeleng tanda menolak. “Gue cuma mau nanya. Lo tadi ada ketemu Bina nggak?” Tanya Bian dengan wajah khawatir.
Lagi-lagi Bina, bisik Bianca dalam hati. “Nggak.” Jawabnya.
“Ya udah makasih ya.” Baru saja Bian hendak pergi, Bianca tiba-tiba memanggilnya.
“Bi?”
“Ya?” Jawab Bian dengan wajah tak sabar. Terlihat sekali ia buru-buru.
“Tadi Bina nelepon gue. Katanya observasinya udah selesai. Udah nelepon lo tapi nggak diangkat.” Jelas Bianca. Tadinya ia tak ingin menceritakannya. Biarkan saja. Sekali-sekali Bina dan Bian tidak bertemu tidak apa-apa. Tapi demi melihat wajah keruh dan khawatir Bian, akhirnya ia tidak tega. Bian hanya mengangguk mengiayakn.
“Ada apa emang?” Tanya Bianca.
“Tadi gue udah ke perusahaan tempat Bina obseravasi. Tapi katanya Bina udah pulang dari tadi. Gue ke rumah dia belum nyampe. Gue telepon nomornya nggak aktif. Gue jadi khawatir.” Jelas Bian frustasi.
Sebesar itukah? Sebesar itukah rasa cintamu? Jerit Bianca dalam hati.

TIN TIN!! Sebuah klakson tiba-tiba berbunyi di samping motor Bian yang memang diparkir agak menyamping. Dengan cepat ditariknya gas dan memberikan ruang bagi sedan hitam tersebut untuk masuk.
Daddy! Alarm dalam kepala Bianca segera memberinya pertanda dan peringatan. Ia belum mengecek keadaan mamanya di dalam. Ia belum sempat masuk karena mendengar namanya dipanggil oleh Bian.
Sedan hitam mewah itu berhenti tapat di samping Bianca, Kaca jendela bangku belakang terbuka dan menampakkan sosok Ayahnya yang selalu menakutkan baginya. Dengan setelan kemeja, dasi serta jas menandakan beliau baru pulang dari kantor.

“Bianca, masuk!” Perintah Ayahnya tidak bisa dibantah. Bianca mengangguk dan memandang Bian minta maaf. Bian mafhum dan menanggapi dengan anggukan kepala. “Gue balik, ya. Thank’s.” Pamit Bian seraya melajukan motornya setelah mendapat anggukan iya dari Bianca.
Hati-hati…
****
Sebelum mengantar Bina hingga rumah, Bara meminta izin kepadanya untuk menjemput temannya sebentar. Agak kesal juga sih Bina sebenarnya. Ini sebenernya niat nganterin pulang nggak sih? Dari tadi mampir mulu. Dengan terpaksa Bina mengiyakan. Lagipula ia tidak bisa menolak. Ini bukan mobilnya dan Bara bukan sopirnya. Jadi ia tidak bisa seenaknya.

Lima belas menit kemudian Bara menghentikan mobilnya begitu saja di pinggir jalan. Pikiran buruk kembali menghantui Bina, namun segera hilang saat dilihatnya sosok laki-laki masuk di jok penumpang di belakang jok pengemudi.

“Lelet bener sih lo?” Omel laki-laki itu. “Gue udah bête tahu denger keluhannya Nindy. Bara nyebelinlah, Bara tegalah, Bara inilah, Bara itulah, dan Bara yang akan tetap dan selalu keren di matanya dengan tingkahnya yang bikin orang pengen jerit-jerit seketika. Gila ya tuh cewek. Segitu terobsesinya sama lo.” Omel laki-laki itu lebih panjang lagi.
“Berisik lo!” Tegur Bara tidak enak dengan Bina. Dasar Bimo rese. Bener-bener nggak bisa baca situasi. Tahu-tahu ada orang lain disini, bukan cuma mereka berdua. Seenak jidat banget ngomel kayak orang kebakaran jenggot.
“Eh jangan proetes, ya. Gue udah rela bantuin lo!”
“Ya…ya…ya. ..” Bara menyerah. Ia tidak bisa memaksa Bimo diam jika sudah seperti ini. Bimo pasti akan mengomel lebih panjang dan lebih lebar lagi dari sebelumnya. Sebenarnya ia berterima kasih juga kepada Bimo karena sudah membantunya meng-handle Nindy yang sejak tadi terus-terusan memberondongnya dengan panggilan telepon dan berpuluh-puluh pesan mulai dari pesan di ponselnya sampai di jejaring sosial.
Bimo yang baru sadar ternyata tidak hanya ada mereka berdua di mobil itu langsung menutup mulutnya rapat. Sadar bahwa ia baru saja menurunkan pamornya dengan mengomeli Bara dengan omelan ala tante cerewet. Tapi sepertinya ia mengenal seseorang yang kini duduk di samping Bara dengan tenang itu.
“Shabrina?” Panggilnya tak percaya.
Bina yang tidak menyangka bahwa teman Bara ini mengenalnya, menolehkan kepalanya dengan cepat. “Kak Bimo?” Bina pun sama terkejutnya. Ia juga tidak menyangka bahwa teman yang dijemput Bara ini adalah Bimo Ardian, salah satu putra pengusaha kaya yang entah kenapa sampai saat ini masih betah berlama-lama di kampus dan tidak juga diwisuda yang kadang-kadang mengikuti kuliah di kelas mereka.
“Bian mana?” Tanya Bimo. “Kok lo bisa bareng Bara?” Sambungnya.
“Bina temen gue. Kenapa emang?” Bara yang menjawab.
“Eh gue nggak nanya sama lo!” Tegur Bimo. “Kok kalian bisa saling kenal?” Tanyanya lagi.
“Ya bisalah. Kepo banget sih lo?” Lagi-lagi Bara yang menjawab. Bimo hanya mendengus jengkel sementara Bina hanya menahan senyum melihat ekspresi sebal yang Bimo tujukan kepada Bara. Sebenarnya ia merupakan salah satu penggemar Bimo. Bimo itu imut. Wajahnya sangat cute.
“Kak Bimo tadi ngapain? Kok kayaknya berdiri di pinggir jalan gitu?” Kali ini Bina yang bertanya.
“Abis nemenin singa betina belanja plus dengerin dia curhat.” Jawab Bimo asal. Bina hanya mengerutkan keningnya bingung, sementara Bara hanya tertawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar