Kiri-Kanan!
Kanan-Kiri! Kiri-Kanan! Kanan-Kiri!....
Sejak
pulang kantor tadi, itulah yang dilakukan Vivian. Mondar-mandir tidak jelas di
dalam apartemen sambil menggigiti kuku-kukunya. Kenapa gue harus iya-in
permintaan tolong Ael? Kenapa nggak gue tolak? Iya sih gue tahu ancaman tuh
orang berbahaya banget sama kehidupan pribadi dan masa mud ague. Indra juga
nyaranin buat diterima aja. Tapi kok gue rada nyesel, ya? Gue nggak ikhlas
iya-in permintaannya. Lagian si Rafael jadi orang egois banget sih? Nggak bisa
ya sekali ini dia ngertiin perasaan orang lain? Ya walaupun gue nggak tahu apa
yang harus dia mengerti disini. Vivian berdebat dengan dirinya sendiri.
Tiba-tiba ponselnya menjeritkan ringtone.
Aduh Tuhan… kenapa harus bunyi sekarang sih nih HP? Gue lagi nggak pengen
ngomong sama siapa-siapa.
Akhirnya
dengan langkah yang diseret, Vivian masuk ke kamarnya dan mengambil ponsel yang
memang sejak tadi belum ia keluarkan dari dalam tas.
Ale-ale Calling…
Itulah
yang tertera. Ael! Vivian memang sengaja mengganti nama kontak Ael di ponselnya
dengan nama salah satu produk minuman yang banyaj dijual di warung itu.
Ale-ale.
“APA?”
Tanyanya galak ketika ia mengangkat sambungan telepon itu.
“Galak
bener sih lo?” Tegur Rafael.
“Suka-suka.”
Jawab Vivian cuek.
“Lo
dimana?” Tanya Rafael. Ia sedang malas meladeni Vivian. Pikirannya masih
dipenuhi wajah tersenyum Nindy saat bersama laki-laki itu.
“Kepo.” Vivian kembali menjawab dengan
nada cuek. Kali ini diikuti jutek.
“Jawab
aja deh Vy. Gue lagi males debat sama lo.”
“Sama.
Gue juga lagi males ngomong sama lo.” Balas Vivian tak mau kalah.
“Lo
di apartemen, kan? Siap-siap sekarang. Gue jemout tiga puluh menit lagi.”
“Enak
aja nyuruh-nyuruh. Emang lo siapa gue?” Tolak Vivian segera.
“Partner.”
Jawab Rafael enteng. “Gue partner kerja lo dalam hal bikin Nindy balik sama
gue. Lagian gue juga jemput lo bukan dengan niatan buat ngajak kencan malam
sabtu. Gue mau ngomongin urusan kerjaan.” Sambungnya panjang lebar.
Oh
jadi namanya Nindy. Kayak pernah denger. Vivian membatin. “Ogah. Gue lagi nggak
pengen ngomongin itu sekarang.” Tolaknya.
“Gue
bisanya cuma sekarang. Gue besok ada meeting
sama klien. Meskipun Sabtu, gue tetep punya kerjaan yang harus gue urus.
Dan gue nggak mau ngomongin itu besok malam. Gue nggak mau dikira bener-bener
pacaran sama lo dengan jalan bareng malam Minggu.” Rafael masih tetap ngotot.
Dasar egois!
“Terserah.
Kalo kata lo gitu, kata gue juga sama. Gue nggak mau jalan sama lo terserah mau
malam Sabtu kek, malam Minggu kek, malam Jum’at Kliwon kek, gue nggak mau!
Alasannya ya sama. Gue juga ogah dikira bener-bener tunangan sama lo.” Balas
Vivian sengit.
“Dua
puluh menit lagi gue nyampe. Terserah lo mau nolak atau gimana, yang pasti gue
nggak suka dengan yang namanya penolakan. Dari siapapun itu termasuk elo!” Tutup
Rafael.
Vivian
mematikan sambungan telepon sambil mengedikkan bahunya cuek. Terserah. Dateng
aja. Nggak bakal jug ague bukain pintu. Tunggu aja sampe pagi, gue nggak
perduli. Dengan santai ia melangkah kea rah dapur dan membuat cappuccino untuk dirinya sendiri sambil
menyambar majalah kemudian duduk di depan televisi.
****
Vivian
terkejut bukan main. Tidak pernah menyangka ini akan terjadi. Bagaimana bisa
sosok Rafael sudah berdiri menjulang di depannya dan menghalangi pandangannya
yang saat itu sedang menonton siaran Opera Van Java di televisi? Dengan posisi
bak Power Ranger, Rafael
menyedekapkan tangannya di depan dadanya dan memandang Vivian intens.
“Lo
kok…bisa ada disini?” Tanya Vivian terbata. Kaget dengan kemunculan Rafael yang
tiba-tiba seperti Jelangkung.
“Sampe
sepuluh menit lo nggak ganti baju, gue seret paksa lo keluar dari apartemen
dengan penampilan lo yang sekarang!” Jawab Rafael nggak nyambung. Sebenarnya
itu ancaman, tapi Vivian tidak cepat menanggapinya.
“Gimana
caranya lo bisa masuk kesini?” Tanya Vivian kali ini dengan suara normal, tidak
lagi terbata seperti tadi.
Rafael
tidak menjawab. Masih dengan posisi Power
Ranger-nya.
“LO
NGUNTIT GUE, KAN?” Tanya Vivian lagi kali ini suaranya naik beberapa oktav.
Benar-benar cirri khas Vivian kalau sudah marah ataupun kesal.
Rafael
masih bergeming.
“IYA
KAN? LO NGUNTIT GUE! LO PASTI NGUNTIT GUE!” Tuduh Vivian sambil menunjuk-nunjuk
wajah Rafael. Rafael masih tidak juga menjawab. Vivian jadi keki juga. Dari
tadi dia udah nanya-nanya plus teriak-teriak
tapi orang yang dituduh maupun diteriakinya malah diam seperti patung.
“Time’s up.” Ucap
Rafael kemudian. Vivian mengerut bingung. Perasaan dari tadi omongan Rafael
sama sekali tidak ada yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan maupun tuduhannya.
Ia baru sadar maksud Rafael ketika tangan Rafael dengan cepat menarik
pergelangan tangannya dan memaksanya untuk mengikutinya. “Eh eh lepasin! Lo mau
bawa gue kemana?!” Vivian berusaha berontak namun sayangnya gagal. Rafael
dengan cepat bisa membawanya ke parkiran dan mendudukkan tubuhnya di kursi
penumpang di dalam mobilnya. Ketika Vivian duduk, dengan cepat ia kembali
menekan tombol kunci pada automatic key-nya
supaya Vivian tidak bisa keluar dan memutari mobil kea rah kursi pengemudi
kemudian melajukan mobilnya entah kemana, Vivian tidak tahu.
****
Vivian
malu! Benar-benar malu. Ternyata Rafael membawanya ke salah satu Restoran
Jepang di kawasan Jakarta. Vivian malu bukan karena ia belum pernah ke restoran
yang menghidangkan masakan dari Negeri Matahari Terbit itu. Sama sekali bukan.
Ayolah ia seorang sekertaris dan ia sudah sering menemani Indra untuk makan
siang bersama klien di berbagai jenis restoran. Ia bahkan pernah makan siang
sambil meeting di salah satu warteg
karena klien mereka yang meminta. Yang jadi masalah adalah penampilannya.
Harusnya ia bisa menangkap dan menanggapi ancaman Rafael tadi agar tidak
berakhir seperti ini. Berakhir dengan penampilan memalukan dimana orang-orang
mentapa aneh ke arahnya dari muali ia baru memasuki area restoran sampai
benar-benar meendudukkan dirinya di salah satu kursi.
Bayangkan
saja! Ia tampil dengan setelan baby doll lengan
panjang dan celana panjang berwarna putih dengan motif kelinci dimana-mana
serta sandal rumahnya dengan kepala kelinci yang bertengger manis disana. Ia
memang penggila hewan setengah kucing dengan dua gigi panjang itu. Sayangnya ia
tidak diizinkan untuk memeliharanya di rumah karena Bundanya yang laergi bulu
dan jika dipelihara di apartemen tidak ada yang bisa mengurusnya karena kesibukannya
di kantor. Lagipula pemilik apartemen tidak mengizinkan adanya pemeliharaan
hewan disana. Pokoknya penampilannya benar-benar berbanding terbalik dengan
Rafael yang malam itu tampak casual dan
keren dengan celana jeans dan kaos polo shirt-nya.
Rafael hampir saja menyemburkan
tawanya melihat ekspresi malu Vivian. Sejak tadi gadis itu hanya sibuk lirik
kiri kanan dengan waspada seperti sedang diikuti pembunuh berdarah dingin.
Keringat dingin bahkan mengucur sedikit dari pelipisnya. Rafael tidak bisa membayangkan
bagaimana malunya Vivian.
“Kalau
mau tidur di rumah kek. Bukan disini.” Terdengar bisik-bisik dari beberapa
pengunjung.
“Iya
dikira Pajama Party apa?” Cibir yang
lainnya.
“Lo
mau ngomong apa? Buruan!” Tanya Vivian sambil sedikit menundukkan kepalanya.
“Lo
kenapa keringetan gitu? AC-nya kurang dingin? Atau lo abis olahraga keliling
Bundaran HI?” Ledeknya.
“Nggak
usah ngeledek, ya. Gue balik sekarang!” Ancam Vivian tegas.
“Slow down Baby. Kita masih harus nunggu
saksi. Jadi, kenapa lo nggak pesen dulu?” Jawab Rafael kalem.
Saksi?
Saksi apa coba? Emang mereka mau ngapain? Mau sidang?
“Nggak
makasih. Gue udah makan.” Bohongnya. Gimana mau makan dengan tenang kalo dari
tadi dipelototin melulu? Batinnya.
“Gue
yang pesenin!” Dengan cepat Rafael memesan makanan untuk mereka berdua.
Pilihannya jatuh pada sushi, shabushabu,
sukiyaki, soba, shasimi, udon dan tempura. Vivian sampai melongo
dibuatnya. Bagaimana bisa mereka makan ini semua? Dan shasimi. Vivian sama sekali tidak bisa makan itu. Ia tidak mau dan
ia tidak suka meskipun orang bilang rasanya enak.
“Makan
aja. Nggak usah sok milih-milih. Gue pesen makanan yang gue suka karena lo
bilang tadi lo nggak pengen makan. Tapi gue tau lo cuma malu aja. Lo nggak
harus makan tuh shasimi kalo lo nggak
suka.” Tegur Rafael ketika dilihatnya Vivian hanya memandangi makanan di
depannya tanpa ada niat untuk menyentuhnya.
Makanan
yang disuka? Bilang aja doyan. Batin Vivian. Dengan enggan ia mulai makan
secara perlahan dan bergidik setiap kali melihat Rafael memasukkan potongan shasimi ke dalam mulutnya. Sebenarnya ia
sedikit bertanya-tanya bagaiman Rafael tahu bahwa ia tidak suka dengan makanan
itu.
Lima
belas menit seusai mereka makan, saksi yang mereka tunggu akhirnya tiba juga. Daniel
Kim. Teman sekaligus detektif blasteran
Korea-Indonesia yang dulunya disewa Rafael untuk mencari tahu siapa yang akan
dijodohkan orang tuanya kepadanya, segala hal tentang gadis itu secara detail bahkan sampai ke alamat
apartemennya, password apartemennya
dan makanan yang tidak disukainya salah satunya shasimi. Ternyata Rafael makannya banyak juga. Hampir 90% dari
semua makanan yang dipesan tadi dihabiskan olehnya. Vivian hanya makan sedikit.
Daniel sebenarnya sudah sejak tadi ada di dalam restoran
bahkan sepuluh menit sebelum Rafael dan Vivian sampai tapi ia memang diminta
untuk bergabung dengan mereka oleh Rafael setelah mereka makan.
“Hai.”
Sapanya ramah ketika ia sampai di dekat meja Rafael dan Vivian.
“Duduk
Bro.” Balas Rafael tak kalah
ramahnya.
“Sorry ya lama. Gue ada urusan sedikit
tadi.” Bohongnya. Dijatuhkannya dirinya ke salah satu kursi setelah sebelumnya
melempar senyum tipis kea rah Vivian yang hanya ditanggapi dengan senyum kikuk
serta anggukan kepala gadis itu. Sesaat Daniel sempat terpesona oleh kecantikan
wajah Vivian. Gila si Rafael. Di foto ni cewek emang cantik, tapi gue nggak
nyangka aslinya secantik ini. Kalo gue mah nggak bakal nolak dijodohin.
Batinnya iri. Vivian juga. Ni cowok mukanya lucu banget. Oriental. Matanya
juga. Sipit, tapi nggak sipit sipit amat sampe nggak ada lipatannya.
“Santai
aja. Gue tahu lo sibuk.” Jawab Rafael. “Kenalin ini Daniel, yang akan jadi
saksi mala mini.” Ucapnya memperkenalkan. Dengan ramah Daniel menyodorkan
tangannya kemudian menyebutkan nama ketika Vivian telah sukses menjabatnya. Vivian
juga demikian.
“Lo
bawa kan yang tadi gue titipin?” Tanya Rafael. Daniel mengangguk sebagai
jawaban sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Begitu pula Rafael. Ia juga
mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
Sepuluh
detik kemudian pandangan Vivian telah dipenuhi dengan tulisan tangan di atas
kertas yang sengaja Rafael tampakkan di depan wajahnya. Begini isinya:
KONTRAK CINTA
(AEL-IVY)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
Vivian Laisa
T.T.L :
Surabaya, 12 Desember 1992
Pekerjaan :
Sekertaris Divisi Marketing Brata Putra Group
Dengan ini
menyatakan kesediaan saya untuk membantu Sdr. Rafael Pradipta selaku Direktur
Utama Pradipta Corp. mendapatkan kembali hak sebagai kekasih Sdri. Nindy
Paramitha selama waktu yang tidak ditentukan. Oleh karena itu, saya akan
melaksanakan apa yang akan sudah direncanakan dan saya sepakati bersama Sdr.
Rafael maupun hal-hal yang kesepakatannya akan dibicarakan di kemudian hari
saat kontrak ini dilaksanakan.
Demikian surat pernyataan kontrak ini
dibuat dalam keadaan sadar dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Saksi Tertanda
Daniel
Kim Vivian
Laisa
Vivian hanya bisa melongo ketika membaca
surat pernyataan yang mengatasnamakan dirinya. Ia tidak membuat surat
pernyataan seperti itu. Tulisan tangannya tidak sebagus itu. Eh? Pokoknya itu
bukan tulisannya. Dan kalimat penutup itu. Kata siapa Vivian melaksanakan
kesepakatan ini tanpa paksaan. Vivian melakukannya karena terpaksa. Rafael
memang tidak memaksanya secara langsung, tapi laki-laki itu telah memaksanya
menyetujui tindakan dan kesepakatan konyol ini karena tindakan-tindakannya yang
tidak bisa Vivian terima. Dan nama kontrak itu? KONTRAK CINTA? Apaa-apaan tuh alay banget kedengerannya.
“Ini aslinya. Yang ada sama Daniel itu
salinannya yang bakal lo pegang nanti. Tapi lo harus tanda tangan dua-duanya
pake tinta basah. Gue nggak mau hasil fotocopy-an.”
Ucapnya kemudia menurunkan kertas itu yang sejak tadi memenuhi pandangan
Vivian.
“Eh kata siapa gue ngejalanin ini tanpa ada
paksaan? Oke. Gue emang iya-innya secara sadar, tapi gue ngelakuinnya karena
terpaksa. Karena lo ngancem gue bakal mempercepat pernikahan kita dan gue nggak
mau itu terjadi.” Protes Vivian kesal. “Trus namanya? Apaan tuh Kontrak Cinta?
Lo kira ini acara Raelity Show?”
“Ivy sayang. Gue nggak peduli sama protes lo!
Yang gue tahu lo harus tanda tangan biar nantinya lo nggak ingkar janji. Dan
soal nama kontraknya, gue kepikirannya itu doang. Jadi lo nggak perlu
marah-marah. Silahkan tanda tangan!” Jawabnya santai sambil menyerahkan kontrak
konyol itu pada Daniel yang dengan sigap langsung ditandatangani oleh laki-laki
itu. Setelahnya, ia menyerahkannya pada Vivian untuk ikut ditandantangani oleh
gadis itu.
“Oke. Gue mau tanda tangan, tapi ada
syaratnya!” Tantangnya. Rafael mengerutkan keningnya bingung. “Gue mau ini
dijalanin secara adil. Lo ada kertas sama pulpen, nggak? Gue pinjem.” Tanyanya
pada Daniel. Daniel yang sudah bisa menangkap maksud Vivian dengan cuek
menyerahkan selembar kertas dan sebuah pulpen pada gadis itu. Rafael menatapnya
dengan pandang bertanya yang hanya dibalas anggukan acuh darinya. Dengan cepat
Vivian menggoreskan pena ke atas kertas tersebut dan memberikannya pada Rafael
yang diterima dengan bekspresi bingung oleh laki-laki itu. Kepalanya tertunduk
sejenak untuk membaca baris demi baris kalimat yang tertera.
KONTRAK CINTA
(IVY-AEL)
Saya
yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
Rafael Pradipta
T.T.L :
Surabaya, 18 Oktober 1992
Jabatan :
Direktur Utama Pradipta Corp.
Menyatakan bahwa:
Demi menghargai kesediaan Sdri. Vivian Laisa untuk
mendapatkan kembali mantan kekasih saya Nindy Paramitha, dengan ini berjanji:
1.
TIDAK AKAN pernah
mendatangi kediaman keluarga Vivian untuk melamarnya.
2.
Tidak akan memaksakan
kehendak saya lagi terhadap Vivian
3.
Tidak akan mengganggu
kesibukan Vivian
4.
Tidak akan bertindak
kurang ajar dengan menciumnya lagi semaunya
5.
Tidak akan memaksa
masuk ke apartemennya tanpa izin
6.
Tidak akan memaksa
untuk istirahat sebentar di kamar Vivian tidak perduli seberapa besar rasa
kantuk saya.
7.
Tidak akan mengaku-ngaku
sebagai tunangan Vivian lagi
8.
Tidak akan mendatangi
kantor Vivian tanpa izin
9.
Tidak akan memaksa
untuk mengantar Vivian ke kantor, dan
10.
Tidak akan melakukan
ataupun memaksakan hal-hal yang tidak dikehendaki dan tidak menyenangka hati.
Demikian pernyataan kontrak
ini dibuat dalam keadaan sadar dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Saksi Tertanda
Daniel Kim Rafael
Pradipta
Rafael melongo membacanya. Sepuluh poin yang
tidak bisa dikatakan begitu mengingat bunyi yang tertera pada poin terakhir.
Dan poin keempat. Apa maksudnya kurang ajar? Orang dia yang minta juga.
“Eh lo gila ya? Mana bisa gue tanda tangan
kontrak sinting kayak gini?” Protesnya tidak terima.
“Ya udah. Mana bisa juga gue tanda tangan
kontrak nggak penting lo?” Balas Vivian tak mau kalah. Enak saja orang ini
bertindak semaunya. Emang gue robot apa yang bisa disuruh sesuka hati?
“Sialan! Oke. Gue bakal tanda tangan tapi
dengan catatan lo nggak boleh lari dari tanggung jawab!” Rafael akhirnya setuju
walaupun karena terpaksa. Demi Nindy, batinnya. Meskipun ia tidak yakin akan
berhasil.
“Bagus!” ucap Vivian puas. Akan tetapi.
Ketika baru saja hendak menandatangani kontrak itu, Vivian teringat pada status
mantan pacar Rafael yang sampai dengan saat ini masih ia pertanyakan. Apakah
wanita itu sudah menikah atau tidak? “Eh tunggu!” interupsinya tiba-tiba.
“Apa lagi sih?” Rafael jadi kesal. Sambil
setengah membanting pulpun yang ia pegang, ia menatap horror pada Vivian.
“Gue mau tanya satu hal!” Jawab Vivian tegas.
“Apa lagi yang mau lo tanyain? Bukannya
semuanya udah jelas? Lo juga udah nulis hal-hal yang nggak boleh gue lakuin
selama kita ngejalanin perjanjian ini. Jadi apa lagi?”
“Mantan lo itu masih single, kan?” Tanyanya penasaran. Untung ia ingat pertanyaan
penting ini sakarang. Bisa gawat kalau dia sudah tanda tangan kemudian ternyata
mantan si Ale-ale ini udah nikah. Dia bisa terancam berakhir dengan pengandilan
karena mencoba merusak rumah tangga orang lain. Rafael mengernyit tak mengerti.
“Ehm… maksud gue mantan lo itu belum nikah, kan? Dia masih berstatus anak
Bokapnya dan bukan istri orang lain?” Jelas Vivian.
Rafael langsung melotot maksimal mendnegar
pertanyaan Vivian yang sangat memojokkannya itu. Memangnya dikira dirinya
semenyedihkan itu apa sampai berniat untuk merebut istri orang lain? “Lo kira
gue perusak rumah tangga orang?!” Jawabnya jengkel.
“Ya udah gue cuma mau tanya itu doang. Nggak
usah marah-marah.” Daniel yang sejak tadi diam hanya bisa menahan senyum
melihat pemandangan di depannya. Jarang-jarang kan bisa melihat Rafael dibantah
perkataannya oleh orang lain. Rafael gitu lho? Siapapun seolah tidak mampu
berkutik jika sudah dihadapkan pada sifat keras kepala dan tukang memaksanya,
termasuk dirinya sendiri saat Rafael memintanya – tepatnya memaksanya untuk
menjadi saksi atas perjanjian konyol ini. Ia hanya mampu mengangguk dan
mengiyakan. Ia juga tidak mengerti mengapa. Aura Rafael seolah selalu mampu
membius siapa saja.
Kembali Rafael mencoba untuk membubuhkan
tanda tangannya di atas kertas putih yang sudah dicoret-coreti tulisan tangan
Vivian yang sama sekali tidak terlihat indah itu ketika Vivian kembali
bersuara. “Tunggu dulu!” Teriaknya tiba-tiba
“APA LAGI?” Teriak Rafael frsutasi.
Teriakannya sampai mengundang perhatian pengunjung restoran lainnya yang sejak
tadi memang sudah sering melirik dan curi-curi pandang ke arah mereka karena
penampilan Vivian yang sama sekali tidak cocok dengan restoran ini. Kenapa
perempuan ini suka sekali menginterupsi orang lain? Suka sekali bertanya? Tidak
bisakah kontrak ini segera ditandatangani saja? Ia ingin pulang dan istirahat.
Sialan! Makinya dalam hati.
“Pelan-pelan aja nanyanya. Nggak usah
teriak-teriak gitu. Orang-orang udah merhatiin gue dari tadi gara-gara
penampilan gue ancur kayak begini. Elo malah teriak-teriak. Padahal mereka jadi
merhatiin gue juga karena elo. Elo yang maksa gue buat dateng kesini tanpa
ngizinin gue ganti baju.” Sungut Vivian. Ia jadi kesal juga. Ia jadi tidak
punya niat lagi untuk menandatangani kontrak rese itu.
Dengan
jengkel ia mendorong kertas kontrak itu kemudian menunduk sambil mengomel tidak
jelas sambil menendang-nendangkan kakiknya. Aduh! Pake acara ngambek segala
lagi. “Ya udah ya udah. Mau nanya apa?” Tanyanya lembut.
“Nggak! Nggak jadi!” Jawab Vivian ogah-gahan.
Dalam hati ia merutuk habis-habisan. Dasar nggak pengertian banget jadi cowok.
Nggak sadar apa kalo dari tadi udah bikin gue malu. Dari kemaren-kemaren juga.
Bikin gue jengkel setengah mati. Sekarang malah teriak-teriak nggak jelas.
Emang disini yang salah siapa, coba? Gue, gitu? Yang dilamar tiba-tiba kan gue?
Yang ngelamar juga keluarga dia? Yang ngajuin permintaan tolong konyol siapa?
Bukan gue! Yang mint ague tanda tangan kontrak nggak jelas siapa? Bukan gue!
Yang diseret paksa kesini dengan penampilan kayak gini siapa? Gue, kan. Jadi harusnya
gue yang marah-marah. Kenapa malah jadi dia yang teriak-teriak?
“Ayolah Vy. Oke gue minta maaf. Gue salah.
Nggak usah ngambek gini dong. Nggak malu diliat Daniel?” Bujuk Rafael mencoba
sabar. Vivian tetap diam.
“Tolong Vy. Please… gue minta maaf.” Ucapnya lagi
“Ya udah gue maafin.” Akhirnya Vivian lunak.
Nggak enak juga ngambek kayak anak kecil gini, pikirnya.
“Ya udah sekarang tanda tangan!” Perintah
Rafael tegas.
“Gue kan mau nanya Aeeeeel….” Rengek Vivian
tiba-tiba jadi manja.
“Iya iya tanya tanya.” Tanggap Rafael cepat.
Tidak mau gadis di depannya ini merajuk lagi. Bisa bisa dia bener-bener nggak
mau tanda tangan. Ia cukup mengenal Vivian walaupun hanya enam tahu lamanya
saat mereka masih sama-sama sekolah di satu SD dulu. Vivian adalah orang yang susah
dibujuk saat ia merajuk. Sekalipun dipaksa, ia pasti tetap akan ngotot. Dan
merajuknya bukan cuma sehri. Bisa berhari-hari bahkan mencapai hitungan minggu.
Yang ada rencananya untuk kembali mendekati Nindy tertunda lama. Pokoknya,
lebih mudah menghadapi Vivian yang marah-marah daripada Vivian yang ‘ngambek’ nggak jelas.
“Kalo rencana ini nggak berhasil, gimana?”
Tanya Vivian hati-hati. “Gue sama sekali nggak bermaksud untuk ngedoain supaya
rencana ini nggak berhasil, lho. Gue cuma mau mastiin aja. Lo tau kan ini
menyangkut masa depan gue juga. Maksud gue…..” Vivian bingun bagaimana
menjelaskannya. Padahal ia bisa saja mengatakan bahwa ia tak mau menikah dengan
Ael tapi ia tidak mau terkesan terlalu jahat sampai sejujur itu.
“Lo segitu bencinya ya sama gue?” Tanya
Rafael tiba-tiba.
“Eh?”
“Lo tenang aja. Gue nggak akan nikahin elo.
Lagian di kontrak yang berisi persyaratan yang lo tulis juga udah disebutin,
kan? Kalo gue nggak akan pernah dateng buat ngelamar lo.” Jelas Rafael panjang
lebar. Dalam hati ia tersenyum. Ternyata Vivian masih memegang prinsip bahwa
perkataan adalah doa makanya saat berandai-andai tadi ia sampai menjelaskan
secara detail segala sampai akhirnya
kebingungan sendiri. Dasar!
“Ehm… terus kapan ini bakalan berakhir.
Maksud gue, kapan perjanjian ini berakhir?” Tanya Vivian lagi.
“Gue bakal kasih tahu. Tapi nanti. Kita liat
nanti.” Jawab Rafael final.
Akhirnya mereka berdua sama-sama
menandatangani kontrak yang ada. Salinan kontrak yang dibuat Rafael dipegang
oleh Vivian sementara Rafael sendiri menyimpan kontrak yang asli. Untuk kontrak
Vivian, karena sama sekali tidak ada salinannya, akhirnya diputuskan Vivian
saja yang menyimpan atas saran Daniel supaya adil walaupun tidak sepenuhnya
karena Rafael tidak ada pegangan. Tapi tidak apa-apa. Lagipula isi kontrak
Vivian lebih aman jika Vivian yang menyimpannya dibanding Rafael yang memang
suka bertindak seenaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar