Ku lihat Anya turun dari taksi di
depan rumahnya. Tumben? Biasanya juga naik bus atau ojek. Ku hampiri ia dari
belakang dan dengan usil ku tarik pelan rambutnya yang dikuncir kuda.
Mengganggunya benar-benar menyenangkan bagiku. Sejak dulu.
“Apa
sih?!” Teriaknya kesal sambil mencubit lenganku.
“AW!
Sakit Nya. Gue nariknya pelan-pelan juga.” Gerutuku sambil mengelus lenganku
bekas cubitannya tadi. Merah. “”Buset Nya. Lo belum potong kuku, ya.”
“Iya.
Sengaja. Biar bisa nyubit lo kalo lo resenya lagi kumat.” Jawabnya ketus.
“Dari
mana lo?” Tanyaku.
“Wika
kepo.” Jawabnya sambil lalu dengan wajah cemberut.
Ada
apa ya dia? Tidak seperti biasanya. Marah-marah tidak jelas. Apa ada masalah?
Sepertinya aku harus tanya Kak Chan.
****
Ku hempaskan tubuhku ke tempat
tidur. Capek. Padahal aku tidak melakukan pekerjaan berat sama sekali.
“AAAARRGGGHHHHH…..” Teriakku sambil membenamkan wajahku ke bantal agar tak
terdengar orang rumah. “Anya bego!!” Makiku pada diriku sendiri. Bagaimana bisa
aku sebodoh itu? Kenapa juga aku harus mencekal lengannya. Dia jadi curi
kesempatan, kan? Dan bodohnya…kenapa aku diam saja saat ia menggenggam
tanganku? Anya bego bego bego……
Ku
pandangi tanganku bekas genggamannya tadi. Tangannya masih terasa….
HUAAAA….maluuuuuuuuuuuuuuuuuuu…………
****
“Dimana?” Tanyaku begitu sambungan teleponku diangkat.
“Gaya
nanya lo udah kayak gue pacar lo aja.” Jawab Fahri. Aku memang sengaja
menghubunginya begitu Anya pulang.
“Lo
bantuin gue.” Jawabku
“Lo
lagi minta tolong?” Tanyanya sambil tertawa geli. Tidak menyangka aku akan
minta tolong padanya setelah beberapa kali aku menolak bantuannya.
“Iya.”
Jawabku malas. “Nggak usah ketawa lo. Gue lagi males aja ngurusnya sendiri.”
“Apaan
emang?” Tanyanya penasaran.
“Lo
putusin si Wenda.”
“HAAAHHH??
Lo sinting, ya? Masa pacar lo suruh putusin gue?! Ogah!! Urus sendiri!!”
Tolaknya matang-matang.
“Males
gue. Lo tau sendiri kan tuh cewek manjanya kayak apa? Males gue liat muka meweknya.”
“Yak
an elo tau sendiri kuyaaaaa….. gue paling nggak bisa liat cewek nangis. Lo
gimana sih? Lagian lo juga tau bokap tuh cewek siapa. Jendral wooooyyyyy…. Lo
tega gue ditembak mati sama bokapnya trus dijadiin sate?!” Omelnya panjang
lebar. Yah ia memang agak susah kalau urusan menangani hal seperti ini. Apalagi
hubungannya udah menyangkut ke ‘senjata andalan’ para cewek?! Fahri paling
nggak tahan.
“Nah
itu dia bro. Kan asyik tuh. Lo bisa dapet kesempatan kenalan sama bokapnya
sekalian ngelamar si Wenda.”
“Sinting
lo! Masa gue kasih bekas lo?!”
“Ya
eeellaaaahhhh… kayak si Wenda udah gue apain aja. Kan lo juga bilang dulu kalo
si Wenda tuh imut. Jadi lo pasti suka sama dia.”
“Enak
aja lo langsung ngasih kesimpulan kayak gitu. Nggak bakal ada yang bisa gantiin
Naya, bro. Nggak akan bisa.”
“Udah
ah! Pulsa gue abis ngomong sama lo. Pokoknya lo putusin tuh si Wenda!” Jawabku
sambil mematikan sambungan telepon. Aku paling tidak tahan jika Fahri sudah
mengungkit Naya – pacarnya yang meninggal dua tahun lalu karena kanker otak
sekaligus gadis yang sudah aku anggap sebagai adikku sendiri.
****
AUTHOR POV
“Sialan!!”
Maki Fahri ketika sambungan telepon diputus secara sepihak oleh Nugrah. Ia tahu
alasannya. Ia tak sengaja mengungkit Naya tadi. Heran juga. Gue yang ditinggal
kok jadi kayak si Nugrah yang merasa kehilangan. Ah…Wenda….Wenda… apes banget
sih nasib lo ketemu playboy Anugerah itu.
Dengan
dongkol dikontaknya nomor ponsel Wenda. Ia memang selalu memiliki nomor ponsel
gadis yang sedang dipacari Nugrah. Sekedar koleksi.
“Halo,
Abang.” Sapa suara riang di sebelah sana. Wenda – gadis manja yang saat ini
duduk di kelas X salah satu SMA swasta di Yogyakarta, memang terbiasa memanggil
Fahri dengan sebutan Abang. Sengaja. Karena Fahri adalah sahabat terdekat
Nugrah yang menurutnya saat ini masih berstatus sebagai pacarnya, jadi ia sudah
menganggap Fahri sebagai kakaknya.
“Hai
Wen.” Jawab Fahri. “Lagi apa?” Tanyanya basa basi.
“Lagi
mikirin Abang. Hihihi…” Jawabnya sambil cekikikan.
“Hahaha…
Kamu bisa aja. Kesian Nugrah kalo kamunya mikirin aku.” Fahri hanya bisa ikut
tertawa.
“Hahaha…
kayak Nugrah peduli aja.” Jawabnya sambil tertawa hambar.
“Maksud
kamu?”
“Kemaren
aku liat dia sama cewek. Ceweknya manis lho, Bang. Banget malah.” Jawab Wenda
berusaha tenang.
“HAH??
Kok kamu cuek aja?” Fahri kaget setengah mati mendapati reaksi Wenda biasa
saja. Dan lagi…siapa gadis yang dimaksud Wenda barusan? Ia baru tersadar. Jika
Nugrah sudah ingin putus dari seorang cewek, pasti ia sudah mempunyai cewek
yang baru. Mungkinkah….??? Ibu Anyaaa???? Gimana bisa????
“Pengennya
sih gitu Bang. Tapi ya udahlah. Nggak usah dibahas. Males Bang. Bikin orang
pengen muntah.” Jawab Wenda seolah jijik dengan Nugrah. Fahri hanya bisa diam.
Tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Menghibur? Yang ingin dihibur saja tidak
merasa perlu.
“Ya
udah kalo gitu. Udahan dulu ya Wen. Udah ngantuk nih.” Putus Nugrah sambil
mengakhiri pembicaraan mereka. Syukurlah. Ternyata Wenda tak seribet yang ia
bayangkan. Ia termasuk salah satu gadis tegar. Seperti…. Ah! Kanaya…. Maaf. Aku
nggak bisa nepatin janji aku untuk mulai belajar mencintai gadis lain. Aku
nggak bisa. Aku nggak mau ada yang ganti kamu. Aku udah terbiasa kayak gini.
Dengan atau tanpa kamu, aku udah bahagia. Yang penting kamu selalu ada di hati
aku.
Fahri
tidak menyadari. Di balik sifat manja dan kepolosan Wenda, tersimpan hal-hal
yang tak ia ketahui. Hal-hal yang nantinya akan membuat sakit. Bagi banyak
orang. Terlebih sahabatnya
****
Awal yang menyedihkan dan menakutkan. Hubungan yang tidak
bisa dikatakan sebagai suatu hubungan. Aku sangat gugup. Tidak tahu harus
berbuat apa dan bersikap bagaimana saat bertemu dengannya nanti. Apa aku harus
menyapanya seperti para ‘pacar’ pada umumnya? Atau sebaiknya aku bersikap
seolah tidak pernah terjadi apa-apa? Sepertinya pilihan kedua lebih tepat. Dan
sepertinya akan lebih baik jika aku tidak bertemu dengannya hari ini. Lebih
aman. Ku sambar handuk dan berlari ke kamar mandi. Aku harus cepat. Tidak boleh
terlambat. Aku harus mengajar pagi ini. Walaupun sebenarnya aku mengantuk
sekali karena semalam tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Selesai
mandi, ku kenakan pakaianku sambil berlari menuju ruang makan. Mama, Papa dan
Tio pasti sudah menunggu. Baru beberapa anak tangga yang aku turuni, aku
teringat sesuatu. Ponselku tertinggal di kamar. Dengan sangat terpaksa aku
memutar arah dan kembali ke kamarku. One message received
Siapa
yang mengirim pesan pagi-pagi begini? Nugrah. Aduh kenapa harus sekarang? Tidak
bisakah ia menunda SMSnya sampai minggu depan? Aku ingat lagi, kan status
baruku?
Aq gk bs jemput!!
Hanya
satu kalimat. Sepertinya kemarin ia manis sekali padaku. Hari ini?? Datar dan
tidak ada manis-manisnya sama sekali. Tapi Alhamdulillah ya Allah. Aku tidak
tahu harus bagaimana jika ia sampai menjemputku untuk ke sekolah hari ini.
Bagaimana aku harus menjelaskannya pada Papa dan Mama? Dijemput cowok
berseragam SMA. Aduh maluuuuu….. walaupun kami seumuran tapi tetap saja..
Tapi
kalau aku boleh jujur, aku juga sedikit kesal padanya. Aku tidak pernah
membayangkan bahwa pengalaman pacaran pertamaku akan jatuh pada laki-laki model
Nugrah. Dalam bayanganku aku akan punya pacar yang manis yang selalu
memanggilku dengan sebutan sayang. WHAT??? SAYANG???
Oh ya. FYI aku belum pernah punya
pacar selama aku hidup di dunia ini. Nugrah adalah pacar pertamaku dalam tanda
kutip ‘pacar pura-pura yang harus dirahasiakan keberadaannya’. Yah aku memang
tergolong jomblo ngenes. Tapi bukan
karena tidak ada yang pernah menyatakan perasaannya padaku atau aku berlabel
tidak laku. Hanya saja, aku memang terlalu mencintai satu orang yang rumahnya
hanya berada di sebelah rumahku. Bukan Chani… Tapi adiknya yang agak ‘sedeng’
itu. Siapa lagi kalau bukan Cipto Wikra Adipatra.
“Anyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa………………..”
O’ow sepertinya aku terlalu lama melamun. Teriakan mama sudah menggema seperti
biasanya. Dan yah benar sekali. Saat ini mama sudah berada di depan kamarku,
bukan lagi di ruang makan. “Mama ngapain sih teriak pagi-pagi?!” Protesku.
“Malu Ma sama tetangga. Pake acara neriakin nama Anya segala. Dikiranya Anya
udah ngapain, lagi?”
“Makanya
kalo pagi-pagi jangan melamun. Nggak baik lho. Ntar susah jodoh. Ayok buruan.
Papa sama adik kamu udah kelaperan nungguin kamu kelamaan.” Ku ikuti mama dari
belakang dengan langkah berat. Tidak bisakah aku sakit mendadak pagi ini?!
Diare atau pingsan mendadak juga tidak apa-aspa. Yang pasti aku nggak ke
sekolah dulu. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana nantinya…
“Lagian kamu juga. Kapan kamu mau
ngenalin calon menantu pertama mama?” Lho lho kok jadi nyerempet ke calon
menantu? “Ih mama apaan sih?! Umur Anya juga belum ada dua puluh ma. Masa udah
ditanyain calon menantu aja.” Jawabku kesal.
“Ya
udah deh. Mama ganti aja. Pacar deh pacar. Mana pacar kamu? Iya nggak Pa..”
Mama memberi kode dengan mata ke arah papa sambil tersenyum. Entah apa artinya.
Papa hanya berdehem sedikit.
Ku
dudukkan diriku ke kursi di samping Tio yang saat itu ‘lempeng’ saja – tidak
perduli.
“Dulu
mungkin papa mengekang kamu. Tapi sekarang papa rasa tidak ada salahnya.” Tiba-tiba
papa berkomentar. Aku paham maksudnya. Sangat paham. Tapi tidak bisakah kalian
wahai orang tuaku tercinta menunda pembicaraan ini? Setidaknya sampai aku punya
pacar yang lebih ‘layak’. Obrolan ini benar-benar mengigatkanku akan Nugrah.
Entah mengapa. Bayangan Wika…kamu kemana?
****
Dengan sabar aku menunggunya di
depan rumah di atas motor besarku. Aku kangen dia. Aku ingin melihatnya
walaupun hanya sebentar sebelum berangkat kerja.
“Anya….”
Seruku saat ia baru saja keluar dari rumah.
“Chani….”
Jawabnya riang sambil menghampiriku. “Kok lo udah disini pagi-pagi?” Tanyanya
saat sudah berada di sampingku. “Lo pasti mau nawarin jasa ojek gratis!” Dasar
matre. Tapi aku suka. Aku suka saat ia mengandalkanku. Hmmm… sepertinya ada
yang berbeda dengannya hari ini. Tidak seceria semalam.
“Kok
mata lo jadi lebih sipit?” Tanyaku khawatir.
“He…he…he…”
Tawanya garing.
“Sejak
kapan lo jadi pengikutnya Vira?” Well, Vira adalah sahabat dekat Anya
selain diriku tentu saja yang suka sekali tertawa dengan menyuarakannya dalam
bentuk suku kata.
“Oh
iya. Wika mana?” Tanyanya sambil melihat ke arah kiri kanan mencari sosok Wika.
“Udah
deh Anya. Nggak usah mengalihkan pembicaraan. Lo nggak tidur ya semalem?”
Semalam aku memang kembali menatap kamar Anya. Entah mengapa, rasa rinduku
padanya semakin menjadi sejak semalam.
“Maaf.
Gue lagi banyak kerjaan.” Ia meminta maaf. Aku tahu. Minta maaf karena telah
membuatku khawatir. Selalu saja…membuatku berharap…
“Yakin?”
Tanyaku memastikan. Ia mengangguk pasti. Syukurlah jika memang benar seperti
itu. Aku hanya bisa percaya. Tidak bisa memaksa.
“Ya
udah kalo gitu. Gue anter ke sekolah?” Tanyaku. Ah! Aku jadi ingat masa SMA
kami. Setiap hari pekerjaan wajibku adalah mengantar jemputnya sekolah karena
memang hanya aku yang dipercaya. Kami memang beda sekolah saat SMA. Wikalah
yang berada satu SMA dengannya. Tapi ia terlalu sibuk dengan korban-korbannya,
jadi tidak bisa diandalkan sama sekali. Lagipula sekalipun dipaksa plus
diiming-imingi uang jajan ditambah jatah shopping selama sebulan, Anya
juga tidak mau menggunakan jasa Wika. Dan alasannya sudah aku ketahui dengan
jelas.
“Oke.”
****
Pemandangan di depan gerbang benar-benar merusak mataku.
Ingin rasanya aku mencolok mata lelaki itu. Tatapannya… aku sangat mengerti
tatapan itu. Tatapan yang mirip dengan milik Papa saat menatap Mama. Aku sudah
bisa langsung mengambil kesimpulan bagaimana posisi Anya di hati lelaki entah
siapa itu.
“Makasih
yaaa….” Seru Anya sambil memasuki gerbang sekolah dengan riang. Saat ini ia
adalah ‘pacar’ baruku. Senyumannya… ah! Aku tahu ini hanya sementara. Dan
memang hanya boleh sementara. Tapi hatiku tetap saja panas melihat adegan
memuakkan itu. Anya – ‘pacarku’ diantar ke sekolah oleh seorang laki-laki yang
tidak aku kenal!!
“Kakaknya
kali…” Ucap sebuah suara yang aku kenali sebagai milik Fahri.
Aku
hanya tersenyum kecut. Kakak?! Dengan tatapan seperti itu?! Sangat tidak
mungkin. “Emang udah resmi?” Aku tak menjawabnya. Aku yakin Fahri tak sebodoh
yang aku pikirkan.
“Ya
udah. Ntar lo tanyain aja. Gampang kan?” Sambungnya sambil merangkul bahuku. “Woles
aja.”
Di
kelas…
Sial!
Aku benar-benar tidak bisa berkonsentrasi pada rumus-rumus aneh di depanku.
Fisika. Mata pelajaran yang paling aku benci. Kecepatan cahaya… apa gunanya
sampai harus diukur segala?
Aduh
Tuhan! Bayangan kejadian tadi pagi terus berputar di kepalaku. Ya aku memang
pencemburu tingkat dewa. Aku akan sangat terganggu jika orang yang sedang
menyandang status sebagai pacarku dekat dengan lelaki lain. Sekalipun aku tidak
mencintai mereka sedikitpun dan tidak akan segan untuk mendekati perempuan lain
pada saat yang bersamaan. Hal itu akan mengingatkan aku pada…. Ah lupakan!
Sebaiknya aku tak mengingat masalah itu saat ini. Ada yang lebih penting. Aku
harus menghubungi Anya. Ya Anya. Aku tidak mau memanggilnya dengan sebutan Ibu
lagi, kecuali di sekolah. Walaupun aku masih bingung dengan apa yang harus aku
katakan nantinya, aku harus menghubunginya dan memintanya untuk bertemu.
****
Akhirnya
aku sampai juga di rumah. Hhh… capek sekali rasanya. Aku ingin tidur. Aku
sangat mengantuk. Ku benamkan kepalaku dalam-dalam pada bantal kesayanganku.
Drrttt…drttttt… drrrttt….drrrtttt….
“Apa
sih?!” Rutukku sambil mengangkat ponselku tanpa melihat siapa yang sudah
mengganggu rencana tidur siangku.
“Halo?
HOAAAMMMM….” Salamku sambil menguap. Yah aku memang kurang jaim.
“Ngantuk?”
Tanya suara berat di seberang. Aku tidak kenal milik siapa.
“Hmmm…”
Gumamku tidak jelas dengan mata yang mulai terpejam kembali.
“Ya
udah tidur aja.” Ucapnya pengertian.
“Hmmm…”
Jawabku sambil mematikan sambungan telepon. Wahai siapapun dirimu.. terima
kasih banyak atas pengertiannya.
Jam
5 sore…
Aku
baru saja terbangun. Astaga. Aku belum Salat Ashar. Dengan tergesa aku ke kamar
mandi untuk berwudhu dan melaksanakan Salat. Seusai Salat, iseng aku mengecek
ponselku. Siapa tahu ada yang menelepon atau sekedar mengirim pesan selagi aku
tidur siang. One Message Received. Nugrah
Bobo aj dl. Aq tggu jam 4 d café t4 qt
mkn kmrn.
Rupanya
ia yang tadi dengan sukarela mengganggu tidur siangku. Hmmm… tidak ada yang
penting. Ku lipat mukenaku dan memasukkannya ke dalam lemari. Tunggu dulu!!! Ku
sambar kembali ponselku. Ku baca kembali pesan dari Nugrah dengan lebih teliti.
Aku tunggu jam empat. Jam empat. JAM EMPAT???!!! Dan ini sudah JAM LIMA LEBIH
DUA PULUH LIMA MENIT!!! Ku sisir rambutku asal. Ku sambar cardigan hitamku
dan bergegas ke luar. Ku pakai sepatu keds putihku asal-asalan.
Semoga
ia sudah pulang. Semoga ia sudah pulang. Semoga…semoga…semoga… Aku terus berdoa
dalam hati dan berharap itu menjadi kenyataan. Tapi ternyata tidak terkabul.
Dari jauh aku sudah bisa melihat Nugrah yang dibalut dengan celana jeans dan
kemeja lengan panjang yang bagian lengannya digulung sampai ke siku sedang
duduk di depan salah satu meja. Dia terlihat sangat
keren. Ku pandangi penampilanku. Bagus sekali. Aku hanya mengenakan celana
pendek jeans selutut yang dipadu dengan kaos putih bergambar Angry
Bird yang sedikit terselamatkan oleh cardigan hitamku, dan sepatu
keds putih bututku. Sepertinya bukan waktu yang tepat untuk menemuinya. Ku
putar tubuhku seratus delapan puluh derajat bersiap kabur. Namun terlambat!! Ia
sudah melihatku. Terpaksa… mau tidak mau… aku harus membuang malu dan
menghampirinya yang saat itu memasang wajah datar dan…marah?
“Lama.”
Satu kata. Hanya itu yang keluar dari mulutnya saat aku sudah ada di depannya
sambil bangkit dan beranjak.
“Tunggu…”
Cegahku. Oke aku malu mengakuinya tapi aku yang salah. “Maaf.” Ucapku sambil
menunduk. “Aku ketiduran. SMS kamu baru kebaca.”
“Salat
Maghrib dulu. Udah adzan.”
TBC
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar