Tunggu!! Semakin dilihat, Nugrah ini mirip…
“Ngapain?”
Di tengah keasyikanku menelusuri setiap detail wajah Nugrah, pertanyaan itu
meluncur tiba-tiba dari mulutnya. Ternyata dia sudah sadar.
“E..eh?”
Jawabku tergagap.Tidak siap dengan pertanyaan tiba-tiba itu.
“Ngeliatin!”Sahutnya
lagi.
“Eh?”
Aku semakin mirip orang bodoh yang tidak bisa bicara. Ck. Ia berdecak kesal.
Mungkin heran bagaimana bisa orang dengan tingkat pemahaman sepertiku terpilih
menjadi guru magang di sekolah ini.Menjawab pertanyaan seperti ini saja tidak
bisa.
****
“Eh?”
Jawabnya gugup. Aku yakin guru mungil di depanku ini bukan tidak bisa menjawab
pertanyaanku. Sebuah ide yang teramat brilian terlintas di kepalaku.
Ahayyyyy!!! Kenapa gue nggak cari kegiatan aja. Minimal buat ngehibur diri
sendiri.
“Ya sudah. Sekarang kamu sudah sadar.Kata dokter tadi,
kamu terlambat makan. Jadi disuruh minum obat maag.” Ucapnya sambil
berdiri dari kursi yang sejak tadi didudukinya. “Dan jangan lupa makan. Kalau
bisa kamu makan bubur dulu.” Sambungnya. Ku cekal pergelangan tangan kanannya
dan menariknya agar berbalik menatapku. Matanya melotot tajam ke arahku.
“Kamu yang sopan, ya. Saya ini guru kamu.” Tegurnya
dengan suara gugup dan bergetar. Dalam hati aku bersiul penuh kemenangan. Sepertinya
tidak salah aku memilihnya sebagai bahan mainanku di sekolah ini. Dari
responnya saja, terlihat jelas bahwa dia masih sangat polos. Mungkin umurnya
saja yang jauh di atasku, tapi tingkat kepolosannya menyamai anak SD. Ku paksa
tubuhku untuk bangun dari tempat tidur.
“Enak aja Ibu main pergi. Nggak bisa gitu dong.” Ucapku
tanpa melepaskan cekalanku.
“Lepaskan tangan saya!!” Perintahnya semakin melotot. Ku
tahan tawaku agar tidak menghambur keluar. Sumpah demi apapun, pelototannya
sama sekali tidak akan membuat orang yang dipelototi takut. Justru sebaliknya,
gemas dan semakin ingin mengerjainya.
“Saya kan kayak gini gara-gara Ibu.” Tuduhku dengan wajah
sok polos.
“Lepaskan tangan saya!!” Suaranya mulai naik beberapa
oktaf. Tapi aku tidak peduli.
“Bu sebentar lagi bel pulang.” Kataku santai dengan
tangan kiri yang masih tetap mencekal tangannya dan tangan kanan menunjuk ke
arah jam dinding yang bertengger manis di depan kami.
“Lepaskan tangan saya.” Katanya lagi. “Saya sudah lama
meninggalkan teman-teman kamu di kelas.”
“Ya kan salah Ibu sendiri bikin saya kayak gini.” Sahutku
lagi. Ternyata ia memang belum mengenal dunia para guru. Jika aku melakukan hal
ini terhadap guru lain, pasti sejak tadi kepalaku sudah mendapatkan tepukan
keras yang lebih pantas dikatakan tamparan. Tapi ia tidak. Ia lebih memilih
untuk beradu mulut denganku. Mungkin karena aku juga sedang sakit. Suatu
keuntungan besar bagiku. Untuk pertama kali dalam hidupku, aku mensyukurinya.
“Kam….”
TEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEETTTTTTTTTTTTT………….TEEEEEEEEEEEEEEEEEEETTTTTTTTTTTTTTTT!!!!!!!!
Bel pulang berbunyi dengan nyaringnya. Pelototannya
menghilang. Pasrah dengan keadaaan.
“Lepaskan dulu tangan saya.” Pintanya dengan nada suara
yang kembali normal. “Mau kamu apa?” Tanyanya.
“Hmmm… nggak banyak sih, Bu.” Jawabku seolah berpikir. “Gini
Bu. Hari ini tuh saya ke sekolah nggak bawa mobil. Saya bawanya motor. Tapi
karena saya sedang sakit, saya tidak mungkin mengendarai motor sendirian untuk
pulang.” Jelasku panjang lebar.
“Lalu?” Tanyanya sambil mengerutkan keningnya bingung.
Ku keluarkan kunci motorku dari saku celana panjangku. “Jadi
saya mau minta tolong Ibu untuk nganterin saya pulang ke rumah.” Ku ucapkan
permintaanku sambil mengangsurkan kunci motorku padanya. Permintaan yang sangat
tidak masuk akal. Meminta seorang guru untuk mengantar pulang. Perempuan pula.
“HAAHHH? Tapi saya kan nggak bisa bawa motor.” Jawabnya
polos.
“Gimana, ya…. Ah sebentar, Bu.” Ku keluarkan ponselku dan
memencet beberapa tombol. Ku tempelkan ke telinga kananku.
“Ri lo dimana?” Tanyaku langsung tanpa salam pembuka.
“Parkiran. Lama amat sih lo pingsannya? Jamuran tahu
nggak nih gue jagain motor lo.” Omelnya.
“Cerewet lo kayak banci. Lo ke sini deh.” Perintahku.
“Ngapain? Mending gue balik. Lagian lo juga udah sadar.” Tolaknya.
Seperti biasa, di saat-saat seperti ini Fahri, sahabatku sejak SMP memang tidak
pernah bisa diajak bekerja sama.
“Ke sini dulu. Bawel amat sih lo!!” Tanpa menunggu
jawaban, ku matikan sambungan telepon. Ku tatap guru mungil yang kini duduk di
ujung tempat tidur sambil sibuk mengutak atik ponselnya. Rambutnya yang dikucir
agak berantakan, hidung mancungnya, matanya, alisnya, hmm… manis juga. Nggak
kalah manis sama Riyan, cewek paling manis seangkatan gue. Serius sekali. Sama
sekali tidak menyadari bahwa kini aku sudah berada di sampingnya sambil ikut
menatap layar ponselnya. Sangat dekat. Pipi kami pun hampir bersentuhan.
“Suka Angry Bird juga, ya Bu?” tanyaku.
****
“Suka Angry Bird juga, ya Bu?” Pertanyaan yang
sangat jelas terdengar di kupingku itu membuatku tersentak. Ku tolehkan
pandanganku ke kiri dan…
CUP!! Tanpa sengaja aku menabrak pipinya dengan bibirku.
WHATTTT???!!!! Tadi aku menabrak apa??!! Nugrah tersentak
kaget. Ditatapnya aku tepat di manik mata. Suhu panas menjalari wajahku seketika.
Aku yakin saat ini wajahku sudah merah seperti kepiting rebus. Ku tundukkan
kepalaku dalam-dalam, tidak berani menatapnya balik. Ya Tuhan. Jarak kami
sangat dekat. Bahkan hembusan napasnya dapat ku rasakan di pipiku. Apa yang
harus aku lakukan? Aku sangat malu saat ini. Bahkan untuk bergerak sedikit saja
aku tidak berani. Takut kalau-kalau hal yang tak terduga kembali terjadi.
“Ehem!!” Suara deheman terdengar dari arah pintu. Dari
ujung mata, ku lihat Nugrah menoleh dan tersenyum simpul. Sama sekali tidak
merasa risih atau terganggu. Apaa??? Tergangguuuu?? Sebenarnya apa yang aku
pikirkan??
“Ngapain lo disitu? Disini nggak ada penjemput tamu.” Katanya
kepada orang itu yang aku tidak tahu siapa. Sosok itu melangkah mendekati kami.
Ku dongakkan kepalaku. Fahri Antara. Salah satu teman sekelas Nugrah. Aduh
Tuhan… bagaimana ini? Aku yakin ia pasti melihat kejadian tadi. Nugrah juga
sama sekali tidak beranjak dari dekatku. Dan wajahnya terlihat santai. Seolah
tidak pernah terjadi apa-apa.
“Ngapain lo manggil gue?” Untung saja ia tidak bertanya
macam-macam.
“Kunci mobil lo mana?” Tanya Nugrah kepada Fahri. Fahri
mengangsurkan kunci mobilnya kepada Nugrah.
“Buat apaan?” Tanyanya.
“Nih kunci motor gue. Lo bawa motor gue dulu, ya.”
“Loh? Kenapa?”
“Ya gue kan lagi sakit nggak mungkinkan gue pulang bawa
motor. Tadinya gue minta tolong sama Bu Anya buat nganterin gue pake motor gue.
Tapi katanya Bu Anya nggak bisa bawa motor.” Jelas Nugrah panjang lebar.
“Oooooooooooooooooooohhhh…. Gitu, yaaaa.” Fahri hanya
ber-oh ria. “Bu makasih banget ya udah mau nganterin temen saya ini.” Katanya
beralih kepadaku. Aku hanya tersenyum sekilas. Masih malu dengan kejadian tadi.
“Ya udah. Lo pulang gih. Ntar gue anterin tas lo.”
Sambungnya ke arah Nugrah sambil tersenyum simpul dan mengangkat sebelah
alisnya, dan berjalan keluar dari UKS, entah apa maksudnya.
“Ayo Bu. Ibu bisa bawa mobil, kan?” Tanya Nugrah sambil
beranjak dari duduknya dan mengangsurkan kunci mobil Fahri kepadaku.
Aku mengangguk sebagai jawaban dan mengambil kunci mobil
dari tangannya. Sesampainya di parkiran, ku lihat Fahri masih ada di sana
sambil tersenyum lebar di atas motor Nugrah. “Nih tas lo.” Katanya sambil
menyodorkan sebuah ransel hitam kepada Nugrah.“ Bu titip Nugrah, ya.” Katanya
sebelum melesat pergi.
****
Sepanjang
perjalanan kami berdua sama-sama diam. Seolah tidak ada yang berani memulai
percakapan terlebih dahulu. Tapi tidak denganku. Aku diam justru karena aku
sibuk memikirkan kira-kira apa yang harus dilakukan untuk mengerjai guru yang
saat ini sedang berkonsentrasi penuh pada jalanan di depannya. Kembali ku
bersiul dalam hati.Entah kenapa, setiap berada di dekat guru ini, ide brilian
selalu saja terlintas di kepalaku. Sepertinya membuat guru mungil satu ini
salah tingkah tidak kalah mengasyikkan dengan membuatnya marah. Aku tersenyum
kecil. Teringat kejadian di UKS tadi. Wajahnya benar-benar merah bak kepiting
rebus. Ku putar tubuhku menghadapnya. Ku pandangi dengan tatapan yang tidak
biasanya. Tatapan yang aku yakin setiap gadis akan lumer seketika olehnya.
Sesekali ia melirik ke arahku.
“Bu, jadian yuk…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar