Aku
pulang dengan perasaan tak menentu. Entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang
menggerogoti rongga dadaku, tapi aku tidak tahu apa itu. Jantungku serasa
dihantam dengan sebongkah batu. Menyakitkan. Bahkan hanya untuk menghela satu
napas saja terasa begitu sulit. Kepalaku terasa berputar. Sakit. Tapi bukan
sakit yang biasa aku tangani terhadap pasien-pasienku. Ini sakit yang berbeda.
Entah di mana letak perbedaan itu. Ku jatuhkan diriku di sofa ruang keluarga.
“Kenapa lo kak?” Tanya Wika, adikku satu-satunya yang
saat itu sedang asyik dengan play stationnya.
“Gue ikutan main donk?” Jawabku tak nyambung. Bukannya
memberikan joystick kepadaku, Wika terus saja asyik dengan permainannya.
“Nggak mungkin lo depresi kayak gini cuma karena pengen
main PS sama gue!” Jawabnya tanpa menatapku.
Yah. Dia memang paling tahu aku. Paling mengerti. Entah
sejak kapan dan entah bagaimana, dugaannya selalu tepat. Tidak pernah meleset.
“Ayolah Wik. Gue lagi males.” Jawabku pasrah.
Dihentikannya permainannya
“Lo kenapa sih? Berantem sama Anya?” Tanyanya. “Ya nggak
usah stress gitu kali. Lo kan tahu Anya paling nggak bisa marah. Nggak tahu
caranya malah. Apalagi sama lo.” Aku salah. Ternyata tidak selamanya dugaan
Wika selalu tepat. Kali ini meleset. Jauh. Ku tatap ia dengan pandangan malas.
“Trus kalo bukan Anya, siapa?” Tapi dia selalu bisa
membaca pikiranku walau hanya lewat tatapan. “Cewek di hidup lo kan cuma dia.”
Lagu No Other terdengar dari saku celana pendeknya. Wika memang penggila
berat Super Junior, boyband asal negeri ginseng itu.
“Nih. Lagunya cocok buat lo dedikasiin buat Anya.”
Sambungnya sambil memencet tombol bergambar hijau di ponselnya kemudian
mendekatkan ke telinganya.
“Hai sayang.” Jawabnya.
“…”
“Jalan-jalan? Ke mana?
“…”
“Aduh sayang maaf ya. Kayaknya aku nggak bisa deh. Kakak
aku lagi galau nih.
“…”
“Apa hubungannya?? Ya nggak ada. Cuma nggak mungkin kan
aku ninggalin kakak tercinta aku ini sendirian di rumah. Entar kalo dia bunuh
diri gimana?” Sial. Dia berbicara seolah aku tidak ada di sana.
“…”
“Iya. Aduh kamu nggak tahu deh kalo dia lagi gegana itu
gimana.”
“…”
“Iya. Maaf ya sayang. Aku janji besok kita jalan-jalan.”
“…”
“Iya. Love uuuuuuuuuuuuuu. Mmmmuaaachhh.” HOEKK!
Aku ingin muntah saat itu juga. “Sorry ya kak. Biasaaaa…” Jurus andalannya yang
tidak bermutu tercetak di wajahnya. Nyengir ala playboy cap kuda
terbang.
“Itu pacar lo yang ke berapa?” Tanyaku mengalihkan
pembicaraan.
“Lupa gue. Lo kan tahu cewek gue banyak.” Jawabnya santai
tanpa rasa berdosa. “Udah deh nggak usah ngalihin pembicaraan.” Sambungnya
sambil mengubah posisi duduknya yang kini sudah menghadapku pertanda siap
mendengarkan ceritaku.
“Sakit.” Mulaiku sambil menunjuk dadaku. “Gue susah
napas. Kepala gue puyeng.” Sambungku dengan wajah memelas. Entah kenapa aku
selalu bisa seperti ini di depan Wika. Bertingkah seperti anak kecil. Yang aku
tahu, sejak dulu aku selalu sakit-sakitan. Tidak bisa leluasa bergerak sesuai
keinginanku. Dan Wikalah yang selalu menjadi malaikat pelindungku. Aku jadi
merasa bahwa ia adalah pengganti ayahku.
“Lo kenapa kak? Sakit?” Tanyanya sambil menempelkan
punggung tangannya di keningku. Wajahnya terlihat benar-benar khawatir.
“Nggak. Lo apaan sih? Homo, ya!!” Tuduhku sambil
menjauhkan tubuhku. Ngeri juga sama tingkahnya. Meskipun dia adikku.
“Yeeeee… sialan lo kak. Dibaik-baikin juga.” Gerutunya.
“Trus trus?? Kenapa bisa gitu. Lo harusnya tahu dong. Lo kan dokter. Walaupun
belum resmi, sih.” Ternyata ia masih penasaran dengan ceritaku.
“Ya gue juga nggak tahu. Seinget gue, gue kayak gini
setelah meriksa satu pasien yang bakal jadi pasien tetap gue selama tiga bulan
ke depan. Ibu-ibu. Ya seumuran mama gitu lah.” Lanjutku.
“Maksudnya?” Tanyanya tak mengerti.
“Ya awalnya pas tuh pasien datang biasa aja. Pas gue
periksa juga biasa aja. Nggak ada yang aneh kecuali…”
‘Kecuali?”
“Kecuali ya tuh pasien mandangin gue terus. Risih sih.
Tapi gimana kalo itu cuma perasaan gue aja. Kan malu banget kalo negur trus
ternyata dia nggak ngeliatin gue.” Kini Wika mulai menahan tawanya agar tak
menghambur keluar. Pasti dalam pikirannya sudah tercetak besar-besar bahwa aku
menyukai ibu-ibu itu.
“Trus?” Tanyanya lagi. Kali ini sambil tersenyum
menyebalkan.
“Ya udah gitu doang. Pas tuh pasien pulang baru deh gue
ngerasa kayak gini.”
“Lo jatuh cinta kali sama tuh tante.” Ejeknya semakin
membuatku ingin menjedotkan kepalanya ke dinding. Ku hirup udara dalam-dalam
untuk mengisi paru-paruku yang semakin terasa disumbat. Dadaku berdetak cepat.
Dengan rasa sakit dalam setiap detakannya. Kepalaku serasa ditusuk ribuan
jarum.
“Lo kenapa kak?” Tanya Wika khawatir.
“Nggak. Nggak papa.” Jawabku seolah aku baik-baik saja.
“Emang tuh tante siapa sih? Gue cari deh. Gue suruh
tanggung jawab.” Tanyanya kesal. Seolah pasienku telah melakukan kesalahan yang
tidak bisa dimaafkan.
“Gue nggak tahu. Namanya Ibu Rima.”
****
“Namanya Ibu Rima.” Satu kalimat itu meluncur dari mulut
Kak Chan. Bagaikan petir di malam hari yang berbintang. Keringat dingin
mengucur dari pelipisku. Tubuhku gemetar seketika.
“Wik, lo kenapa? Wik… Wika…” Kak Chan melambaikan tangannya
di depan wajahku.
“Nggak papa kak. Gue ke toilet dulu, ya. Kebelet.”
Jawabku lalu beranjak dari situ. Takut Kak Chan menyadari perubahan raut
wajahku. Ku seret langkahku yang tiba-tiba terasa berat. Ku topang tubuhku yang
terasa lemas. Ku langkahkan kaki menuju toilet dan menutupnya perlahan. Ku
sandarkan tubuhku di pintu.
“Nggak!! Nggak boleh. Gue harus ngelakuin sesuatu.”
****
Tanpa
terasa sudah lebih dari dua minggu aku magang di sekolah ini. Semuanya terasa
ringan. Entah kenapa sejak memberiku tumpangan tempo hari, Nugrah tidak lagi
berulah. Ini jam istirahat. Sebaiknya ku isi perutku yang sudah mulai
berdangdut ria ini.
“Bang baksonya satu, ya.” Pesanku berbarengan dengan
suara lain. Suara laki-laki.
“Yah maaf neng, mas baksonya tinggal satu porsi. Udah
nggak cukup buat dua orang.” Jawab Si Abang tukang bakso. “Buat si neng aja, ya
mas. Ngalah sama perempuan.” Sambungnya. Ku lirik siswa yang telah beranjak
pergi itu. Nugrah.
Sambil menunggu bakso pesananku datang, ponselku
bergetar. One message received. Wika.
Nya. Ntar pulang skul
gw jemput, y.
Temenin gw k RS. Ada
hal penting!!
Dengan sigap ku balas pesan Wika tersebut.
Ngapain?
Emang ada hal penting
apa?
Lo sakit?
Atau Chani???
Tanyaku bertubi-tubi.
Cerewet bgt sih lo!
Ntar jg tau.
Pokoknya gue jemput.
Kl lo kabur,
persahabatan qt batal plus gw bawa lari Kak Chan
Dasar Wika gila. Gumamku dalam hati bersamaan dengan
pesananku yang datang.
Bel
masuk telah berbunyi. Saatnya kembali mengajar. Kelas XII IPA-1. Kelas Nugrah
lagi. Bismillah. Semoga penyakit bikin ulahnya Nugrah nggak kumat. Doaku
dalam hati.
Hari ini pembahasan soal-soal yang biasanya muncul saat
UAN. Tiba-tiba, BRUKK!! Sesosok tubuh ambruk membentur ubin dengan keras. Astagfirullahaladzim.
Ku letakkan buku yang sejak tadi ku pegang ke lantai. Ku hampiri sosok
tubuh tersebut yang kini sudah dikerubungi siswa/siswi lain. Nugrah??
“Tolong… tolong… tolong bawa ke UKS.” Tubuh Nugrah yang
kini terkulai lemas itu dibopong menuju UKS. “Yang lain tetap di tempat.”
Perintahku kepada murid-murid yang kini mulai beranjak keluar.
“Bagaimana dok?” Tanyaku khawatir kepada dokter khusus di
sekolah ini.
“Dia terlambat makan. Asam lambungnya terlalu tinggi
sehingga membuatnya pingsan.” Jawab dokter tersebut. “Jika dia sudah sadar,
tolong berikan obat maag dan juga suruh dia makan. Kalau bisa bubur saja.”
Pesannya sebelum pergi.
“Baik dok.” Jawabku patuh.
Astaga!! Dia pingsan gara-gara gue. Gara-gara bakso. Tapi
tunggu dulu. Harusnya kan dia tahu kalo dia nggak boleh telat makan. Iya pasti
begitu. Kalo nggak dapet bakso, dia kan bisa mesen makanan lain. Berarti bukan
salah gue. Ku hempaskan tubuhku di kursi samping tempat Nugrah terbaring. Ku
pandangi wajahnya. Ganteng juga. Banget malah. Ya ampuuuunnn!!! Gue kenapa sih? Gerutuku sambil menjitak pelan kepalaku. Ternyata mataku
benar-benar nakal. Ia memandangnya lagi. Memandang Nugrah lagi. Bahkan bibirku
ikut tersenyum.
Tunggu!! Semakin dilihat, Nugrah ini mirip…
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar