Pagi
yang cerah, tapi tidak secerah wajah Bina. Semalam ketika mendengar bahwa Bian
kecelakaan, ia langsung panik bukan main. Alhasil, saat Bian menawarkan untuk
menjemputnya, dengan segera ia menolak dan mengatakan bahwa dirinya sendiri
yang akan ke rumah laki-laki itu. Ia lupa bahwa meskipun sudah empat tahun
menjalin hubungan dengan Bian, laki-laki itu belum pernah sekalipun mengajak
dirinya ke kediaman keluarga Alfonso ataupun memperkenalkannya sebagai pacarnya
kepada kedua orang tuanya.
Ini bukan masalah Bina tidak tahu dimana
rumah Bian atau Bina takut tersesat. Ini masalah apa pendapat orang tua Bian
apabila dirinya bertandang sendiri ke rumah yang sudah bisa dipastikan besar
dan mewah itu. Bina memang tidak tahu pasti seberapa megahnya ‘Istana Alfonso’
itu, tapi sejak SMA, sejak dirinya dan Bian pertama kali bertemu,
teman-temannya di sekolah maupun para senior sudah sering berkasak-kusuk
tentang betapa kayanya keluarga Ayah Bian.
Aduh
gimana nih? Batin Bina gusar. Bagaimana bisa ia sebodoh
itu? Sekarang ia harus bagaimana? Tidak mungkin ia meminta Bian untuk bertemu
di luar saja karena laki-laki itu saat ini sedang sakit. Kecelakaan motor pula.
Baru juga semalam. Bukan sakit flu biasa yang memang sudah menjadi penyakit
langganan Bian. Apalagi hanya dengan alasan karena ia takut dan tidak percaya
diri bertemu dengan kedua orang tua Bian.
Apa
gue ajak Bianca aja ya? Batinnya. Eh tapi jangan deh. Kesannya kok kayak
dateng cuma kalo butuh doang. Tapi kan emang gue lagi butuh banget sama Bianca.
Kira-kira dia sibuk nggak, ya? Pikiran Bina semakin berkecamuk. Ia ingin
meminta bantuan Bianca untuk menemaninya, tapi juga merasa tidak enak.
Akhirnya
diputuskannya untuk menghubungi ponsel sahabat baiknya itu dengan catatan
memastikan terlebih dahulu apa yang sedang dilakukan olehnya atau tidak.
Ditekannya tombol bergambar hijau ketika ditemukannya nama Bianca Lewis di
daftar penghuni kontaknya. Lagu
klasik caravansary langsung memenuhi
pendengaran Bina. Memang Bianca banget. Klasik. Berkelas. Seperti orangnya.
Namun sayangnya, tiga kali dicobanya Bianca tidak menjawab panggilan
teleponnya. Dengan langkah berat akhirnya ia berjalan ke arah halte dan
memutuskan untuk ke rumah Bian sendirian.
****
Akhirnya Bianca tiba juga di PIM. Hari ini
sedang sangat tidak bersemangat. Pasca adu mulut dengan Dad, pikirannya
benar-benar terasa kacau. Ia benar-benar butuh refreshing. Dan sepertinya window
shopping bisa sedikit mengurangi beban pikirannya. Tadinya ia ingin
mengajak Bina tapi sepertinya ia lebih nyaman jika saat ini sendiri dulu.
Lagipula ia tidak mungkin membagi cerita menyedihkannya kepada orang lain
meskipun itu adalah sahabatnya sendiri. Berbeda dengan Bina yang memang selalu
suka menceritakan segala hal yang dialaminya kepadanya, Bianca adalah orang
yang cenderung tertutup dan tidak suka curhat.
Ia lebih nyaman berkeluh kesah kepada mamanya atau bercerita pada Tuhan.
Segalanya akan terasa lebih baik jika seperti itu.
Langkahnya
memasuki PIM terhenti ketika ponselnya berdering tanda panggilan masuk. Dari
Bina. Bianca menghela napas panjang. Sepertinya gadis ini ada keperluan
dengannya sampai menghubunginya. Ia sudah hafal kebiasaan Bina. Ia hanya akan
menghubungi Bianca jika dia punya keperluan. Terkesan datang saat butuh saja
sih, tapi Bianca mengerti. Sejak Bian hadir dalam kehidupan Bina, hampir segala
hal tentang Bina digantungkan pada laki-laki itu yang dengan senang hati
menerimanya dengan tangan dan hati terbuka.
Akan tetapi, baru saja ia hendak mengangkat
panggilan telepon itu, tiba-tiba saja ujung matanya menangkap sekelabat sosok
yang sangat dikenalnya bersama seorang wanita cantik. Sosok yang amat
dirindukannya. Sosok malaikat pelindunya yang pergi bertahun-tahun tanpa kabar
sama sekali. Sosok laki-laki pertama dalam hidupnya. Sosok yang ia cintai melebihi
Fabian cinta pertamanya. Sosok kakak yang ia kenal. Ryan, kakak kandungnya.
“KAK RYAN!!!” Teriaknya. Tapi laki-laki yang
dipanggilnya itu tidak menoleh sama sekali. Ia tidak mendengar teriakan
satu-satunya adik yang dimilikinya itu.
“KAK RYAAAAAANNNN!!!” Teriaknya histeris
ketika dilihatnya Ryan terus berjalan ke arah parkir. Ia terlihat menekan automatic key salah satu mobil disana
dan sudah bersiap untuk masuk ke mobil tersebut. Tidak dipedulikannya tatapan
aneh orang-orang yang ditujukan padanya kerena berteriak seperti orang gila.
Terserah.
Bianca
menggeleng frustasi. Tidak! Tidak akan dibiarkannya Ryan hilang untuk kedua
kalinya. Tidak akan dibiarkannya Ryan meninggalkannya untuk kedua kalinya. Jika
Ryan memang sudah tidak menyayanginya lagi, tidak menginginkan adik seperti
dirinya lagi maka tidak apa-apa tapi setidaknya ia harus menjelaskan apa maksud
kalimat terakhirnya sebelum laki-laki itu melangkah meninggalkan rumah dan
bahkan menanggalkan nama Lewis dari namanya.
Dengan
wajah yang semakin panik ia berlari ke arah mobilnya dan berusaha untuk
mengejar Ryan ketika dilihatnya mobil yang dikendarai Ryan sudah berjalan
keluar area PIM. Kak Ryan...tungguin
Bianca. Jeritnya dalam hati.
Seperti orang kesetanan diinjaknya pedal gas
kuat-kuat ketika dilihatnya mobil Ryan semakin menjauh. Dilajukannya mobilnya
dengan kecepatan di atas normal. Rasa takutnya hilang seketika. Ia lebih takut
kehilangan Ryan lagi daripada jika dirinya harus kecelakaan dan lumpuh seumur
hidup. Ia tidak apa-apa asal ia bisa bertemu dan melepas rindu dengan kakaknya
itu meskipun untuk yang terakhir kalinya.
Ryan yang merasa bahwa dirinya diikuti
mengernyit bingung. Ia sudah berusaha menerka mobil siapa yang menguntitnya itu
tapi ia tidak mengenalinya. Riana – istrinya yang baru saja tiga bulan yang
lalu menikah dengannya pun merasa heran.
“Itu mobil di belakang ngikutin kita ya,
Yang?” Tanya Riana sambil menatap suaminya yang sedang fokus di belakang
kemudi. Tidak heran jika Riana mengetahuinya karena istrinya ini masuk dalam
jajaran wanita-wanita penggila kendaraan beroda empat itu. Bukan gila yang suka
mngolekasi, tapi Riana cinta menyetir. Bahkan Ryan sendiri mengakui kemampuan terk-trekan istrinya itu.
“Kayaknya sih iya.” Jawab Ryan sambil tetap
fokus pada jalanan dan sama sekali tidak ada niat untuk menurunkan laju
mobilnya.
“Berhenti bentar deh. Siapa tahu pengemudinya
memang ada perlu sama kamu.” Saran Riana.
Ryan menggeleng. “Nggak. Kalo orang jahat
gimana? Lagian kalo dia bener ada perlu sama aku, sama kita dia nggak bakal
nguntit kita. Seenggaknya dia bisa telepon mau ketemuan dimana.” Tolaknya
keras.
“Kenapa kamu takut? Atau jangan-jangan itu
selingkuhan kamu lagi makanya kamu nggak mau berhenti soalnya takut aku bakalan
tahu. Tenang aja. Aku nggak papa kok. Palingan juga nantinya dia patah tangan
sama kamu patah kaki.” Ledek Riana santai.
Ryan meliriknya tajam. “Kamu jangan aneh-aneh
deh. Aku nggak kayak gitu!” Bantahnya kesal. Riana tidak berubah meskipun
mereka sudah menikah. Suka sekali meledeknya dengan ledekan menyebalkan seperti
ini.
“Ya udah kalo beneran gitu. Kamu jangan
marah, mendingan sekarang kita berhenti bentar trus kita tanya dia ada
keperluan apa sama kita sampe ngejar kayak orang kesurupan gitu. Nggak mungkin
nggak ada yang penting, kan. Lagian aku nggak mau kita kecelakaan.”
Ryan menggerutu kesal namun akhirnya tetap
menepikan mobilnya. Dasar Riana! Masih juga meledek. Ia tahu apa maksud Riana
dengan tidak mau kecelakaan. Mentang-mentang ia tidak terlalu mahir menyetir.
Bianca yang melihat mobil Ryan berhenti akhirnya mendesah lega dan secara
otomatis menurunkan laju mobilnya hingga akhirnya berhenti tidak jauh di
belakang mobil Ryan. Dengan segera dimatikannya mesin dan keluar dari mobil
tanpa menutup pintu sama sekali. Ryan dan Riana yang juga baru saja keluar dari
mobil terkejut mendapati bahwa yang mengejar mobil mereka benar-benar adalah
seorang gadis. Riana yang awalnya tenang dan adem ayem saja seketika melirik
Ryan tajam. Ryan juga tak kalah kagetnya. Pasalnya, gadis yang bahkan belum
sempat dilihatnya secara jelas wajahnya itu tiba-tiba saja menghambur dan
memeluknya bahkan sampai menangis tersedu-sedu.
“Kak Ryan... Kak Ryan kemana aja? Kenapa
Kakak ninggalin aku? Aku kangen sama Kakak.” Bisiknya di sela-sela isak tangis
tersedunya. Ryan terkejut. Suara ini... suara yang amat dikenal dan
dirindukannya. Ini suara gadis kecil kesayangannya. Suara manja ini... Bianca!
Ya Tuhan! Bagaimana bisa Bianca menemukannya? Padahal ia sudah mati-matian
menyembunyikan diri dari adiknya ini. Ia sudah mati-matian berlari.
Diurainya
pelukan Bianca dan ditatapnya gadis itu dalam-dalam di kedua bola matanya.
“Kamu pulang sekarang!” Perintahnya. Bianca menggeleng. Air mata semakin deras
merembes dari pelupuk matanya. “Nggak mau. Bianca nggak mau!” Tolaknya.
“Kamu harus pulang!” Perintah lagi. Tegas.
Bianca kembali menggeleng. Ia tidak mau.
“Eh lo berdua!” Riana tiba-tiba menyela.
“Ngapain sih? Nggak malu peluk-pelukan di depan gue? Pake acara nangis kejer
ala sinetron lagi.” Celanya sinis.
“Eh lo! Apa coba maksud lo meluk-meluk suami
gue? Lo nggak tahu malu, ya?!” Hardiknya pada Bianca. “Lo juga! Gue nggak
nyangka ya lo setega ini sama gue?! Kita baru nikah tiga bulan Yan. TIGA BULAN!
Masih seumur jagung dan lo udah coba-coba ngeduain gue?! Tahu gitu gue
tinggalin lo dari dulu!” Teriaknya emosi pada Ryan.
Ryan jadi salah tingkah. “Ayang dengerin
dulu! Ini nggak kayak apa yang kamu pikir. Kamu salah paham. Aku bisa jelasin
semuanya.” Ryan mencoba menjelaskan.
“Nggak! Lo nggak usah sok pake acara ngejelasin
segala. Gue nggak butuh.
Pokoknya gue mau balik sekarang ke rumah Papi. Lo tunggu aja surat cerainya,
bakal gue kirim secepatnya.” Tolaknya mentah-mentah.
“Tunggu dulu! Istri? Suami? Maksudnya apa?
Kak Ryan udah nikah, gitu? Dan ini istri Kak Ryan...” Tahan Bianca.
“Tenang aja. Bentar lagi bakalan jadi mantan
suami kok. Dan lo bisa ngedapetin Ryan seutuhnya.” Jawabnya sambil melangkah ke
arah mobil berniat meninggalkan Ryan dan Bianca. Seketika tangannya dicekal
Ryan. “Lepasin!” Perintahnya.
“Nggak sebelum kamu mau dengerin aku.” Tolak
Ryan lembut namun tegas.
“Apa lagi yang mesti gue dengerin?” Tanyanya
sambil berusaha menahan tangis.
“Aku adiknya.” Bianca yang menjawab. “Mungkin
Kak Ryan nggak pernah cerita sama kamu kalo dia punya adik perempuan yang udah
lama dia tinggalin. Aku juga nggak tahu apa alasannya. Tapi aku mohon kamu
jangan salah paham. Aku bukan siapa-siapanya Kak Ryan. Aku juga bukan pacar,
selingkuhan ataupun simpanannya. Aku hanya
adiknya.”
****
Waktu menunjukkan pukul 11.45 menit
ketika Bina sampai di komplek perumahan Bian. Dengan langkah yang dibuat
sesantai mungkin gadis itu berjalan ke arah rumah Bian. Begitu sampai di depan
pagar, Bina bena-benar dibuat tercengang oleh bangunan lantai dua bercat putih
itu. Rumah mewah yang ditopang oleh tiang penyangga tinggi, balkon lantai dua
yang langsung terlihat ketika sampai di depan bangunan yang berdiri kokoh itu,
jalan melinkar yang mengarah ke depan pintu utama mulai dari gerbang tinggi
berwarna hitam serta taman depan rumah yang tertata apik dengan berbagai macam
bunga serta air mancur megah di depan
rumah. Benar-benar pemandangan yang hampir membuat Bina enggan untuk masuk jika
dirinya tidak ditegur oleh satpam yang berjaga disana. Sepertinya ia takut Bina
maling.
“Maaf
Mbak ada yang bisa dibantu?” Tanya satpam itu formal. Bina semakin merasa
enggan untuk masuk mengingat para pekerja rumah tangga biasanya berbicara
dengan bahasa yang sangat sopan sementara biasanya – bukan berniat menghina
tapi biasanya terdengar norak.
“I...Iya
Pak. Benar disini kediaman keluarga Alfonso?” Tanyanya sopan. Mencoba untuk
terdengar sedikit berkelas tapi jatuhnya malah kikuk.
“Iya
benar. Ada perlu dengan Tuan dan Nyonya?” Tanya satpam itu lagi.
“Ehm...
sebenernya saya ada perlu sama anaknya, Bian.” Jawab Bina lebih sopan dari
sebelumnya.
“Maksudnya
Den Fabian?” Tanya satpam itu lagi.
“Iya...
Den Fabian.” Akhirnya Bina ikut menyebut Bian dengan embel-embel Den. Mungkin
Bian memang tidak biasanya hanya dipanggil dengan nama akrabnya saja di depan
orang-orang di sekitarnya. Apalagi dengan nama akrabnya.
“Sudah
bikin janji?” Tanya satpam itu lagi.
Bina
sempat terpana dengan pertanyaan itu. Apa Bian benar-benar orang sepenting itu sampai jika ingin bertemu
dengannya haru membuat janji terlebih dahulu? Tapi pertanyaan itu segera
ditepisnya mengingat orang tua Bian saja tidak mengenalnya sebagai pacar putra
mereka jadi sudah bisa dipastikan bahwa para pekerja di rumah ini tidak
mengenalinya. Bahkan mungkin mereka tidak pernah berpikir bahwa Bian punya
pacar seorang gadis biasa sepertinya.
“Iya
sudah Pak.” Jawab Bina akhirnya. Sesaat satpam itu terlihat ragu tapi akhirnya
ia mempersilahkan Bina masuk juga.
“Kendaraannya
mana Mbak? Nanti saya parkirkan.” Tanya satpam itu lagi.
Bina
tersenyum simpul. “Nggak ada Pak. Saya nggak bawa kendaraan sendiri kemari.”
Jawabnya.
****
Bian yang sedang makan siang
bersama Mamanya terkejut mendapati Bina sudah sampai di rumahnya bersama Pak
Herman, satpam keluarga mereka. Ia kira semalam Bina hanya bercanda akan mengunjunginya
ke rumah, pasalnya ia tahu bahwa Bina sama sekali belum mengenal kedua orang
tuanya dan cenderung kaku di depan orang baru.
“Nyonya… Den Fabian… maaf mengganggu makan siangnya. Ini
katanya Mbak ini mau bertemu dengan Den Fabian.” Ucap Pak Herman sopan.
“Sudah buat janji?” Tanya Ibu Merry – Mama Fabian
tanpa mengalihkan pandangannya dari makanan di depannya ke arah Bina. Ratu
keluarga Alfonso yang masih terlihat muda meskipun usianya sudah melebihi angka
empat puluh itu tetap dengan anggunnya menyandokkan makanan yang terlihat
seperti buatan hotel bintang lima tersebut.
“Su…” Bina yang hendak menjawab terpaksa menghentikan
ucapannya karena Bian telah bicara terlebih dahulu.
“Eh Ma…” Panggilnya. Mamanya menoleh menatap putra
semata wayangnya itu yang kini sudah berdiri sambil merangkul bahu Bina. “Ada apa
Fabian?” Tanyanya tanpa menatap Bina sama sekali.
“Kenalin… pacar Bian.” Jawab Bian kaku. Tatapan anggun
yang awalnya ditujukan pada Bian kini beralih pada Bina. Namun tatapan hangat
wanita itu meredup berganti tatapan menyelidik. Bina bahkan sampai dipandangi
dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Namanya Shabrina.” Ucapnya lagi memperkenalkan
Bina lebih lanjut.
“Apa kabar, tante? Nama saya Shabrina.” Bina
memperkenalkan diri dengan sopan dan perlahan sambil membungkukkan sedikit
tubuhnya dan tersenyum manis. Mama Bian tidak menjawab. Dengan gerakan
perlahan, wanita itu meletakkan pisau dan garpu yang tadi digunakannya untuk
makan dan mengelap bibirnya dengan serbet yang tersedia di meja.
“Mama sudah selesai makan. Mama harus pergi sekarang. Mama
ada pertemuan dengan beberapa teman mama di klub. Kamu kalau masih mau makan,
silahkan dilanjutkan. Kamu juga Shabrina. Silahkan makan siang. Semuanya juga
tidak apa-apa. Kamu bisa panggil chef-nya
jika tidak merasa cocok dengan makanannya.” Ucapnya kemudian berlalu dari
tempat itu. Bina sama sekali tidak menyangka akan mendapat perlakuan seperti
itu. Sebenarnya ia agak tersinggung dengan sikap Mama Fabian yang cenderung
merendahkan itu tapi ia tidak berani bicara. Ia cukup sadar dimana dirinya
berada saat ini. Ia berada di zona yang tidak seharusnya ia lewati. Jadi, ia
tidak bisa marah meskipun diperlakukan seperti tadi.
Bian keliahatan
salah tingkah dan merasa tidak enak dengan sikap mamanya. Antara tidak tega
dengan Bina dan tidak berani membantah wanita yang terlihat cukup otoriter itu.
“Kamu mau makan siang nggak Na? Biar aku panggilin…”
“Nggak usah Bi.” Potong Bina cepat. “Aku udah makan
kok” Bohongnya. Ia sangat menghargai tawaran Mama Bian tapi ia tidak bisa. Ia memang
tidak bisa angkat bicara ataupun memaki-maki Mama Bian, tapi ia tidak mau
menerima pemberian yang dirasa seperti pemberian terhadap pengemis itu.
“Aku mau pulang aja. Kamu nggak usah anterin aku. Aku akan
pulang sendiri.” Ungkapnya. Ia memang sedikit marah tapi ia tidak bisa marah
pada laki-laki di depannya ini. Ia yakin Bian juga tidak menyangka Mamanya akan
bersikap seperti itu. Bian hanya menatapnya dengan tatapan bersalah. “Maaf.”
Ucapnya.
“Nggak ada yang perlu dimaafin. Aku pulang dulu.” Pamitnya.
Bian segera mencekal pergelangan tangan kiri Bina. “Aku anter… please.” Pintanya memelas. Dengan lembut
Bina melepaskan cekalan tangan Bian dan tersenyum. “Nggak usah. Kamu masih
sakit. Aku mau pulang sendiri.” Tolaknya halus kemudian berlalu.
****
Bara baru saja keluar dari salah
satu restoran Jepang bersama Nindy. Mereka baru saja makan siang. Entah kenapa
ia selalu saja sial dan harus berakhir bersama wanita gila harta dan
popularitas itu. Ia masih ingat kejadian tadi saat ia dan Nindy baru tiba di
restoran. Seorang laki-laki datang menghampiri dan sedikit berbasa-basi dengan
mereka – dengan Nindy tepatnya. Ia sama sekali tidak tergabung dalam
pembicaraan kecuali saat ia bertanya tentang apa yang sudah diceritakan oleh
wanita itu terhadap laki-laki tadi. Tentu saja Nindy hanya menjawabnya dengan rangkulan
manja di lengannya yang sepertinya diartikan laki-laki itu sebagai penegasan hubungan kedekatan yang sangat
antara dirinya dan Nindy. Nindy baru memberitahu ketika mereka sedang makan
tadi bahwa laki-laki tadi adalah mantan pacarnya dan ia menceritakan pada laki-laki
itu bahwa Bara adalah tunangannya. Bayangkan saja, betapa kesalnya Bara
mendengarnya hingga marah-marah di restoran, mempermalukan diri sendiri dan
Nindy tentunya dan berakhir di dalam mobil dengan perut yang masih setengah
keroncongan. Ya. Saking kesalnya ia sampai meninggalkan Nindy tanpa membayar
terlebih dahulu makanan yang sudah mereka pesan. Ia tahu Nundy bukan tidak
punya cukup uang untuk membayar hanya saja ia pantang membuat perempuan
mengeluarkan uang saat bersama dengannya meskipun itu adalah Nindy.
Dengan kesal dibantingnya kemudi ke
arah kanan ketika ia hampir sampai di tikungan tanpa menurunkan laju
kendaraannya. Ia sama sekali tidak menduga akan muncul seorang perempuan yang
sedang berjalan kaki dari sana. Untung saja kakinya refleks menginjak pedal rem
kuat-kuat. Jika tidak, ia benar-benar akan berakhir di penjara. Kesal karenanya
yang juga masih bercampur dengan kesal akibat ulah Nindy akhirnya ia keluar
dari mobil dengan sumpah serapah yang berhamburan keluar dari mulutnya.
“Anjing! Lo mau mati, ya! Kalo lo mau ngumpanin nyawa,
jangan disini! Lompat kek dari gedung jangan bikin orang harus ikut-ikutan
nanggung akibatnya. Ini tikungan. Lo kira…” Umpatannya sekejap terhenti ketika
dilihatnya dengan jelas siapa orang yang baru saja hampir ditabraknya itu. Shabrina!
“Ataga Bina..??? Sorry gue kira bukan elo.” Ucapnya meminta
maaf. “Lo ngapain siang bolong panas pegini jalan kaki sendirian? Pake muncul
dari tikungan gini lagi. Bahaya tau.” Tegurnya halus.
Bina tersenyum miris. “Jadi kalau bukan saya berarti
bakalan terus dimaki-maki dong.” Sindirnya. Bara menggaruk tengkuknya yang
tidak gatal. Salah tingkah. “Ehmm… sorry bukan gitu maksud gue…”
Bina tertawa garing. “Nggak apa-apa Pak.” Ucapnya.
“Eh lo ngapain disini? Panas-panasan gini? Nggak takut
item? Ke mobil aja yuk… lo mau kemana? Gue anterin…” Tanya Bara bertubi-tubi.
“Nggak usah Pak. Saya tahu Bapak punya banyak
pekerjaan. Saya tidak mau merepotkan.” Tolak Bina sopan.
“Nggak kok beneran. Lagian juga masih jam istirahat
kok. Gue juga nggak papa kalo telat masuk.” Bara kembali mencoba membujuk untuk
mengantar.
“Emang Boss ya…” Komentar Bina pedas dan menyindir. Bara
jadi semakin salah tingkah mendengar komentar pedas Bina. Tidak mampu menjawab
ataupun membantah karena memang apa yang dikatakan gadis ini benar dan juga
tidak berani lagi membujuk karena takut mendapat komentar yang lebih pedas
lagi. Bina yang sejak tadi memang asyik sendiri dengan sakit hatinya seketika
tersadar bahwa ia sudah terlalu jauh. “Maaf Pak saya sama sekali nggak
bermaksud menyindir.”
“Nggak papa lagian apa yang lo bilang tadi bener kok. Jadi
kayak yang lo bilang tadi, gue ini Boss jadi nggak ada alasan buat takut telat
balik ke kantor, sama kayak gue nggak punya alasan buat nunda bentar kerjaan
gue yang banyak kalo kayak yang lo bilang tadi.” Dalam hati Bina meringis, ia
memang tidak salah bicara dan laki-laki di depannya ini memang pantas disindir
tapi ternyata laki-laki ini lebih bermuka badak daripada yang dia pikirkan. Ia juga
benar-benar seorang pebisnis sejati. Pantas jika sudah diberi kepercayaan
menjabat sebagai CEO. Ia benar-benar mahir bermain kata-kata dan tidak gampang
terjebak. Patut diacungi jempol sebenarnya tapi sepertinya ia akan semakin
besar kepala.
“So?” Lanjutnya. Akhirnya Bina mengiyakan saja tawaran Bara.
Mau bagaimana lagi? Bara memang tidak terjebak, tapi Bina sudah terperangkap. Tidak
bisa mengelak karena perangkap itu adalah perangkap yang ia ciptakan sendiri.
****
Bina
yang awalnya meminta pada Bara untuk diantar pulang saja pada akhirnya harus
rela menemani langkah laki-laki itu dulu. Entah mengapa untuk yang kedua
kalinya laki-laki itu kembali membawanya ke tempat mereka makan es krim bersama
untuk pertama kalinya. Mereka juga kembali menjatuhkan pilihan pada menu yang
sama. Bina santai-santai saja. Lagipula ia tidak terlalu mengerti dan hafal
nama-nama es krim, ia hanya suka rasanya jadi ia hanya makan saja apa yang ada.
Tapi kali ini mereka makan bertiga. Ada Bimo yang juga ikut.
“Bina… kok bisa sama nih kunyuk lagi?” Tanya Bimo membuka pembicaraan. Bara yang disebut kunyuk oleh Bimo sama sekali tida merasa
terganggu. Sepertinya mereka memang benar-benar dekat, pikir Bina.
“Kebetulan aja ketemu Kak.” Jawab Bina sambil
tersenyum.
“Oh… eh kok kayaknya udah jarang bareng Bian?” Pancing
Bimo. Bina tidak tahu bahwa kehadiran Bimo disini bukan tanpa alasan. Tanpa diketahuinya,
sesaat setelah mereka sampai di restoran ini, Bara sengaja mengirim pesan pada
sahabatnya itu untuk menyusulnya kesini demi menjalankan misi. Bimo yang
awalnya tidak tahu menahu tentang misi apa yang dimaksud Bara langsung mengerti
ketika mataya menangkap sosok Bina di dalam restoran. Ia tahu misi apa yang
sedang ditugaskan Bara padanya: Mengorek Informasi Lebih Banyak tentang
Hubungan Bian-Bina. Tapi ia sama sekali tidak keberatan selagi permintaan Bara
masih dalam tahap yang bisa diterima logikanya sebagai laki-laki. Ia tidak
keberatan jika Bara berusaha merebut Bina dari Bian. Sah-sah saja. Everything is fair in love and war. Selama
Bina belum berstatus sebagai istri Bian atau istri laki-laki lain, siapa saja
bisa merebutnya sesuka hati.
Wajah
Bina yang tadinya sudah kusut jadi semakin kusut saat mendengar nama Bian
disebut. Ia jadi ingat lagi kejadian tadi. Ekspresi murung yang dengan cepat
bisa ditangkap Bimo dan Bara itu langsung menegaskan bahwa ada hal yang tidak
beres disini.
“Biannya lagi sakit.” Jawab Bina singkat. Terlihat sekali
ia sedang malas membahas masalah Bian ataupun hal-hal yang berkaitan dengan
Bian.
“Sakit apa?” tanya Bimo lagi.
“Kecelakaan motor.”
“Gimana keadaannya? Nggak parah, kan?” Desak Bimo lagi.
Ia jadi gemas. Jawaban Bina singkat-singkat. Bina hanya mengangguk singkat. “Tadi
udah ketemu sih di rumahnya. Udah baikan.” Jawabnya sambil menarik napas
panjang. Bimo langsung mengerti. Jadi disitu letak permaslahannya.
****
“Apa?” Tanya Bara pada Bimo begitu mereka sampai di
apartemen. Lagi-lagi tempat mengungsi sementara buat Bara karena tadi ia
mendapat telepon dari sekertarisnya bahwa Nindy mencari-carinya sejak tadi
siang.
“Apanya?” Bimo balik bertanya. Berlagak tidak
mengerti.
“Ck.” Bara berdecak pelan. “Jawab aja deh. Lo emang
begi tapi nggak sebego itu.” Hinanya kesal.
“Ya lo denger sendiri kan tadi?
Dia nggak bareng Bian karena Bian lagi sakit. Tapi tadi di udah pastiin dengan
datengin tuh cowok ke rumahnya dan keadaannya udah baik-baik aja.” Bimo kembali
menjelaskan jawaban-jawaban Bina tadi menggunakan versinya sendiri.
“Nggak mungkin nggak ada yang
lain.” Sanggah Bara.
“Terus elo maunya gimana? Lo mau
denger gue bilang Bina sama Bian putus gitu?” Ledek Bimo sambil menaik-naikkan
alisnya. Tapi Bara tidak merespon candaan sahabatnya itu. Ia hanya melayangkan
tatapan sebalnya.
“Oke. Tadi Bina bilang Bian
kecelakaan motor dan dia udah ke rumahnya. Kemungkinan pertama, Bina udah tahu
penyebab pasti kenapa Bian bisa kecelakaan dan akhirnya dia kecewa. Kemungkinan
kedua, ia ketemu sama Nyokap tuh cowok dan nggak sengaja diperlakuin secara
nggak sopan sama tuh nenek sihir atau bahkan bisa jadi dipermaluin.” Lanjutnya.
“Dipermaluin? Nenek sihir? Maksud
lo?” Tanya Bara tak mengerti.
“Yah seperti banyak orang tahu,
mungkin elo nggak kalo keluarga Alfonso sama sekali bukan keluarga sembarangan.
Perusahaan mereka adalah salah satu perusahaan terbesar di Indonesia. Dan
karena kekayaan keluarga mereka itu, keluarga besar mereka jadi agak besar
kepala dan cenderung menilai orang lain dari penampilan, kekayaan dan latar
belakang keluarga dimana konglomerat selalu menjadi nomor satu dalam jajaran
keluarga yang akan selalu diterima dengan tangan terbuka di kediaman mereka. Nggak
menutup kemungkinan juga dalam menentukan pasangan hidup bagi putra semata
wayang mereka – Bian. Sementara Bina, kita udah pernah nganter dia pulang, kan?
Jadi lo bisa ambil kesimpulan sendiri bahkan cuma dengan liat penampilannya.” Jelas
Bimo panjang lebar.
Bara
menagngguk mengerti mendengar penjelasan Bimo. “Trus alasan Bian kecelakaan
yang bikin Bina kecewa?” Tanyanya lagi. Bimo tidak menjawab. Ia hanya melangkah
ke arah kulkas dan mengambil sekaleng cola
dari lemari pendingin itu.
“Lo mau ikut nggak ntar malem?” Tanyanya
sambil meminum colanya.
“Kemana?” Tanya Bara. Bimo hanya
mengedikkan kedua bahunya dan menatap Bara cuek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar