Catatan harian yang semakin renta dan tua

Rabu, 12 Februari 2014

Kontrak Cinta #4

Kiri-Kanan! Kanan-Kiri! Kiri-Kanan! Kanan-Kiri!....

Sejak pulang kantor tadi, itulah yang dilakukan Vivian. Mondar-mandir tidak jelas di dalam apartemen sambil menggigiti kuku-kukunya. Kenapa gue harus iya-in permintaan tolong Ael? Kenapa nggak gue tolak? Iya sih gue tahu ancaman tuh orang berbahaya banget sama kehidupan pribadi dan masa mud ague. Indra juga nyaranin buat diterima aja. Tapi kok gue rada nyesel, ya? Gue nggak ikhlas iya-in permintaannya. Lagian si Rafael jadi orang egois banget sih? Nggak bisa ya sekali ini dia ngertiin perasaan orang lain? Ya walaupun gue nggak tahu apa yang harus dia mengerti disini. Vivian berdebat dengan dirinya sendiri. Tiba-tiba ponselnya menjeritkan ringtone. Aduh Tuhan… kenapa harus bunyi sekarang sih nih HP? Gue lagi nggak pengen ngomong sama siapa-siapa.

Akhirnya dengan langkah yang diseret, Vivian masuk ke kamarnya dan mengambil ponsel yang memang sejak tadi belum ia keluarkan dari dalam tas.

Ale-ale Calling…

Itulah yang tertera. Ael! Vivian memang sengaja mengganti nama kontak Ael di ponselnya dengan nama salah satu produk minuman yang banyaj dijual di warung itu. Ale-ale.

“APA?” Tanyanya galak ketika ia mengangkat sambungan telepon itu.

“Galak bener sih lo?” Tegur Rafael.

“Suka-suka.” Jawab Vivian cuek.

“Lo dimana?” Tanya Rafael. Ia sedang malas meladeni Vivian. Pikirannya masih dipenuhi wajah tersenyum Nindy saat bersama laki-laki itu.

Kepo.” Vivian kembali menjawab dengan nada cuek. Kali ini diikuti jutek.


“Jawab aja deh Vy. Gue lagi males debat sama lo.” 

“Sama. Gue juga lagi males ngomong sama lo.” Balas Vivian tak mau kalah.

“Lo di apartemen, kan? Siap-siap sekarang. Gue jemout tiga puluh menit lagi.”

“Enak aja nyuruh-nyuruh. Emang lo siapa gue?” Tolak Vivian segera.

“Partner.” Jawab Rafael enteng. “Gue partner kerja lo dalam hal bikin Nindy balik sama gue. Lagian gue juga jemput lo bukan dengan niatan buat ngajak kencan malam sabtu. Gue mau ngomongin urusan kerjaan.” Sambungnya panjang lebar.

Oh jadi namanya Nindy. Kayak pernah denger. Vivian membatin. “Ogah. Gue lagi nggak pengen ngomongin itu sekarang.” Tolaknya.

“Gue bisanya cuma sekarang. Gue besok ada meeting sama klien. Meskipun Sabtu, gue tetep punya kerjaan yang harus gue urus. Dan gue nggak mau ngomongin itu besok malam. Gue nggak mau dikira bener-bener pacaran sama lo dengan jalan bareng malam Minggu.” Rafael masih tetap ngotot. Dasar egois!

“Terserah. Kalo kata lo gitu, kata gue juga sama. Gue nggak mau jalan sama lo terserah mau malam Sabtu kek, malam Minggu kek, malam Jum’at Kliwon kek, gue nggak mau! Alasannya ya sama. Gue juga ogah dikira bener-bener tunangan sama lo.” Balas Vivian sengit.

“Dua puluh menit lagi gue nyampe. Terserah lo mau nolak atau gimana, yang pasti gue nggak suka dengan yang namanya penolakan. Dari siapapun itu termasuk elo!” Tutup Rafael.

Vivian mematikan sambungan telepon sambil mengedikkan bahunya cuek. Terserah. Dateng aja. Nggak bakal jug ague bukain pintu. Tunggu aja sampe pagi, gue nggak perduli. Dengan santai ia melangkah kea rah dapur dan membuat cappuccino untuk dirinya sendiri sambil menyambar majalah kemudian duduk di depan televisi.

****
Vivian terkejut bukan main. Tidak pernah menyangka ini akan terjadi. Bagaimana bisa sosok Rafael sudah berdiri menjulang di depannya dan menghalangi pandangannya yang saat itu sedang menonton siaran Opera Van Java di televisi? Dengan posisi bak Power Ranger, Rafael menyedekapkan tangannya di depan dadanya dan memandang Vivian intens.

“Lo kok…bisa ada disini?” Tanya Vivian terbata. Kaget dengan kemunculan Rafael yang tiba-tiba seperti Jelangkung.

“Sampe sepuluh menit lo nggak ganti baju, gue seret paksa lo keluar dari apartemen dengan penampilan lo yang sekarang!” Jawab Rafael nggak nyambung. Sebenarnya itu ancaman, tapi Vivian tidak cepat menanggapinya.

“Gimana caranya lo bisa masuk kesini?” Tanya Vivian kali ini dengan suara normal, tidak lagi terbata seperti tadi.
Rafael tidak menjawab. Masih dengan posisi Power Ranger-nya.

“LO NGUNTIT GUE, KAN?” Tanya Vivian lagi kali ini suaranya naik beberapa oktav. Benar-benar cirri khas Vivian kalau sudah marah ataupun kesal.

Rafael masih bergeming.

“IYA KAN? LO NGUNTIT GUE! LO PASTI NGUNTIT GUE!” Tuduh Vivian sambil menunjuk-nunjuk wajah Rafael. Rafael masih tidak juga menjawab. Vivian jadi keki juga. Dari tadi dia udah nanya-nanya plus teriak-teriak tapi orang yang dituduh maupun diteriakinya malah diam seperti patung.

“Time’s up.” Ucap Rafael kemudian. Vivian mengerut bingung. Perasaan dari tadi omongan Rafael sama sekali tidak ada yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan maupun tuduhannya. Ia baru sadar maksud Rafael ketika tangan Rafael dengan cepat menarik pergelangan tangannya dan memaksanya untuk mengikutinya. “Eh eh lepasin! Lo mau bawa gue kemana?!” Vivian berusaha berontak namun sayangnya gagal. Rafael dengan cepat bisa membawanya ke parkiran dan mendudukkan tubuhnya di kursi penumpang di dalam mobilnya. Ketika Vivian duduk, dengan cepat ia kembali menekan tombol kunci pada automatic key-nya supaya Vivian tidak bisa keluar dan memutari mobil kea rah kursi pengemudi kemudian melajukan mobilnya entah kemana, Vivian tidak tahu.

****
Vivian malu! Benar-benar malu. Ternyata Rafael membawanya ke salah satu Restoran Jepang di kawasan Jakarta. Vivian malu bukan karena ia belum pernah ke restoran yang menghidangkan masakan dari Negeri Matahari Terbit itu. Sama sekali bukan. Ayolah ia seorang sekertaris dan ia sudah sering menemani Indra untuk makan siang bersama klien di berbagai jenis restoran. Ia bahkan pernah makan siang sambil meeting di salah satu warteg karena klien mereka yang meminta. Yang jadi masalah adalah penampilannya. Harusnya ia bisa menangkap dan menanggapi ancaman Rafael tadi agar tidak berakhir seperti ini. Berakhir dengan penampilan memalukan dimana orang-orang mentapa aneh ke arahnya dari muali ia baru memasuki area restoran sampai benar-benar meendudukkan dirinya di salah satu kursi.

Bayangkan saja! Ia tampil dengan setelan baby doll lengan panjang dan celana panjang berwarna putih dengan motif kelinci dimana-mana serta sandal rumahnya dengan kepala kelinci yang bertengger manis disana. Ia memang penggila hewan setengah kucing dengan dua gigi panjang itu. Sayangnya ia tidak diizinkan untuk memeliharanya di rumah karena Bundanya yang laergi bulu dan jika dipelihara di apartemen tidak ada yang bisa mengurusnya karena kesibukannya di kantor. Lagipula pemilik apartemen tidak mengizinkan adanya pemeliharaan hewan disana. Pokoknya penampilannya benar-benar berbanding terbalik dengan Rafael yang malam itu tampak casual dan keren dengan celana jeans dan kaos polo shirt-nya.

            Rafael hampir saja menyemburkan tawanya melihat ekspresi malu Vivian. Sejak tadi gadis itu hanya sibuk lirik kiri kanan dengan waspada seperti sedang diikuti pembunuh berdarah dingin. Keringat dingin bahkan mengucur sedikit dari pelipisnya. Rafael tidak bisa membayangkan bagaimana malunya Vivian.

“Kalau mau tidur di rumah kek. Bukan disini.” Terdengar bisik-bisik dari beberapa pengunjung.

“Iya dikira Pajama Party apa?” Cibir yang lainnya. 

“Lo mau ngomong apa? Buruan!” Tanya Vivian sambil sedikit menundukkan kepalanya.

“Lo kenapa keringetan gitu? AC-nya kurang dingin? Atau lo abis olahraga keliling Bundaran HI?” Ledeknya.

“Nggak usah ngeledek, ya. Gue balik sekarang!” Ancam Vivian tegas.

Slow down Baby. Kita masih harus nunggu saksi. Jadi, kenapa lo nggak pesen dulu?” Jawab Rafael kalem.

Saksi? Saksi apa coba? Emang mereka mau ngapain? Mau sidang?

“Nggak makasih. Gue udah makan.” Bohongnya. Gimana mau makan dengan tenang kalo dari tadi dipelototin melulu? Batinnya.

“Gue yang pesenin!” Dengan cepat Rafael memesan makanan untuk mereka berdua. Pilihannya jatuh pada sushi, shabushabu, sukiyaki, soba, shasimi, udon dan tempura. Vivian sampai melongo dibuatnya. Bagaimana bisa mereka makan ini semua? Dan shasimi. Vivian sama sekali tidak bisa makan itu. Ia tidak mau dan ia tidak suka meskipun orang bilang rasanya enak.

“Makan aja. Nggak usah sok milih-milih. Gue pesen makanan yang gue suka karena lo bilang tadi lo nggak pengen makan. Tapi gue tau lo cuma malu aja. Lo nggak harus makan tuh shasimi kalo lo nggak suka.” Tegur Rafael ketika dilihatnya Vivian hanya memandangi makanan di depannya tanpa ada niat untuk menyentuhnya.

Makanan yang disuka? Bilang aja doyan. Batin Vivian. Dengan enggan ia mulai makan secara perlahan dan bergidik setiap kali melihat Rafael memasukkan potongan shasimi ke dalam mulutnya. Sebenarnya ia sedikit bertanya-tanya bagaiman Rafael tahu bahwa ia tidak suka dengan makanan itu.

Lima belas menit seusai mereka makan, saksi yang mereka tunggu akhirnya tiba juga. Daniel Kim.  Teman sekaligus detektif blasteran Korea-Indonesia yang dulunya disewa Rafael untuk mencari tahu siapa yang akan dijodohkan orang tuanya kepadanya, segala hal tentang gadis itu secara detail bahkan sampai ke alamat apartemennya, password apartemennya dan makanan yang tidak disukainya salah satunya shasimi. Ternyata Rafael makannya banyak juga. Hampir 90% dari semua makanan yang dipesan tadi dihabiskan olehnya. Vivian hanya makan sedikit.
Daniel sebenarnya sudah sejak tadi ada di dalam restoran bahkan sepuluh menit sebelum Rafael dan Vivian sampai tapi ia memang diminta untuk bergabung dengan mereka oleh Rafael setelah mereka makan.

“Hai.” Sapanya ramah ketika ia sampai di dekat meja Rafael dan Vivian.

“Duduk Bro.” Balas Rafael tak kalah ramahnya.

Sorry ya lama. Gue ada urusan sedikit tadi.” Bohongnya. Dijatuhkannya dirinya ke salah satu kursi setelah sebelumnya melempar senyum tipis kea rah Vivian yang hanya ditanggapi dengan senyum kikuk serta anggukan kepala gadis itu. Sesaat Daniel sempat terpesona oleh kecantikan wajah Vivian. Gila si Rafael. Di foto ni cewek emang cantik, tapi gue nggak nyangka aslinya secantik ini. Kalo gue mah nggak bakal nolak dijodohin. Batinnya iri. Vivian juga. Ni cowok mukanya lucu banget. Oriental. Matanya juga. Sipit, tapi nggak sipit sipit amat sampe nggak ada lipatannya.

“Santai aja. Gue tahu lo sibuk.” Jawab Rafael. “Kenalin ini Daniel, yang akan jadi saksi mala mini.” Ucapnya memperkenalkan. Dengan ramah Daniel menyodorkan tangannya kemudian menyebutkan nama ketika Vivian telah sukses menjabatnya. Vivian juga demikian.

“Lo bawa kan yang tadi gue titipin?” Tanya Rafael. Daniel mengangguk sebagai jawaban sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Begitu pula Rafael. Ia juga mengeluarkan sesuatu dari tasnya.

Sepuluh detik kemudian pandangan Vivian telah dipenuhi dengan tulisan tangan di atas kertas yang sengaja Rafael tampakkan di depan wajahnya. Begini isinya:

KONTRAK CINTA
(AEL-IVY)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama           : Vivian Laisa
T.T.L            : Surabaya, 12 Desember 1992
Pekerjaan      : Sekertaris Divisi Marketing Brata Putra Group

Dengan ini menyatakan kesediaan saya untuk membantu Sdr. Rafael Pradipta selaku Direktur Utama Pradipta Corp. mendapatkan kembali hak sebagai kekasih Sdri. Nindy Paramitha selama waktu yang tidak ditentukan. Oleh karena itu, saya akan melaksanakan apa yang akan sudah direncanakan dan saya sepakati bersama Sdr. Rafael maupun hal-hal yang kesepakatannya akan dibicarakan di kemudian hari saat kontrak ini dilaksanakan.

          Demikian surat pernyataan kontrak ini dibuat dalam keadaan sadar dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

                Saksi                                                                   Tertanda
                  
            Daniel Kim                                                            Vivian Laisa

Vivian hanya bisa melongo ketika membaca surat pernyataan yang mengatasnamakan dirinya. Ia tidak membuat surat pernyataan seperti itu. Tulisan tangannya tidak sebagus itu. Eh? Pokoknya itu bukan tulisannya. Dan kalimat penutup itu. Kata siapa Vivian melaksanakan kesepakatan ini tanpa paksaan. Vivian melakukannya karena terpaksa. Rafael memang tidak memaksanya secara langsung, tapi laki-laki itu telah memaksanya menyetujui tindakan dan kesepakatan konyol ini karena tindakan-tindakannya yang tidak bisa Vivian terima. Dan nama kontrak itu? KONTRAK CINTA? Apaa-apaan tuh alay banget kedengerannya.

“Ini aslinya. Yang ada sama Daniel itu salinannya yang bakal lo pegang nanti. Tapi lo harus tanda tangan dua-duanya pake tinta basah. Gue nggak mau hasil fotocopy-an.” Ucapnya kemudia menurunkan kertas itu yang sejak tadi memenuhi pandangan Vivian.

“Eh kata siapa gue ngejalanin ini tanpa ada paksaan? Oke. Gue emang iya-innya secara sadar, tapi gue ngelakuinnya karena terpaksa. Karena lo ngancem gue bakal mempercepat pernikahan kita dan gue nggak mau itu terjadi.” Protes Vivian kesal. “Trus namanya? Apaan tuh Kontrak Cinta? Lo kira ini acara Raelity Show?

“Ivy sayang. Gue nggak peduli sama protes lo! Yang gue tahu lo harus tanda tangan biar nantinya lo nggak ingkar janji. Dan soal nama kontraknya, gue kepikirannya itu doang. Jadi lo nggak perlu marah-marah. Silahkan tanda tangan!” Jawabnya santai sambil menyerahkan kontrak konyol itu pada Daniel yang dengan sigap langsung ditandatangani oleh laki-laki itu. Setelahnya, ia menyerahkannya pada Vivian untuk ikut ditandantangani oleh gadis itu.

“Oke. Gue mau tanda tangan, tapi ada syaratnya!” Tantangnya. Rafael mengerutkan keningnya bingung. “Gue mau ini dijalanin secara adil. Lo ada kertas sama pulpen, nggak? Gue pinjem.” Tanyanya pada Daniel. Daniel yang sudah bisa menangkap maksud Vivian dengan cuek menyerahkan selembar kertas dan sebuah pulpen pada gadis itu. Rafael menatapnya dengan pandang bertanya yang hanya dibalas anggukan acuh darinya. Dengan cepat Vivian menggoreskan pena ke atas kertas tersebut dan memberikannya pada Rafael yang diterima dengan bekspresi bingung oleh laki-laki itu. Kepalanya tertunduk sejenak untuk membaca baris demi baris kalimat yang tertera.

KONTRAK CINTA
(IVY-AEL)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama                      : Rafael Pradipta
T.T.L                      : Surabaya, 18 Oktober 1992
Jabatan                 : Direktur Utama Pradipta Corp.

Menyatakan bahwa:

Demi menghargai kesediaan Sdri. Vivian Laisa untuk mendapatkan kembali mantan kekasih saya Nindy Paramitha, dengan ini berjanji:

1.     TIDAK AKAN pernah mendatangi kediaman keluarga Vivian untuk melamarnya.
2.     Tidak akan memaksakan kehendak saya lagi terhadap Vivian
3.     Tidak akan mengganggu kesibukan Vivian
4.     Tidak akan bertindak kurang ajar dengan menciumnya lagi semaunya
5.     Tidak akan memaksa masuk ke apartemennya tanpa izin
6.     Tidak akan memaksa untuk istirahat sebentar di kamar Vivian tidak perduli seberapa besar rasa kantuk saya.
7.     Tidak akan mengaku-ngaku sebagai tunangan Vivian lagi
8.     Tidak akan mendatangi kantor Vivian tanpa izin
9.     Tidak akan memaksa untuk mengantar Vivian ke kantor, dan
10.   Tidak akan melakukan ataupun memaksakan hal-hal yang tidak dikehendaki dan tidak menyenangka hati.
Demikian pernyataan kontrak ini dibuat dalam keadaan sadar dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

                    Saksi                                                                                     Tertanda

                Daniel Kim                                                                            Rafael Pradipta

Rafael melongo membacanya. Sepuluh poin yang tidak bisa dikatakan begitu mengingat bunyi yang tertera pada poin terakhir. Dan poin keempat. Apa maksudnya kurang ajar? Orang dia yang minta juga.

“Eh lo gila ya? Mana bisa gue tanda tangan kontrak sinting kayak gini?” Protesnya tidak terima.

“Ya udah. Mana bisa juga gue tanda tangan kontrak nggak penting lo?” Balas Vivian tak mau kalah. Enak saja orang ini bertindak semaunya. Emang gue robot apa yang bisa disuruh sesuka hati?

“Sialan! Oke. Gue bakal tanda tangan tapi dengan catatan lo nggak boleh lari dari tanggung jawab!” Rafael akhirnya setuju walaupun karena terpaksa. Demi Nindy, batinnya. Meskipun ia tidak yakin akan berhasil.

“Bagus!” ucap Vivian puas. Akan tetapi. Ketika baru saja hendak menandatangani kontrak itu, Vivian teringat pada status mantan pacar Rafael yang sampai dengan saat ini masih ia pertanyakan. Apakah wanita itu sudah menikah atau tidak? “Eh tunggu!” interupsinya tiba-tiba.

“Apa lagi sih?” Rafael jadi kesal. Sambil setengah membanting pulpun yang ia pegang, ia menatap horror pada Vivian.

“Gue mau tanya satu hal!” Jawab Vivian tegas.

“Apa lagi yang mau lo tanyain? Bukannya semuanya udah jelas? Lo juga udah nulis hal-hal yang nggak boleh gue lakuin selama kita ngejalanin perjanjian ini. Jadi apa lagi?”

“Mantan lo itu masih single, kan?” Tanyanya penasaran. Untung ia ingat pertanyaan penting ini sakarang. Bisa gawat kalau dia sudah tanda tangan kemudian ternyata mantan si Ale-ale ini udah nikah. Dia bisa terancam berakhir dengan pengandilan karena mencoba merusak rumah tangga orang lain. Rafael mengernyit tak mengerti. “Ehm… maksud gue mantan lo itu belum nikah, kan? Dia masih berstatus anak Bokapnya dan bukan istri orang lain?” Jelas Vivian.

Rafael langsung melotot maksimal mendnegar pertanyaan Vivian yang sangat memojokkannya itu. Memangnya dikira dirinya semenyedihkan itu apa sampai berniat untuk merebut istri orang lain? “Lo kira gue perusak rumah tangga orang?!” Jawabnya jengkel.

“Ya udah gue cuma mau tanya itu doang. Nggak usah marah-marah.” Daniel yang sejak tadi diam hanya bisa menahan senyum melihat pemandangan di depannya. Jarang-jarang kan bisa melihat Rafael dibantah perkataannya oleh orang lain. Rafael gitu lho? Siapapun seolah tidak mampu berkutik jika sudah dihadapkan pada sifat keras kepala dan tukang memaksanya, termasuk dirinya sendiri saat Rafael memintanya – tepatnya memaksanya untuk menjadi saksi atas perjanjian konyol ini. Ia hanya mampu mengangguk dan mengiyakan. Ia juga tidak mengerti mengapa. Aura Rafael seolah selalu mampu membius siapa saja.

Kembali Rafael mencoba untuk membubuhkan tanda tangannya di atas kertas putih yang sudah dicoret-coreti tulisan tangan Vivian yang sama sekali tidak terlihat indah itu ketika Vivian kembali bersuara. “Tunggu dulu!” Teriaknya tiba-tiba

“APA LAGI?” Teriak Rafael frsutasi. Teriakannya sampai mengundang perhatian pengunjung restoran lainnya yang sejak tadi memang sudah sering melirik dan curi-curi pandang ke arah mereka karena penampilan Vivian yang sama sekali tidak cocok dengan restoran ini. Kenapa perempuan ini suka sekali menginterupsi orang lain? Suka sekali bertanya? Tidak bisakah kontrak ini segera ditandatangani saja? Ia ingin pulang dan istirahat. Sialan! Makinya dalam hati.

“Pelan-pelan aja nanyanya. Nggak usah teriak-teriak gitu. Orang-orang udah merhatiin gue dari tadi gara-gara penampilan gue ancur kayak begini. Elo malah teriak-teriak. Padahal mereka jadi merhatiin gue juga karena elo. Elo yang maksa gue buat dateng kesini tanpa ngizinin gue ganti baju.” Sungut Vivian. Ia jadi kesal juga. Ia jadi tidak punya niat lagi untuk menandatangani kontrak rese itu.

            Dengan jengkel ia mendorong kertas kontrak itu kemudian menunduk sambil mengomel tidak jelas sambil menendang-nendangkan kakiknya. Aduh! Pake acara ngambek segala lagi. “Ya udah ya udah. Mau nanya apa?” Tanyanya lembut.

“Nggak! Nggak jadi!” Jawab Vivian ogah-gahan. Dalam hati ia merutuk habis-habisan. Dasar nggak pengertian banget jadi cowok. Nggak sadar apa kalo dari tadi udah bikin gue malu. Dari kemaren-kemaren juga. Bikin gue jengkel setengah mati. Sekarang malah teriak-teriak nggak jelas. Emang disini yang salah siapa, coba? Gue, gitu? Yang dilamar tiba-tiba kan gue? Yang ngelamar juga keluarga dia? Yang ngajuin permintaan tolong konyol siapa? Bukan gue! Yang mint ague tanda tangan kontrak nggak jelas siapa? Bukan gue! Yang diseret paksa kesini dengan penampilan kayak gini siapa? Gue, kan. Jadi harusnya gue yang marah-marah. Kenapa malah jadi dia yang teriak-teriak?

“Ayolah Vy. Oke gue minta maaf. Gue salah. Nggak usah ngambek gini dong. Nggak malu diliat Daniel?” Bujuk Rafael mencoba sabar. Vivian tetap diam.

“Tolong Vy. Please… gue minta maaf.” Ucapnya lagi

“Ya udah gue maafin.” Akhirnya Vivian lunak. Nggak enak juga ngambek kayak anak kecil gini, pikirnya.

“Ya udah sekarang tanda tangan!” Perintah Rafael tegas.

“Gue kan mau nanya Aeeeeel….” Rengek Vivian tiba-tiba jadi manja.

“Iya iya tanya tanya.” Tanggap Rafael cepat. Tidak mau gadis di depannya ini merajuk lagi. Bisa bisa dia bener-bener nggak mau tanda tangan. Ia cukup mengenal Vivian walaupun hanya enam tahu lamanya saat mereka masih sama-sama sekolah di satu SD dulu. Vivian adalah orang yang susah dibujuk saat ia merajuk. Sekalipun dipaksa, ia pasti tetap akan ngotot. Dan merajuknya bukan cuma sehri. Bisa berhari-hari bahkan mencapai hitungan minggu. Yang ada rencananya untuk kembali mendekati Nindy tertunda lama. Pokoknya, lebih mudah menghadapi Vivian yang marah-marah daripada Vivian yang ‘ngambek’ nggak jelas.

“Kalo rencana ini nggak berhasil, gimana?” Tanya Vivian hati-hati. “Gue sama sekali nggak bermaksud untuk ngedoain supaya rencana ini nggak berhasil, lho. Gue cuma mau mastiin aja. Lo tau kan ini menyangkut masa depan gue juga. Maksud gue…..” Vivian bingun bagaimana menjelaskannya. Padahal ia bisa saja mengatakan bahwa ia tak mau menikah dengan Ael tapi ia tidak mau terkesan terlalu jahat sampai sejujur itu.

“Lo segitu bencinya ya sama gue?” Tanya Rafael tiba-tiba.

“Eh?”

“Lo tenang aja. Gue nggak akan nikahin elo. Lagian di kontrak yang berisi persyaratan yang lo tulis juga udah disebutin, kan? Kalo gue nggak akan pernah dateng buat ngelamar lo.” Jelas Rafael panjang lebar. Dalam hati ia tersenyum. Ternyata Vivian masih memegang prinsip bahwa perkataan adalah doa makanya saat berandai-andai tadi ia sampai menjelaskan secara detail segala sampai akhirnya kebingungan sendiri. Dasar!

“Ehm… terus kapan ini bakalan berakhir. Maksud gue, kapan perjanjian ini berakhir?” Tanya Vivian lagi.

“Gue bakal kasih tahu. Tapi nanti. Kita liat nanti.” Jawab Rafael final.

Akhirnya mereka berdua sama-sama menandatangani kontrak yang ada. Salinan kontrak yang dibuat Rafael dipegang oleh Vivian sementara Rafael sendiri menyimpan kontrak yang asli. Untuk kontrak Vivian, karena sama sekali tidak ada salinannya, akhirnya diputuskan Vivian saja yang menyimpan atas saran Daniel supaya adil walaupun tidak sepenuhnya karena Rafael tidak ada pegangan. Tapi tidak apa-apa. Lagipula isi kontrak Vivian lebih aman jika Vivian yang menyimpannya dibanding Rafael yang memang suka bertindak seenaknya.                                                           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar