Catatan harian yang semakin renta dan tua

Selasa, 04 Februari 2014

Cinta Tak Sempurna #9

          Pagi yang cerah, tapi tidak secerah wajah Bina. Semalam ketika mendengar bahwa Bian kecelakaan, ia langsung panik bukan main. Alhasil, saat Bian menawarkan untuk menjemputnya, dengan segera ia menolak dan mengatakan bahwa dirinya sendiri yang akan ke rumah laki-laki itu. Ia lupa bahwa meskipun sudah empat tahun menjalin hubungan dengan Bian, laki-laki itu belum pernah sekalipun mengajak dirinya ke kediaman keluarga Alfonso ataupun memperkenalkannya sebagai pacarnya kepada kedua orang tuanya.

Ini bukan masalah Bina tidak tahu dimana rumah Bian atau Bina takut tersesat. Ini masalah apa pendapat orang tua Bian apabila dirinya bertandang sendiri ke rumah yang sudah bisa dipastikan besar dan mewah itu. Bina memang tidak tahu pasti seberapa megahnya ‘Istana Alfonso’ itu, tapi sejak SMA, sejak dirinya dan Bian pertama kali bertemu, teman-temannya di sekolah maupun para senior sudah sering berkasak-kusuk tentang betapa kayanya keluarga Ayah Bian.

Aduh gimana nih? Batin Bina gusar. Bagaimana bisa ia sebodoh itu? Sekarang ia harus bagaimana? Tidak mungkin ia meminta Bian untuk bertemu di luar saja karena laki-laki itu saat ini sedang sakit. Kecelakaan motor pula. Baru juga semalam. Bukan sakit flu biasa yang memang sudah menjadi penyakit langganan Bian. Apalagi hanya dengan alasan karena ia takut dan tidak percaya diri bertemu dengan kedua orang tua Bian.

Apa gue ajak Bianca aja ya? Batinnya. Eh tapi jangan deh. Kesannya kok kayak dateng cuma kalo butuh doang. Tapi kan emang gue lagi butuh banget sama Bianca. Kira-kira dia sibuk nggak, ya? Pikiran Bina semakin berkecamuk. Ia ingin meminta bantuan Bianca untuk menemaninya, tapi juga merasa tidak enak.

          Akhirnya diputuskannya untuk menghubungi ponsel sahabat baiknya itu dengan catatan memastikan terlebih dahulu apa yang sedang dilakukan olehnya atau tidak. Ditekannya tombol bergambar hijau ketika ditemukannya nama Bianca Lewis di daftar penghuni kontaknya. Lagu klasik caravansary langsung memenuhi pendengaran Bina. Memang Bianca banget. Klasik. Berkelas. Seperti orangnya. Namun sayangnya, tiga kali dicobanya Bianca tidak menjawab panggilan teleponnya. Dengan langkah berat akhirnya ia berjalan ke arah halte dan memutuskan untuk ke rumah Bian sendirian.

****
Akhirnya Bianca tiba juga di PIM. Hari ini sedang sangat tidak bersemangat. Pasca adu mulut dengan Dad, pikirannya benar-benar terasa kacau. Ia benar-benar butuh refreshing. Dan sepertinya window shopping bisa sedikit mengurangi beban pikirannya. Tadinya ia ingin mengajak Bina tapi sepertinya ia lebih nyaman jika saat ini sendiri dulu. Lagipula ia tidak mungkin membagi cerita menyedihkannya kepada orang lain meskipun itu adalah sahabatnya sendiri. Berbeda dengan Bina yang memang selalu suka menceritakan segala hal yang dialaminya kepadanya, Bianca adalah orang yang cenderung tertutup dan tidak suka curhat. Ia lebih nyaman berkeluh kesah kepada mamanya atau bercerita pada Tuhan. Segalanya akan terasa lebih baik jika seperti itu.

          Langkahnya memasuki PIM terhenti ketika ponselnya berdering tanda panggilan masuk. Dari Bina. Bianca menghela napas panjang. Sepertinya gadis ini ada keperluan dengannya sampai menghubunginya. Ia sudah hafal kebiasaan Bina. Ia hanya akan menghubungi Bianca jika dia punya keperluan. Terkesan datang saat butuh saja sih, tapi Bianca mengerti. Sejak Bian hadir dalam kehidupan Bina, hampir segala hal tentang Bina digantungkan pada laki-laki itu yang dengan senang hati menerimanya dengan tangan dan hati terbuka.

Akan tetapi, baru saja ia hendak mengangkat panggilan telepon itu, tiba-tiba saja ujung matanya menangkap sekelabat sosok yang sangat dikenalnya bersama seorang wanita cantik. Sosok yang amat dirindukannya. Sosok malaikat pelindunya yang pergi bertahun-tahun tanpa kabar sama sekali. Sosok laki-laki pertama dalam hidupnya. Sosok yang ia cintai melebihi Fabian cinta pertamanya. Sosok kakak yang ia kenal. Ryan, kakak kandungnya.

“KAK RYAN!!!” Teriaknya. Tapi laki-laki yang dipanggilnya itu tidak menoleh sama sekali. Ia tidak mendengar teriakan satu-satunya adik yang dimilikinya itu.

“KAK RYAAAAAANNNN!!!” Teriaknya histeris ketika dilihatnya Ryan terus berjalan ke arah parkir. Ia terlihat menekan automatic key salah satu mobil disana dan sudah bersiap untuk masuk ke mobil tersebut. Tidak dipedulikannya tatapan aneh orang-orang yang ditujukan padanya kerena berteriak seperti orang gila. Terserah.

          Bianca menggeleng frustasi. Tidak! Tidak akan dibiarkannya Ryan hilang untuk kedua kalinya. Tidak akan dibiarkannya Ryan meninggalkannya untuk kedua kalinya. Jika Ryan memang sudah tidak menyayanginya lagi, tidak menginginkan adik seperti dirinya lagi maka tidak apa-apa tapi setidaknya ia harus menjelaskan apa maksud kalimat terakhirnya sebelum laki-laki itu melangkah meninggalkan rumah dan bahkan menanggalkan nama Lewis dari namanya.

          Dengan wajah yang semakin panik ia berlari ke arah mobilnya dan berusaha untuk mengejar Ryan ketika dilihatnya mobil yang dikendarai Ryan sudah berjalan keluar area PIM. Kak Ryan...tungguin Bianca. Jeritnya dalam hati.

Seperti orang kesetanan diinjaknya pedal gas kuat-kuat ketika dilihatnya mobil Ryan semakin menjauh. Dilajukannya mobilnya dengan kecepatan di atas normal. Rasa takutnya hilang seketika. Ia lebih takut kehilangan Ryan lagi daripada jika dirinya harus kecelakaan dan lumpuh seumur hidup. Ia tidak apa-apa asal ia bisa bertemu dan melepas rindu dengan kakaknya itu meskipun untuk yang terakhir kalinya.

Ryan yang merasa bahwa dirinya diikuti mengernyit bingung. Ia sudah berusaha menerka mobil siapa yang menguntitnya itu tapi ia tidak mengenalinya. Riana – istrinya yang baru saja tiga bulan yang lalu menikah dengannya pun merasa heran.

“Itu mobil di belakang ngikutin kita ya, Yang?” Tanya Riana sambil menatap suaminya yang sedang fokus di belakang kemudi. Tidak heran jika Riana mengetahuinya karena istrinya ini masuk dalam jajaran wanita-wanita penggila kendaraan beroda empat itu. Bukan gila yang suka mngolekasi, tapi Riana cinta menyetir. Bahkan Ryan sendiri mengakui kemampuan terk-trekan istrinya itu.

“Kayaknya sih iya.” Jawab Ryan sambil tetap fokus pada jalanan dan sama sekali tidak ada niat untuk menurunkan laju mobilnya.

“Berhenti bentar deh. Siapa tahu pengemudinya memang ada perlu sama kamu.” Saran Riana.
Ryan menggeleng. “Nggak. Kalo orang jahat gimana? Lagian kalo dia bener ada perlu sama aku, sama kita dia nggak bakal nguntit kita. Seenggaknya dia bisa telepon mau ketemuan dimana.” Tolaknya keras.
“Kenapa kamu takut? Atau jangan-jangan itu selingkuhan kamu lagi makanya kamu nggak mau berhenti soalnya takut aku bakalan tahu. Tenang aja. Aku nggak papa kok. Palingan juga nantinya dia patah tangan sama kamu patah kaki.” Ledek Riana santai.

Ryan meliriknya tajam. “Kamu jangan aneh-aneh deh. Aku nggak kayak gitu!” Bantahnya kesal. Riana tidak berubah meskipun mereka sudah menikah. Suka sekali meledeknya dengan ledekan menyebalkan seperti ini.
“Ya udah kalo beneran gitu. Kamu jangan marah, mendingan sekarang kita berhenti bentar trus kita tanya dia ada keperluan apa sama kita sampe ngejar kayak orang kesurupan gitu. Nggak mungkin nggak ada yang penting, kan. Lagian aku nggak mau kita kecelakaan.” 

Ryan menggerutu kesal namun akhirnya tetap menepikan mobilnya. Dasar Riana! Masih juga meledek. Ia tahu apa maksud Riana dengan tidak mau kecelakaan. Mentang-mentang ia tidak terlalu mahir menyetir. Bianca yang melihat mobil Ryan berhenti akhirnya mendesah lega dan secara otomatis menurunkan laju mobilnya hingga akhirnya berhenti tidak jauh di belakang mobil Ryan. Dengan segera dimatikannya mesin dan keluar dari mobil tanpa menutup pintu sama sekali. Ryan dan Riana yang juga baru saja keluar dari mobil terkejut mendapati bahwa yang mengejar mobil mereka benar-benar adalah seorang gadis. Riana yang awalnya tenang dan adem ayem saja seketika melirik Ryan tajam. Ryan juga tak kalah kagetnya. Pasalnya, gadis yang bahkan belum sempat dilihatnya secara jelas wajahnya itu tiba-tiba saja menghambur dan memeluknya bahkan sampai menangis tersedu-sedu.

“Kak Ryan... Kak Ryan kemana aja? Kenapa Kakak ninggalin aku? Aku kangen sama Kakak.” Bisiknya di sela-sela isak tangis tersedunya. Ryan terkejut. Suara ini... suara yang amat dikenal dan dirindukannya. Ini suara gadis kecil kesayangannya. Suara manja ini... Bianca! Ya Tuhan! Bagaimana bisa Bianca menemukannya? Padahal ia sudah mati-matian menyembunyikan diri dari adiknya ini. Ia sudah mati-matian berlari.
          Diurainya pelukan Bianca dan ditatapnya gadis itu dalam-dalam di kedua bola matanya. “Kamu pulang sekarang!” Perintahnya. Bianca menggeleng. Air mata semakin deras merembes dari pelupuk matanya. “Nggak mau. Bianca nggak mau!” Tolaknya.

“Kamu harus pulang!” Perintah lagi. Tegas. Bianca kembali menggeleng. Ia tidak mau.
“Eh lo berdua!” Riana tiba-tiba menyela. “Ngapain sih? Nggak malu peluk-pelukan di depan gue? Pake acara nangis kejer ala sinetron lagi.” Celanya sinis.

“Eh lo! Apa coba maksud lo meluk-meluk suami gue? Lo nggak tahu malu, ya?!” Hardiknya pada Bianca. “Lo juga! Gue nggak nyangka ya lo setega ini sama gue?! Kita baru nikah tiga bulan Yan. TIGA BULAN! Masih seumur jagung dan lo udah coba-coba ngeduain gue?! Tahu gitu gue tinggalin lo dari dulu!” Teriaknya emosi pada Ryan.

Ryan jadi salah tingkah. “Ayang dengerin dulu! Ini nggak kayak apa yang kamu pikir. Kamu salah paham. Aku bisa jelasin semuanya.” Ryan mencoba menjelaskan.

“Nggak! Lo nggak usah sok pake acara ngejelasin segala. Gue nggak butuh. Pokoknya gue mau balik sekarang ke rumah Papi. Lo tunggu aja surat cerainya, bakal gue kirim secepatnya.” Tolaknya mentah-mentah.

“Tunggu dulu! Istri? Suami? Maksudnya apa? Kak Ryan udah nikah, gitu? Dan ini istri Kak Ryan...” Tahan Bianca.

“Tenang aja. Bentar lagi bakalan jadi mantan suami kok. Dan lo bisa ngedapetin Ryan seutuhnya.” Jawabnya sambil melangkah ke arah mobil berniat meninggalkan Ryan dan Bianca. Seketika tangannya dicekal Ryan. “Lepasin!” Perintahnya.

“Nggak sebelum kamu mau dengerin aku.” Tolak Ryan lembut namun tegas.
“Apa lagi yang mesti gue dengerin?” Tanyanya sambil berusaha menahan tangis.
“Aku adiknya.” Bianca yang menjawab. “Mungkin Kak Ryan nggak pernah cerita sama kamu kalo dia punya adik perempuan yang udah lama dia tinggalin. Aku juga nggak tahu apa alasannya. Tapi aku mohon kamu jangan salah paham. Aku bukan siapa-siapanya Kak Ryan. Aku juga bukan pacar, selingkuhan ataupun simpanannya. Aku hanya adiknya.”
****
            Waktu menunjukkan pukul 11.45 menit ketika Bina sampai di komplek perumahan Bian. Dengan langkah yang dibuat sesantai mungkin gadis itu berjalan ke arah rumah Bian. Begitu sampai di depan pagar, Bina bena-benar dibuat tercengang oleh bangunan lantai dua bercat putih itu. Rumah mewah yang ditopang oleh tiang penyangga tinggi, balkon lantai dua yang langsung terlihat ketika sampai di depan bangunan yang berdiri kokoh itu, jalan melinkar yang mengarah ke depan pintu utama mulai dari gerbang tinggi berwarna hitam serta taman depan rumah yang tertata apik dengan berbagai macam bunga serta air mancur  megah di depan rumah. Benar-benar pemandangan yang hampir membuat Bina enggan untuk masuk jika dirinya tidak ditegur oleh satpam yang berjaga disana. Sepertinya ia takut Bina maling.

“Maaf Mbak ada yang bisa dibantu?” Tanya satpam itu formal. Bina semakin merasa enggan untuk masuk mengingat para pekerja rumah tangga biasanya berbicara dengan bahasa yang sangat sopan sementara biasanya – bukan berniat menghina tapi biasanya terdengar norak.

“I...Iya Pak. Benar disini kediaman keluarga Alfonso?” Tanyanya sopan. Mencoba untuk terdengar sedikit berkelas tapi jatuhnya malah kikuk.
“Iya benar. Ada perlu dengan Tuan dan Nyonya?” Tanya satpam itu lagi.
“Ehm... sebenernya saya ada perlu sama anaknya, Bian.” Jawab Bina lebih sopan dari sebelumnya.
“Maksudnya Den Fabian?” Tanya satpam itu lagi.
“Iya... Den Fabian.” Akhirnya Bina ikut menyebut Bian dengan embel-embel Den. Mungkin Bian memang tidak biasanya hanya dipanggil dengan nama akrabnya saja di depan orang-orang di sekitarnya. Apalagi dengan nama akrabnya.
“Sudah bikin janji?” Tanya satpam itu lagi.
Bina sempat terpana dengan pertanyaan itu. Apa Bian benar-benar orang sepenting itu sampai jika ingin bertemu dengannya haru membuat janji terlebih dahulu? Tapi pertanyaan itu segera ditepisnya mengingat orang tua Bian saja tidak mengenalnya sebagai pacar putra mereka jadi sudah bisa dipastikan bahwa para pekerja di rumah ini tidak mengenalinya. Bahkan mungkin mereka tidak pernah berpikir bahwa Bian punya pacar seorang gadis biasa sepertinya.
“Iya sudah Pak.” Jawab Bina akhirnya. Sesaat satpam itu terlihat ragu tapi akhirnya ia mempersilahkan Bina masuk juga.
“Kendaraannya mana Mbak? Nanti saya parkirkan.” Tanya satpam itu lagi.
Bina tersenyum simpul. “Nggak ada Pak. Saya nggak bawa kendaraan sendiri kemari.” Jawabnya.
****
Bian yang sedang makan siang bersama Mamanya terkejut mendapati Bina sudah sampai di rumahnya bersama Pak Herman, satpam keluarga mereka. Ia kira semalam Bina hanya bercanda akan mengunjunginya ke rumah, pasalnya ia tahu bahwa Bina sama sekali belum mengenal kedua orang tuanya dan cenderung kaku di depan orang baru.

“Nyonya… Den Fabian… maaf mengganggu makan siangnya. Ini katanya Mbak ini mau bertemu dengan Den Fabian.” Ucap Pak Herman sopan.
“Sudah buat janji?” Tanya Ibu Merry – Mama Fabian tanpa mengalihkan pandangannya dari makanan di depannya ke arah Bina. Ratu keluarga Alfonso yang masih terlihat muda meskipun usianya sudah melebihi angka empat puluh itu tetap dengan anggunnya menyandokkan makanan yang terlihat seperti buatan hotel bintang lima tersebut.

“Su…” Bina yang hendak menjawab terpaksa menghentikan ucapannya karena Bian telah bicara terlebih dahulu.
“Eh Ma…” Panggilnya. Mamanya menoleh menatap putra semata wayangnya itu yang kini sudah berdiri sambil merangkul bahu Bina. “Ada apa Fabian?” Tanyanya tanpa menatap Bina sama sekali.
“Kenalin… pacar Bian.” Jawab Bian kaku. Tatapan anggun yang awalnya ditujukan pada Bian kini beralih pada Bina. Namun tatapan hangat wanita itu meredup berganti tatapan menyelidik. Bina bahkan sampai dipandangi dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Namanya Shabrina.” Ucapnya lagi memperkenalkan Bina lebih lanjut.
“Apa kabar, tante? Nama saya Shabrina.” Bina memperkenalkan diri dengan sopan dan perlahan sambil membungkukkan sedikit tubuhnya dan tersenyum manis. Mama Bian tidak menjawab. Dengan gerakan perlahan, wanita itu meletakkan pisau dan garpu yang tadi digunakannya untuk makan dan mengelap bibirnya dengan serbet yang tersedia di meja.

“Mama sudah selesai makan. Mama harus pergi sekarang. Mama ada pertemuan dengan beberapa teman mama di klub. Kamu kalau masih mau makan, silahkan dilanjutkan. Kamu juga Shabrina. Silahkan makan siang. Semuanya juga tidak apa-apa. Kamu bisa panggil chef-nya jika tidak merasa cocok dengan makanannya.” Ucapnya kemudian berlalu dari tempat itu. Bina sama sekali tidak menyangka akan mendapat perlakuan seperti itu. Sebenarnya ia agak tersinggung dengan sikap Mama Fabian yang cenderung merendahkan itu tapi ia tidak berani bicara. Ia cukup sadar dimana dirinya berada saat ini. Ia berada di zona yang tidak seharusnya ia lewati. Jadi, ia tidak bisa marah meskipun diperlakukan seperti tadi.

            Bian keliahatan salah tingkah dan merasa tidak enak dengan sikap mamanya. Antara tidak tega dengan Bina dan tidak berani membantah wanita yang terlihat cukup otoriter itu. “Kamu mau makan siang nggak Na? Biar aku panggilin…”

“Nggak usah Bi.” Potong Bina cepat. “Aku udah makan kok” Bohongnya. Ia sangat menghargai tawaran Mama Bian tapi ia tidak bisa. Ia memang tidak bisa angkat bicara ataupun memaki-maki Mama Bian, tapi ia tidak mau menerima pemberian yang dirasa seperti pemberian terhadap pengemis itu.
“Aku mau pulang aja. Kamu nggak usah anterin aku. Aku akan pulang sendiri.” Ungkapnya. Ia memang sedikit marah tapi ia tidak bisa marah pada laki-laki di depannya ini. Ia yakin Bian juga tidak menyangka Mamanya akan bersikap seperti itu. Bian hanya menatapnya dengan tatapan bersalah. “Maaf.” Ucapnya.
“Nggak ada yang perlu dimaafin. Aku pulang dulu.” Pamitnya. Bian segera mencekal pergelangan tangan kiri Bina. “Aku anter… please.” Pintanya memelas. Dengan lembut Bina melepaskan cekalan tangan Bian dan tersenyum. “Nggak usah. Kamu masih sakit. Aku mau pulang sendiri.” Tolaknya halus kemudian berlalu.
****
Bara baru saja keluar dari salah satu restoran Jepang bersama Nindy. Mereka baru saja makan siang. Entah kenapa ia selalu saja sial dan harus berakhir bersama wanita gila harta dan popularitas itu. Ia masih ingat kejadian tadi saat ia dan Nindy baru tiba di restoran. Seorang laki-laki datang menghampiri dan sedikit berbasa-basi dengan mereka – dengan Nindy tepatnya. Ia sama sekali tidak tergabung dalam pembicaraan kecuali saat ia bertanya tentang apa yang sudah diceritakan oleh wanita itu terhadap laki-laki tadi. Tentu saja Nindy hanya menjawabnya dengan rangkulan manja di lengannya yang sepertinya diartikan laki-laki itu sebagai penegasan hubungan kedekatan yang sangat antara dirinya dan Nindy. Nindy baru memberitahu ketika mereka sedang makan tadi bahwa laki-laki tadi adalah mantan pacarnya dan ia menceritakan pada laki-laki itu bahwa Bara adalah tunangannya. Bayangkan saja, betapa kesalnya Bara mendengarnya hingga marah-marah di restoran, mempermalukan diri sendiri dan Nindy tentunya dan berakhir di dalam mobil dengan perut yang masih setengah keroncongan. Ya. Saking kesalnya ia sampai meninggalkan Nindy tanpa membayar terlebih dahulu makanan yang sudah mereka pesan. Ia tahu Nundy bukan tidak punya cukup uang untuk membayar hanya saja ia pantang membuat perempuan mengeluarkan uang saat bersama dengannya meskipun itu adalah Nindy.

Dengan kesal dibantingnya kemudi ke arah kanan ketika ia hampir sampai di tikungan tanpa menurunkan laju kendaraannya. Ia sama sekali tidak menduga akan muncul seorang perempuan yang sedang berjalan kaki dari sana. Untung saja kakinya refleks menginjak pedal rem kuat-kuat. Jika tidak, ia benar-benar akan berakhir di penjara. Kesal karenanya yang juga masih bercampur dengan kesal akibat ulah Nindy akhirnya ia keluar dari mobil dengan sumpah serapah yang berhamburan keluar dari mulutnya.

“Anjing! Lo mau mati, ya! Kalo lo mau ngumpanin nyawa, jangan disini! Lompat kek dari gedung jangan bikin orang harus ikut-ikutan nanggung akibatnya. Ini tikungan. Lo kira…” Umpatannya sekejap terhenti ketika dilihatnya dengan jelas siapa orang yang baru saja hampir ditabraknya itu. Shabrina!
“Ataga Bina..??? Sorry gue kira bukan elo.” Ucapnya meminta maaf. “Lo ngapain siang bolong panas pegini jalan kaki sendirian? Pake muncul dari tikungan gini lagi. Bahaya tau.” Tegurnya halus.
Bina tersenyum miris. “Jadi kalau bukan saya berarti bakalan terus dimaki-maki dong.” Sindirnya. Bara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Salah tingkah. “Ehmm… sorry bukan gitu maksud gue…”
Bina tertawa garing. “Nggak apa-apa Pak.” Ucapnya.
“Eh lo ngapain disini? Panas-panasan gini? Nggak takut item? Ke mobil aja yuk… lo mau kemana? Gue anterin…” Tanya Bara bertubi-tubi.
“Nggak usah Pak. Saya tahu Bapak punya banyak pekerjaan. Saya tidak mau merepotkan.” Tolak Bina sopan.
“Nggak kok beneran. Lagian juga masih jam istirahat kok. Gue juga nggak papa kalo telat masuk.” Bara kembali mencoba membujuk untuk mengantar.
“Emang Boss ya…” Komentar Bina pedas dan menyindir. Bara jadi semakin salah tingkah mendengar komentar pedas Bina. Tidak mampu menjawab ataupun membantah karena memang apa yang dikatakan gadis ini benar dan juga tidak berani lagi membujuk karena takut mendapat komentar yang lebih pedas lagi. Bina yang sejak tadi memang asyik sendiri dengan sakit hatinya seketika tersadar bahwa ia sudah terlalu jauh. “Maaf Pak saya sama sekali nggak bermaksud menyindir.”
“Nggak papa lagian apa yang lo bilang tadi bener kok. Jadi kayak yang lo bilang tadi, gue ini Boss jadi nggak ada alasan buat takut telat balik ke kantor, sama kayak gue nggak punya alasan buat nunda bentar kerjaan gue yang banyak kalo kayak yang lo bilang tadi.” Dalam hati Bina meringis, ia memang tidak salah bicara dan laki-laki di depannya ini memang pantas disindir tapi ternyata laki-laki ini lebih bermuka badak daripada yang dia pikirkan. Ia juga benar-benar seorang pebisnis sejati. Pantas jika sudah diberi kepercayaan menjabat sebagai CEO. Ia benar-benar mahir bermain kata-kata dan tidak gampang terjebak. Patut diacungi jempol sebenarnya tapi sepertinya ia akan semakin besar kepala.
“So?” Lanjutnya. Akhirnya Bina mengiyakan saja tawaran Bara. Mau bagaimana lagi? Bara memang tidak terjebak, tapi Bina sudah terperangkap. Tidak bisa mengelak karena perangkap itu adalah perangkap yang ia ciptakan sendiri.
****
            Bina yang awalnya meminta pada Bara untuk diantar pulang saja pada akhirnya harus rela menemani langkah laki-laki itu dulu. Entah mengapa untuk yang kedua kalinya laki-laki itu kembali membawanya ke tempat mereka makan es krim bersama untuk pertama kalinya. Mereka juga kembali menjatuhkan pilihan pada menu yang sama. Bina santai-santai saja. Lagipula ia tidak terlalu mengerti dan hafal nama-nama es krim, ia hanya suka rasanya jadi ia hanya makan saja apa yang ada. Tapi kali ini mereka makan bertiga. Ada Bimo yang juga ikut.

“Bina… kok bisa sama nih kunyuk lagi?” Tanya Bimo membuka pembicaraan. Bara yang disebut kunyuk oleh Bimo sama sekali tida merasa terganggu. Sepertinya mereka memang benar-benar dekat, pikir Bina.
“Kebetulan aja ketemu Kak.” Jawab Bina sambil tersenyum.

“Oh… eh kok kayaknya udah jarang bareng Bian?” Pancing Bimo. Bina tidak tahu bahwa kehadiran Bimo disini bukan tanpa alasan. Tanpa diketahuinya, sesaat setelah mereka sampai di restoran ini, Bara sengaja mengirim pesan pada sahabatnya itu untuk menyusulnya kesini demi menjalankan misi. Bimo yang awalnya tidak tahu menahu tentang misi apa yang dimaksud Bara langsung mengerti ketika mataya menangkap sosok Bina di dalam restoran. Ia tahu misi apa yang sedang ditugaskan Bara padanya: Mengorek Informasi Lebih Banyak tentang Hubungan Bian-Bina. Tapi ia sama sekali tidak keberatan selagi permintaan Bara masih dalam tahap yang bisa diterima logikanya sebagai laki-laki. Ia tidak keberatan jika Bara berusaha merebut Bina dari Bian. Sah-sah saja. Everything is fair in love and war. Selama Bina belum berstatus sebagai istri Bian atau istri laki-laki lain, siapa saja bisa merebutnya sesuka hati.
            Wajah Bina yang tadinya sudah kusut jadi semakin kusut saat mendengar nama Bian disebut. Ia jadi ingat lagi kejadian tadi. Ekspresi murung yang dengan cepat bisa ditangkap Bimo dan Bara itu langsung menegaskan bahwa ada hal yang tidak beres disini.
“Biannya lagi sakit.” Jawab Bina singkat. Terlihat sekali ia sedang malas membahas masalah Bian ataupun hal-hal yang berkaitan dengan Bian.
“Sakit apa?” tanya Bimo lagi.
“Kecelakaan motor.”
“Gimana keadaannya? Nggak parah, kan?” Desak Bimo lagi. Ia jadi gemas. Jawaban Bina singkat-singkat. Bina hanya mengangguk singkat. “Tadi udah ketemu sih di rumahnya. Udah baikan.” Jawabnya sambil menarik napas panjang. Bimo langsung mengerti. Jadi disitu letak permaslahannya.
****
“Apa?” Tanya Bara pada Bimo begitu mereka sampai di apartemen. Lagi-lagi tempat mengungsi sementara buat Bara karena tadi ia mendapat telepon dari sekertarisnya bahwa Nindy mencari-carinya sejak tadi siang.
“Apanya?” Bimo balik bertanya. Berlagak tidak mengerti.
“Ck.” Bara berdecak pelan. “Jawab aja deh. Lo emang begi tapi nggak sebego itu.” Hinanya kesal.
“Ya lo denger sendiri kan tadi? Dia nggak bareng Bian karena Bian lagi sakit. Tapi tadi di udah pastiin dengan datengin tuh cowok ke rumahnya dan keadaannya udah baik-baik aja.” Bimo kembali menjelaskan jawaban-jawaban Bina tadi menggunakan versinya sendiri.
“Nggak mungkin nggak ada yang lain.” Sanggah Bara.
“Terus elo maunya gimana? Lo mau denger gue bilang Bina sama Bian putus gitu?” Ledek Bimo sambil menaik-naikkan alisnya. Tapi Bara tidak merespon candaan sahabatnya itu. Ia hanya melayangkan tatapan sebalnya.
“Oke. Tadi Bina bilang Bian kecelakaan motor dan dia udah ke rumahnya. Kemungkinan pertama, Bina udah tahu penyebab pasti kenapa Bian bisa kecelakaan dan akhirnya dia kecewa. Kemungkinan kedua, ia ketemu sama Nyokap tuh cowok dan nggak sengaja diperlakuin secara nggak sopan sama tuh nenek sihir atau bahkan bisa jadi dipermaluin.” Lanjutnya.
“Dipermaluin? Nenek sihir? Maksud lo?” Tanya Bara tak mengerti.
“Yah seperti banyak orang tahu, mungkin elo nggak kalo keluarga Alfonso sama sekali bukan keluarga sembarangan. Perusahaan mereka adalah salah satu perusahaan terbesar di Indonesia. Dan karena kekayaan keluarga mereka itu, keluarga besar mereka jadi agak besar kepala dan cenderung menilai orang lain dari penampilan, kekayaan dan latar belakang keluarga dimana konglomerat selalu menjadi nomor satu dalam jajaran keluarga yang akan selalu diterima dengan tangan terbuka di kediaman mereka. Nggak menutup kemungkinan juga dalam menentukan pasangan hidup bagi putra semata wayang mereka – Bian. Sementara Bina, kita udah pernah nganter dia pulang, kan? Jadi lo bisa ambil kesimpulan sendiri bahkan cuma dengan liat penampilannya.” Jelas Bimo panjang lebar.

          Bara menagngguk mengerti mendengar penjelasan Bimo. “Trus alasan Bian kecelakaan yang bikin Bina kecewa?” Tanyanya lagi. Bimo tidak menjawab. Ia hanya melangkah ke arah kulkas dan mengambil sekaleng cola dari lemari pendingin itu.
“Lo mau ikut nggak ntar malem?” Tanyanya sambil meminum colanya.
“Kemana?” Tanya Bara. Bimo hanya mengedikkan kedua bahunya dan menatap Bara cuek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar