Catatan harian yang semakin renta dan tua

Minggu, 16 Februari 2014

It's Destiny #4



            Aku pulang dengan perasaan tak menentu. Entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang menggerogoti rongga dadaku, tapi aku tidak tahu apa itu. Jantungku serasa dihantam dengan sebongkah batu. Menyakitkan. Bahkan hanya untuk menghela satu napas saja terasa begitu sulit. Kepalaku terasa berputar. Sakit. Tapi bukan sakit yang biasa aku tangani terhadap pasien-pasienku. Ini sakit yang berbeda. Entah di mana letak perbedaan itu. Ku jatuhkan diriku di sofa ruang keluarga.

“Kenapa lo kak?” Tanya Wika, adikku satu-satunya yang saat itu sedang asyik dengan play stationnya.

“Gue ikutan main donk?” Jawabku tak nyambung. Bukannya memberikan joystick kepadaku, Wika terus saja asyik dengan permainannya.

“Nggak mungkin lo depresi kayak gini cuma karena pengen main PS sama gue!” Jawabnya tanpa menatapku.
Yah. Dia memang paling tahu aku. Paling mengerti. Entah sejak kapan dan entah bagaimana, dugaannya selalu tepat. Tidak pernah meleset.

“Ayolah Wik. Gue lagi males.” Jawabku pasrah. Dihentikannya permainannya

“Lo kenapa sih? Berantem sama Anya?” Tanyanya. “Ya nggak usah stress gitu kali. Lo kan tahu Anya paling nggak bisa marah. Nggak tahu caranya malah. Apalagi sama lo.” Aku salah. Ternyata tidak selamanya dugaan Wika selalu tepat. Kali ini meleset. Jauh. Ku tatap ia dengan pandangan malas.


“Trus kalo bukan Anya, siapa?” Tapi dia selalu bisa membaca pikiranku walau hanya lewat tatapan. “Cewek di hidup lo kan cuma dia.” Lagu No Other terdengar dari saku celana pendeknya. Wika memang penggila berat Super Junior, boyband asal negeri ginseng itu.

“Nih. Lagunya cocok buat lo dedikasiin buat Anya.” Sambungnya sambil memencet tombol bergambar hijau di ponselnya kemudian mendekatkan ke telinganya.

“Hai sayang.” Jawabnya.

“…”

“Jalan-jalan? Ke mana?

“…”
“Aduh sayang maaf ya. Kayaknya aku nggak bisa deh. Kakak aku lagi galau nih.

“…”

“Apa hubungannya?? Ya nggak ada. Cuma nggak mungkin kan aku ninggalin kakak tercinta aku ini sendirian di rumah. Entar kalo dia bunuh diri gimana?” Sial. Dia berbicara seolah aku tidak ada di sana.

“…”

“Iya. Aduh kamu nggak tahu deh kalo dia lagi gegana itu gimana.”

“…”

“Iya. Maaf ya sayang. Aku janji besok kita jalan-jalan.”

“…”

“Iya. Love uuuuuuuuuuuuuu. Mmmmuaaachhh.” HOEKK! Aku ingin muntah saat itu juga. “Sorry ya kak. Biasaaaa…” Jurus andalannya yang tidak bermutu tercetak di wajahnya. Nyengir ala playboy cap kuda terbang.
“Itu pacar lo yang ke berapa?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Lupa gue. Lo kan tahu cewek gue banyak.” Jawabnya santai tanpa rasa berdosa. “Udah deh nggak usah ngalihin pembicaraan.” Sambungnya sambil mengubah posisi duduknya yang kini sudah menghadapku pertanda siap mendengarkan ceritaku.

“Sakit.” Mulaiku sambil menunjuk dadaku. “Gue susah napas. Kepala gue puyeng.” Sambungku dengan wajah memelas. Entah kenapa aku selalu bisa seperti ini di depan Wika. Bertingkah seperti anak kecil. Yang aku tahu, sejak dulu aku selalu sakit-sakitan. Tidak bisa leluasa bergerak sesuai keinginanku. Dan Wikalah yang selalu menjadi malaikat pelindungku. Aku jadi merasa bahwa ia adalah pengganti ayahku.

“Lo kenapa kak? Sakit?” Tanyanya sambil menempelkan punggung tangannya di keningku. Wajahnya terlihat benar-benar khawatir.

“Nggak. Lo apaan sih? Homo, ya!!” Tuduhku sambil menjauhkan tubuhku. Ngeri juga sama tingkahnya. Meskipun dia adikku.

“Yeeeee… sialan lo kak. Dibaik-baikin juga.” Gerutunya. “Trus trus?? Kenapa bisa gitu. Lo harusnya tahu dong. Lo kan dokter. Walaupun belum resmi, sih.” Ternyata ia masih penasaran dengan ceritaku.

“Ya gue juga nggak tahu. Seinget gue, gue kayak gini setelah meriksa satu pasien yang bakal jadi pasien tetap gue selama tiga bulan ke depan. Ibu-ibu. Ya seumuran mama gitu lah.” Lanjutku.

“Maksudnya?” Tanyanya tak mengerti.

“Ya awalnya pas tuh pasien datang biasa aja. Pas gue periksa juga biasa aja. Nggak ada yang aneh kecuali…”

‘Kecuali?”

“Kecuali ya tuh pasien mandangin gue terus. Risih sih. Tapi gimana kalo itu cuma perasaan gue aja. Kan malu banget kalo negur trus ternyata dia nggak ngeliatin gue.” Kini Wika mulai menahan tawanya agar tak menghambur keluar. Pasti dalam pikirannya sudah tercetak besar-besar bahwa aku menyukai ibu-ibu itu.

“Trus?” Tanyanya lagi. Kali ini sambil tersenyum menyebalkan.

“Ya udah gitu doang. Pas tuh pasien pulang baru deh gue ngerasa kayak gini.”

“Lo jatuh cinta kali sama tuh tante.” Ejeknya semakin membuatku ingin menjedotkan kepalanya ke dinding. Ku hirup udara dalam-dalam untuk mengisi paru-paruku yang semakin terasa disumbat. Dadaku berdetak cepat. Dengan rasa sakit dalam setiap detakannya. Kepalaku serasa ditusuk ribuan jarum.

“Lo kenapa kak?” Tanya Wika khawatir.

“Nggak. Nggak papa.” Jawabku seolah aku baik-baik saja.

“Emang tuh tante siapa sih? Gue cari deh. Gue suruh tanggung jawab.” Tanyanya kesal. Seolah pasienku telah melakukan kesalahan yang tidak bisa dimaafkan.

“Gue nggak tahu. Namanya Ibu Rima.”

****
“Namanya Ibu Rima.” Satu kalimat itu meluncur dari mulut Kak Chan. Bagaikan petir di malam hari yang berbintang. Keringat dingin mengucur dari pelipisku. Tubuhku gemetar seketika.

“Wik, lo kenapa? Wik… Wika…” Kak Chan melambaikan tangannya di depan wajahku.

“Nggak papa kak. Gue ke toilet dulu, ya. Kebelet.” Jawabku lalu beranjak dari situ. Takut Kak Chan menyadari perubahan raut wajahku. Ku seret langkahku yang tiba-tiba terasa berat. Ku topang tubuhku yang terasa lemas. Ku langkahkan kaki menuju toilet dan menutupnya perlahan. Ku sandarkan tubuhku di pintu.

“Nggak!! Nggak boleh. Gue harus ngelakuin sesuatu.”

****
            Tanpa terasa sudah lebih dari dua minggu aku magang di sekolah ini. Semuanya terasa ringan. Entah kenapa sejak memberiku tumpangan tempo hari, Nugrah tidak lagi berulah. Ini jam istirahat. Sebaiknya ku isi perutku yang sudah mulai berdangdut ria ini.

“Bang baksonya satu, ya.” Pesanku berbarengan dengan suara lain. Suara laki-laki.

“Yah maaf neng, mas baksonya tinggal satu porsi. Udah nggak cukup buat dua orang.” Jawab Si Abang tukang bakso. “Buat si neng aja, ya mas. Ngalah sama perempuan.” Sambungnya. Ku lirik siswa yang telah beranjak pergi itu. Nugrah.

Sambil menunggu bakso pesananku datang, ponselku bergetar. One message received. Wika.

Nya. Ntar pulang skul gw jemput, y.
Temenin gw k RS. Ada hal penting!!

Dengan sigap ku balas pesan Wika tersebut.

Ngapain?
Emang ada hal penting apa?
Lo sakit?
Atau Chani???

Tanyaku bertubi-tubi.

Cerewet bgt sih lo! Ntar jg tau.
Pokoknya gue jemput.
Kl lo kabur, persahabatan qt batal plus gw bawa lari Kak Chan

Dasar Wika gila. Gumamku dalam hati bersamaan dengan pesananku yang datang.

            Bel masuk telah berbunyi. Saatnya kembali mengajar. Kelas XII IPA-1. Kelas Nugrah lagi. Bismillah. Semoga penyakit bikin ulahnya Nugrah nggak kumat. Doaku dalam hati. 

Hari ini pembahasan soal-soal yang biasanya muncul saat UAN. Tiba-tiba, BRUKK!! Sesosok tubuh ambruk membentur ubin dengan keras. Astagfirullahaladzim. Ku letakkan buku yang sejak tadi ku pegang ke lantai. Ku hampiri sosok tubuh tersebut yang kini sudah dikerubungi siswa/siswi lain. Nugrah??

“Tolong… tolong… tolong bawa ke UKS.” Tubuh Nugrah yang kini terkulai lemas itu dibopong menuju UKS. “Yang lain tetap di tempat.” Perintahku kepada murid-murid yang kini mulai beranjak keluar.

“Bagaimana dok?” Tanyaku khawatir kepada dokter khusus di sekolah ini.

“Dia terlambat makan. Asam lambungnya terlalu tinggi sehingga membuatnya pingsan.” Jawab dokter tersebut. “Jika dia sudah sadar, tolong berikan obat maag dan juga suruh dia makan. Kalau bisa bubur saja.” Pesannya sebelum pergi.

“Baik dok.” Jawabku patuh.

Astaga!! Dia pingsan gara-gara gue. Gara-gara bakso. Tapi tunggu dulu. Harusnya kan dia tahu kalo dia nggak boleh telat makan. Iya pasti begitu. Kalo nggak dapet bakso, dia kan bisa mesen makanan lain. Berarti bukan salah gue. Ku hempaskan tubuhku di kursi samping tempat Nugrah terbaring. Ku pandangi wajahnya. Ganteng juga. Banget malah. Ya ampuuuunnn!!! Gue kenapa sih? Gerutuku sambil menjitak pelan kepalaku. Ternyata mataku benar-benar nakal. Ia memandangnya lagi. Memandang Nugrah lagi. Bahkan bibirku ikut tersenyum.

Tunggu!! Semakin dilihat, Nugrah ini mirip…

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar