Vivian
baru saja melangkah keluar dari apartemen ketika sosok Ael tiba-tiba saja
muncul dan menghalangi jalannya. Tubuhh menjulang itu berdiri tepat di depan
Vivian sambil menyedekapkan tangannya. Mood
Vivian yang sedang cerah-cerahnya tiba-tiba berubah mendung. Gloomy seketika. Dengan kesal ia
bergeser ke kanan untuk melanjutkan langkahnya tapi dengan cepat Ael kembali
menghalanginya. Akhirnya ia bergeser kea rah kiri, namun lagi-lagi Ael menutup
aksesnya untuk keluar.
“Minggir deh! Gue udah telat!” Perintahnya.
“Gue mau bikin perjanjian dulu sama lo!” Tegas Ael.
Vivian mengerutkan keningnya. Perjanjian? Perjanjian apa?
Jual-beli? Hutang-piutang? “Gue nggak ada waktu buat maen-maen nggak jelas sama
lo!”
“Siapa yang mau main-main sih Yang. Gue serius!”
“Ya udah apaan?” Akhirnya Vivian pasrah. Tidak ada
gunanya berdebat lama-lama dengan makhluk sinting di depannya ini. Yang ada
waktunya semakin terbuang percuma.
“Oke! Gue mau, ntar siang lo makan siang bareng gue!”
Jawab Ael. Sama sekali bukan tawaran atau permintaan. Itu pernyataan yang jelas
sekali tidak bisa dibantah.
“Nggak bisa! Gue ada janji mau makan bareng Indra.” Tolak
Vivian. Dirinya memang sudah ada janji untuk makan siang bersama Indra – atasan
sekaligus sahabatanya sejak kuliah.
Ael mengerutkan keningnya. Sejak kapan Ivy punya pacar?
Tanyanya dalam hati. “Indra siapa?” Tanyanya kepo.
“Kepo banget sih lo!” Vivian merasa tidak perlu menjawab
pertanyaan Ael. Waktunya justru akan semakin terbuang percuma. “Udah ya Ael.
Gue nggak punya banyak waku. Gue udah telat!”
“Nggak peduli! Lo nggak iya-in, lo nggak ngantor!” Jawab
Ael tidak peduli. Vivian menggeram dalam hati. Ia mengutuki dirinya sendiri
yang sialnya harus bertemu dengan orang yang cuek, nggak peduli dan percaya
dirinya sejuta seperti laki-laki menyebalkan ini.
“Oke! Tapi gue harus ngomong dulu sama Indra.” Lagi-lagi
Vivian hanya bisa pasrah. Di-iyain aja deh. Nggak mungkin gue nggak masuk
kantor, walaupun sebenernya gue rasa gue butuh banget libur sekarang.
‘Indra itu siapa sih?” Lagi-lagi Ael menanyakan Indra.
Bête juga dia kalo dari tadi nanya tapi nggak dijawab-jawab. Baru saja Vivian
hendak menjawab…. “Jawab aja langsung. Nggak usah ngatain gue kepo.” Sambungnya.
Vivian menarik napas panjang. “Atasan gue!” Jawab Vivian
akhirnya. Ael tidak berkomentar. Ia hanya memandang Vivian dengan tatapan
menyelidik. Seorang sekertaris makan siang dengan atasannya. Bukan berarti
tanpa alsan, kan? Pasti ada sesuatu.
“Biar gue aja yang ngomong!” Ucap Ael tiba-tiba.
“Ha?” Vivian hanya melongo mendengarnya. Otaknya masih
berusaha mencera apa yang baru saja dikatakan Rafael. Ael mau ngomong sama
Indra? Mau ngomong apa? Tiba-tiba Rafael menarik salah satu tangan Vivian dan
menyeretnya untuk mengikutinya.
“Eh…eh… tunggu tunggu! Lo mau bawa gue kemana?” Vivian
bertanya di sela-sela langkah tergesanya yang berusaha menyeimbangkan dengan
langkah-langkah panjang Rafael. “Lepasin! Sakit tau!” Teriaknya. Tapi Ael sama
sekali tidak menggubris teriakan Vivian itu. Yang ada cengkramannya malah
semakin kuat dan ia semakin menyeret Vivian.
****
Awalnya
Vivian tidak tahu kemana Rafael akan membawanya. Ia baru tersadar ketika mobil
yang dikendarai manusia aneh itu memasuki area kentornya. Mata Vivian bahkan
sampai membulat. Bukan karena ia kaget dari mana Ael tahu tempatnya bekerja,
tapi apa nanti yang akan dikatakan orang-orang di kantor jika ia datang diantar
oleh seorang laki-laki. Ia sangat tidak suka digosipkan, apalagi jika kehidupan
pribadinya dikorek-korek. Sayangnya,
area kantor adalah dangerous area bagi
ketidaksukaannya itu. Gosip apapun pasti akan dengan sangat cepat beredar
disini. Seperti rudal yang ditembakkan dengan kecepatan yang melebihi kecepatan
cahaya. Tidak butuh lima menit. Mau gossip itu benar atau tidak, mereka tidak
akan perduli. Yang jelas, mereka akan dengan senang hati meladeni info-info
yang beredar dengan alasan hiburan di tengah pekerjaan yang menumpuk.
“Ngapain lo nganter gue kesini?!” Tanyanya pada Ael yang
kini hendak membuka pintu mobil. Ael mengerutkan keningnya. Aneh banget sih ni
anak? Tadi bilangnya mau ngantor, sekarang malah nanya kenapa dianter di
kantor.
“Lo mau nagntor, kan? Udah ayok turun!” Jawab Ael sambil
kembali hendak membuka pintu. Dengan cepat Vivian menahan lengan kiri Ael. Ael hanya
berbalik dan menatapnya bingung. Tepatnya menatap tangannya yang dicekal
Vivian.
“Kenapa? Lo mau mintu ciuman perpisahan?” Godanya. Vivian
yang sudah panik bukan main entah kenapa hanya menganggukkan kepalanya cepat.
Ael hanya tersenyum melihat reaksi Vivian yang amat lucu baginya.
CUP! Didaratkannya satu kecupan di kening gadis yang
tampak panik itu. Vivian tidak bereaksi. Ia hanya menatap Ael dengan tatapan
kebingungan. Melihat tampang Vivian yang seperti orang kejatuhan bom, Rafael
jadi bingung dan salah tingkah sendiri. Gue salah, ya? Bukannya tdai dia yang
minta cium? Pikirnya. Digaruknya tengkuknya yang tidak gatal. “Ada lagi?”
Tanyanya serba salah.
Vivian yang baru saja menyadari apa saja yang terjadi
seketika menjerit. “HUWAAAAAAA…………. LO NGAPAIN TADI???!!!” Jeritnya histeris.
“Eh…eh… jangan teriak-teriak. Ntar dikira gue
ngapa-ngapain lo lagi.” Tegur Rafael panik. Ia tidak menyangka Vivian akan
menjerit histeris seperti kuntilanak yang terkena gangguan jiwa seperti ini.
“LO EMANG ABIS NGAPA-NGAPN GUE TADI!!!” Suara Vivian
kembali naik beberapa oktav. Lebih keras dan nyaring daripada saat menjerit
tadi.
“EH JANGAN SEMBARANGAN, YA! GUE NGGAK MACEM-MACEM SAMA
LO! ORANG LO YANG MINTA!” Bantah Rafael tidak terima. Enak aja nyalahin orang sembarangan.
Orang dia yang minta, gue sih oke oke aja. Cium kening doang ini. Tanpa sadar
ia juga jadi ikut-ikutan berteriak. Beberapa orang yang baru hendak memasuki
kantor pun sampai mendengar perdebatan mereka. Untung saja kaca mobil Rafael
berwarna gelap, jadi tidak akan terlihat dari luar.
“GUE NGGAK MINTA APA-APA YA DARI LO! GUE JUGA NGGAK MINTA
DIANTER!” Vivian membantah dengan nada suara yang kembali lebih tinggi dari
sebelumnya. Rafael sampai menutup kupingnya yang sakit karena mendengar suara
Vivian yang naudzubillah bisa membuat gendang telinganya sobek seketika. Sebenarnya
Vivian tidak mengerti kemana arah pembicaraan Ael. Ia juga tidak tahu apa yang
dimaksud Ael dengan “dirinya sendiri yang meminta.” Yang ia tahu, Ael baru saja
bertidak kurang ajar dengan mencium keningnya seenak jidatnya.
“Gue kan cuma nganter lo biar nggak telat. Dasar nggak
tahu terima kasih. Lagian gue juga udah bilang kan tadi kalo gue mau ngomong
sama Si Indra Indra atasan lo yang baik hatinya selangit sampe ngajakin lo makan
siang bareng.” Sewot Rafael kesal. Ia jadi kesal sendiri mendengar nama Indra.
Masa ajakan makan siang orang nggak jelas itu diterima sementara ajakan makan
siangnya ditolak. Gue kan calon suami Ivy. Walaupun gue nggak ada niat sama
sekali buat nikah sama cewek rempong ini.
Lagian si Indra itu cuma atasan, kenapa sampe mesti diistimewain.
Vivian yang sudah capek berdebat akhirnya memutuskan
untuk keluar dari mobil dengan membanting pintu agak keras. Ael sampai kaget
dan mengelus dadanya. “Sialan! Untung gue nggak jantungan,” umpatnya. Vivian
yang baru saja kesal hanya bisa melongo pasrah ketika dilihatnya beberapa
karyawan yang tidak dikenalnya dan beberapa temannya memandang kearahnya dengan
tatapan heran. Dengan segala macam perasaan yang menggambarkan kekesalan ia
melangkah memasuki kantor dengan acuh. Masa bodohlah. Ia sedang tidak ingin
perduli. Nanti nanti saja dipikirkan
“Vi…” Tegur Mario, salah satu temannya di kantor.
“Pagi Yo.” Jawabnya sambil berusaha tersenyum.
“Pagi. Kusut banget muka lo!” Canda laki-laki tampan itu.
“Iya nih. Udah seminggu belum disetrika.” Timpal Vivian
berusaha menanggapi candaan Mario.
“Dianter siapa tadi lo?” Selidik laki-laki itu.
Duh. Kenapa sih nih
cowok pake ketularan kepo segala. Vivan hanya menanggapi
pertanyaan Mario tersebut dengan seulas senyum. Senyum terpaksa karena
sebenarnya ia sangat ingin melayangkan jitakan di kepala laki-laki ini.
“Vy aku mau ngomong.” Tiba-tiba sebuah suara berat yang
sudah sangat dikenal Vivian menimpali dari belakang. Dengan kesal Vivian
berbalik dan memutar bola matanya. “APA?” Tanyanya galak. Mario sampai
terlonjak mendengar teriakan Vivian yang entah kenapa selalu saja bernada di
luar batas jika ia sedang marah ataupun kesal. Kini mereka telah menadi
tontonan karena posisi mereka berdiri yang memang masih di lobby kantor.
Namun
melihat keberadaan Mario, Ael jadi ikutan kepo.
Penasaran siapa laki-laki yang sedang berbicara akrab dengan Ivy. “Eh
temennya Ivy, ya?” Tanyanya kepada Mario. Mario yang kaget ditanya tiba-tiba
oleh orang yang tidak dikenalnya ini tidak langsung menjawab. Lagipula siapa
Ivy?
“Sorry, lo
pasti bingung. Maksud gue lo temennya Vivian ya.?” Tanya Ael lagi.
“Iya.” Jawab Mario singkat. Masih bingung kenapa Vivian
bisa ganti nama jadi Ivy.
“Kenalin gue Rafael.” Ael menyodorkan tangan kanannya
yang langusng dijabat kaku oleh Mario. “Tunangannya Vivian.” Sambungnya ketika
Mario telah menjabat tangannya.
“TUNANGAN??” Teriak Mario tak percaya. Ia memandang
Vivian dengan tatapan terkejut. Yang dipandangpun sama terkejutnya. Sama sekali
tidak menyangka Rafael akan memperkenalkan dirinya sebagai tunangannya.
Tunangan seorang Vivian Laisa yang selama ini dikenal sebagai jomblo karatan.
“Iya.” Jawab Rafael mantap sambil melepaskan jabatan
tangannya. Vivian yang masih kaget sama sekali tidak menanggapi ataupun
membantah pernyataan Ael itu. Ia tidak puny aide. Pikirannya benar-benar sudah
kacau. Mengingat ini di kantor dan Bara bisa saja melihat semua ini. Ia juga
tidak mengerti kenapa ia bisa khawatir jika Bara melihatnya. Jelas-jelas Bara
adalah orang kantor yang pertama kali tahu informasi tidak benar ini. Bersama
Bimo tentunya, tapi Bimo bukan orang kantor.
“Oh. Gue Mario. Selamat ya…” Ucapnya akhirnya. Dalam hati
ia mendesah kecewa. Padahal ia sedang menyusun rencana untuk mendekati gadis
cantik di depannya ini, tapi ternyata sudah ada yang punya. Ganteng lagi. Keren
juga. Pake mobil ngantornya. Penampilannya juga seperti bukan cuma karyawan
biasa. Terlihat seperti anak konglomerat. Sedangkan dirinya? Motor aja masih
modal kredit.
“Makasih. Oh iya, lo tahu dimana ruangannya Indra?” Tanya
Ael lagi.
“Eh. Pak Indra Setiawan maksudnya?” Tanya Mario. Tak
percaya ada orang yang dengan beraninya menyebut atasan mereka di Divisi Marketing itu dengan sebutan nama saja
tanpa embel-embel Bapak.
“Gue juga nggak tahu. Kata Ivy sih atasannya.” Jawab Ael
cuek.
“Ada apa ini?” Tanya sebuah suara. Laki-laki dengan
setelah kemeja dan dasi serta jas. “Vi?”
Ia berbalik kea rah Vivian yang masih saja diam.
“Pak Indra?” Mario kaget bukan main. Orang yang sedang
mereka sebut-sebut muncul. Bukan apa-apa. Pak Indra ini adalah atasan yang
terkenal bersahabat namun sangat galak dan gemar menegakkan kedisiplinan dalam
bekerja. Ael berbalik menatap Indra dengan tatapan santai.
“Elo Indra, ya?” Tanyanya tidak sopan. Vivian yang
mendengar teman dan atasannya itu dipanggil dengan nama depannya saja di depan
banyak karyawan refleks mencubit pinggang Ael kesal. Rafael tidak mengaduh
seperti biasanya. Ia hanya menarik tangan Vivian yang mencubitnya dan
menggenggamnya.
“Iya saya sendiri. Ada yang bisa dibantu?” Tanya Indra
formal.
“Pas banget kalo gitu. Gue emang lagi nyari elo.” Jawab
Ael sok akrab.
“Ada apa ya?” Tanya Indra lagi. Sejujurnya ia penasaran
bagaimana bisa seorang Rafael Pradipta sampai mencarinya di kantor. Ia tahu
cukup banyak mengenai laki-laki yang ada di depannya ini. Satu-satunya penerus
Pradipta Corp. yang memang selalu ramai diperbincangkan di majalah-majalah
bisnis karena prestasinya dalam memenangkan berbagai macam tender proyek yang
sayangnya sama sekali tidak didukung oleh tingkah lakunya yang sok.
“Jadi gini. Gue ngajakin Ivy makan siang tapi katanya dia
mesti ngomong dulu sama lo soalnya dia udah ada janji duluan bareng lo.” Jelas
Ael. Dalam hati Vivian mengumpat kesal. Kenapa penjelasan laki-laki ini seolah
ia dan Indra punya hubungan khusus selain atasan – bawahan sekaligus teman
senasib seperjuangan saat kuliah dulu? Apa tanggapan karyawan lainnya nanti?
“Oke. No problem.”
Jawab Indra sambil menganggukkan kepalanya mengerti.
“Thank’s a lot.” Ucap
Ael. “See you.” Ucapnya kepada Vivian
sebelum berbalik meninggalkan kantor.
****
Vivian
membanting tasnya di atas meja kerjanya ketika ia sampai di ruangannya. Kesal
dan lelah. Diambilnya tumpukan dokumen yang memang harus segera diselesaikannya
di atas meja. Tiba-tiba ponselnya bordering.
Indra calling…
Diliriknya ruangan Indra yang memang hanya bersebelahan
dengan ruangannya bingung. Ini anak ngapain pake telepon segala. Buang-buang
pulsa aja.
“Halo?” Diangkatnya panggilan telepon itu dengan lesu.
“Masuk dulu!” Perintah Indra.
“Apaan?” Tanya Vivian tak mengerti.
“Masuk dulu ke ruangan gue!” Jelas Indra kemudian
mematikan sambungan telepon. Kening Vivian berkerut bingung sambil melangkah
memasuki ruangan Indra setelah sebelumnya mengetuk pintu sebanyak dua kali.
“Ada apa Pak?” Tanyanya sopan. Indra memang temannya,
tapi ia tetap harus menjaga etika antara atasan dan bawahan.
“Nggak usah ngomong formal dulu. Mending sekarang lo
duduk! Gue mau nanya!” Perintah Indra. Dengan gerakan pelan Vivian menjatuhkan
tubuhnya di salah satu sofa yang memang tersedia di dalam ruangan laki-laki
itu.
“Kalo mau nyenderin kepala juga nggak papa kok.” Ucap
Indra sambil mengambil segelas air putih untuk Vivian dan menyodorkannya pada
gadis itu. Vivian hanya menerima air pemberian Indra itu dan langsung meneguknya sampai tersisa
setengah saja di dalam gelas.
“Lo mau ngomong apa?” Tanya Vivian to the point. Ia sama sekali sedang tidak bersemangat diajak
bercanda sekarang.
Indra berdehem sedikit kemudian bertanya, “Tadi si Rafael
ngapain?” Tanyanya.
Vivian mengerut bingung entah untuk yang keberapa kalinya
dalam waktu yang belum mencapai sehari penuh ini. “Kok lo bisa kenal Rafel?”
Tanyanya menyuarakan kebingungannya.
“Makanya sekali-sekali elo jangan baca cerita fantasy doang. Baca cerita-cerita yang
mengandung unsur realita kek.” Cela Indra.
“Nggak usah ngehina selera baca gue, ya. Jawab aja! Gue
lagi males bercanda.” Sungut Vivian kesal. Udah minta ngomong nggak jelas,
nyela pula.
“Ya itu. Kalo lo baca cerita realita, elo pasti ngerti
maskud gue!” Indra tidak langsung menjawab saja pertanyaan Vivian. Vivian hanya
melayangkan tatapan galak pada laki-laki muda yang tiba-tiba jadi ikutan rese
seperti Ael itu. “Ya itu. Berita tentang dia banyak di majalah-majalah bisnis.
Ada juga biografi tentang dia. Yah sebelas dua belaslah sama mantan lo!
Walaupun masih lebih kaya mantan lo sih.” Jawab Indra akhirnya.
Dalam hati Vivian tak percaya. Emang si kutu kupret itu setenar itu apa sampe
ada biografinya segala. Pake disama-samain sama Bara lagi. Yang bener aja.
Indra memang tahu perihal hubungan mantan kekasih semasa SMA antara dirinya dan
Bara karena sejak ia masuk ke Universitas, cerita yang paling sering mengalir
dari mulut Vivian adalah tentang Bara yang dengan sangat bodohnya ia tinggalkan
karena termakan omongan tidak jelas dari beberapa siswi yang cemburu dengan
dirinya dan Bara. Indra pula orang pertama yang mengabarkan pada Vivian bahwa
akhirnya Bara diputuskan untuk memimpin perusahaan menggantikan mendiang Ayahnya.
“Terserah lo mau percaya atau nggak. Tapi ngapain tuh orang sampe kesini? Nyari
gue bahkan sampe ngebatalin janji makan siang kita.” Tanya Indra lagi.
“Aduh Ndraaaa…. Gue belum cerita sama lo, ya?” Tanya
Vivian tidak bersemangat. Ditutupnya wajahnya dengan kedua tangannya gusar.
“Cerita apa?” Tanya Indra sabar. Sepertinya gadis di
depannya ini benar-benar frustasi sampai memperlihatkan ekspresi seperti itu.
“GUE DIJODOHIN SAMA DIA. BAYANGIN NDRA! BAYANGIN! GUE
DIJODOHIN SAMA TUH MONYET KUTUB UTARA! BAYANGIN GIMANA MENDERITANYA GUE! YA
AMPUN NDRA…. GUE BISA MATI MUDA! GUE BAKAL JADI ORANG TERCANTIK YANG DIKAFANIN!
GUE BAKAL SENGSARA DUNIA-AKHIRAT!!” Cerintanya berapi-api.
“Oke oke. Gue mgerti gimana perasaan lo. Gue paham. Tapi
lo jangan teriak-teriak. Ntar kedengeran dari luar. Mendingan sekarang lo tarik
napas…” Vivian hanya mengikuti instruksi dari Indra dengan patuh. “Trus
keluarin dari mulut.” Vivian masih megikuti.
“Sekarang lo cerita, tapi pelan-pelan. Lo bukan lagi ikut
orasi Vi. Lo lagi curhat, okay?” Akhirnya
mengalirlah cerita tentang perjodohan seorang Vivian Laisa dengan seorang
pemuda tampan namun menyebalkan bernama Rafael Pradipta. Vivian bena-benar
menceritakannya secara detail. Mulai
dari dirinya yang ditelepon Bundanya secara tiba-tiba, Mama Rafael yang
memujinya cantik, Ayahnya yang tidak meminta pendapatnya dan langsung saja
ngeloyor ke ruang makan, dan dirinya yang adu mulut dengan Rafael gara-gara
permintaan konyol binti tolol laki-laki itu hingga ke insiden nyebur di empang saat mereka masih SD.
Indra yang awalnya mendnegarkan cerita Vivian dengan serius, akhirnya tidak
bisa menahan tawanya untuk tidak menyembur keluar. Ia sama sekali tidak
menyangka bahwa hubungan Vivian-Rafael selucu itu. Benar-benar mengelikkan.
“Lo ketawa sih? Lo nggak kasihan ya sama gue…” Tegur
Vivian sedih.
“Sorry Vi. Gue
sama sekali nggak bermakasud ketawa. Abisnya lucu banget sih.” Jawabnya di
sela-sela tawanya yang masih tidak bsia berhenti.
“Apanya yang lucu coba?” Tanya Vivian kesal. Jelas-jelas
ini bukan lawakan.
“Ya elo. Lagian ngapain juga coba dia balas dendam sama
lo gara-gara dulu lo pernah bikin dia nyemplung di empang dengan mau-maunya
dihodohin sama lo. Yang bener aja Vi. Nggak elit banget sih tuduhan lo. Cari
tuduhan yang lebih berkelas dikit kek. Kayak
dia mau dijdodohin sama lo gara-gara dia udah bosen nguras air banjir yang nggak surut-surut sampe akhirnya dia beralih buat
nguras harta bokap lo.” Jawab Indra
dengan ledekannya yang tak ketinggalan.
“Yeee… jelas-jelas keluarganya konglomerat gitu. Hartanya
nggak bakal abis tujuh puluh turunan, ngapain juga dia masih pengen nguras
harta bokap gue yang seuprit.” Vivian mendengus jengkel.
“Oke gur minta maaf. Trus sekarang rencana lo gimana?”
Tanya Indra.
“Lo bantuin gue yan Ndra yaa…. Lo pura-pura jadi pacar
gue. Cuma biar perjodohan ini dibatalin aja. Ya…ya…ya…?” Pinta Vivian dengan
wajah memelas.
“Aduh gue nggak bisa Vi. Kalo gue lagi sendiri gue
mungkin bisa bantu. Tapi sekarang nggak bisa. Gue bsia digantung Gina.” Tolak
Indra dengan tatapan rasa bersalah.
Ha? Nggak sendiri? Nggak sendiri apa? Emang si Indra ini
udah punya pacar? Trus Gina? Kayaknya nama itu nggak asing deh… Batin Vivian
bingung.
“Maksud lo apa Ndra? Gina Gina siapa?” Tanya Vivian.
“Ya gitu Vi. Gue baru jadian sama Gina.” Jawab Indra
singkat. Jawaban yang hampir saja membuat Vivian shock. Pasalnya Indra tidak pernah bercerita sebelumnya bahwa
dirinya sedang menyukai seorang gadis.
“OMAIGAT!! Ndra jangan bilang kalo Gina Gina yang lo
maksud itu resepsionis baru kita itu!” Tebak Vivian antusias. Indra hanya
mengangguk sambil tersenyum meringis. Ia sudah bisa menebak bahwa Vivian akan
mengoceh sebentar lagi.
“KOK LO NGGAK PERNAH CERITA??” Jerit Vivian heboh. Lupa
dengan masalahnya.
“Sssttt…. Jangan teriak-teriak! Ntar kedengeran!” Tegur
Indra lagi. Ia heran juga dengan gadis yang jelas-jelas dari luar terlihat kale
mini. Kalo ngomong susah bener kayaknya pelan-pelan. “Ya lo tahu sendiri kan
perkembangbiakan gossip disini itu
gimana? Gue cuma nggak pengen dihebohin yang aneh-aneh sama karyawan lain.”
Jelas Indra.
“Emang lo pikir gue seember itu apa?” Sungut Vivian
kesal.
“Sorry deh.”
Ucap Indra minta maaf.
“Ya udah selamat. Jangan lupa undangannya!” Ucap Vivian
tulus. Indra hanya menanggapi dengan senyuman godaan temannya itu. “Trus gue gimana
sekarang?” Tanya Vivian kembali memelas.
“Kenapa nggak lo iya-in aja?! Bukannya itu suatu
keuntungan buat lo? Kalo dia bisa balik sama mantannya itu, lo nggak jadi nikah
kan sama dia. Perjodohan bisa dibatalin secara otomatis.” Saran Indra.
“Ya nggak bisalah Ndra.” Tolak Vivian.
“Kenapa? Lo naksir sama tuh orang?” Tanya Indra. Kali ini
serius, sama sekali tidak ada unsure bercandanya.
“Enak aja lo ngomong. Gue nggak suka sama dia. Apalagi
naksir. Cuma ya lo tahu kan gue. Gue nggak suka ikut campur urusan pribadi
orang lain. Lagian tuh cewek juga udah milih orang lain.” Jelas Vivian.
“Iya sih. Awalnya ini emang nggak ada hubungannya sama
lo. Ini emang urusan pribadi tuh orang sama mantannya. Tapi sekarang ini udah
ada kaitannya sama lo. Ini menyangkut masa depan lo. Gue tahu lo itu orang yang
paling nggak mau diatur-atur. Jadi lo juga pasti nggak mau kali urusan
pendamping hidup lo diatur sama orang lain. Lagian selama tuh cewek belum resmi
nikah sama cowok pilihannya, why not? Minimal
lo nggak dituduh sebagai perusak rumah tangga orang.” Komentar Indra panjang
lebar. Dalam hati Vivian mengiyakan juga pendapat temannya ini
“Kalo ternyata tuh cewek udah nikah?” Tanya Vivian lagi.
“Lo tolak! Gue bakal bantu. Itu janji gue.” Jawab Indra
sambil tersenyum menenangkan.
“Ya udah deh. Thank’s
banget ya Ndra. Lo emang the best deh.”
Puji Vivian tulus.
“Ya sudah. Sekarang silahkan kembali ke ruangan Anda dan
selesaikan pekerjaan yang seharusnya Anda selesaikan. Saya juga masih banyak
pekerjaan.” Perintah Indra sambil beranjak dari duduknya. Vivian hanya mencibir
dan menggerutu tidak jelas sambil keluar dari ruangan Manajer Divisnya itu.
****
Sudah tiga puluh menit berlalu sejak jam makan siang tapi
entah mengapa Rafael belum juga sampai untuk menjemput Vivian. Tadi lima belas
menit sebelum jam dua belas, Rafael sempat mengirimi Vivian pesan untuk
menunggunya di lobby kantor. Tapi
sampai sekarang batang hidung laki-laki itu belum juga terlihat sama sekali.
Vivian menghentak-hentakkan kakinya kesal. Penghuni perutnya sudah berdemo
sejak tadi. Akhirnya setelah menunggu selama hampir satu jam, Rafael tiba juga.
Dengan santai dibukanya pintu mobil sebelah kiri tanpa mengalihkan pandangannya
menatap Vivian bahkan untuk sekedar minta maaf karena terlambat. Dengan
bersungut-sungut Vivian masuk ke dalam mobil dan memasang seatbelt kesal.
“Lama banget sih? Gue udah lumutan tau nungguin lo!”
Semburnya ketika mobil mulai melaju membelah lalu lintas padat kota Jakarta.
Yang ditanya hanya diam saja. Tidak menyahut maupun menengok pada Vivian yang
sedang marah-marah.
“Hellooooooooo…………. Lo dengerin gue nggak sih? Lo nggak
budek, kan? Sebenernya lo niat nggak sih ngajakin gue makan siang?” Omel Vivian
tambah kesal. Enak aja gue dikacangin.
Dengan malas Rafael mengalihkan sebentar konsentrasinya
pada jalanan di depannya dan menengok ke arah Vivian. “Nggak kok. Lo masih sama
kayak tadi pagi. Nggak ada lumut maupun sarang laba-laba yang tumbuh di badan
lo.” Jawabnya menyebalkan. Vivian hanya menggeram sebal. Dasar manusia karbit!
Akhirnya mereka sampai juga di sebuah restoran yang tidak
jauh dari area kantor Vivian. Sengaja kata Rafael supaya nantinya Vivian tidak
terlambat kembali ke kantor. Berbeda dengan dirinya yang memang atasan, hingga
tidak perlu repot-repot buru-buru kembali ke tumpukan pekerjaannya karena takut
dimarahi. Dasar sombong!
Mereka makan dala diam. Vivian juga sama sekali tidak ada
niat untuk membuka percakapan terlebih dahulu. Apalagi Rafael. Moodnya terlihat benar-benar jelek.
Apalagi wajahnya. Mendung banget. Vivian tidak tahu bahwa sejak tadi hanya raga
Rafael yang ada bersamanya. Pikirannya benar-benar sedang melayang ke tempat
lain. Ke kejadian tadi saat ia baru saja hendak menjemput Vivian untuk makan
siang tepatnya. Satu-satunya alasan keterlambatannya menjemput gadis itu
FLASHBACK
Rafael baru saja
hendak membelokkan mobilnya ke arah kantor Vivian ketika ditangkapnya sosok
gadis yang sangat dikenalnya di dalam sebuh mobil bersama seorang laki-laki.
Gadis itu… satu-satunya alasan yang ia miliki mengapa ia sampai tega menjadikan
Vivian sebagai alat untuk membawa gadis itu kembali padanya. Nindy Paramitha.
Wanita yang hingga saat ini masih dicintainya tak perduli sesakit apa luka yang
telah ditorehkan gadis itu.
Dengan perasaan kesal bercampur
cemburu dan rindu akhirnya ia membuntuti kemana mobil itu pergi. Ketika mobil
tersebut berhenti di depan salah satu restoran Jepang, dengan cepat dihampirinya
gadis beserta laki-laki yang baru saja turun dari mobil itu.
“Nin…” Panggilnya
lirih.
NIndy – gadis yang
dipanggil itu sama sekali tak menduga kedatangan Rafael. “Eh? Ngapan disini
Raf?” Tanyanya.
“Aku kebetulan lewat
tadi. Kamu mau makan siang?” Tanyanya hati-hati. Dalam hati ia bersumpah. Demi
Tuhan! Ia sangat merindukan gadis manja di depannya ini. Sekuat tenaga ia
menekan keinginannya agar tidak menghambur dan memeluk gadis ini kuat-kuat.
Nindy. Gadis yang dulunya selalu bangga mendemonstrasikan dirinya sebagai
kekasih seorang Rafael Pradipta di depan semua teman-temannya. Gadis yang telah
menorehkan luka saat diketahuinya bahwa selama ini, selama gadisnya itu
menempuh pendidikan di Amerika, ia telah membiarkan hatinya direbut orang lain
yang sayangnya baru diketahuinya setelah empat tahun berlalu. Saat gadis itu
mengungkapkan yang sebenarnya kepada dirinya untuk pertama kali. Saat ia baru
saja kembali dari Negeri Paman Sam itu. Ia sama sekali tidak menduga,
perjuangan dan kesabarannya selama ini menunggu gadis itu kembali berbuah
kesia-siaan.
“Iya aku mau makan
siang.” Jawab gadis itu riang sambil menggandeng laki-laki entah siapa itu. “Oh
ia Raf, kenalin ini orang yang aku ceritain ke kamu waktu itu.” Ucapnya
memperkenalkan.
“Cerita?” Tanya laki-laki
itu bingung. Tanpa menjawab pertanyaan laki-laki entah siapa itu, Nindy kembali
berbicara. “Kamu mau makan siang juga? Sama siapa? Pacar kamu nggak ikut?”
Tanyanya beruntun.
Rafael meringis dalam
hati. Gila ya. Dikira gue segampang itu apa move on, batinnya. “Aku baru mau
jemput dia.” Jawab Rafael akhirnya.
“Wah selamat ya.
Padahal tadi aku cuma mancing doang lho nanya pacar kamu. Kapan-kapan kenalin,
ya?” Pinta Nindy dengan nada gembira. Kegembiraan yang justru mengiris-ngiris
batin Rafael. Tidak menyangka mantannya itu tidak menampakkan rasa cemburunya
sama sekali mendengar Rafael sudah punya pacar.
FLASHBACK OFF!!
“Ael….” Panggil Vivian yang saat itu sudah menyelesaikan
makannya. Rafael tidak menjawab. Pikirannya masih melayang, bahkan makanannya
baru tersentuh sedikit.
“Ael…” Panggil Vivian lagi. Rafael masih bergeming.
“AEL!!!” Teriak Vivian akhirnya. Kesal. Berasa ngomong
sama tembok dicuekin mulu dari tadi.
“Apa?” Tanya Rafael malas. Sama sekali tidak kaget dengan
teriakan Vivian. Padahal ia selalu protes setiap kali Vivian berteriak.
“Lo masih mau makan? Gue udah selesai. Gue mau balik.”
Jawab Vivian.
“Trus jawabannya?” Tanya Rafael.
“Jawaban apa? Emang lo nanya sesuatu gitu? Perasaan dari
tadi lo bengong doang. Tuh makanan juga nasibnya lo kacangin.” Cibir Vivian.
“Ya permintaan gue-lah. Apalagi? Emang lo pikir gue
nembak lo?!”
Lagi-lagi Vivian mencibir. Kenapa dia jadi marah?
Harusnya yang marah kan gue. “Kalo gue nggak mau?” Tantang Vivian.
“Lo liat kan tadi pagi apa yang gue lakuin. Gue tahu lo
paling nggak suka digosipin apalagi kehidupan pribadi lo sampai diubek-ubek
kayak cucian kotor yang numpuk.” Jawab Rafael santai.
“Maksud lo?” Tanya Vivian tak mengerti tapi dalam hati
tetap ketar-ketir. Menunggu apa jawaban makhluk ajaib yang pedenya selangit
ini.
“Gue bisa mempercepat proses lamaran dan pernikahan kita
kalo gitu. Gue nggak main-main. Gue nggak masalah kok kalo ujung-ujungnya harus
nikah sama lo. Yang penting lo masih cewek, gue sih oke oke aja.” Jawab Rafael
menjelaskan. Vivian cuma mangap. Bingung harus bereaksi bagaimana. Tadi pagi
saja tanpa diduga laki-laki ini muncul dan bahkan sampai mengumumkan bahwa mereka berdua telah bertunangan. Jadi bukan tidak
mungkin ia melakukan hal yang lebih gila dari itu seperti melamar dirinya
secepatnya dan akhirnya ia benar-benar harus rela menghabiskan sisa hidupnya
bersama laki-laki ini. Oh Tuhan!!!...
“Deal?” Rafael
menyodorkan tangannya di depan Vivian. Dengan berat hai Vivian akhirnya
menjawab uluran tersebut sambil berdoa semoga nanti turun hujan deras dan orang
ini disambar petir sampai hangus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar