Catatan harian yang semakin renta dan tua

Minggu, 16 Februari 2014

It's Destiny #8

            Permintaan mama. Mungkin inilah jalannya. Aku membutuhkannya setidaknya untuk saat ini. Dan karena itulah, permintaan mama yang sebenarnya bisa saja tak aku tanggapi – aku coba untuk penuhi. Siang tadi, selepas bel pulang aku sengaja menunggunya di depan gerbang sekolah. Hari ini ia memiliki jadwal mengajar di kelasku pada saat pelajaran terakhir. Aku tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku harus meraihnya. Sekalipun aku harus ‘menjual’ nama mama.

Dengan berbekal nomor teleponnya yang aku dapatkan dari hasil investigasi Fahri, aku menghubunginya. Sekedar untuk memintanya untuk jangan pulang dulu, karena ada hal penting yang ingin aku bicarakan. Sengaja aku mengatakan bahwa hal ini penting, walaupun sebenarnya tidak baginya. Apa hubungannya permintaan mama dengannya? Tepat seperti dugaanku. Walaupun akhir-akhir ini ia sering terlihat mencari-cari keberadaanku, ia sama sekali tidak menganggap permintaanku padanya untuk menjadi pacarnya tempo hari – serius. Buktinya, ia masih bisa mengajar dengan tenang di kelas, bahkan menegur, memarahi dan menghukumku jika aku berbuat kesalahan. Hari ini saja ia memberiku tugas untuk membuat makalah dengan judul Perkembangan Pendidikan di Indonesia dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai hukuman karena aku tidak memperhatikan penjelasannya, hanya bercanda dan bahkan sampai tidur saat kelas sedang berlangsung. Aku akui. Aku cukup terkesan dengannya. Ia adalah guru pertama yang berani menegur bahkan memberi hukuman padaku karena kebiasaaanku tidur di kelas yang memang sudah mencapai taraf mengkhawatirkan.

            Dengan pasti ia menemuiku di depan gerbang saat sekolah sudah sepi. Aku memang sengaja memintanya untuk datang saat anak-anak sudah pulang untuk menghindari mata dan kuping tidak bertanggung jawab yang tak sengaja atau bahkan sengaja melihat kami. Ku ajak ia berjalan-jalan sebentar kemudian mencari makan menggunakan motor besar hitamku. Awalnya ia ragu, tapi berbekal kemampuan ‘memaksaku’ aku berhasil membujuknya untuk ikut denganku. Kuutarakan ‘permintaan tolongku’ sambil menyantap makan siangku. Hmmm… makan sore sih sebenarnya. Ia tampak kaget mendengarnya. Sangat kaget bahkan. Tapi aku berpura-pura tidak tahu saja. Lagipula disini aku mengatakan bahwa aku hanya minta tolong. Hanya untuk sementara…

Ia tidak memberikan jawaban. Hanya diam sambil menatap makanannya yang saat itu sudah tidak disentuhnya lagi. Mungkin bingung harus bagaimana. Terang saja ia bingung. Bagaimana bisa hal seperti ini disebut permintaan tolong?!

“Ibu udah punya pacar?” Tanyaku.

“Eh?...” Lagi-lagi ia tergagap. Kebiasaannya yang mungkin sudah mengakar. Tergagap dulu sebelum bisa menjawab pertanyaan yang diajukan dengan benar.

“Iya. Ibu udah punya pacar?” Tanyaku lagi.

“Nggak ada.” Jawabnya sekenanya.

“Jadi Ibu mau dong bantuin saya.” Desakku.

“Hmmm… bukan begitu Nugrah. Cuma… kamu tahu sendiri kan saya ini siapa dan kamu siapa?” Oh jadi begitu. Masalah status.

“Ya apa masalahnya? Lagipula ini nggak ada hubungannya sama pihak sekolah. Mau saya pacaran sama siapa, Ibu pacaran sama siapa, sekolah nggak ada hak buat ngatur.”

“Jelas ada Nugrah. Saya ini guru kamu. Kamu murid saya. Apa kata orang-orang nanti.” Yah perempuan memang dimana-mana suka ribet. Melulu memikirkan pendapat orang lain.

“Jadi kesimpulannya Ibu sebenarnya mau bantuin saya tapi Ibu nggak berani karena terhalang status, begitu?” Skakmat!! Ia masuk perangkapku. Aku yakin sebenarnya ia ingin menolak permintaanku tapi tidak tahu dengan cara yang bagaimana.

“Bukan… maksud saya…”

“Gampang aja. Kita bisa merahasiakannya.”  Sergahku cepat.“Please…” Pintaku sambil memelas. “Cuma untuk sementara…”

****
Telah ku coba tuk meraihmu
Menggapai jiwamu, berharap hatimu kan berpaling dan terpaut untukku
Tapi kenyataannya sungguh berbeda
Aku tak mampu
Hatimu telah direbut olehnya…
Perasaanmu telah terlalu dalam…
Padanya yang tidak bisa kau tinggalkan
Padanya yang tidak bisa ku gantikan
Padanya yang tak bisa ku tandingi
Ku hanya bisa turut berharap… suatu saat nanti… ia kan mengerti…

            Kembali. Ku tatapi kamar tetangga sekaligus sahabatku. Lampu kamarnya belum padam. Ada ada dengannya? Kenapa ia belum tidur? Aku sangat mengenalnya. Aku sudah terlanjur hafal kebiasaannya. Ia paling tidak bisa tidur lewat tengah malam seperti ini. Matanya tidak mampu ‘melek’ bahkan hanya sampai jam 11 malam. Apa ia punya masalah? Atau ia sedang sibuk memeriksa hasil pekerjaan rumah para muridnya? Astaga!! Aku hampir lupa. Saat ini ia adalah seorang pengajar. Seorang guru. Impiannya sejak dulu. Ia pasti sangat sibuk sampai tidak sadar bahwa hari sudah hampir pagi. Haruskah aku menghubunginya? Ah tidak! Itu hanya akan mengganggu. Sebaiknya jangan. Aku bisa menemuinya besok. Lagipula ia baru saja pulang dari rumahku beberapa jam lalu. Aku harus bilang apa jika aku menghubunginya? Kangen? Hh.. jangan mimpi! Sudah ada yang memiliki hatinya. Dan itu bukan aku… 

****
            Sebaiknya aku meminta pendapat orang lain. Tapi siapa? Chani? Tidak mungkin. Ia pasti akan mencak-mencak jika mendengarnya. Wika? Lebih tidak mungkin lagi. Ia pati akan langsung mencari Nugrah dan memberinya ‘hadiah’. Sejak dulu Wika memang selalu berusaha menjodohkan aku dengan Chani. Mama dan Papa? Mana mungkin, Vira? Ya Vira. Sepertinya aku harus minta pendapatnya. Meskipun aku ragu apakah ia bisa diandalkan atau tidak.

Dengan pertimbangan semoga saja Vira bisa memberi solusi, akhirnya aku memutuskan untuk menghubunginya dan memintanya untuk bertemu.

“Anya…” Panggil sebuah suara. Ku tolehkan pandanganku ke arah pintu masuk foodcourt di salah satu mall yang ada di Yogyakarta. Vira. Ia datang bersama Riska. Dengan senyum yang terpampang di wajah keduanya, mereka menghampiriku. Sepertinya hari-hari mereka tak seburuk diriku. Ku berikan sebentuk senyum dan memeluk mereka berdua.

“Ya ampun…kangan banget… Kok lo kurusan sih Nya?” Komentar Vira. Aku hanya tersenyum dan kembali duduk.

“Apa kabar Vir, Ris?” Tanyaku sekedar berbasa-basi.

“Alhamdulllah baik.” Jawab keduanya serempak. Beberapa menit kemudian kami larut dalam obrolan tentang berbagai macam hal. Entah itu tentang kerinduan kami terhadap suasana kampus, kelas, serta teman-teman atau tentang aktivitas dan status baru yang baru hampir sebulan ini kami jalani.

“Oh iya Nya. Lo kesini sama siapa?” Tanya Riska.

“Sendiri. Nggak mungkin kan gue minta anter Tio.” Jawabku.

“Masa sih? Cowok lo?” Tanya Vira.

“Cowok? Emang sejak kapan gue cerita sama lo gue ada cowok? Emang lo berdua sendiri dateng bareng siapa?”

“Gue sama Dirga tadi. Tapi dianya udah balik lagi ke RS. Kebetulan aja ketemu nih anak di pintu masuk.” Jawab Riska. Aku tidak heran. Riska ke mana-mana pasti selalu diantar Dirga, pacarnya sejak SMA yang kini magang di RS yang sama dengan Chani.

“Nah lo?” Tanyaku sambil berpaling menatap Vira. Yang ditanya malah asyik senyam-senyum entah apa artinya dan menaik-naikkan alisnya.

“Kesambet lo!” Tegurku.

“Kasamaran, tepatnya.” Timpal Riska.

“Maksud lo?” Tanyaku tak mengerti.

“Gue tadi sama cowok gue.” Jawab Vira.

“Cowok lo? Sejak kapan lo punya cowok?” Tanyaku tak percaya. Secara, sejak SMA ia sudah naksir berat pada sahabatku – Chani. “Lo tadi kesini diantar Chani?” Tanyaku lagi. Mungkin saja ia sudah jadian dengan Chani tanpa sepengetahuanku. Aku harus minta PJ kalau begitu.

“Kata siapa gue sama Chani? Gue sama cowok gue. Namanya Fikram. Anak magang juga sih. Tapi dari MIPA.” Jawabnya.

“Anak kampus kita juga?” Tanyaku. “Kok lo nggak pernah cerita?”

“Jadiannya juga baru seminggu ini. Lagian gue tau lo sibuk, jadi nggak punya waktu ngurusin yang beginian.” Jawab Vira.

“Bener banget.” Riska menimpali. “Eh betewe kayak kata nih anak tadi, lo itu sibuk, ngapain lo tumben-tumbenan ngajakin ketemuan? Pasti ada hal yang penting dong.” Sambungnya.

“Emang gue nggak boleh ketemuan sama lo berdua kalo nggak ada yang penting, gitu?”

“Ya nggak gitu… sensi amat sih? PMS ya…

“Penting nggak penting sih sebenernya.” Jawabku memulai alasan kenapa tiba-tiba aku mengajak mereka untuk bertemu.

“Apaan?” Tanya Vira. Dengan wajah khas orang galau kuceritakan semua tentang Nugrah. Semua hal yang aku ketahui tentangnya selama aku mengajar di SMA 4, sekaligus permintaan ‘tolongnya’ beberapa hari yang lalu. Vira dan Riska hanya mendengarkan tanpa berkomentar sama sekali, menunggu aku menyelesaikan ceritaku. “Menurut lo gue harus gimana?” Tanyaku. 

“Intinya cuma satu. Lo mau nggak bantuin dia?” Tanya Vira.

“Gue bingung Viraaa… Kalo nggak, nggak mungkin gue minta pendapat lo berdua.” Jawabku dengan tampang kesal.

“Terima ajalah Nya… Cuma sementara, kan?” Saran Riska.

“Atas dasar apa lo nyaranin kayak gitu?” Tanya Vira mewakili pertanyaanku.

“Gini ya. Elo udah terlalu lama stuck sama Wika. Gila!! Enam tahun Nya lo mendam perasaan lo sama dia dengan harapan dia bakal berubah dan ngeliat lo. Tapi apa? Mana? Sampe sekarang tuh anak gitu-gitu aja. Bahkan lo juga pasti nggak lupa kalo sampe sekarang dia masih berusaha buat ngejodohin lo sama Chandra.” Jelas Riska panjang lebar.

“Jadi?” Tanyaku lagi.

“Disini anggaplah lo sama tuh cowok sama-sama butuh bantuan. Tuh cowok butuh bantuan lo buat nyenengin nyokapnya, elo butuh tuh cowok buat bantu lo move on dari Wika. Bedanya tuh cowok ngutarain permintaan tolongnya dan elo nggak.”

“Kenapa harus dia? Kenapa nggak Chani? Chani lebih dewasa, dibanding dia yang masih anak-anak.”

“Chandra – nggak mungkin. Lo nggak bakalan bisa move on. Yang ada lo semakin ngarepin Wika. Hubungan Chandra dan Wika bukan hanya sekedar hubungan pertemanan kayak Dirga sama Chandra, atau persahabatan kayak lo sama kita. Beda. Mereka kakak adek. Yang ada lo bakalan terus ngeliat bayangan Wika dalam diri Chandra. Dan itu bakalan nyakitin.”

“Pengalaman ya Jeng. Kok pinter banget dalam hal kayak gini?” Celetuk Vira yang sedari tadi fokus mendengarkan penuturan Riska. Yang ditanya hanya tersenyum. Bangga.

“Tapi kalo dia cuma main-main gimana? Dia kan masih anak kecil.” Aku tidak menyangka mendapat saran seperti ini.

“Ini kan emang cuma main-main. Cuma sementara. Malah lebih bagus, kan. Nantinya pas lo berdua harus ngelepasin satu sama lain, jatohnya nggak akan sakit. Karena ini cuma main. Cuma sekedar pura-pura. Nggak ada unsur perasaan sama sekali. Lagian cuma sampe dia ulang tahun, kan?” Aku mengangguk lemah.

“Dan jangan lupa Nya. Lo sama dia sama. Sama-sama masih anak kecil. Tingkat pendidikan lo aja yang lebih tinggi. Dan lo pinter. Dianya gue nggak tahu. Kita cuma nagsih saran sebagai sahabat dan orang yang lebih tua dari lo.”

“Gue nggak suka kalimat terakhir lo!” Timpal Vira. Aku hanya tersenyum.

“Anaknya pinter kok.” Jawabku. Aku ingat dengan PR makalah yang aku berikan padanya yang dibuat tanpa kesalahan dalam hal Grammar itu. Meskipun masih ada beberapa bagian yang harus diperbaiki.

“Malah lebih bagus, kan? Setidaknya dia nggak bego.”

“Gue setuju sama pendapat Riska. Anaknya ganteng juga kan tadi lo bilang. Meskipun gue nggak yakin bisa lebih ganteng dari Fikram.” Sambung Vira sambil nyengir.

“Tajir pula…”

“Gitu yaaa?”… Oh Tuhan… Semoga aku tidak salah memutuskan.

****
            Ini sudah hari ketiga sejak pertemuan kami. Ia memang meminta waktu untuk berpikir. Entah kenapa rasanya berat sekali untuk meminta permintaanku. Padahal aku yakin, jika aku memintanya pada orang lain, dalam hitungan detik mereka akan langsung menyetujui permintaanku. Bagaimana tidak? Menjadi pacar seorang Nugrah bukan sebuah kerugian. Kamu akan bisa mendapatkan apa yang kamu mau minus kasetiaan.

Saatnya menagih jawaban. Aku memintanya untuk menemuiku hari ini di salah satu taman kota. Semoga aja ia datang. Entah bagaimana jika ia tidak datang. Aku pun tak mengerti, kenapa aku ingin sekali memilikinya walau hanya sebentar. Yang pasti, aku sama sekali tidak memiliki perasaan apa-apa terhadapnya. Hanya sekedar ingin memiliki. Tidak lebih.

“Hai…” Sapaku. Ternyata ia sudah sampai lebih dulu.

“Hai…” Jawabnya sambil tersenyum kikuk. Ku amati penampilannya. Tidak buruk.. Hanya saja kurang feminin untuk ukuran penampilan seorang perempuan. Tapi tidak apa-apa.

“Udah lama. Bu?” Tanyaku sambil mendudukkan diriku tepat disampingnya. 

“Baru kok.” Jawabnya singkat.

Lima belas menit tidak ada yang bicara. Ia hanya menatap danau di depan kami, sambil sesekali menatap sekeliling dan tersenyum padaku. Sepertinya aku yang harus memulainya jika tidak ingin bertahan disini sampai minggu depan.

“Jadi?” Tanyaku to the point.

“Jadi… apa?” Tanyanya balik. Oh Tuhan!! Ternyata ia lebih tulalit dari yang aku kira.

“Jadi Ibu bersedia membantu saya?” Tanyaku seformal mungkin. Ia diam sejenak, kemudian mengangguk perlahan.

Thank’s God! “Terima kasih.” Ucapku sambil tersenyum lega. Entah lega karena apa.

“Sama-sama.” Jawabnya.

Hening. Tak ada lagi yang membuka suara.

“Mau langsung pulang aja atau makan dulu?” Tanyaku memecah kesunyian. Aku tidak bisa lama-lama. Masih banyak urusan yang harus aku selesaikan. Salah satunya dalah hubunganku dengan beberapa perempuan yang ada di luar sana. Aku sudah bertekad tak akan mempunyai hubungan dengan siapapun kecuali dengan Anya sampai ulang tahunku berakhir. Setidaknya aku harus menghindari masalah untuk saat ini.

“Pulang aja.” Jawabnya singkat.

“Aku anter?” Tanyaku. Ia tak menjawab. Hanya berpaling menatapku. “Kalau di luar sekolah ngomongnya pake aku kamu, boleh nggak?” Tanyaku hati-hati,

“Boleh.” Jawabnya lebih singkat dari sebelumnya.

“Aku anter, mau?” Tanyaku lagi.

“Nggak usah. Aku pulang sendiri aja.”

“Pulangnya naik apa?”

“Bus.”

“Yuk aku cariin taksi.” Ucapku sambil melangkah meninggalkannya di belakang. “Nggak usah.” Tolaknya lagi sambil mencekal lengan kiriku. Langkahku terhenti.

“Maaf.” Ucapnya sambil melepas cekalannya.

“Nggak papa.” Jawabku sambil tersenyum. “Yuk?!” Ajakku sambil menggenggam tangannya dan berjalan untuk mencari taksi.

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar