Catatan harian yang semakin renta dan tua

Minggu, 16 Februari 2014

It's Destiny #10



            Minggu kedua setelah aku resmi menjadi ‘pacar’ Nugrah. Belum ada tanda-tanda ia akan mengajakku ke rumah orang tuanya. Well, aku bukan ingin sekali diperkenalkan kepada kedua orang tuanya. Hanya saja, bukankah jika semakin cepat ia memperkenalkan diriku kepada mereka, maka semakin cepat juga sandiwara ini akan berakhir? Aku bosan. Aku capek. Dan aku takut. Takut terjadi hal-hal yang tidak pernah ku duga. Entah hal apa itu, aku pun tak tahu. Yang jelas, itulah yang aku rasakan.

Good morning…” Salamku saat memasuki kelas XII IPA-1, kelas Nugrah. Hari ini jadwalku mengajar di kelasnya. Sedikit was-was memang. Pasalnya, sejak kejadian beberapa hari yang lalu saat aku terlambat menemui Nugrah di café, ia belum pernah menghubungiku lagi. Aku tidak berharap dihubungi. Tapi dengan ia seperti ini, aku menjadi sedikit merasa bersalah. Siapa tahu saja ada yang ingin ia katakana padaku.

“Morning, mam….” Koor murid-murid di kelas.

Tanpa sadar, aku memandang ke bangku kedua dari belakang di sudut kiri kelas. Ke bangku Nugrah. Kemana dia?

“Are you looking for someone, mam?” Tanya seorang murid yang tidak ku ketahui siapa namanya.

“Eh?” Aku jadi tergagap sendiri.

“Yes. Are you looking for someone? “ Ulangnya lagi yang baru ku sadari adalah Ryan – gadis yang ku dengar merupakan gadis terpopuler di angkatan Nugrah.

“No, I’m not.” Sergahku cepat. Takut ia menyadari siapa yang aku cari. Sebenarnya sejak hari pertama aku masuk ke sekolah ini, Arryan Kim – gadis berdarah Indonesia-Korea ini memang sudah menunjukkan rasa tidak sukanya padaku. Entah karena apa. Begitu banyak hal yang aku tidak tahu saat ini. Akupun jadi bingung sendiri. Apakah ada yang salah dengan otakku?

“Please open your book…..” belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, sebuah ketukan dari arah pintu menginterupsi.

“Sorry, I’m late.” Ucapnya meminta maaf tanpa rasa bersalah sama sekali. Aku hanya bisa mematung mendengar permintaan maafnya. Nugrah. Sosok yang sudah beberapa hari ini tak bertemu denganku. Sosok yang bisa ku katakan sedang aku….rindu??

“May I please come in?” Tanyanya dengan suara datar, menyentakku dari lamunanku.

“Y..y…yes, please.” 

****

Sial! Aku tidak nafsu makan. Kejadian beberapa hari lalu masih terus berputar di otakku. Anya diantar lelaki lain – entah siapa. Aarrgghhh…kenapa aku jadi frustasi seperti ini dan bertindak seperti anak kecil yang merajuk karena tidak dibelikan eskrim? Dan gadis itu…bagaimana bisa ia cuek saja? Aku akui, aku ingin sekali dibujuk saat ini. Tapi kenapa?? Kenapa aku jadi seperti ini? Ulang tahunku tinggal dua minggu lagi. Sudah seharusnya aku menyusun rencana bagaimana caranya memperkenalkan ia kepada mama.

Anya….. hffttt…. Bahkan bernapas pun harus pelan-pelan demi meredam emosi agar tidak mencuat keluar.

****

Ku langkahkan kakiku menyusuri koridor rumah sakit tempat Kak Chan magang. Aku harus bergerak cepat. Cerita Kak Chan minggu lalu benar-benar telah mengusik ketenanganku dan membuatku tak bisa menahan langkah untuk tak kesini. Terserah jika Kak Chan akan marah karena aku bolos kuliah. Aku tidak peduli.

Itu dia! Ruangan Kak Chan. Ia ada disana. Wanita itu ada disana. Jaraknya tinggal beberapa meter lagi untuk sampai ke pintu ruangan Kak Chan.

“Wika!” Sial! Lebih baik aku pura-pura tidak mendengar saja.

“Wika! Wika..! Woy Wika!” Ulangnya lagi sambil menarik bahuku. Sialan! Sialan! Sialan! Dengan sangat terpaksa aku berbalik dan menatap pemilik suara itu. Dirga. Sahabat Kak Chan.

“Apa sih?” Tanyaku ketus.

“Ngapain lo disini?” Tanyanya santai.

“Menurut lo?!” Jawabku sinis.

“Lo nggak mirip orang sakit.” Jawabnya enteng.

“Lo pikir gue penyakitan?!” Entahlah. Aku jadi semakin sinis.

“Sinis banget sih lo! Kayak cewek aja.” Komentarnya. “Kalo lo mau ketemu Chandra, mending jangan sekarang. Dia lagi ada pasien. Kecuali kalo lo mau diomelin sama dia. Gue cabut.” Dasar! Calon dokter anak menyebalkan. Eh tapi tunggu!

“Dir!”
****
Dr. Ronald Adipatra

Itulah yang tertulis di depan pintu salah satu ruangan dokter spesialis jantung ini sekaligus adik ayahku ini. Perlahan ku ketuk pintu dan masuk.

“Om.” Panggilku dengan sopan.

“Wika?!” Wajahnya tampak kaget. Wajar saja. Ia tahu aku benci rumah sakit tapi tiba-tiba saja aku menemuinya tepat di rumah sakit

“Maaf ganggu Om. Ada yang mau Wika omongin.” Kataku kemudian.

“Ada apa Wika? Kamu sakit?” Tanyanya khawatir.

“Enggak kok Om. Cuma Wika rasa ada yang harus Wika omongin sama Om dan ini penting banget.” Jawabku.
Beliau segera menatapku intens sambil menautkan kesepuluh jarinya dan meletakkannya di atas meja kerjanya.
“Ini tentang Kak Chan.” Mulaiku.

“Ada apa dengan Chandra? Apa sakitnya kambuh lagi?” Tanya Om Ronald serius. Terang saja. Mungkin tidak banyak yang tahu tapi dulu saat masih kecil Kak Chan adalah salah satu penderita gagal jantung yang beruntung sekali bisa mendapatkan pendonor untuk transplantasi.

“Nggak. Cuma bisa menjurus ke sana nantinya kalo hal ini nggak segera Wika bicarain sama Om.” Jawabku.
“Maksud kamu?” Tanya Om Ronald terlihat tidak mengerti dengan maksud perkataanku.

“Wika denger Kak Chan punya pasien yang khusus dia tangani selama magang disini, Kan?” Tanyaku memastikan. Om Ronald mengangguk sebagai jawaban. “Tapi itu bukan pasien dengan penyakit serius. Hanya sekedar check up kesehatan biasa. Jadi saya rasa Chandra bisa menanganinya dengan baik.”

“Justru disitu masalahnya Om. Nama pasien itu Ibu Rima, kan? Istri salah satu pengusaha terkenal?” Aku benar-benar ingin membuat segalanya pasti agar aku tidak salah langkah. Om Ronald mengangguk lagi.

“Aku yakin Om udah tahu tentang cerita masa lalu papa, mama dan Kak Chan.” Kataku. Om Ronald tampak terkejut. Tidak menyangka aku mengetahui faka yang selama ini selalu mereka tutup-tutupi dan bahkan mungkin telah mereka kubur dalam-dalam itu.

“Dari mana kamu tahu?” Tanya Om Ronald. “Tidak mungkin mamamu yang member tahu. Saya tahu persis bagaimana rasa sayangnya terhadap Chandra.”

Aku menggeleng. “Bukan! Mama sama sekali nggak ngasih tahu Wika. Dan Wika juga nggak pernah nanya. Wika nggak sengaja tahu. Itupun udah lama. Sebelum papa meninggal. Wika tahu waktu mama sama papa pernah ribut dulu dan mama nggak sengaja bilang itu.” Jawabku.

“Lalu? Apa hubungannya dengan kesehatan jantung Chandra?” Tanya Om Ronald lagi.

“Sebenarnya Wika juga nggak tahu ini ada hubungannya sama jantung Kak Chan atau nggak. Cuma yang Wika tahu, Ibu Rima itu adalah Ibu kandung Kak Chan!” Jawabku. Ekspresi Om Ronald langsung berubah. Tidak lagi menunjukkan keheranan dan kebingungan saat pertama kali ia bicara denganku tadi. Ekspresinya menunjukkan keterkejutan luar biasa.

“Wika nggak mau kalo sampe ini semua kebongkar dan diketahui oleh Kak Chan. Wika takut kalo Kak Chan bakalan drop dan semuanya bakal pengaruhin kesehatannya lagi.” Sambungku cepat.

“Jadi maksud kamu…kamu mau agar Chandra tidak lagi menangani Ibu Rima sebagai pasien tetapnya selama disini?” Tanya Om Ronald lagi. Aku mengangguk cepat. Sangat berharap Om Ronald bisa membantuku.

“Tidak segampang itu Wika. Tidak mudah mencari pasien yang mau agar dokter yang menanganinya diganti. Apalagi diganti oleh dokter magang. Dokter yang sama sekali belum memiliki lisensi kedoketran. Dalam hal ini Ibu Rima untungnya bisa mempercayai Chandra saat saya menawarkan kepada beliau untuk mengganti dokternya untuk sementara. Kamu tahu sendiri bahwa selama ini cita-cita Chandra hanya satu. Ia ingin sekali memiliki pasien sendiri dan kita tidak akan mungkin tega menghancurkan cita-cita kakakmu itu. Kamu tahu sendiri bagaimana menderintanya ia dulu sampai-sampai saat ia akan melangsungkan operasi transpalntasi itu ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menjadi seorang dokter jika sudah sembuh. Kamu tahu betul artinya apa. Ia hanya ingin berbagi kebahagiaan dan kehidupan.” Jelas Om Ronald panjang lebar.
Oh Tuhan! Apa yang harus aku lakukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar