Catatan harian yang semakin renta dan tua

Minggu, 16 Februari 2014

It's Destiny #7



            Hari ini adalah jadwal checkup Ibu Rima lagi. Aku benar-benar merasa senang bisa bertemu lagi dengan beliau. Aku tidak tahu kenapa. Yang jelas, perasaanku benar-beenar lega. Entah apa faktor yang menyebabkanku jadi seperti ini. Mungkin karena ia pasien tetap pertamaku untuk tiga bulan ke depan. Kata Wika sih aku jatuh cinta pada tante-tante. Tapi aku tidak peduli.

“Selamat siang, Bu.” Sapaku saat Ibu Rima memasuki ruanganku.

“Selamat siang.” Jawabnya sambil tersenyum. Ah! Senyum itu lagi. Senyumnya bagaikan malaikat untukku. Senyumannya berbeda. Bahkan jauh berbeda dari senyuman mama. Senyumannya jauh lebih hangat.

            Sudah dua minggu ini aku menjelma menjadi dokter pribadinya. Yah walaupun hanya sementara.

“Bagaimana perasaan Ibu hari ini? Apa sudah jauh lebih baik?” Tanyaku sopan. Minggu lalu beliau memang mengeluh padaku bahwa akhir-akhir ini beliau sering kecapean.

“Dokter.” Panggilnya namun dengan nada gugup.

“Iya?” Jawabku sedikit heran. Tidak biasanya ia memanggilku dengan sebutan dokter. Biasanya ia lebih memanggilku dengan sebutan Nak Chandra.

“Boleh saya bertanya sesuatau?” Tanyanya hati-hati.

“Tentu saja.” Jawabku mantap. Apa sih yang tidak boleh ditanyakan oleh seorang pasien terhadap seorang dokter. Yah walaupun belum resmi.

“Anda anak tunggal?” Tanyanya.

Ku kerutkan keningku tanda bingung. Kenapa tiba-tiba pertanyaan seperti ini? “Saya hanya ingin tahu.” Sambungnya. O’ow… apa ia berencana untuk menjodohkan aku dengan putrinya? Bukan ide buruk. Lagipula aku juga belum punya pacar.

“Tidak. Saya anak sulung dari dua bersaudara. Saya punya seorang adik laki-laki.” Jawabku panjang sambil tersenyum. Terlihat ia sedikit kecewa dengan jawabanku. Apa salah satu syarat untuk menjadi menantunya adalah harus seorang putra tunggal? Tidak apa-apa. Aku bisa meminta Wika untuk berpura-pura menjadi adik tiri atau sepupu jauhku yang diangkat anak oleh kedua orang tuaku.


“Adik kandung?” Tanyanya lagi. Nah…nah…

“Iya.” Jawabku mantap. Bodoh. Seharusnya aku tidak mengatakannya. Aku yakin kesempatan untuk menjadi menantu kesayangannya pupuslah sudah.

“Dari Ibu yang sama?” Tanyanya lagi. Aku terdiam. Bingung juga jika ditanya seperti ini. Tapi hei! Sepertinya masih ada harapan untuk menjelma menjadi calon menantu Ibu cantik dengan senyum hangat ini. “Maaf jika saya lancang.” Sambungnya dengan nada menyesal.

“Oh tidak. Sama sekali tidak, Bu.” Aku menjadi tidak enak sendiri. Gara-gara Wika sih… Lho kok Wika?!

“Lalu?” Tanyanya dengan nada penuh harap.

“Hmmm…iya kami dari Ibu yang sama.” Dasar Chandra goblok. Kenapa kau harus mengulanginya? Mungkin memang aku tidak berbakat untuk menjadi seorang pembohong. Dan lagi… Wika. Ya. Wika. Adikku satu-satunya. Aku tidak tega jika harus mengatakan bahwa ia anak pungut. He he he Sorry bray…

“Kalian tinggal serumah?” Tanyanya lagi. Sepertinya Ibu Rima memang sedikit penasaran dengan kehidupan pribadiku. Sebaiknya aku menjawab saja apa pun pertanyaannya tentang keluargaku.

“Iya. Saya, adik saya, dan ibu saya.”

“Ayah Anda?”

“Sudah meninggal…”

****

“Assalamualakum.” Salamku sambil berjalan memasuki rumah yang saat itu sedang sepi. Papa pasti masih di kantor. Seperti biasa. Mama? Mungkin checkup. Langkahku yang sudah hampir mencapai tangga terhenti. Ternyata mama ada di rumah. Hhhh… lagi-lagi pemandangan seperti ini. Mama…dengan tatapan kosongnya…

Hei! Aku tahu ia tak mencintai Ayahku. Aku sangat sadar itu. Tapi tidak bisakah ia memikirkan perasaanku dengan berusaha berbahagia demi aku? Aku ini anaknya. Dan Papa… beliau adalah Ayahku. Bagaimanapun juga, aku sangat menghormati dan mencintainya. Aku tidak bisa melihat Ayahku dikhianati oleh wanita yang teramat ia cintai…Ibuku sendiri.

            Walaupun pernikahan keduanya didasarkan pada bisnis keluarga, aku tahu bahwa Ayahku mencintai Ibuku. Aku sangat mengerti setiap tatapan yang ia berikan terhadap mama. Tatapan yang dipenuhi cinta, kasih, dan…harapan. Harapan akan terbukanya pintu hati mama untuknya. Tapi mama? Apa sebenarnya yang kau pikirkan?

“Ma…” Kuhampiri beliau yang saat ini sedang duduk di kursi ruang keluarga seraya mengecup pipinya. Sekalipun aku akui aku sangat kecewa padanya, beliau adalah Ibuku. Aku tak bisa mengabaikan dan membencinya. Sekeras apapun aku mencoba. Aku terlalu mencintainya. Wanita pertama yang ku kenal, saat pertama kali menampakkan diri di bumi ini.  “Eh sayang?” Tampaknya ia kaget melihatku sudah ada di rumah. “Kok udah pulang?” Tanyanya heran. Ya Tuhan! Sejak kapan sebenarnya mama melamun seperti ini?

“Mama udah ke Rumah Sakit?” Tanyaku perhatian.

“Udah.” Jawabnya sambil tersenyum. Senyuman paling hangat yang pernah aku lihat.

“Nugrah udah makan siang?” Tanyanya. Aku mengangguk pertanda ia. “Tapi mama belum makan. Nugrah mau nggak temenin mama?” Tanyanya lagi sambil bangkit dari duduknya.

“Ma?” Panggilku sambil mencekal lembut tangan kanannya. Beliau berbalik dan menatapku sambil tersenyum kembali.

“Kenapa sayang?”

“Mama nggak apa-apa?” Beliau tersenyum sambil memelukku dan mencium puncak kepalaku. “Hmmm… anak mama…. Perhatian banget. Nggak papa sayang. Mama cuma lagi mikir aja. Kira-kira anak mama yang ganteng ini ulang tahunnya mau kado apa?” Aku tersenyum. Mama memang tidak ingin aku tahu.

“Atau kamu aja ngasih kado ke mama? Gimana?” Sambungnya antusias.

“Kok gitu?” Tanyaku heran. Kan yang ulang tahun Nugrah bukan mama. Harusnya mama dong yang kasih kado.”
“Ya kita tukeran kado aja.”

“Emang valentine?!”

“Ya kan Nugrah tahu sendiri kita nggak boleh ngerayain valentine. Jadi karena kita nggak bisa tukeran kado pas valentine, kita tukeran kado pas ulang tahun Nugrah aja.” Mama aneh. Tapi aku tahu ia sedang menghibur perasaannya dengan bermain denganku.

“Emang mama mau kado apa?”

“Pacar.” Ku lepaskan pelukannya. “Iya. Kamu kenalin pacar kamu ke mama.”

WHATTTT???

****
            Aku baru saja pulang dari kampus. Tepatnya pulang dari kencan dengan pacar baruku… ah entah siapa namanya – sehabis kuliah. Ku lihat motor besar Kak Chan sudah terparkir dengan nyaman di garasi. 

“Assalamualaikum.” Aku mengucapkan salam sebelum masuk rumah. Aku tidak ingin disuruh keluar lagi dan mengulanginya jika tidak mengucapkan salam.

“Waalaikumsalam.” Mama yang menjawabnya. “Tumben kamu salam dulu?” Tanya beliau.

“Emang siapa sih yang bikin peraturan kalo masuk rumah nggak ngucapin salam bakalan disuruh keluar dan ngulangin lagi?!” Cibirku kea rah mama.

Hahaha… mama tertawa renyah. Yah mamaku memang berjiwa muda. Bahkan sangat kompak dengan dua anaknya yang cowok dua-duanya. Dan lagi… mamalah yang membuat peraturan itu. Dan itu berlaku untuk semua orang termasuk tamu. Jadi siapapun yang mau bertamu ke rumah gue, gue saranin tulis gede-gede di kepala lo, JANGAN LUPA ngucapin salam kalo ke rumah Wika, kalo nggak mau kena usir.

“Kakak udah pulang ma?” Tanyaku. FYI ini juga peraturan mama. Aku sebagai adik Chandra Dwi Sena Adipatra tidak diperkenankan memanggil beliau dengan sebutan Kak yang diikuti dengan namanya – Chandra. Aku harus memanggilnya dengan sebutan Kakak supaya lebih jelas bahwa aku itu adiknya. Kata mama. Entah teori dari mana. Untunglah mama tidak mengharuskan Kak Chan dengan hanya bisa memanggilku dengan sebutan adek. Hiyyy… geli banget gue dipanggil adek sama cowok. Sekalipun itu kakak gue sendiri. Kata mama sih karena gue cowok, jadi nggak cocok dipanggil adek. Dan aku sangat berterima kasih untuk itu. Kalau mama sampai meminta Kak Chan memanggilku dengan sebutan adek aku janji aku akan kabur dari rumah.

“Udah. Tuh lagi main PS sama pacar kamu.” Jawabnya.

“Pacar? Siapa?” Tanyaku heran. Sejak kapan Kakakku yang mencintai kesetiaan itu akrab dengan pacar-pacarku yang lebih suka disebutnya sebagai korban itu?!

“Vanya…” Jawab mama.

“Ih kata siapa Anya pacar Wika?! Dia itu calon pacarnya Kakak, Ma.” Bantahku. Enak saja aku dikira pacaran sama Anya.

“Ya kan masih calon.” Jawab mama enteng.

“Mama jangan aneh-aneh deh. Kakak sama aku itu saudara. Mama mau kalo sampe terjadi perang saudara kayak Korsel sama Korut yang sampe sekarang nggak akur-akur?!

“Wah ide bagus tuh. Seru gitu. Keluarga kita bakalan terkenal. Mama udah bayangin di headline news bakalan tertulis besar-besar ‘GARA-GARA CINTA, DUO ADIPATRA HARUS BERPISAH’. Hihihi…” Mama terkikik sendiri. Mungkin gambaran bagaimana kejadiannya nanti sudah terpampang jelas di matanya.

“Mama mah terlalu imajinatif.” Komentarku. “Udah ah ma. Wika mau ke Kakak dulu.” Pamitku bergegas menghampiri Kak Chan dan Anya. Aku harus segera menghentikan pembicaraan gila ini sebelum mama tambah gila.

“Geser…geser…” Perintahku sambil menyeruak di tengah Kak Chan dan Anya yang saat itu sedang memainkan Bloody Roar. Dasar Anya. Dari dulu bisanya permainan itu saja. Tidak pernah ada perkembangannya. Angry Bird saja sampai sekarang tidak lolos-lolos. Aku sih bisa maklum. Permainan yang membutuhkan konsentrasi tinggi seperti itu tidak akan bisa lolos kalau sudah diserahkan pada Anya. Kak Chan juga kenapa ia mau sih memainkan game dengan kapabilitas tinggi merusak joystick ini.

“Ih apa sih Wika?! Ganggu aja.” Rutuk Anya yang saat ini sudah hampir kalah. “Gantian dong Nya. Winning Eleven…” Pintaku.

“Ogah!” Tolaknya matang-matang tanpa mengalihkan pandangannya.

“Permainan cemen begini..” Komentarku

“Bodo’!” Rese!

“Nya gue masih marah lho sama elo!” Pancingku.

“Terserah.” Jawabnya. Sial! Anya yang sekarang bukan Anya yang dulu ternyata. Dia sudah hafal bahwa aku tidak betah marah lama-lama karena akan mempengaruhi porsi makanku yang tadinya banyak akan menyusut dengan pasti. Rugi banget gue. Makan dikit doang.

“Eh Kak lo tadi ketemu lagi sama pacar baru lo?” Ku beralih mengganggu Kak Chan. “Chani punya pacar?” Anya terpancing. Dihentikannya permainannya sambil menatapku. Ku lihat Buzusima Anya sudah tepar dihantam Long Kak Chan. “Eh Nya lo udah mati tuh.” Jawabku tak nyambung.

“Chani punya pacar?” Tanyanya lagi. “Kenalin doooooooooooonnnnnnnngggggggggggg.” Teriaknya sambil menarik-narik tanganku. Kak Chan yang punya pacar malah minta dikenalin ke gue. Minta sama orangnya woooooyyyy…. 

“Iye punya. Tante-tante lagi.”

“HAH?? Tante-tante.” Tanya Anya tak mengerti. “Chani…lo pacaran sama tante-tante girang?” Tanyanya kea rah Kak Chan.

HAHAHAHAHAHA….

PLETAKK!! Sebuah tepukan keras melayang di kepalaku. Aku tahu itu tangan siapa. Pasti Kak Chan. Aku sudah hafal di luar kepala caranya menepuk kepalaku. Lembuuuuuutttt banget. Saking lembutnya bisa membuat aku meriang tujuh hari tujuh malam. Hehehe… Nggak, ding. Bercandaaa…

“Sialan lo!” Makinya.

“Ya kan elo yang bilang. Jantung lo berdetak cepat saat di deket dia. Lo jadi keliyengan. Pusing. Pengen boker. Kalo makan ingat dia. Kalo tidur ingat dia.”

“Jorok banget sih lo!”

“Eh tapi tuh tante seksi, nggak? Kalo iya, gue setuju deh lo sama dia. Asalkan pejenya harus  satu Ferrari buat gue, dan satu angkot buat Anya.” 

“Enak di lo, rugi di gue dong.” Timpal Anya. “Kalo gue sih nggak papa dikasih angkot. Yang penting bisa ngasih gue keuntungan. Dengan menambah status di KTP gue jadi juragan angkot, misalnya.”

“Lo anak Bahasa ato Ekonomi sih. Pemikiran lo kok jadi sama kayak Wika.” Komentar Kak Chan kesal.

HAHAHAHAHA…

            Jadilah malam itu jadi ajang ledek-ledekkan antara aku, Anya dan Kak Chan sebagai main character-nya. Aku tidak harus membuatnya jelas. Lebih baik pelan-pelan saja. Ka Chan…maaf.

****

            Aku pikir dengan bertandang ke kediaman Adipatra, menemui duo manusia labil itu – Chani dan Wika dapat membuatku tenang dan menghilangkan bayangannya. Tapi ternyata aku salah. Wajahnya tetap saja muncul. Apalagi saat aku sudah sendiri di kamar seperti ini. Wajahnya sangat terlihat jelas dan bahkan seolah ada di setiap sudut kamarku.

Aku masih ingat dengan ajakannya saat di mobil waktu itu. Belum selesai kegalauanku tentang hal itu, dia harus menambahnya lagi dengan permintaan aneh bin ajaibnya.

“Bu saya boleh minta tolong nggak?” Tanya Nugrah siang tadi di sekolah.

“Minta tolong apa?” Tanyaku.

“Saya rasa Ibu sudah lupa dengan ajakan saya tempo hari. Atau mungkin Ibu tidak ingin mengingatnya. Tapi kali ini saya benar-benar minta tolong. Saya tidak tahu harus minta tolong sama siapa.”

“Kamu ada masalah?”

“Iya Bu. Mama saya meminta saya untuk memperkenalkan pacar saya kepada beliau.”

“Lalu?”

“Masalahnya saya tidak punya pacar, Bu.”

“Ya bilang saja tidak punya.”

“Saya sih maunya begitu, Bu. Tapi saya tidak mau mengecewakan mama saya. Mama saya sering sakit, Bu.”

“Ya cari pacar saja.”

“Tidak segampang itu, Bu.”

“Lalu?”

“Hanya Ibu satu-satunya harapan saya. Ibu jadi pacar saya, yaaaa???”

“HAHHHH???”

“Cuma sementara….”

Cuma sementara. Itulah yang dikatakan Nugrah. Tapi sementara itu sampai kapan? Kemudian, aku juga nantinya pasti akan dikenalkan pada Ibunya jika aku menerimanya. Tidakkah itu akan lebih menyakitkan jika Ibunya tahu kalau kami cuma pura-pura? Tapi kan aku bisa saja menolaknya. Tapi dia minta tolong…. Dan lagi.. apa yang harus aku lakukan Tuhan….??

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar