Catatan harian yang semakin renta dan tua

Rabu, 29 Januari 2014

Kontrak Cinta #3



            Vivian baru saja melangkah keluar dari apartemen ketika sosok Ael tiba-tiba saja muncul dan menghalangi jalannya. Tubuhh menjulang itu berdiri tepat di depan Vivian sambil menyedekapkan tangannya. Mood Vivian yang sedang cerah-cerahnya tiba-tiba berubah mendung. Gloomy seketika. Dengan kesal ia bergeser ke kanan untuk melanjutkan langkahnya tapi dengan cepat Ael kembali menghalanginya. Akhirnya ia bergeser kea rah kiri, namun lagi-lagi Ael menutup aksesnya untuk keluar.
“Minggir deh! Gue udah telat!” Perintahnya.
“Gue mau bikin perjanjian dulu sama lo!” Tegas Ael.
Vivian mengerutkan keningnya. Perjanjian? Perjanjian apa? Jual-beli? Hutang-piutang? “Gue nggak ada waktu buat maen-maen nggak jelas sama lo!”
“Siapa yang mau main-main sih Yang. Gue serius!”
“Ya udah apaan?” Akhirnya Vivian pasrah. Tidak ada gunanya berdebat lama-lama dengan makhluk sinting di depannya ini. Yang ada waktunya semakin terbuang percuma.
“Oke! Gue mau, ntar siang lo makan siang bareng gue!” Jawab Ael. Sama sekali bukan tawaran atau permintaan. Itu pernyataan yang jelas sekali tidak bisa dibantah.
“Nggak bisa! Gue ada janji mau makan bareng Indra.” Tolak Vivian. Dirinya memang sudah ada janji untuk makan siang bersama Indra – atasan sekaligus sahabatanya sejak kuliah.
Ael mengerutkan keningnya. Sejak kapan Ivy punya pacar? Tanyanya dalam hati. “Indra siapa?” Tanyanya kepo.
“Kepo banget sih lo!” Vivian merasa tidak perlu menjawab pertanyaan Ael. Waktunya justru akan semakin terbuang percuma. “Udah ya Ael. Gue nggak punya banyak waku. Gue udah telat!”
“Nggak peduli! Lo nggak iya-in, lo nggak ngantor!” Jawab Ael tidak peduli. Vivian menggeram dalam hati. Ia mengutuki dirinya sendiri yang sialnya harus bertemu dengan orang yang cuek, nggak peduli dan percaya dirinya sejuta seperti laki-laki menyebalkan ini.
“Oke! Tapi gue harus ngomong dulu sama Indra.” Lagi-lagi Vivian hanya bisa pasrah. Di-iyain aja deh. Nggak mungkin gue nggak masuk kantor, walaupun sebenernya gue rasa gue butuh banget libur sekarang.
‘Indra itu siapa sih?” Lagi-lagi Ael menanyakan Indra. Bête juga dia kalo dari tadi nanya tapi nggak dijawab-jawab. Baru saja Vivian hendak menjawab…. “Jawab aja langsung. Nggak usah ngatain gue kepo.” Sambungnya.
Vivian menarik napas panjang. “Atasan gue!” Jawab Vivian akhirnya. Ael tidak berkomentar. Ia hanya memandang Vivian dengan tatapan menyelidik. Seorang sekertaris makan siang dengan atasannya. Bukan berarti tanpa alsan, kan? Pasti ada sesuatu.
“Biar gue aja yang ngomong!” Ucap Ael tiba-tiba.
“Ha?” Vivian hanya melongo mendengarnya. Otaknya masih berusaha mencera apa yang baru saja dikatakan Rafael. Ael mau ngomong sama Indra? Mau ngomong apa? Tiba-tiba Rafael menarik salah satu tangan Vivian dan menyeretnya untuk mengikutinya.
“Eh…eh… tunggu tunggu! Lo mau bawa gue kemana?” Vivian bertanya di sela-sela langkah tergesanya yang berusaha menyeimbangkan dengan langkah-langkah panjang Rafael. “Lepasin! Sakit tau!” Teriaknya. Tapi Ael sama sekali tidak menggubris teriakan Vivian itu. Yang ada cengkramannya malah semakin kuat dan ia semakin menyeret Vivian.
****

            Awalnya Vivian tidak tahu kemana Rafael akan membawanya. Ia baru tersadar ketika mobil yang dikendarai manusia aneh itu memasuki area kentornya. Mata Vivian bahkan sampai membulat. Bukan karena ia kaget dari mana Ael tahu tempatnya bekerja, tapi apa nanti yang akan dikatakan orang-orang di kantor jika ia datang diantar oleh seorang laki-laki. Ia sangat tidak suka digosipkan, apalagi jika kehidupan pribadinya dikorek-korek. Sayangnya, area kantor adalah dangerous area bagi ketidaksukaannya itu. Gosip apapun pasti akan dengan sangat cepat beredar disini. Seperti rudal yang ditembakkan dengan kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya. Tidak butuh lima menit. Mau gossip itu benar atau tidak, mereka tidak akan perduli. Yang jelas, mereka akan dengan senang hati meladeni info-info yang beredar dengan alasan hiburan di tengah pekerjaan yang menumpuk.

“Ngapain lo nganter gue kesini?!” Tanyanya pada Ael yang kini hendak membuka pintu mobil. Ael mengerutkan keningnya. Aneh banget sih ni anak? Tadi bilangnya mau ngantor, sekarang malah nanya kenapa dianter di kantor.

“Lo mau nagntor, kan? Udah ayok turun!” Jawab Ael sambil kembali hendak membuka pintu. Dengan cepat Vivian menahan lengan kiri Ael. Ael hanya berbalik dan menatapnya bingung. Tepatnya menatap tangannya yang dicekal Vivian.

“Kenapa? Lo mau mintu ciuman perpisahan?” Godanya. Vivian yang sudah panik bukan main entah kenapa hanya menganggukkan kepalanya cepat. Ael hanya tersenyum melihat reaksi Vivian yang amat lucu baginya.
CUP! Didaratkannya satu kecupan di kening gadis yang tampak panik itu. Vivian tidak bereaksi. Ia hanya menatap Ael dengan tatapan kebingungan. Melihat tampang Vivian yang seperti orang kejatuhan bom, Rafael jadi bingung dan salah tingkah sendiri. Gue salah, ya? Bukannya tdai dia yang minta cium? Pikirnya. Digaruknya tengkuknya yang tidak gatal. “Ada lagi?” Tanyanya serba salah.

Vivian yang baru saja menyadari apa saja yang terjadi seketika menjerit. “HUWAAAAAAA…………. LO NGAPAIN TADI???!!!” Jeritnya histeris.

“Eh…eh… jangan teriak-teriak. Ntar dikira gue ngapa-ngapain lo lagi.” Tegur Rafael panik. Ia tidak menyangka Vivian akan menjerit histeris seperti kuntilanak yang terkena gangguan jiwa seperti ini.
“LO EMANG ABIS NGAPA-NGAPN GUE TADI!!!” Suara Vivian kembali naik beberapa oktav. Lebih keras dan nyaring daripada saat menjerit tadi.

“EH JANGAN SEMBARANGAN, YA! GUE NGGAK MACEM-MACEM SAMA LO! ORANG LO YANG MINTA!” Bantah Rafael tidak terima. Enak aja nyalahin orang sembarangan. Orang dia yang minta, gue sih oke oke aja. Cium kening doang ini. Tanpa sadar ia juga jadi ikut-ikutan berteriak. Beberapa orang yang baru hendak memasuki kantor pun sampai mendengar perdebatan mereka. Untung saja kaca mobil Rafael berwarna gelap, jadi tidak akan terlihat dari luar.

“GUE NGGAK MINTA APA-APA YA DARI LO! GUE JUGA NGGAK MINTA DIANTER!” Vivian membantah dengan nada suara yang kembali lebih tinggi dari sebelumnya. Rafael sampai menutup kupingnya yang sakit karena mendengar suara Vivian yang naudzubillah bisa membuat gendang telinganya sobek seketika. Sebenarnya Vivian tidak mengerti kemana arah pembicaraan Ael. Ia juga tidak tahu apa yang dimaksud Ael dengan “dirinya sendiri yang meminta.” Yang ia tahu, Ael baru saja bertidak kurang ajar dengan mencium keningnya seenak jidatnya.

“Gue kan cuma nganter lo biar nggak telat. Dasar nggak tahu terima kasih. Lagian gue juga udah bilang kan tadi kalo gue mau ngomong sama Si Indra Indra atasan lo yang baik hatinya selangit sampe ngajakin lo makan siang bareng.” Sewot Rafael kesal. Ia jadi kesal sendiri mendengar nama Indra. Masa ajakan makan siang orang nggak jelas itu diterima sementara ajakan makan siangnya ditolak. Gue kan calon suami Ivy. Walaupun gue nggak ada niat sama sekali buat nikah sama cewek rempong ini. Lagian si Indra itu cuma atasan, kenapa sampe mesti diistimewain.

Vivian yang sudah capek berdebat akhirnya memutuskan untuk keluar dari mobil dengan membanting pintu agak keras. Ael sampai kaget dan mengelus dadanya. “Sialan! Untung gue nggak jantungan,” umpatnya. Vivian yang baru saja kesal hanya bisa melongo pasrah ketika dilihatnya beberapa karyawan yang tidak dikenalnya dan beberapa temannya memandang kearahnya dengan tatapan heran. Dengan segala macam perasaan yang menggambarkan kekesalan ia melangkah memasuki kantor dengan acuh. Masa bodohlah. Ia sedang tidak ingin perduli. Nanti nanti saja dipikirkan

“Vi…” Tegur Mario, salah satu temannya di kantor.
“Pagi Yo.” Jawabnya sambil berusaha tersenyum.
“Pagi. Kusut banget muka lo!” Canda laki-laki tampan itu.
“Iya nih. Udah seminggu belum disetrika.” Timpal Vivian berusaha menanggapi candaan Mario.
“Dianter siapa tadi lo?” Selidik laki-laki itu.
Duh. Kenapa sih nih cowok pake ketularan kepo segala. Vivan hanya menanggapi pertanyaan Mario tersebut dengan seulas senyum. Senyum terpaksa karena sebenarnya ia sangat ingin melayangkan jitakan di kepala laki-laki ini.

“Vy aku mau ngomong.” Tiba-tiba sebuah suara berat yang sudah sangat dikenal Vivian menimpali dari belakang. Dengan kesal Vivian berbalik dan memutar bola matanya. “APA?” Tanyanya galak. Mario sampai terlonjak mendengar teriakan Vivian yang entah kenapa selalu saja bernada di luar batas jika ia sedang marah ataupun kesal. Kini mereka telah menadi tontonan karena posisi mereka berdiri yang memang masih di lobby kantor.

            Namun melihat keberadaan Mario, Ael jadi ikutan kepo. Penasaran siapa laki-laki yang sedang berbicara akrab dengan Ivy. “Eh temennya Ivy, ya?” Tanyanya kepada Mario. Mario yang kaget ditanya tiba-tiba oleh orang yang tidak dikenalnya ini tidak langsung menjawab. Lagipula siapa Ivy?
Sorry, lo pasti bingung. Maksud gue lo temennya Vivian ya.?” Tanya Ael lagi.
“Iya.” Jawab Mario singkat. Masih bingung kenapa Vivian bisa ganti nama jadi Ivy.
“Kenalin gue Rafael.” Ael menyodorkan tangan kanannya yang langusng dijabat kaku oleh Mario. “Tunangannya Vivian.” Sambungnya ketika Mario telah menjabat tangannya.

“TUNANGAN??” Teriak Mario tak percaya. Ia memandang Vivian dengan tatapan terkejut. Yang dipandangpun sama terkejutnya. Sama sekali tidak menyangka Rafael akan memperkenalkan dirinya sebagai tunangannya. Tunangan seorang Vivian Laisa yang selama ini dikenal sebagai jomblo karatan.
“Iya.” Jawab Rafael mantap sambil melepaskan jabatan tangannya. Vivian yang masih kaget sama sekali tidak menanggapi ataupun membantah pernyataan Ael itu. Ia tidak puny aide. Pikirannya benar-benar sudah kacau. Mengingat ini di kantor dan Bara bisa saja melihat semua ini. Ia juga tidak mengerti kenapa ia bisa khawatir jika Bara melihatnya. Jelas-jelas Bara adalah orang kantor yang pertama kali tahu informasi tidak benar ini. Bersama Bimo tentunya, tapi Bimo bukan orang kantor.

“Oh. Gue Mario. Selamat ya…” Ucapnya akhirnya. Dalam hati ia mendesah kecewa. Padahal ia sedang menyusun rencana untuk mendekati gadis cantik di depannya ini, tapi ternyata sudah ada yang punya. Ganteng lagi. Keren juga. Pake mobil ngantornya. Penampilannya juga seperti bukan cuma karyawan biasa. Terlihat seperti anak konglomerat. Sedangkan dirinya? Motor aja masih modal kredit. 

“Makasih. Oh iya, lo tahu dimana ruangannya Indra?” Tanya Ael lagi.

“Eh. Pak Indra Setiawan maksudnya?” Tanya Mario. Tak percaya ada orang yang dengan beraninya menyebut atasan mereka di Divisi Marketing itu dengan sebutan nama saja tanpa embel-embel Bapak.
“Gue juga nggak tahu. Kata Ivy sih atasannya.” Jawab Ael cuek.

“Ada apa ini?” Tanya sebuah suara. Laki-laki dengan setelah kemeja dan dasi serta jas.  “Vi?” Ia berbalik kea rah Vivian yang masih saja diam.
“Pak Indra?” Mario kaget bukan main. Orang yang sedang mereka sebut-sebut muncul. Bukan apa-apa. Pak Indra ini adalah atasan yang terkenal bersahabat namun sangat galak dan gemar menegakkan kedisiplinan dalam bekerja. Ael berbalik menatap Indra dengan tatapan santai.
“Elo Indra, ya?” Tanyanya tidak sopan. Vivian yang mendengar teman dan atasannya itu dipanggil dengan nama depannya saja di depan banyak karyawan refleks mencubit pinggang Ael kesal. Rafael tidak mengaduh seperti biasanya. Ia hanya menarik tangan Vivian yang mencubitnya dan menggenggamnya.
“Iya saya sendiri. Ada yang bisa dibantu?” Tanya Indra formal.
“Pas banget kalo gitu. Gue emang lagi nyari elo.” Jawab Ael sok akrab.
“Ada apa ya?” Tanya Indra lagi. Sejujurnya ia penasaran bagaimana bisa seorang Rafael Pradipta sampai mencarinya di kantor. Ia tahu cukup banyak mengenai laki-laki yang ada di depannya ini. Satu-satunya penerus Pradipta Corp. yang memang selalu ramai diperbincangkan di majalah-majalah bisnis karena prestasinya dalam memenangkan berbagai macam tender proyek yang sayangnya sama sekali tidak didukung oleh tingkah lakunya yang sok.
“Jadi gini. Gue ngajakin Ivy makan siang tapi katanya dia mesti ngomong dulu sama lo soalnya dia udah ada janji duluan bareng lo.” Jelas Ael. Dalam hati Vivian mengumpat kesal. Kenapa penjelasan laki-laki ini seolah ia dan Indra punya hubungan khusus selain atasan – bawahan sekaligus teman senasib seperjuangan saat kuliah dulu? Apa tanggapan karyawan lainnya nanti?
“Oke. No problem.” Jawab Indra sambil menganggukkan kepalanya mengerti.
“Thank’s a lot.” Ucap Ael. “See you.” Ucapnya kepada Vivian sebelum berbalik meninggalkan kantor.
****
            Vivian membanting tasnya di atas meja kerjanya ketika ia sampai di ruangannya. Kesal dan lelah. Diambilnya tumpukan dokumen yang memang harus segera diselesaikannya di atas meja. Tiba-tiba ponselnya bordering.

Indra calling…

Diliriknya ruangan Indra yang memang hanya bersebelahan dengan ruangannya bingung. Ini anak ngapain pake telepon segala. Buang-buang pulsa aja.
“Halo?” Diangkatnya panggilan telepon itu dengan lesu.
“Masuk dulu!” Perintah Indra.
“Apaan?” Tanya Vivian tak mengerti.
“Masuk dulu ke ruangan gue!” Jelas Indra kemudian mematikan sambungan telepon. Kening Vivian berkerut bingung sambil melangkah memasuki ruangan Indra setelah sebelumnya mengetuk pintu sebanyak dua kali.
“Ada apa Pak?” Tanyanya sopan. Indra memang temannya, tapi ia tetap harus menjaga etika antara atasan dan bawahan.
“Nggak usah ngomong formal dulu. Mending sekarang lo duduk! Gue mau nanya!” Perintah Indra. Dengan gerakan pelan Vivian menjatuhkan tubuhnya di salah satu sofa yang memang tersedia di dalam ruangan laki-laki itu.
“Kalo mau nyenderin kepala juga nggak papa kok.” Ucap Indra sambil mengambil segelas air putih untuk Vivian dan menyodorkannya pada gadis itu. Vivian hanya menerima air pemberian Indra  itu dan langsung meneguknya sampai tersisa setengah saja di dalam gelas.
“Lo mau ngomong apa?” Tanya Vivian to the point. Ia sama sekali sedang tidak bersemangat diajak bercanda sekarang.
Indra berdehem sedikit kemudian bertanya, “Tadi si Rafael ngapain?” Tanyanya.
Vivian mengerut bingung entah untuk yang keberapa kalinya dalam waktu yang belum mencapai sehari penuh ini. “Kok lo bisa kenal Rafel?” Tanyanya menyuarakan kebingungannya.
“Makanya sekali-sekali elo jangan baca cerita fantasy doang. Baca cerita-cerita yang mengandung unsur realita kek.” Cela Indra.
“Nggak usah ngehina selera baca gue, ya. Jawab aja! Gue lagi males bercanda.” Sungut Vivian kesal. Udah minta ngomong nggak jelas, nyela pula.
“Ya itu. Kalo lo baca cerita realita, elo pasti ngerti maskud gue!” Indra tidak langsung menjawab saja pertanyaan Vivian. Vivian hanya melayangkan tatapan galak pada laki-laki muda yang tiba-tiba jadi ikutan rese seperti Ael itu. “Ya itu. Berita tentang dia banyak di majalah-majalah bisnis. Ada juga biografi tentang dia. Yah sebelas dua belaslah sama mantan lo! Walaupun masih lebih kaya mantan lo sih.” Jawab Indra akhirnya.
Dalam hati Vivian tak percaya. Emang si kutu kupret itu setenar itu apa sampe ada biografinya segala. Pake disama-samain sama Bara lagi. Yang bener aja. Indra memang tahu perihal hubungan mantan kekasih semasa SMA antara dirinya dan Bara karena sejak ia masuk ke Universitas, cerita yang paling sering mengalir dari mulut Vivian adalah tentang Bara yang dengan sangat bodohnya ia tinggalkan karena termakan omongan tidak jelas dari beberapa siswi yang cemburu dengan dirinya dan Bara. Indra pula orang pertama yang mengabarkan pada Vivian bahwa akhirnya Bara diputuskan untuk memimpin perusahaan menggantikan mendiang Ayahnya. “Terserah lo mau percaya atau nggak. Tapi ngapain tuh orang sampe kesini? Nyari gue bahkan sampe ngebatalin janji makan siang kita.” Tanya Indra lagi.
“Aduh Ndraaaa…. Gue belum cerita sama lo, ya?” Tanya Vivian tidak bersemangat. Ditutupnya wajahnya dengan kedua tangannya gusar.
“Cerita apa?” Tanya Indra sabar. Sepertinya gadis di depannya ini benar-benar frustasi sampai memperlihatkan ekspresi seperti itu.
“GUE DIJODOHIN SAMA DIA. BAYANGIN NDRA! BAYANGIN! GUE DIJODOHIN SAMA TUH MONYET KUTUB UTARA! BAYANGIN GIMANA MENDERITANYA GUE! YA AMPUN NDRA…. GUE BISA MATI MUDA! GUE BAKAL JADI ORANG TERCANTIK YANG DIKAFANIN! GUE BAKAL SENGSARA DUNIA-AKHIRAT!!” Cerintanya berapi-api.
“Oke oke. Gue mgerti gimana perasaan lo. Gue paham. Tapi lo jangan teriak-teriak. Ntar kedengeran dari luar. Mendingan sekarang lo tarik napas…” Vivian hanya mengikuti instruksi dari Indra dengan patuh. “Trus keluarin dari mulut.” Vivian masih megikuti.
“Sekarang lo cerita, tapi pelan-pelan. Lo bukan lagi ikut orasi Vi. Lo lagi curhat, okay?” Akhirnya mengalirlah cerita tentang perjodohan seorang Vivian Laisa dengan seorang pemuda tampan namun menyebalkan bernama Rafael Pradipta. Vivian bena-benar menceritakannya secara detail. Mulai dari dirinya yang ditelepon Bundanya secara tiba-tiba, Mama Rafael yang memujinya cantik, Ayahnya yang tidak meminta pendapatnya dan langsung saja ngeloyor ke ruang makan, dan dirinya yang adu mulut dengan Rafael gara-gara permintaan konyol binti tolol laki-laki itu hingga ke insiden nyebur di empang saat mereka masih SD. Indra yang awalnya mendnegarkan cerita Vivian dengan serius, akhirnya tidak bisa menahan tawanya untuk tidak menyembur keluar. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa hubungan Vivian-Rafael selucu itu. Benar-benar mengelikkan.
“Lo ketawa sih? Lo nggak kasihan ya sama gue…” Tegur Vivian sedih.
Sorry Vi. Gue sama sekali nggak bermakasud ketawa. Abisnya lucu banget sih.” Jawabnya di sela-sela tawanya yang masih tidak bsia berhenti.
“Apanya yang lucu coba?” Tanya Vivian kesal. Jelas-jelas ini bukan lawakan.
“Ya elo. Lagian ngapain juga coba dia balas dendam sama lo gara-gara dulu lo pernah bikin dia nyemplung di empang dengan mau-maunya dihodohin sama lo. Yang bener aja Vi. Nggak elit banget sih tuduhan lo. Cari tuduhan yang lebih berkelas dikit kek. Kayak dia mau dijdodohin sama lo gara-gara dia udah bosen nguras air banjir yang nggak surut-surut sampe akhirnya dia beralih buat nguras harta bokap lo.” Jawab Indra dengan ledekannya yang tak ketinggalan.
“Yeee… jelas-jelas keluarganya konglomerat gitu. Hartanya nggak bakal abis tujuh puluh turunan, ngapain juga dia masih pengen nguras harta bokap gue yang seuprit.” Vivian mendengus jengkel.
“Oke gur minta maaf. Trus sekarang rencana lo gimana?” Tanya Indra.
“Lo bantuin gue yan Ndra yaa…. Lo pura-pura jadi pacar gue. Cuma biar perjodohan ini dibatalin aja. Ya…ya…ya…?” Pinta Vivian dengan wajah memelas.
“Aduh gue nggak bisa Vi. Kalo gue lagi sendiri gue mungkin bisa bantu. Tapi sekarang nggak bisa. Gue bsia digantung Gina.” Tolak Indra dengan tatapan rasa bersalah.
Ha? Nggak sendiri? Nggak sendiri apa? Emang si Indra ini udah punya pacar? Trus Gina? Kayaknya nama itu nggak asing deh… Batin Vivian bingung.
“Maksud lo apa Ndra? Gina Gina siapa?” Tanya Vivian.
“Ya gitu Vi. Gue baru jadian sama Gina.” Jawab Indra singkat. Jawaban yang hampir saja membuat Vivian shock. Pasalnya Indra tidak pernah bercerita sebelumnya bahwa dirinya sedang menyukai seorang gadis.
“OMAIGAT!! Ndra jangan bilang kalo Gina Gina yang lo maksud itu resepsionis baru kita itu!” Tebak Vivian antusias. Indra hanya mengangguk sambil tersenyum meringis. Ia sudah bisa menebak bahwa Vivian akan mengoceh sebentar lagi.
“KOK LO NGGAK PERNAH CERITA??” Jerit Vivian heboh. Lupa dengan masalahnya.
“Sssttt…. Jangan teriak-teriak! Ntar kedengeran!” Tegur Indra lagi. Ia heran juga dengan gadis yang jelas-jelas dari luar terlihat kale mini. Kalo ngomong susah bener kayaknya pelan-pelan. “Ya lo tahu sendiri kan perkembangbiakan gossip disini itu gimana? Gue cuma nggak pengen dihebohin yang aneh-aneh sama karyawan lain.” Jelas Indra.
“Emang lo pikir gue seember itu apa?” Sungut Vivian kesal.
Sorry deh.” Ucap Indra minta maaf.
“Ya udah selamat. Jangan lupa undangannya!” Ucap Vivian tulus. Indra hanya menanggapi dengan senyuman godaan temannya itu. “Trus gue gimana sekarang?” Tanya Vivian kembali memelas.
“Kenapa nggak lo iya-in aja?! Bukannya itu suatu keuntungan buat lo? Kalo dia bisa balik sama mantannya itu, lo nggak jadi nikah kan sama dia. Perjodohan bisa dibatalin secara otomatis.” Saran Indra.
“Ya nggak bisalah Ndra.” Tolak Vivian.
“Kenapa? Lo naksir sama tuh orang?” Tanya Indra. Kali ini serius, sama sekali tidak ada unsure bercandanya.
“Enak aja lo ngomong. Gue nggak suka sama dia. Apalagi naksir. Cuma ya lo tahu kan gue. Gue nggak suka ikut campur urusan pribadi orang lain. Lagian tuh cewek juga udah milih orang lain.” Jelas Vivian.
“Iya sih. Awalnya ini emang nggak ada hubungannya sama lo. Ini emang urusan pribadi tuh orang sama mantannya. Tapi sekarang ini udah ada kaitannya sama lo. Ini menyangkut masa depan lo. Gue tahu lo itu orang yang paling nggak mau diatur-atur. Jadi lo juga pasti nggak mau kali urusan pendamping hidup lo diatur sama orang lain. Lagian selama tuh cewek belum resmi nikah sama cowok pilihannya, why not? Minimal lo nggak dituduh sebagai perusak rumah tangga orang.” Komentar Indra panjang lebar. Dalam hati Vivian mengiyakan juga pendapat temannya ini
“Kalo ternyata tuh cewek udah nikah?” Tanya Vivian lagi.
“Lo tolak! Gue bakal bantu. Itu janji gue.” Jawab Indra sambil tersenyum menenangkan.
“Ya udah deh. Thank’s banget ya Ndra. Lo emang the best deh.” Puji Vivian tulus.
“Ya sudah. Sekarang silahkan kembali ke ruangan Anda dan selesaikan pekerjaan yang seharusnya Anda selesaikan. Saya juga masih banyak pekerjaan.” Perintah Indra sambil beranjak dari duduknya. Vivian hanya mencibir dan menggerutu tidak jelas sambil keluar dari ruangan Manajer Divisnya itu.
****
Sudah tiga puluh menit berlalu sejak jam makan siang tapi entah mengapa Rafael belum juga sampai untuk menjemput Vivian. Tadi lima belas menit sebelum jam dua belas, Rafael sempat mengirimi Vivian pesan untuk menunggunya di lobby kantor. Tapi sampai sekarang batang hidung laki-laki itu belum juga terlihat sama sekali. Vivian menghentak-hentakkan kakinya kesal. Penghuni perutnya sudah berdemo sejak tadi. Akhirnya setelah menunggu selama hampir satu jam, Rafael tiba juga. Dengan santai dibukanya pintu mobil sebelah kiri tanpa mengalihkan pandangannya menatap Vivian bahkan untuk sekedar minta maaf karena terlambat. Dengan bersungut-sungut Vivian masuk ke dalam mobil dan memasang seatbelt kesal.
“Lama banget sih? Gue udah lumutan tau nungguin lo!” Semburnya ketika mobil mulai melaju membelah lalu lintas padat kota Jakarta. Yang ditanya hanya diam saja. Tidak menyahut maupun menengok pada Vivian yang sedang marah-marah.
“Hellooooooooo…………. Lo dengerin gue nggak sih? Lo nggak budek, kan? Sebenernya lo niat nggak sih ngajakin gue makan siang?” Omel Vivian tambah kesal. Enak aja gue dikacangin.
Dengan malas Rafael mengalihkan sebentar konsentrasinya pada jalanan di depannya dan menengok ke arah Vivian. “Nggak kok. Lo masih sama kayak tadi pagi. Nggak ada lumut maupun sarang laba-laba yang tumbuh di badan lo.” Jawabnya menyebalkan. Vivian hanya menggeram sebal. Dasar manusia karbit!
Akhirnya mereka sampai juga di sebuah restoran yang tidak jauh dari area kantor Vivian. Sengaja kata Rafael supaya nantinya Vivian tidak terlambat kembali ke kantor. Berbeda dengan dirinya yang memang atasan, hingga tidak perlu repot-repot buru-buru kembali ke tumpukan pekerjaannya karena takut dimarahi. Dasar sombong!
Mereka makan dala diam. Vivian juga sama sekali tidak ada niat untuk membuka percakapan terlebih dahulu. Apalagi Rafael. Moodnya terlihat benar-benar jelek. Apalagi wajahnya. Mendung banget. Vivian tidak tahu bahwa sejak tadi hanya raga Rafael yang ada bersamanya. Pikirannya benar-benar sedang melayang ke tempat lain. Ke kejadian tadi saat ia baru saja hendak menjemput Vivian untuk makan siang tepatnya. Satu-satunya alasan keterlambatannya menjemput gadis itu
FLASHBACK
Rafael baru saja hendak membelokkan mobilnya ke arah kantor Vivian ketika ditangkapnya sosok gadis yang sangat dikenalnya di dalam sebuh mobil bersama seorang laki-laki. Gadis itu… satu-satunya alasan yang ia miliki mengapa ia sampai tega menjadikan Vivian sebagai alat untuk membawa gadis itu kembali padanya. Nindy Paramitha. Wanita yang hingga saat ini masih dicintainya tak perduli sesakit apa luka yang telah ditorehkan gadis itu.
            Dengan perasaan kesal bercampur cemburu dan rindu akhirnya ia membuntuti kemana mobil itu pergi. Ketika mobil tersebut berhenti di depan salah satu restoran Jepang, dengan cepat dihampirinya gadis beserta laki-laki yang baru saja turun dari mobil itu.
“Nin…” Panggilnya lirih.
NIndy – gadis yang dipanggil itu sama sekali tak menduga kedatangan Rafael. “Eh? Ngapan disini Raf?” Tanyanya.
“Aku kebetulan lewat tadi. Kamu mau makan siang?” Tanyanya hati-hati. Dalam hati ia bersumpah. Demi Tuhan! Ia sangat merindukan gadis manja di depannya ini. Sekuat tenaga ia menekan keinginannya agar tidak menghambur dan memeluk gadis ini kuat-kuat. Nindy. Gadis yang dulunya selalu bangga mendemonstrasikan dirinya sebagai kekasih seorang Rafael Pradipta di depan semua teman-temannya. Gadis yang telah menorehkan luka saat diketahuinya bahwa selama ini, selama gadisnya itu menempuh pendidikan di Amerika, ia telah membiarkan hatinya direbut orang lain yang sayangnya baru diketahuinya setelah empat tahun berlalu. Saat gadis itu mengungkapkan yang sebenarnya kepada dirinya untuk pertama kali. Saat ia baru saja kembali dari Negeri Paman Sam itu. Ia sama sekali tidak menduga, perjuangan dan kesabarannya selama ini menunggu gadis itu kembali berbuah kesia-siaan.
“Iya aku mau makan siang.” Jawab gadis itu riang sambil menggandeng laki-laki entah siapa itu. “Oh ia Raf, kenalin ini orang yang aku ceritain ke kamu waktu itu.” Ucapnya memperkenalkan.
“Cerita?” Tanya laki-laki itu bingung. Tanpa menjawab pertanyaan laki-laki entah siapa itu, Nindy kembali berbicara. “Kamu mau makan siang juga? Sama siapa? Pacar kamu nggak ikut?” Tanyanya beruntun.
Rafael meringis dalam hati. Gila ya. Dikira gue segampang itu apa move on, batinnya. “Aku baru mau jemput dia.” Jawab Rafael akhirnya.
“Wah selamat ya. Padahal tadi aku cuma mancing doang lho nanya pacar kamu. Kapan-kapan kenalin, ya?” Pinta Nindy dengan nada gembira. Kegembiraan yang justru mengiris-ngiris batin Rafael. Tidak menyangka mantannya itu tidak menampakkan rasa cemburunya sama sekali mendengar Rafael sudah punya pacar.
FLASHBACK OFF!!
“Ael….” Panggil Vivian yang saat itu sudah menyelesaikan makannya. Rafael tidak menjawab. Pikirannya masih melayang, bahkan makanannya baru tersentuh sedikit.
“Ael…” Panggil Vivian lagi. Rafael masih bergeming.
“AEL!!!” Teriak Vivian akhirnya. Kesal. Berasa ngomong sama tembok dicuekin mulu dari tadi.
“Apa?” Tanya Rafael malas. Sama sekali tidak kaget dengan teriakan Vivian. Padahal ia selalu protes setiap kali Vivian berteriak.
“Lo masih mau makan? Gue udah selesai. Gue mau balik.” Jawab Vivian.
“Trus jawabannya?” Tanya Rafael.
“Jawaban apa? Emang lo nanya sesuatu gitu? Perasaan dari tadi lo bengong doang. Tuh makanan juga nasibnya lo kacangin.” Cibir Vivian.
“Ya permintaan gue-lah. Apalagi? Emang lo pikir gue nembak lo?!”
Lagi-lagi Vivian mencibir. Kenapa dia jadi marah? Harusnya yang marah kan gue. “Kalo gue nggak mau?” Tantang Vivian.
“Lo liat kan tadi pagi apa yang gue lakuin. Gue tahu lo paling nggak suka digosipin apalagi kehidupan pribadi lo sampai diubek-ubek kayak cucian kotor yang numpuk.” Jawab Rafael santai.
“Maksud lo?” Tanya Vivian tak mengerti tapi dalam hati tetap ketar-ketir. Menunggu apa jawaban makhluk ajaib yang pedenya selangit ini.
“Gue bisa mempercepat proses lamaran dan pernikahan kita kalo gitu. Gue nggak main-main. Gue nggak masalah kok kalo ujung-ujungnya harus nikah sama lo. Yang penting lo masih cewek, gue sih oke oke aja.” Jawab Rafael menjelaskan. Vivian cuma mangap. Bingung harus bereaksi bagaimana. Tadi pagi saja tanpa diduga laki-laki ini muncul dan bahkan sampai mengumumkan bahwa mereka berdua telah bertunangan. Jadi bukan tidak mungkin ia melakukan hal yang lebih gila dari itu seperti melamar dirinya secepatnya dan akhirnya ia benar-benar harus rela menghabiskan sisa hidupnya bersama laki-laki ini. Oh Tuhan!!!...
Deal?” Rafael menyodorkan tangannya di depan Vivian. Dengan berat hai Vivian akhirnya menjawab uluran tersebut sambil berdoa semoga nanti turun hujan deras dan orang ini disambar petir sampai hangus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar