Bina
benar-benar kaget. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan CEO muda ini. Apalagi
dengan scenario cerita seperti ini. Ia yang tak sengaja hampir menabrak sang
CEO, ia yang seolah ingin minta tumpangan dan ia yang membentak dan
menunjuk-nunjuk Fay Bara Putra. Bara yang memang awalnya sudah berencana untuk
mendekati gadis ini dengan alasan yang sama sekali tak masuk akal: tidak suka
melihat dua orang terlalu berbahagia karena cnta, diam-diam bersiul dalam hati.
Takdir benar-benar berpihak padanya sekarang. Dewi Fortunanya dengan suka rela
membimbing gadis ini ke hadapannya. Menarik. Begitu pikirnya.
Namun
kesenangannya itu hanya sesaat. Tanpa sengaja ia menangkap sosok yang sejak
tadi dihindarinya. Nindy. Ia sengaja meminta Bimo untuk mengangkat panggilan
telepon dari Nindy pagi tadi. Dengan cepat ia menarik pergelangan tangan Bina
dan memaksanya untuk masuk ke dalam mobil. Setelah sukses mendudukkan Bina di
jok penumpang dengan keadaan setengah sadar, dengan cepat pula Bara memutari
mobil dan masuk ke jok pengemudi dan mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan di
atas normal. Dari kaca spion dapat dilihatnya Nindy berlari keluar dari kantor
dan berusaha menyusulnya namun sia-sia. Sama sekali lupa mengecek keadaan gadis
di sampingnya atau tidak. Masih hidup atau sudah tidak bernyawa karena serangan
jantung tiba-tiba.
Begitu
mobil agak jauh dari kantor, barulah ia sadar bahwa ia baru saja menarik paksa
anak orang untuk mengikutinya yang entah karena alasan apa. Dengan segera
dihentikannya laju mobil dan menatap ke samping kirinya dimana gadis itu duduk
sambil terus menatap ke depan seperti patung. Pucat pasi. Itulah yang
ditangkapnya saat melihat wajah gadis itu.
Denga
pelan ditepuknya pundak si gadis yang kontan membuat gadis itu menjerit keras. Bara
kaget bukan main dibuatnya. Tidak menyangka gadis ini akan histeris seperti
ini. Dengan cepat dibekapnya mulut gadis yang belum diketahuinya siapa namanya
itu dengan tangan kanannya dan tangan kirinya yang bebas mendekap tubuh gadis
itu.
“Diem!”
Bentaknya tertahan. “Gue nggak mau orang-orang ngira gue ngapa-ngapain lo. Sebenarnya
Bara yakin bahwa orang-orang di luar tidak akan mendengar jeritan gadis ini
karena saat ini mereka ada di dalam mobil dalam keadaan semua kaca tertutup
rapat. Belum lagi kaca yang membingkai jendela mobilnya adalah kaca berwarna
gelap. Jadi orang-orang pun pasti tidak akan tahu apa yang sedang terjadi di
mobil saat ini. Tapi mendengar jeritan gadis ini yang sepertinya bisa mencapai
delapan oktaf jika dibiarkan, membuat dirinya refleks untuk menutup mulut gadis
itu.
Bina
yang diperlakukan sedemikian rupa semakin berontak ketakutan. Berbagai macam
pikiran buruk sudah berseliweran di dalam kepalanya. Ia takut. Benar-benar
takut. Bian… kamu dimana? Bisiknya dalam
hati.
“Stop.
Stop. Gue nggak ada maksud jahat sama lo! Tolong diem.” Ucap Bara lagi kali ini
lebih lembut.
Dengan
mata yang masih menyiratkan ketakutan dan tangis tertahan akhirnya Bina
berhenti berontak.
“Sorry.
Gue sama sekali nggak ada maksud buat bawa lo ataupun nyulik lo. Gue juga nggak
tahu kenapa gue bisa sampe ngelakuin itu. Gue lagi ngehindarin seseorang tadi.”
Bara menjelaskan.
Dengan
perlahan ketakutan di mata Bina memudar sedikit demi sedikit. Dengan tubuh
lemas akhirnya ia mencoba membuka pintu mobil tapi ternyata terkunci.
“Bisa
tolong buka pintunya, nggak?” Tanya Bina perlahan.
“Lo
mau kemana?” Tanya Bara.
“Saya
mau pulang, Pak.” Jawab Bina sopan dengan sengaja menggunakan bahasa formal. Sadar
bahwa yang ada di depannya ini bukanlah orang biasa saja.
“Gue
anterin.” Ucap Bara. Sama sekali bukan bentuk tawaran tapi pernyataan.
“Nggak
usah Pak. Saya bisa pulang sendiri.” Tolak Bina sopan dan halus.
“Kenapa?
Ada yang bakalan jemput lo?” Tanya Bara. Bina hanya menggeleng sebagai jawaban.
“Oke.
Kalo gitu gue anterin.” Bara kembali melajukan mobilnya tanpa menunggu
persetujuan Bina lebih dulu. Bina hanya bisa diam. Tidak bisa protes. Mobil sudah
melaju. Mau bagaimana lagi? Ia tidak mungkin melompat keluar saat mobil sedang
dalam keadaan berjalan seperti ini dan meniru adegan di film-film action yang sering ia tonton. Bagus kalo
jatohnya keren. Kalo jatohnya pas kecebur got, malu-maluin banget.
Bara
melajukan mobil dengan kecepatan normal menuju daerah Gambir. Bina kaget. Sepertinya
ia belum memberi tahu dimana alamat rumahnya. Dan lagipula, ini bukan jalan
menuju rumahnya.
“Ini
mau kemana Pak?” Tanya Bina hati-hati.
“Gua
bekal nganterin lo pulang. Tapi sebelumnya kita mampir dulu di suatu tempat.” Jawab
Bara santai.
Mobil
berhenti di depan sebuah restoran es krim yang cukup terkenal. Ragusa Es
Italia. Itulah namanya. Bian tidak menyangka Bara akan membawanya kesini. Ia belum
pernah sekalipun mencicipi eskrim di restoran yang terletak di Jl. Veteran itu.
Apakah Bapak Fay ini akan mentraktirnya? Sebagai permohonan maaf. Bisa jadi
karena setahu Bina orang kaya memang selalu menggunakan uang mereka untuk hal
appaun yang mereka inginkan. Termasuk membeli permintaan maaf.
“Kita
mampir dulu. Sebagai permintaan maaf, gue bakal traktir lo.” Ucap Bara sambil
keluar dari mobil. Dengan cepat Bina mengikutinya.
“Nggak
usah Pak. Lebih baik saya pulang saja.” Tolak Bina.
“Jangan
nolak. Nggak baik nolak rezeki.” Bantah Bara halus sambil berlalu memasuki restoran.
Bina
terkagum-kagum menatap restoran itu. Dengan toko model vintage zaman penjajahan
Hindia Belanda yang menandakan bahwa took tersebut sudah lama berdiri. Bina
memesan Banana Split dan Bara menjatuhkan pilihannya pada Chocolate Sundae. Sebenarnya
Bara yang memilihkan. Bina hanya mengiyakan saja.
“Oh
iya. Kenalin gue Bara.” Bara mengulurkan tangannya ke arah Bina saat mereka
sedang menikmati pesanan mereka. Ragu-ragu Bina menjabat uluran tangan Bara dan
menyebutkan namanya. “Sabrina.” Ucapnya kikuk.
“Gue
panggil Bina boleh, kan?” Tanya Bara. Sempat membuat Bina terkejut kenapa Bara
bisa tahu nama panggilannya.
“Soalnya
nama panggilan yang cocok buat Shabrina itu cuma Bina. Masa lo gue panggil Shab…Shab..
Nggak lucu banget dengernya.” Jelas Bara. Tahu benar kekagetan Bina. Sepertinya
cewek ini adalah sosok yang ekspresif. Terka Bara dalam hati.
Bina
hanya menanggapi dengan senyuman penjelasan Bara tersebut. “Lo beneran nggak
kenal gue?” Bara mengulang pertanyaannya yang tadi. Sepertinya ia ngotot banget
pengen dikenal sama Bina.
“Saya
tahu Bapak. Saya pernah lihat di infotainment.”
Jawab Bina. Tapi saya nggak kenal. Sambungnya dalam hati. Tidak berani
menyuarakannya entah kenapa.
“Suka
infotainment juga?” Tanya Bara dengan
senyum sumringah bercampur geli yang tercetak di wajahnya. Emang jawaban gue
selucu itu apa? Bina hanya kembali tersenyum kikuk. Bingung harus merespon
seperti apa.
Acara
menikmati eskri itu berjalan dengan begitu banyak pertanyaan yang dilontarkan
dan komentar-komentar menggelikan dari Bara. Bina sempat berdecak dalam hati. Kagum.
Sepertinya Pak Fay ini bukan jenis orang sombong yang menyebalkan. Cukup menyenangkan
untuk dijadikan sebagai seorang teman. Tapi Bina tahu dengan jelas bahwa itu
adalah hal yang kemungkinannya bahkan tidak mencapai o,1%.
Pertanyaan
terakhir yang dilontarkan Bara adalah tentang dimana alamat rumah Bina. Bina
tahu dengan jelas kenapa. Tidak mungkin Bara mengantarnya sampai di rumah jika
ia tidak memberi tahu dimana alamat rumahnya. Dengan perasaan berat akhirnya
Bina memberi tahu dimana tempat tinggalnya dan dengan cepat Bara melajukan
mobilnya mengantarkannya pulang.
****
Bianca
baru saja keluar dari mobilnya yang diparkir di carport rumahnya ketika telinganya menangkap sosok suara yang
menyerukan namanya. Suara yang sudah sangat dihapalnya bahkan sampai di luar
kepalanya.
“Bianca!”
Seru suara itu.
Dengan
detak jantung yang tiba-tiba saja menjadi tidak normal Bianca memutar tubuhnya
dan menghadap ke arah pagar rumahnya yang baru setengah ditutup oleh satpam
rumah. Bian!
“Kenapa
Bi?” Dengan cepat Bianca melangkah dan mendekati Bian. Wajah Bian tampak begitu
keruh. “Masuk dulu?” Tawar Bianca.
Bian
mengeleng tanda menolak. “Gue cuma mau nanya. Lo tadi ada ketemu Bina nggak?”
Tanya Bian dengan wajah khawatir.
Lagi-lagi
Bina, bisik Bianca dalam hati. “Nggak.” Jawabnya.
“Ya
udah makasih ya.” Baru saja Bian hendak pergi, Bianca tiba-tiba memanggilnya.
“Bi?”
“Ya?”
Jawab Bian dengan wajah tak sabar. Terlihat sekali ia buru-buru.
“Tadi
Bina nelepon gue. Katanya observasinya udah selesai. Udah nelepon lo tapi nggak
diangkat.” Jelas Bianca. Tadinya ia tak ingin menceritakannya. Biarkan saja. Sekali-sekali
Bina dan Bian tidak bertemu tidak apa-apa. Tapi demi melihat wajah keruh dan
khawatir Bian, akhirnya ia tidak tega. Bian hanya mengangguk mengiayakn.
“Ada
apa emang?” Tanya Bianca.
“Tadi
gue udah ke perusahaan tempat Bina obseravasi. Tapi katanya Bina udah pulang
dari tadi. Gue ke rumah dia belum nyampe. Gue telepon nomornya nggak aktif. Gue
jadi khawatir.” Jelas Bian frustasi.
Sebesar
itukah? Sebesar itukah rasa cintamu? Jerit Bianca dalam hati.
TIN
TIN!! Sebuah klakson tiba-tiba berbunyi di samping motor Bian yang memang
diparkir agak menyamping. Dengan cepat ditariknya gas dan memberikan ruang bagi
sedan hitam tersebut untuk masuk.
Daddy!
Alarm dalam kepala Bianca segera memberinya pertanda dan peringatan. Ia belum
mengecek keadaan mamanya di dalam. Ia belum sempat masuk karena mendengar
namanya dipanggil oleh Bian.
Sedan
hitam mewah itu berhenti tapat di samping Bianca, Kaca jendela bangku belakang
terbuka dan menampakkan sosok Ayahnya yang selalu menakutkan baginya. Dengan setelan
kemeja, dasi serta jas menandakan beliau baru pulang dari kantor.
“Bianca,
masuk!” Perintah Ayahnya tidak bisa dibantah. Bianca mengangguk dan memandang
Bian minta maaf. Bian mafhum dan menanggapi dengan anggukan kepala. “Gue balik,
ya. Thank’s.” Pamit Bian seraya melajukan motornya setelah mendapat anggukan
iya dari Bianca.
Hati-hati…
****
Sebelum
mengantar Bina hingga rumah, Bara meminta izin kepadanya untuk menjemput
temannya sebentar. Agak kesal juga sih Bina sebenarnya. Ini sebenernya niat
nganterin pulang nggak sih? Dari tadi mampir mulu. Dengan terpaksa Bina
mengiyakan. Lagipula ia tidak bisa menolak. Ini bukan mobilnya dan Bara bukan
sopirnya. Jadi ia tidak bisa seenaknya.
Lima
belas menit kemudian Bara menghentikan mobilnya begitu saja di pinggir jalan. Pikiran
buruk kembali menghantui Bina, namun segera hilang saat dilihatnya sosok
laki-laki masuk di jok penumpang di belakang jok pengemudi.
“Lelet
bener sih lo?” Omel laki-laki itu. “Gue udah bête tahu denger keluhannya Nindy.
Bara nyebelinlah, Bara tegalah, Bara inilah, Bara itulah, dan Bara yang akan
tetap dan selalu keren di matanya dengan tingkahnya yang bikin orang pengen
jerit-jerit seketika. Gila ya tuh cewek. Segitu terobsesinya sama lo.” Omel laki-laki
itu lebih panjang lagi.
“Berisik
lo!” Tegur Bara tidak enak dengan Bina. Dasar Bimo rese. Bener-bener nggak bisa
baca situasi. Tahu-tahu ada orang lain disini, bukan cuma mereka berdua. Seenak
jidat banget ngomel kayak orang kebakaran jenggot.
“Eh
jangan proetes, ya. Gue udah rela bantuin lo!”
“Ya…ya…ya.
..” Bara menyerah. Ia tidak bisa memaksa Bimo diam jika sudah seperti ini. Bimo
pasti akan mengomel lebih panjang dan lebih lebar lagi dari sebelumnya. Sebenarnya
ia berterima kasih juga kepada Bimo karena sudah membantunya meng-handle Nindy yang sejak tadi
terus-terusan memberondongnya dengan panggilan telepon dan berpuluh-puluh pesan
mulai dari pesan di ponselnya sampai di jejaring sosial.
Bimo
yang baru sadar ternyata tidak hanya ada mereka berdua di mobil itu langsung
menutup mulutnya rapat. Sadar bahwa ia baru saja menurunkan pamornya dengan
mengomeli Bara dengan omelan ala tante cerewet. Tapi sepertinya ia mengenal
seseorang yang kini duduk di samping Bara dengan tenang itu.
“Shabrina?”
Panggilnya tak percaya.
Bina
yang tidak menyangka bahwa teman Bara ini mengenalnya, menolehkan kepalanya
dengan cepat. “Kak Bimo?” Bina pun sama terkejutnya. Ia juga tidak menyangka
bahwa teman yang dijemput Bara ini adalah Bimo Ardian, salah satu putra
pengusaha kaya yang entah kenapa sampai saat ini masih betah berlama-lama di
kampus dan tidak juga diwisuda yang kadang-kadang mengikuti kuliah di kelas
mereka.
“Bian
mana?” Tanya Bimo. “Kok lo bisa bareng Bara?” Sambungnya.
“Bina
temen gue. Kenapa emang?” Bara yang menjawab.
“Eh
gue nggak nanya sama lo!” Tegur Bimo. “Kok kalian bisa saling kenal?” Tanyanya
lagi.
“Ya
bisalah. Kepo banget sih lo?” Lagi-lagi Bara yang menjawab. Bimo hanya
mendengus jengkel sementara Bina hanya menahan senyum melihat ekspresi sebal
yang Bimo tujukan kepada Bara. Sebenarnya ia merupakan salah satu penggemar
Bimo. Bimo itu imut. Wajahnya sangat cute.
“Kak
Bimo tadi ngapain? Kok kayaknya berdiri di pinggir jalan gitu?” Kali ini Bina
yang bertanya.
“Abis
nemenin singa betina belanja plus dengerin dia curhat.” Jawab Bimo asal. Bina hanya
mengerutkan keningnya bingung, sementara Bara hanya tertawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar