Catatan harian yang semakin renta dan tua

Minggu, 16 Februari 2014

It's Destony #5

Tunggu!! Semakin dilihat, Nugrah ini mirip…

“Ngapain?” Di tengah keasyikanku menelusuri setiap detail wajah Nugrah, pertanyaan itu meluncur tiba-tiba dari mulutnya. Ternyata dia sudah sadar.

“E..eh?” Jawabku tergagap.Tidak siap dengan pertanyaan tiba-tiba itu.

“Ngeliatin!”Sahutnya lagi.

“Eh?” Aku semakin mirip orang bodoh yang tidak bisa bicara. Ck. Ia berdecak kesal. Mungkin heran bagaimana bisa orang dengan tingkat pemahaman sepertiku terpilih menjadi guru magang di sekolah ini.Menjawab pertanyaan seperti ini saja tidak bisa.

****

            “Eh?” Jawabnya gugup. Aku yakin guru mungil di depanku ini bukan tidak bisa menjawab pertanyaanku. Sebuah ide yang teramat brilian terlintas di kepalaku. Ahayyyyy!!! Kenapa gue nggak cari kegiatan aja. Minimal buat ngehibur diri sendiri.

“Ya sudah. Sekarang kamu sudah sadar.Kata dokter tadi, kamu terlambat makan. Jadi disuruh minum obat maag.” Ucapnya sambil berdiri dari kursi yang sejak tadi didudukinya. “Dan jangan lupa makan. Kalau bisa kamu makan bubur dulu.” Sambungnya. Ku cekal pergelangan tangan kanannya dan menariknya agar berbalik menatapku. Matanya melotot tajam ke arahku.


“Kamu yang sopan, ya. Saya ini guru kamu.” Tegurnya dengan suara gugup dan bergetar. Dalam hati aku bersiul penuh kemenangan. Sepertinya tidak salah aku memilihnya sebagai bahan mainanku di sekolah ini. Dari responnya saja, terlihat jelas bahwa dia masih sangat polos. Mungkin umurnya saja yang jauh di atasku, tapi tingkat kepolosannya menyamai anak SD. Ku paksa tubuhku untuk bangun dari tempat tidur.

“Enak aja Ibu main pergi. Nggak bisa gitu dong.” Ucapku tanpa melepaskan cekalanku.

“Lepaskan tangan saya!!” Perintahnya semakin melotot. Ku tahan tawaku agar tidak menghambur keluar. Sumpah demi apapun, pelototannya sama sekali tidak akan membuat orang yang dipelototi takut. Justru sebaliknya, gemas dan semakin ingin mengerjainya.

“Saya kan kayak gini gara-gara Ibu.” Tuduhku dengan wajah sok polos.

“Lepaskan tangan saya!!” Suaranya mulai naik beberapa oktaf. Tapi aku tidak peduli.

“Bu sebentar lagi bel pulang.” Kataku santai dengan tangan kiri yang masih tetap mencekal tangannya dan tangan kanan menunjuk ke arah jam dinding yang bertengger manis di depan kami.

“Lepaskan tangan saya.” Katanya lagi. “Saya sudah lama meninggalkan teman-teman kamu di kelas.”

“Ya kan salah Ibu sendiri bikin saya kayak gini.” Sahutku lagi. Ternyata ia memang belum mengenal dunia para guru. Jika aku melakukan hal ini terhadap guru lain, pasti sejak tadi kepalaku sudah mendapatkan tepukan keras yang lebih pantas dikatakan tamparan. Tapi ia tidak. Ia lebih memilih untuk beradu mulut denganku. Mungkin karena aku juga sedang sakit. Suatu keuntungan besar bagiku. Untuk pertama kali dalam hidupku, aku mensyukurinya.

“Kam….”

TEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEETTTTTTTTTTTTT………….TEEEEEEEEEEEEEEEEEEETTTTTTTTTTTTTTTT!!!!!!!!
Bel pulang berbunyi dengan nyaringnya. Pelototannya menghilang. Pasrah dengan keadaaan. 

“Lepaskan dulu tangan saya.” Pintanya dengan nada suara yang kembali normal. “Mau kamu apa?” Tanyanya.

“Hmmm… nggak banyak sih, Bu.” Jawabku seolah berpikir. “Gini Bu. Hari ini tuh saya ke sekolah nggak bawa mobil. Saya bawanya motor. Tapi karena saya sedang sakit, saya tidak mungkin mengendarai motor sendirian untuk pulang.” Jelasku panjang lebar.

“Lalu?” Tanyanya sambil mengerutkan keningnya bingung.

Ku keluarkan kunci motorku dari saku celana panjangku. “Jadi saya mau minta tolong Ibu untuk nganterin saya pulang ke rumah.” Ku ucapkan permintaanku sambil mengangsurkan kunci motorku padanya. Permintaan yang sangat tidak masuk akal. Meminta seorang guru untuk mengantar pulang. Perempuan pula.

“HAAHHH? Tapi saya kan nggak bisa bawa motor.” Jawabnya polos.

“Gimana, ya…. Ah sebentar, Bu.” Ku keluarkan ponselku dan memencet beberapa tombol. Ku tempelkan ke telinga kananku.

“Ri lo dimana?” Tanyaku langsung tanpa salam pembuka.

“Parkiran. Lama amat sih lo pingsannya? Jamuran tahu nggak nih gue jagain motor lo.” Omelnya.

“Cerewet lo kayak banci. Lo ke sini deh.” Perintahku.

“Ngapain? Mending gue balik. Lagian lo juga udah sadar.” Tolaknya. Seperti biasa, di saat-saat seperti ini Fahri, sahabatku sejak SMP memang tidak pernah bisa diajak bekerja sama.

“Ke sini dulu. Bawel amat sih lo!!” Tanpa menunggu jawaban, ku matikan sambungan telepon. Ku tatap guru mungil yang kini duduk di ujung tempat tidur sambil sibuk mengutak atik ponselnya. Rambutnya yang dikucir agak berantakan, hidung mancungnya, matanya, alisnya, hmm… manis juga. Nggak kalah manis sama Riyan, cewek paling manis seangkatan gue. Serius sekali. Sama sekali tidak menyadari bahwa kini aku sudah berada di sampingnya sambil ikut menatap layar ponselnya. Sangat dekat. Pipi kami pun hampir bersentuhan.

“Suka Angry Bird juga, ya Bu?” tanyaku.

****

“Suka Angry Bird juga, ya Bu?” Pertanyaan yang sangat jelas terdengar di kupingku itu membuatku tersentak. Ku tolehkan pandanganku ke kiri dan…

CUP!! Tanpa sengaja aku menabrak pipinya dengan bibirku.

WHATTTT???!!!! Tadi aku menabrak apa??!! Nugrah tersentak kaget. Ditatapnya aku tepat di manik mata. Suhu panas menjalari wajahku seketika. Aku yakin saat ini wajahku sudah merah seperti kepiting rebus. Ku tundukkan kepalaku dalam-dalam, tidak berani menatapnya balik. Ya Tuhan. Jarak kami sangat dekat. Bahkan hembusan napasnya dapat ku rasakan di pipiku. Apa yang harus aku lakukan? Aku sangat malu saat ini. Bahkan untuk bergerak sedikit saja aku tidak berani. Takut kalau-kalau hal yang tak terduga kembali terjadi.

“Ehem!!” Suara deheman terdengar dari arah pintu. Dari ujung mata, ku lihat Nugrah menoleh dan tersenyum simpul. Sama sekali tidak merasa risih atau terganggu. Apaa??? Tergangguuuu?? Sebenarnya apa yang aku pikirkan??

“Ngapain lo disitu? Disini nggak ada penjemput tamu.” Katanya kepada orang itu yang aku tidak tahu siapa. Sosok itu melangkah mendekati kami. Ku dongakkan kepalaku. Fahri Antara. Salah satu teman sekelas Nugrah. Aduh Tuhan… bagaimana ini? Aku yakin ia pasti melihat kejadian tadi. Nugrah juga sama sekali tidak beranjak dari dekatku. Dan wajahnya terlihat santai. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

“Ngapain lo manggil gue?” Untung saja ia tidak bertanya macam-macam.

“Kunci mobil lo mana?” Tanya Nugrah kepada Fahri. Fahri mengangsurkan kunci mobilnya kepada Nugrah.

“Buat apaan?” Tanyanya.

“Nih kunci motor gue. Lo bawa motor gue dulu, ya.”

“Loh? Kenapa?”

“Ya gue kan lagi sakit nggak mungkinkan gue pulang bawa motor. Tadinya gue minta tolong sama Bu Anya buat nganterin gue pake motor gue. Tapi katanya Bu Anya nggak bisa bawa motor.” Jelas Nugrah panjang lebar.

“Oooooooooooooooooooohhhh…. Gitu, yaaaa.” Fahri hanya ber-oh ria. “Bu makasih banget ya udah mau nganterin temen saya ini.” Katanya beralih kepadaku. Aku hanya tersenyum sekilas. Masih malu dengan kejadian tadi.

“Ya udah. Lo pulang gih. Ntar gue anterin tas lo.” Sambungnya ke arah Nugrah sambil tersenyum simpul dan mengangkat sebelah alisnya, dan berjalan keluar dari UKS, entah apa maksudnya.

“Ayo Bu. Ibu bisa bawa mobil, kan?” Tanya Nugrah sambil beranjak dari duduknya dan mengangsurkan kunci mobil Fahri kepadaku.

Aku mengangguk sebagai jawaban dan mengambil kunci mobil dari tangannya. Sesampainya di parkiran, ku lihat Fahri masih ada di sana sambil tersenyum lebar di atas motor Nugrah. “Nih tas lo.” Katanya sambil menyodorkan sebuah ransel hitam kepada Nugrah.“ Bu titip Nugrah, ya.” Katanya sebelum melesat pergi.

****

            Sepanjang perjalanan kami berdua sama-sama diam. Seolah tidak ada yang berani memulai percakapan terlebih dahulu. Tapi tidak denganku. Aku diam justru karena aku sibuk memikirkan kira-kira apa yang harus dilakukan untuk mengerjai guru yang saat ini sedang berkonsentrasi penuh pada jalanan di depannya. Kembali ku bersiul dalam hati.Entah kenapa, setiap berada di dekat guru ini, ide brilian selalu saja terlintas di kepalaku. Sepertinya membuat guru mungil satu ini salah tingkah tidak kalah mengasyikkan dengan membuatnya marah. Aku tersenyum kecil. Teringat kejadian di UKS tadi. Wajahnya benar-benar merah bak kepiting rebus. Ku putar tubuhku menghadapnya. Ku pandangi dengan tatapan yang tidak biasanya. Tatapan yang aku yakin setiap gadis akan lumer seketika olehnya. Sesekali ia melirik ke arahku. 

“Bu, jadian yuk…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar