Catatan harian yang semakin renta dan tua

Minggu, 16 Februari 2014

It's Destiny #11



AUTHOR POV

Chandra tidak percaya dengan apa yang ditangkap pendengarannya. Ia mendengarnya dengan jelas. Bagaimana bisa semua ini terjadi? Kenapa Wika mengatakan bahwa Ibu Rima adalah Ibu kandungnya? Lantas mama? Jika Ibu Rima memang Ibu kandungnya, kenapa ia bisa menjadi anak mama dan papa? Bagaimana bisa ia menjadi kakak Wika? Hidup bertahun-tahun dengan mereka bahkan sampai papa menghembuskan napasnya yang terakhir.

            Ini tidak mungkin! Ia pasti salah dengar. Dengan cepat ditinggalkannya depan ruangan Dr. Ronald. Ia baru saja ingin masuk dan mengkonsultasikan sesuatu yang berkaitan dengan laporan magangnya kepada Dr. Ronald ketika ia tak sengaja melihat Wika memasuki ruangan sang dokter. Awalnya ia mengira bahwa Wika sakit, tapi tidak mau merepotkannya sehingga adiknya itu menghubungi Dr. Ronald yang memang adalah adik Ayahnya sendiri. Wika memang dekat dengan Om Ronald. Berbeda dengan dirinya, ia agak sungkan terhadap Omnya itu. Tapi kenyataan yang ia dengar bukan seperti dugaannya. Ia bahkan tidak pernah membayangkan apalagi memprediksikan bahwa ia akan mendengar Wika menyatakan bahwa Ibu Rima adalah Ibu kandungnya.
Tapi jika memang benar demikian, mengapa Wika tidak ingin ia mengetahuinya? Apa yang sebenarnya mereka tutup-tutupi selama ini? Lalu kenapa mama dan papa tidak pernah memberitahunya selama ini? Wika juga. Kenapa ia ingin agar Chandra tidak bertemu lagi dengan Ibu kandungnya? 

Ya Tuhan… ini benar-benar membuat Chandra frustasi.

****

NUGRAH POV

            Aku tidak tahu apa yang aku pikirkan hingga aku mengajak Anya untuk jalan-jalan – ehmm… tepatnya bukan jalan-jalan, tapi MALAM MINGGUAN!! Awalnya ia menolak. Ya aku tahu aku memang tidak punya alasan untuk mengajaknya jalan-jalan. Secara aku hanya pacar sementaranya. Tapi dengan alasan menyusun rencana untuk memperkenalkannya pada orang tuaku, akhirnya ia mengiyakannya.

Hell, aku sendiri bingung. Padahal selama ini aku tidak pernah mengajak para pacarku untuk jalan-jalan di malam minggu. Alasannya standar saja. Aku memang pacar mereka, tapi aku tidak mau itu terlihat jelas dengan menemani mereka berkeliling tidak jelas dan bertemu dengan teman-teman sekolahku. Yah… asal kalian tahu saja, di luar aku memang terkesan cuek, tapi aku adalah orang yang sangat mencintai popularitas. Bukankah akan sangat berbahay jika sampai ada yang tahu sifat playboyku yang sepertinya sudah tertanam sejak dulu ini? Para penggemar setia nan fanatikku pasti akan langsung lari tertaur tanpa perintah dan mencari idola baru. Jangan sampai deh! Tapi entah kenapa aku ingin sekali melihat wajah polos dan mata sipitnya itu. Dia begitu lucu. Sungguh sebenanrnya ada apa dengan diriku???

“Aku jemput di rumah?” Tanyaku pada Anya. Saat ini aku sedang menghubunginya via telepon. Aku mengajaknya untuk menonton film dan makan malam di luar.

“Nggak usah! Langsung ketemu aja.” Jawabnya cepat. Keningku berkerut mendengar jawabannya itu. Mana ada orang janjian malam mingguan tapi yang cowok nggak jemput ceweknya. Bukannya kayak gitu ya seharusnya orang-orang yang pacaran pada umumnya? Janjian di suatu tempat, yang cewek nunggu cowoknya jemput, trus perginya bareng-bareng.

“Kenapa?” Tanyaku penasaran.

“Hmmm… papaku galak!” Jawabnya cepat. “Tenang aja.. aku nggak…” baru saja aku hendak menyuarakan pendapatku, Anya sudah memotongnya terlebih dahulu.

“Kamu udah di jalan?” Tanyanya memotong ucapanku. Hahaha… dalam hati aku tertawa. Sepertinya ia malu dengan fakta yang baru saja ia beberkan entah secara sengaja atau tidak itu.

“Iya.” Jawabku kalem. “Kamu udah siap-siap? Atau udah di jalan juga?” Tanyaku.

“Udah mau jalan kok. Udah ya. Matiin aja. Nanti ketemu disana trus ngobrol. Bahaya ngangkat telepon sambil bawa motor.” Jawabnya sambil menutup sambungan telepon.

****
ANYA POV

Aduh Anya bodooooohhhh!!!! Kenapa aku harus memberikan alasan memalukan itu untuk menolak tawaran Nugrah untuk menjemputku tadi? Papaku galak!!! Astaga! Alasan apa itu? Aku sudah umur berapa sampai-sampai Papa harus melarangku bepergian dengan seorang laki-laki? Lagipula lampu hijau sudah papa nyalakan dan proklamirkan…

Ah tapi sudahlah. Lebih baik aku segera berangkat agar Nugrah tidak menunggu lama. Aku tidak ingin memberikan kesan bahwa aku ini cewek ngaret baginya. Dengan cepat ku sambar tas selempangku yang aku letakkan di atas kasur, menggunakan sepatu keds kebangsaanku dan berangkat ketika ponselku menjeritkan ringtone tanda panggilan masuk.

Vira Calling…

Ada apa nenek sihir ini menelepon malam minggu begini? Apa dia tidak ada acara dengan pacar barunya itu? Sambil melangkah keluar dari rumah dan menaiki taksi yang memang sudah aku pesan tadi – yang sudah menunggu di depan rumah, ku angkat panggilan telepon dari sahabatku itu.

“Kenapa Vir?” Tanyaku begitu benda persegi panjang itu menempel di salah satu telingaku.

To the point banget sih lo? Nggak boleh ya gue nelpon lo?!” Ambeknya kesal. Ya elah ni anak.

“Bukan gituuuu…. Tapi ini kan malam minggu. Emang lo nggak ada acara sama siapa tuh… pacar baru lo itu.” Bujukku memberi alasan karena memang itu alasannya.

“Nah justru itu Mbak gue nelpon lo.” Ungkapnya mengemukakan alasannya menghubunigku.

“Mbak…Mbak… lo kate gue tukang jamu?!” Sungutku kesal. Di seberang ia hanya tertawa ngakak. “Emang ada apa?” Tanyaku.

“Gini nih sobatku sayang. Gue janjian sama Riska.”

“Trus?”

“Nah gue sama Riska ada rencana buat jalan-jalan nih. Lo ikut nggak? Ikut aja yaaaa…. Nggak seru kalo nggak ada lo Nya. Sekalian gue mau ngenalin lo sama Fikram. Tadi aja lo masih lupa namanya padahal udah pernah gue kasih tahu. Lo kan sobat gue, masa lo nggak kenal pacar gue?! Ya!? Kita rencananya mau nongkrong di café. Ini gue lagi di jalan sama Fikram. Dianya lagi nyetir. Riska juga udah di jalan kok sama Dirga.” Cerocos Vira panjang lebar.

“Maksud lo, elo sama Riska janjian buat double date gitu? Trus gue ngapain di antara lo berempat!? Jadi tukang ngipasin nyamuk?!” Gerutuku kesal. Enak saja mereka berniat untuk menjadikanku Kambing Congek dalam kehidupan asmara mereka.

“Ya ampun Nya. Nggak mungkinlah kita kayak gitu sama lo. Chandra juga ikut kok. Wika juga kayaknya bakal ikut. Siapa tahu lo bisa curi kesempatan buat deketin cinta pertama lo itu.” Jelas Vira santai.

“Eh Mak Lampir, lo pikir dong. Wika itu ceweknya segudang. Mana mau  dia jalan-jalan sama orang nggak jelas. Mending di kencan sama pacar-pacarnya yang seabrek itu. Lagian gue juga udah sama Nugrah. Mana bisa? Paling nggak sampe ulag tahunnya lewat.” Ups! Aku keceplosan. Sepertinya aku harus siap-siap memeriksakan telingaku ke THT nanti karena bisa dipastikan….

“WHATTTT????” Nah kan? Vira sudah mencak-mencak di seberang. “LO UDAH JADIAN SAMA SI NUGRAH NUGRAH ITU DAN LO NGGAK NGASIH TAHU GUE??? DIMANA RASA KESETIAKAWANAN LO NYA?” Teriaknya seperti orang kesetanan. Di seberang terdengar suara seorang laki-laki yang menegurnya untuk jangan teriak-teriak. Sepertinya itu Fikram. Vira hanya meringis dan berkata “sorry” pada pacarnya itu.

“Kok lo nggak cerita sih Nya?” Tanyanya lagi. Kali ini dengan nada suara yang lebih pelan dan lembut dari sebelumnya. Tapi tetap saja ia terdengar sangat penasaran.

“Bukan jadian dalam arti yang sebenarnya juga kan Vir. Jadi apa istimewanya?” Jawabku lesu.

“Iya sih. Eh tapi lo ikut kan?” Tanyanya lagi. Dengan sangat terpaksa aku menolak ajakannya itu dengan alasan ada beberapa ujian anak-anak didikku yang harus aku periksa karena hari Senin nanti harus aku bagikan. Aku sudah terlanjur janjian dengan Nugrah. Bagaimana bisa aku membatalkannya begitu saja?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar