AUTHOR
POV
Chandra
tidak percaya dengan apa yang ditangkap pendengarannya. Ia mendengarnya dengan
jelas. Bagaimana bisa semua ini terjadi? Kenapa Wika mengatakan bahwa Ibu Rima
adalah Ibu kandungnya? Lantas mama? Jika Ibu Rima memang Ibu kandungnya, kenapa
ia bisa menjadi anak mama dan papa? Bagaimana bisa ia menjadi kakak Wika? Hidup
bertahun-tahun dengan mereka bahkan sampai papa menghembuskan napasnya yang
terakhir.
Ini tidak mungkin! Ia pasti salah
dengar. Dengan cepat ditinggalkannya depan ruangan Dr. Ronald. Ia baru saja
ingin masuk dan mengkonsultasikan sesuatu yang berkaitan dengan laporan
magangnya kepada Dr. Ronald ketika ia tak sengaja melihat Wika memasuki ruangan
sang dokter. Awalnya ia mengira bahwa Wika sakit, tapi tidak mau merepotkannya
sehingga adiknya itu menghubungi Dr. Ronald yang memang adalah adik Ayahnya
sendiri. Wika memang dekat dengan Om Ronald. Berbeda dengan dirinya, ia agak
sungkan terhadap Omnya itu. Tapi kenyataan yang ia dengar bukan seperti
dugaannya. Ia bahkan tidak pernah membayangkan apalagi memprediksikan bahwa ia
akan mendengar Wika menyatakan bahwa Ibu Rima adalah Ibu kandungnya.
Tapi
jika memang benar demikian, mengapa Wika tidak ingin ia mengetahuinya? Apa yang
sebenarnya mereka tutup-tutupi selama ini? Lalu kenapa mama dan papa tidak
pernah memberitahunya selama ini? Wika juga. Kenapa ia ingin agar Chandra tidak
bertemu lagi dengan Ibu kandungnya?
Ya
Tuhan… ini benar-benar membuat Chandra frustasi.
****
NUGRAH POV
Aku tidak tahu apa yang aku pikirkan
hingga aku mengajak Anya untuk jalan-jalan – ehmm… tepatnya bukan jalan-jalan,
tapi MALAM MINGGUAN!! Awalnya ia menolak. Ya aku tahu aku memang tidak punya
alasan untuk mengajaknya jalan-jalan. Secara aku hanya pacar sementaranya. Tapi
dengan alasan menyusun rencana untuk memperkenalkannya pada orang tuaku,
akhirnya ia mengiyakannya.
Hell, aku sendiri bingung.
Padahal selama ini aku tidak pernah mengajak para pacarku untuk jalan-jalan di
malam minggu. Alasannya standar saja. Aku memang pacar mereka, tapi aku tidak
mau itu terlihat jelas dengan menemani mereka berkeliling tidak jelas dan
bertemu dengan teman-teman sekolahku. Yah… asal kalian tahu saja, di luar aku
memang terkesan cuek, tapi aku adalah orang yang sangat mencintai popularitas.
Bukankah akan sangat berbahay jika sampai ada yang tahu sifat playboyku yang sepertinya sudah tertanam
sejak dulu ini? Para penggemar setia nan fanatikku pasti akan langsung lari
tertaur tanpa perintah dan mencari idola baru. Jangan sampai deh! Tapi entah
kenapa aku ingin sekali melihat wajah polos dan mata sipitnya itu. Dia begitu
lucu. Sungguh sebenanrnya ada apa dengan diriku???
“Aku
jemput di rumah?” Tanyaku pada Anya. Saat ini aku sedang menghubunginya via
telepon. Aku mengajaknya untuk menonton film dan makan malam di luar.
“Nggak
usah! Langsung ketemu aja.” Jawabnya cepat. Keningku berkerut mendengar
jawabannya itu. Mana ada orang janjian malam mingguan tapi yang cowok nggak
jemput ceweknya. Bukannya kayak gitu ya seharusnya orang-orang yang pacaran
pada umumnya? Janjian di suatu tempat, yang cewek nunggu cowoknya jemput, trus
perginya bareng-bareng.
“Kenapa?”
Tanyaku penasaran.
“Hmmm…
papaku galak!” Jawabnya cepat. “Tenang aja.. aku nggak…” baru saja aku hendak
menyuarakan pendapatku, Anya sudah memotongnya terlebih dahulu.
“Kamu
udah di jalan?” Tanyanya memotong ucapanku. Hahaha… dalam hati aku tertawa.
Sepertinya ia malu dengan fakta yang baru saja ia beberkan entah secara sengaja
atau tidak itu.
“Iya.”
Jawabku kalem. “Kamu udah siap-siap? Atau udah di jalan juga?” Tanyaku.
“Udah
mau jalan kok. Udah ya. Matiin aja. Nanti ketemu disana trus ngobrol. Bahaya
ngangkat telepon sambil bawa motor.” Jawabnya sambil menutup sambungan telepon.
****
ANYA POV
Aduh
Anya bodooooohhhh!!!! Kenapa aku harus memberikan alasan memalukan itu untuk
menolak tawaran Nugrah untuk menjemputku tadi? Papaku galak!!! Astaga! Alasan
apa itu? Aku sudah umur berapa sampai-sampai Papa harus melarangku bepergian
dengan seorang laki-laki? Lagipula lampu hijau sudah papa nyalakan dan
proklamirkan…
Ah
tapi sudahlah. Lebih baik aku segera berangkat agar Nugrah tidak menunggu lama.
Aku tidak ingin memberikan kesan bahwa aku ini cewek ngaret baginya. Dengan cepat ku sambar tas selempangku yang aku
letakkan di atas kasur, menggunakan sepatu keds kebangsaanku dan berangkat
ketika ponselku menjeritkan ringtone tanda
panggilan masuk.
Vira Calling…
Ada
apa nenek sihir ini menelepon malam minggu begini? Apa dia tidak ada acara
dengan pacar barunya itu? Sambil melangkah keluar dari rumah dan menaiki taksi
yang memang sudah aku pesan tadi – yang sudah menunggu di depan rumah, ku
angkat panggilan telepon dari sahabatku itu.
“Kenapa
Vir?” Tanyaku begitu benda persegi panjang itu menempel di salah satu
telingaku.
“To the point banget sih lo? Nggak boleh
ya gue nelpon lo?!” Ambeknya kesal. Ya elah ni anak.
“Bukan
gituuuu…. Tapi ini kan malam minggu. Emang lo nggak ada acara sama siapa tuh…
pacar baru lo itu.” Bujukku memberi alasan karena memang itu alasannya.
“Nah
justru itu Mbak gue nelpon lo.” Ungkapnya mengemukakan alasannya menghubunigku.
“Mbak…Mbak…
lo kate gue tukang jamu?!” Sungutku kesal. Di seberang ia hanya tertawa ngakak.
“Emang ada apa?” Tanyaku.
“Gini
nih sobatku sayang. Gue janjian sama Riska.”
“Trus?”
“Nah
gue sama Riska ada rencana buat jalan-jalan nih. Lo ikut nggak? Ikut aja
yaaaa…. Nggak seru kalo nggak ada lo Nya. Sekalian gue mau ngenalin lo sama
Fikram. Tadi aja lo masih lupa namanya padahal udah pernah gue kasih tahu. Lo
kan sobat gue, masa lo nggak kenal pacar gue?! Ya!? Kita rencananya mau
nongkrong di café. Ini gue lagi di jalan sama Fikram. Dianya lagi nyetir. Riska
juga udah di jalan kok sama Dirga.” Cerocos Vira panjang lebar.
“Maksud
lo, elo sama Riska janjian buat double
date gitu? Trus gue ngapain di antara lo berempat!? Jadi tukang ngipasin
nyamuk?!” Gerutuku kesal. Enak saja mereka berniat untuk menjadikanku Kambing
Congek dalam kehidupan asmara mereka.
“Ya
ampun Nya. Nggak mungkinlah kita kayak gitu sama lo. Chandra juga ikut kok.
Wika juga kayaknya bakal ikut. Siapa tahu lo bisa curi kesempatan buat deketin
cinta pertama lo itu.” Jelas Vira santai.
“Eh
Mak Lampir, lo pikir dong. Wika itu ceweknya segudang. Mana mau dia jalan-jalan sama orang nggak jelas.
Mending di kencan sama pacar-pacarnya yang seabrek itu. Lagian gue juga udah
sama Nugrah. Mana bisa? Paling nggak sampe ulag tahunnya lewat.” Ups! Aku
keceplosan. Sepertinya aku harus siap-siap memeriksakan telingaku ke THT nanti
karena bisa dipastikan….
“WHATTTT????”
Nah kan? Vira sudah mencak-mencak di
seberang. “LO UDAH JADIAN SAMA SI NUGRAH NUGRAH ITU DAN LO NGGAK NGASIH TAHU
GUE??? DIMANA RASA KESETIAKAWANAN LO NYA?” Teriaknya seperti orang kesetanan.
Di seberang terdengar suara seorang laki-laki yang menegurnya untuk jangan
teriak-teriak. Sepertinya itu Fikram. Vira hanya meringis dan berkata “sorry” pada pacarnya itu.
“Kok
lo nggak cerita sih Nya?” Tanyanya lagi. Kali ini dengan nada suara yang lebih
pelan dan lembut dari sebelumnya. Tapi tetap saja ia terdengar sangat
penasaran.
“Bukan
jadian dalam arti yang sebenarnya juga kan Vir. Jadi apa istimewanya?” Jawabku
lesu.
“Iya
sih. Eh tapi lo ikut kan?” Tanyanya lagi. Dengan sangat terpaksa aku menolak
ajakannya itu dengan alasan ada beberapa ujian anak-anak didikku yang harus aku
periksa karena hari Senin nanti harus aku bagikan. Aku sudah terlanjur janjian
dengan Nugrah. Bagaimana bisa aku membatalkannya begitu saja?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar