Minggu kedua setelah aku resmi menjadi
‘pacar’ Nugrah. Belum ada tanda-tanda ia akan mengajakku ke rumah orang tuanya.
Well, aku bukan ingin sekali diperkenalkan kepada kedua orang tuanya.
Hanya saja, bukankah jika semakin cepat ia memperkenalkan diriku kepada mereka,
maka semakin cepat juga sandiwara ini akan berakhir? Aku bosan. Aku capek. Dan
aku takut. Takut terjadi hal-hal yang tidak pernah ku duga. Entah hal apa itu,
aku pun tak tahu. Yang jelas, itulah yang aku rasakan.
“Good
morning…” Salamku saat memasuki kelas XII IPA-1, kelas Nugrah. Hari ini jadwalku
mengajar di kelasnya. Sedikit was-was memang. Pasalnya, sejak kejadian beberapa
hari yang lalu saat aku terlambat menemui Nugrah di café, ia belum pernah menghubungiku
lagi. Aku tidak berharap dihubungi. Tapi dengan ia seperti ini, aku menjadi sedikit
merasa bersalah. Siapa tahu saja ada yang ingin ia katakana padaku.
“Morning,
mam….” Koor murid-murid di kelas.
Tanpa
sadar, aku memandang ke bangku kedua dari belakang di sudut kiri kelas. Ke bangku
Nugrah. Kemana dia?
“Are
you looking for someone, mam?” Tanya seorang murid yang
tidak ku ketahui siapa namanya.
“Eh?”
Aku jadi tergagap sendiri.
“Yes.
Are you looking for someone? “ Ulangnya lagi yang baru ku sadari
adalah Ryan – gadis yang ku dengar merupakan gadis terpopuler di angkatan Nugrah.
“No,
I’m not.” Sergahku cepat. Takut ia menyadari siapa yang aku cari.
Sebenarnya sejak hari pertama aku masuk ke sekolah ini, Arryan Kim – gadis berdarah
Indonesia-Korea ini memang sudah menunjukkan rasa tidak sukanya padaku. Entah karena
apa. Begitu banyak hal yang aku tidak tahu saat ini. Akupun jadi bingung
sendiri. Apakah ada yang salah dengan otakku?
“Please
open your book…..” belum sempat aku menyelesaikan kalimatku,
sebuah ketukan dari arah pintu menginterupsi.
“Sorry,
I’m late.” Ucapnya meminta maaf tanpa rasa bersalah sama
sekali. Aku hanya bisa mematung mendengar permintaan maafnya. Nugrah. Sosok
yang sudah beberapa hari ini tak bertemu denganku. Sosok yang bisa ku katakan sedang
aku….rindu??
“May
I please come in?” Tanyanya dengan suara datar, menyentakku dari
lamunanku.
“Y..y…yes,
please.”
****
Sial!
Aku tidak nafsu makan. Kejadian beberapa hari lalu masih terus berputar di
otakku. Anya diantar lelaki lain – entah siapa. Aarrgghhh…kenapa aku jadi frustasi
seperti ini dan bertindak seperti anak kecil yang merajuk karena tidak dibelikan
eskrim? Dan gadis itu…bagaimana bisa ia cuek saja? Aku akui, aku ingin sekali dibujuk
saat ini. Tapi kenapa?? Kenapa aku jadi seperti ini? Ulang tahunku tinggal dua minggu
lagi. Sudah seharusnya aku menyusun rencana bagaimana caranya memperkenalkan ia
kepada mama.
Anya…..
hffttt…. Bahkan bernapas pun harus pelan-pelan demi meredam emosi agar tidak mencuat
keluar.
****
Ku
langkahkan kakiku menyusuri koridor rumah sakit tempat Kak Chan magang. Aku harus
bergerak cepat. Cerita Kak Chan minggu lalu benar-benar telah mengusik ketenanganku
dan membuatku tak bisa menahan langkah untuk tak kesini. Terserah jika Kak Chan
akan marah karena aku bolos kuliah. Aku tidak peduli.
Itu dia!
Ruangan Kak Chan. Ia ada disana. Wanita itu ada disana. Jaraknya tinggal beberapa
meter lagi untuk sampai ke pintu ruangan Kak Chan.
“Wika!”
Sial! Lebih baik aku pura-pura tidak mendengar saja.
“Wika!
Wika..! Woy Wika!” Ulangnya lagi sambil menarik bahuku. Sialan! Sialan! Sialan!
Dengan sangat terpaksa aku berbalik dan menatap pemilik suara itu. Dirga. Sahabat
Kak Chan.
“Apa
sih?” Tanyaku ketus.
“Ngapain
lo disini?” Tanyanya santai.
“Menurut
lo?!” Jawabku sinis.
“Lo
nggak mirip orang sakit.” Jawabnya enteng.
“Lo
pikir gue penyakitan?!” Entahlah. Aku jadi semakin sinis.
“Sinis
banget sih lo! Kayak cewek aja.” Komentarnya. “Kalo lo mau ketemu Chandra,
mending jangan sekarang. Dia lagi ada pasien. Kecuali kalo lo mau diomelin sama
dia. Gue cabut.” Dasar! Calon dokter anak menyebalkan. Eh tapi tunggu!
“Dir!”
****
Dr.
Ronald Adipatra
Itulah
yang tertulis di depan pintu salah satu ruangan dokter spesialis jantung ini sekaligus
adik ayahku ini. Perlahan ku ketuk pintu dan masuk.
“Om.”
Panggilku dengan sopan.
“Wika?!”
Wajahnya tampak kaget. Wajar saja. Ia tahu aku benci rumah sakit tapi tiba-tiba
saja aku menemuinya tepat di rumah sakit
“Ada
apa Wika? Kamu sakit?” Tanyanya khawatir.
“Enggak
kok Om. Cuma Wika rasa ada yang harus Wika omongin sama Om dan ini penting
banget.” Jawabku.
Beliau
segera menatapku intens sambil menautkan kesepuluh jarinya dan meletakkannya di
atas meja kerjanya.
“Ini
tentang Kak Chan.” Mulaiku.
“Ada
apa dengan Chandra? Apa sakitnya kambuh lagi?” Tanya Om Ronald serius. Terang
saja. Mungkin tidak banyak yang tahu tapi dulu saat masih kecil Kak Chan adalah
salah satu penderita gagal jantung yang beruntung sekali bisa mendapatkan
pendonor untuk transplantasi.
“Nggak.
Cuma bisa menjurus ke sana nantinya kalo hal ini nggak segera Wika bicarain
sama Om.” Jawabku.
“Maksud
kamu?” Tanya Om Ronald terlihat tidak mengerti dengan maksud perkataanku.
“Wika
denger Kak Chan punya pasien yang khusus dia tangani selama magang disini,
Kan?” Tanyaku memastikan. Om Ronald mengangguk sebagai jawaban. “Tapi itu bukan
pasien dengan penyakit serius. Hanya sekedar check up kesehatan biasa. Jadi saya rasa Chandra bisa menanganinya
dengan baik.”
“Justru
disitu masalahnya Om. Nama pasien itu Ibu Rima, kan? Istri salah satu pengusaha
terkenal?” Aku benar-benar ingin membuat segalanya pasti agar aku tidak salah
langkah. Om Ronald mengangguk lagi.
“Aku
yakin Om udah tahu tentang cerita masa lalu papa, mama dan Kak Chan.” Kataku.
Om Ronald tampak terkejut. Tidak menyangka aku mengetahui faka yang selama ini
selalu mereka tutup-tutupi dan bahkan mungkin telah mereka kubur dalam-dalam
itu.
“Dari
mana kamu tahu?” Tanya Om Ronald. “Tidak mungkin mamamu yang member tahu. Saya
tahu persis bagaimana rasa sayangnya terhadap Chandra.”
Aku
menggeleng. “Bukan! Mama sama sekali nggak ngasih tahu Wika. Dan Wika juga
nggak pernah nanya. Wika nggak sengaja tahu. Itupun udah lama. Sebelum papa
meninggal. Wika tahu waktu mama sama papa pernah ribut dulu dan mama nggak
sengaja bilang itu.” Jawabku.
“Lalu?
Apa hubungannya dengan kesehatan jantung Chandra?” Tanya Om Ronald lagi.
“Sebenarnya
Wika juga nggak tahu ini ada hubungannya sama jantung Kak Chan atau nggak. Cuma
yang Wika tahu, Ibu Rima itu adalah Ibu kandung Kak Chan!” Jawabku. Ekspresi Om
Ronald langsung berubah. Tidak lagi menunjukkan keheranan dan kebingungan saat
pertama kali ia bicara denganku tadi. Ekspresinya menunjukkan keterkejutan luar
biasa.
“Wika
nggak mau kalo sampe ini semua kebongkar dan diketahui oleh Kak Chan. Wika
takut kalo Kak Chan bakalan drop dan
semuanya bakal pengaruhin kesehatannya lagi.” Sambungku cepat.
“Jadi
maksud kamu…kamu mau agar Chandra tidak lagi menangani Ibu Rima sebagai pasien
tetapnya selama disini?” Tanya Om Ronald lagi. Aku mengangguk cepat. Sangat
berharap Om Ronald bisa membantuku.
“Tidak
segampang itu Wika. Tidak mudah mencari pasien yang mau agar dokter yang
menanganinya diganti. Apalagi diganti oleh dokter magang. Dokter yang sama
sekali belum memiliki lisensi kedoketran. Dalam hal ini Ibu Rima untungnya bisa
mempercayai Chandra saat saya menawarkan kepada beliau untuk mengganti
dokternya untuk sementara. Kamu tahu sendiri bahwa selama ini cita-cita Chandra
hanya satu. Ia ingin sekali memiliki pasien sendiri dan kita tidak akan mungkin
tega menghancurkan cita-cita kakakmu itu. Kamu tahu sendiri bagaimana
menderintanya ia dulu sampai-sampai saat ia akan melangsungkan operasi
transpalntasi itu ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menjadi
seorang dokter jika sudah sembuh. Kamu tahu betul artinya apa. Ia hanya ingin
berbagi kebahagiaan dan kehidupan.” Jelas Om Ronald panjang lebar.
Oh
Tuhan! Apa yang harus aku lakukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar