Permintaan mama. Mungkin inilah
jalannya. Aku membutuhkannya setidaknya untuk saat ini. Dan karena itulah,
permintaan mama yang sebenarnya bisa saja tak aku tanggapi – aku coba untuk
penuhi. Siang tadi, selepas bel pulang aku sengaja menunggunya di depan gerbang
sekolah. Hari ini ia memiliki jadwal mengajar di kelasku pada saat pelajaran
terakhir. Aku tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku harus meraihnya.
Sekalipun aku harus ‘menjual’ nama mama.
Dengan
berbekal nomor teleponnya yang aku dapatkan dari hasil investigasi Fahri, aku
menghubunginya. Sekedar untuk memintanya untuk jangan pulang dulu, karena ada
hal penting yang ingin aku bicarakan. Sengaja aku mengatakan bahwa hal ini
penting, walaupun sebenarnya tidak baginya. Apa hubungannya permintaan mama
dengannya? Tepat seperti dugaanku. Walaupun akhir-akhir ini ia sering terlihat
mencari-cari keberadaanku, ia sama sekali tidak menganggap permintaanku padanya
untuk menjadi pacarnya tempo hari – serius. Buktinya, ia masih bisa mengajar
dengan tenang di kelas, bahkan menegur, memarahi dan menghukumku jika aku
berbuat kesalahan. Hari ini saja ia memberiku tugas untuk membuat makalah
dengan judul Perkembangan Pendidikan di Indonesia dengan menggunakan bahasa
Inggris sebagai hukuman karena aku tidak memperhatikan penjelasannya, hanya
bercanda dan bahkan sampai tidur saat kelas sedang berlangsung. Aku akui. Aku
cukup terkesan dengannya. Ia adalah guru pertama yang berani menegur bahkan
memberi hukuman padaku karena kebiasaaanku tidur di kelas yang memang sudah
mencapai taraf mengkhawatirkan.
Dengan pasti ia menemuiku di depan
gerbang saat sekolah sudah sepi. Aku memang sengaja memintanya untuk datang
saat anak-anak sudah pulang untuk menghindari mata dan kuping tidak bertanggung
jawab yang tak sengaja atau bahkan sengaja melihat kami. Ku ajak ia berjalan-jalan
sebentar kemudian mencari makan menggunakan motor besar hitamku. Awalnya ia
ragu, tapi berbekal kemampuan ‘memaksaku’ aku berhasil membujuknya untuk ikut
denganku. Kuutarakan ‘permintaan tolongku’ sambil menyantap makan siangku.
Hmmm… makan sore sih sebenarnya. Ia tampak kaget mendengarnya. Sangat kaget
bahkan. Tapi aku berpura-pura tidak tahu saja. Lagipula disini aku mengatakan
bahwa aku hanya minta tolong. Hanya untuk sementara…
Ia
tidak memberikan jawaban. Hanya diam sambil menatap makanannya yang saat itu
sudah tidak disentuhnya lagi. Mungkin bingung harus bagaimana. Terang saja ia
bingung. Bagaimana bisa hal seperti ini disebut permintaan tolong?!
“Ibu
udah punya pacar?” Tanyaku.
“Eh?...”
Lagi-lagi ia tergagap. Kebiasaannya yang mungkin sudah mengakar. Tergagap dulu
sebelum bisa menjawab pertanyaan yang diajukan dengan benar.
“Iya.
Ibu udah punya pacar?” Tanyaku lagi.
“Nggak
ada.” Jawabnya sekenanya.
“Jadi
Ibu mau dong bantuin saya.” Desakku.
“Hmmm…
bukan begitu Nugrah. Cuma… kamu tahu sendiri kan saya ini siapa dan kamu
siapa?” Oh jadi begitu. Masalah status.
“Ya
apa masalahnya? Lagipula ini nggak ada hubungannya sama pihak sekolah. Mau saya
pacaran sama siapa, Ibu pacaran sama siapa, sekolah nggak ada hak buat ngatur.”
“Jelas
ada Nugrah. Saya ini guru kamu. Kamu murid saya. Apa kata orang-orang nanti.”
Yah perempuan memang dimana-mana suka ribet. Melulu memikirkan pendapat orang
lain.
“Jadi
kesimpulannya Ibu sebenarnya mau bantuin saya tapi Ibu nggak berani karena
terhalang status, begitu?” Skakmat!! Ia masuk perangkapku. Aku yakin sebenarnya
ia ingin menolak permintaanku tapi tidak tahu dengan cara yang bagaimana.
“Bukan…
maksud saya…”
“Gampang
aja. Kita bisa merahasiakannya.” Sergahku cepat.“Please…” Pintaku sambil
memelas. “Cuma untuk sementara…”
****
Telah
ku coba tuk meraihmu
Menggapai
jiwamu, berharap hatimu kan berpaling dan terpaut untukku
Tapi
kenyataannya sungguh berbeda
Aku
tak mampu
Hatimu
telah direbut olehnya…
Perasaanmu
telah terlalu dalam…
Padanya
yang tidak bisa kau tinggalkan
Padanya
yang tidak bisa ku gantikan
Padanya
yang tak bisa ku tandingi
Ku
hanya bisa turut berharap… suatu saat nanti… ia kan mengerti…
Kembali. Ku tatapi kamar tetangga
sekaligus sahabatku. Lampu kamarnya belum padam. Ada ada dengannya? Kenapa ia
belum tidur? Aku sangat mengenalnya. Aku sudah terlanjur hafal kebiasaannya. Ia
paling tidak bisa tidur lewat tengah malam seperti ini. Matanya tidak mampu
‘melek’ bahkan hanya sampai jam 11 malam. Apa ia punya masalah? Atau ia sedang
sibuk memeriksa hasil pekerjaan rumah para muridnya? Astaga!! Aku hampir lupa.
Saat ini ia adalah seorang pengajar. Seorang guru. Impiannya sejak dulu. Ia
pasti sangat sibuk sampai tidak sadar bahwa hari sudah hampir pagi. Haruskah
aku menghubunginya? Ah tidak! Itu hanya akan mengganggu. Sebaiknya jangan. Aku
bisa menemuinya besok. Lagipula ia baru saja pulang dari rumahku beberapa jam
lalu. Aku harus bilang apa jika aku menghubunginya? Kangen? Hh.. jangan mimpi!
Sudah ada yang memiliki hatinya. Dan itu bukan aku…
****
Sebaiknya aku meminta pendapat orang
lain. Tapi siapa? Chani? Tidak mungkin. Ia pasti akan
mencak-mencak jika mendengarnya. Wika? Lebih tidak mungkin lagi. Ia pati akan
langsung mencari Nugrah dan memberinya ‘hadiah’. Sejak dulu Wika memang selalu
berusaha menjodohkan aku dengan Chani. Mama dan Papa? Mana mungkin, Vira? Ya
Vira. Sepertinya aku harus minta pendapatnya. Meskipun aku ragu apakah ia bisa
diandalkan atau tidak.
Dengan
pertimbangan semoga saja Vira bisa memberi solusi, akhirnya aku memutuskan
untuk menghubunginya dan memintanya untuk bertemu.
“Anya…”
Panggil sebuah suara. Ku tolehkan pandanganku ke arah pintu masuk foodcourt di
salah satu mall yang ada di Yogyakarta. Vira. Ia datang bersama Riska. Dengan
senyum yang terpampang di wajah keduanya, mereka menghampiriku. Sepertinya
hari-hari mereka tak seburuk diriku. Ku berikan sebentuk senyum dan memeluk
mereka berdua.
“Ya
ampun…kangan banget… Kok lo kurusan sih Nya?” Komentar Vira. Aku hanya
tersenyum dan kembali duduk.
“Apa
kabar Vir, Ris?” Tanyaku sekedar berbasa-basi.
“Alhamdulllah
baik.” Jawab keduanya serempak. Beberapa menit kemudian kami larut dalam
obrolan tentang berbagai macam hal. Entah itu tentang kerinduan kami terhadap
suasana kampus, kelas, serta teman-teman atau tentang aktivitas dan status baru
yang baru hampir sebulan ini kami jalani.
“Oh
iya Nya. Lo kesini sama siapa?” Tanya Riska.
“Sendiri.
Nggak mungkin kan gue minta anter Tio.” Jawabku.
“Masa
sih? Cowok lo?” Tanya Vira.
“Cowok?
Emang sejak kapan gue cerita sama lo gue ada cowok? Emang lo berdua sendiri
dateng bareng siapa?”
“Gue
sama Dirga tadi. Tapi dianya udah balik lagi ke RS. Kebetulan aja ketemu nih
anak di pintu masuk.” Jawab Riska. Aku tidak heran. Riska ke mana-mana pasti selalu
diantar Dirga, pacarnya sejak SMA yang kini magang di RS yang sama dengan
Chani.
“Nah
lo?” Tanyaku sambil berpaling menatap Vira. Yang ditanya malah asyik
senyam-senyum entah apa artinya dan menaik-naikkan alisnya.
“Kesambet
lo!” Tegurku.
“Kasamaran,
tepatnya.” Timpal Riska.
“Maksud
lo?” Tanyaku tak mengerti.
“Gue
tadi sama cowok gue.” Jawab Vira.
“Cowok
lo? Sejak kapan lo punya cowok?” Tanyaku tak percaya. Secara, sejak SMA ia
sudah naksir berat pada sahabatku – Chani. “Lo tadi kesini diantar Chani?” Tanyaku
lagi. Mungkin saja ia sudah jadian dengan Chani tanpa sepengetahuanku. Aku
harus minta PJ kalau begitu.
“Kata
siapa gue sama Chani? Gue sama cowok gue. Namanya Fikram. Anak magang juga sih.
Tapi dari MIPA.” Jawabnya.
“Anak
kampus kita juga?” Tanyaku. “Kok lo nggak pernah cerita?”
“Jadiannya
juga baru seminggu ini. Lagian gue tau lo sibuk, jadi nggak punya waktu
ngurusin yang beginian.” Jawab Vira.
“Bener
banget.” Riska menimpali. “Eh betewe kayak kata nih anak tadi, lo itu
sibuk, ngapain lo tumben-tumbenan ngajakin ketemuan? Pasti ada hal yang penting
dong.” Sambungnya.
“Emang
gue nggak boleh ketemuan sama lo berdua kalo nggak ada yang penting, gitu?”
“Ya
nggak gitu… sensi amat sih? PMS ya…
“Penting
nggak penting sih sebenernya.” Jawabku memulai alasan kenapa tiba-tiba aku
mengajak mereka untuk bertemu.
“Apaan?”
Tanya Vira. Dengan wajah khas orang galau kuceritakan semua tentang Nugrah.
Semua hal yang aku ketahui tentangnya selama aku mengajar di SMA 4, sekaligus
permintaan ‘tolongnya’ beberapa hari yang lalu. Vira dan Riska hanya
mendengarkan tanpa berkomentar sama sekali, menunggu aku menyelesaikan
ceritaku. “Menurut lo gue harus gimana?” Tanyaku.
“Intinya
cuma satu. Lo mau nggak bantuin dia?” Tanya Vira.
“Gue
bingung Viraaa… Kalo nggak, nggak mungkin gue minta pendapat lo berdua.”
Jawabku dengan tampang kesal.
“Terima
ajalah Nya… Cuma sementara, kan?” Saran Riska.
“Atas
dasar apa lo nyaranin kayak gitu?” Tanya Vira mewakili pertanyaanku.
“Gini
ya. Elo udah terlalu lama stuck sama Wika. Gila!! Enam tahun Nya lo
mendam perasaan lo sama dia dengan harapan dia bakal berubah dan ngeliat lo.
Tapi apa? Mana? Sampe sekarang tuh anak gitu-gitu aja. Bahkan lo juga pasti
nggak lupa kalo sampe sekarang dia masih berusaha buat ngejodohin lo sama
Chandra.” Jelas Riska panjang lebar.
“Jadi?”
Tanyaku lagi.
“Disini
anggaplah lo sama tuh cowok sama-sama butuh bantuan. Tuh cowok butuh bantuan lo
buat nyenengin nyokapnya, elo butuh tuh cowok buat bantu lo move on dari
Wika. Bedanya tuh cowok ngutarain permintaan tolongnya dan elo nggak.”
“Kenapa
harus dia? Kenapa nggak Chani? Chani lebih dewasa, dibanding dia yang masih
anak-anak.”
“Chandra
– nggak mungkin. Lo nggak bakalan bisa move on. Yang ada lo semakin
ngarepin Wika. Hubungan Chandra dan Wika bukan hanya sekedar hubungan
pertemanan kayak Dirga sama Chandra, atau persahabatan kayak lo sama kita.
Beda. Mereka kakak adek. Yang ada lo bakalan terus ngeliat bayangan Wika dalam
diri Chandra. Dan itu bakalan nyakitin.”
“Pengalaman
ya Jeng. Kok pinter banget dalam hal kayak gini?” Celetuk Vira yang sedari tadi
fokus mendengarkan penuturan Riska. Yang ditanya hanya tersenyum. Bangga.
“Tapi
kalo dia cuma main-main gimana? Dia kan masih anak kecil.” Aku tidak menyangka
mendapat saran seperti ini.
“Ini
kan emang cuma main-main. Cuma sementara. Malah lebih bagus, kan. Nantinya pas
lo berdua harus ngelepasin satu sama lain, jatohnya nggak akan sakit. Karena
ini cuma main. Cuma sekedar pura-pura. Nggak ada unsur perasaan sama sekali. Lagian
cuma sampe dia ulang tahun, kan?” Aku mengangguk lemah.
“Dan
jangan lupa Nya. Lo sama dia sama. Sama-sama masih anak kecil. Tingkat
pendidikan lo aja yang lebih tinggi. Dan lo pinter. Dianya gue nggak tahu. Kita
cuma nagsih saran sebagai sahabat dan orang yang lebih tua dari lo.”
“Gue
nggak suka kalimat terakhir lo!” Timpal Vira. Aku hanya tersenyum.
“Anaknya
pinter kok.” Jawabku. Aku ingat dengan PR makalah yang aku berikan padanya yang
dibuat tanpa kesalahan dalam hal Grammar itu. Meskipun masih ada beberapa
bagian yang harus diperbaiki.
“Malah
lebih bagus, kan? Setidaknya dia nggak bego.”
“Gue
setuju sama pendapat Riska. Anaknya ganteng juga kan tadi lo bilang. Meskipun
gue nggak yakin bisa lebih ganteng dari Fikram.” Sambung Vira sambil nyengir.
“Tajir
pula…”
“Gitu
yaaa?”… Oh Tuhan… Semoga aku tidak salah memutuskan.
****
Ini sudah hari ketiga sejak
pertemuan kami. Ia memang meminta waktu untuk berpikir. Entah kenapa rasanya
berat sekali untuk meminta permintaanku. Padahal aku yakin, jika aku memintanya
pada orang lain, dalam hitungan detik mereka akan langsung menyetujui
permintaanku. Bagaimana tidak? Menjadi pacar seorang Nugrah bukan sebuah
kerugian. Kamu akan bisa mendapatkan apa yang kamu mau minus kasetiaan.
Saatnya
menagih jawaban. Aku memintanya untuk menemuiku hari ini di salah satu taman
kota. Semoga aja ia datang. Entah bagaimana jika ia tidak datang. Aku pun tak
mengerti, kenapa aku ingin sekali memilikinya walau hanya sebentar. Yang pasti,
aku sama sekali tidak memiliki perasaan apa-apa terhadapnya. Hanya sekedar
ingin memiliki. Tidak lebih.
“Hai…”
Sapaku. Ternyata ia sudah sampai lebih dulu.
“Hai…”
Jawabnya sambil tersenyum kikuk. Ku amati penampilannya. Tidak buruk.. Hanya
saja kurang feminin untuk ukuran penampilan seorang perempuan. Tapi tidak
apa-apa.
“Udah
lama. Bu?” Tanyaku sambil mendudukkan diriku tepat disampingnya.
“Baru
kok.” Jawabnya singkat.
Lima
belas menit tidak ada yang bicara. Ia hanya menatap danau di depan kami, sambil
sesekali menatap sekeliling dan tersenyum padaku. Sepertinya aku yang harus
memulainya jika tidak ingin bertahan disini sampai minggu depan.
“Jadi?”
Tanyaku to the point.
“Jadi…
apa?” Tanyanya balik. Oh Tuhan!! Ternyata ia lebih tulalit dari yang aku kira.
“Jadi
Ibu bersedia membantu saya?” Tanyaku seformal mungkin. Ia diam sejenak,
kemudian mengangguk perlahan.
Thank’s
God! “Terima kasih.” Ucapku sambil tersenyum lega. Entah lega
karena apa.
“Sama-sama.”
Jawabnya.
Hening.
Tak ada lagi yang membuka suara.
“Mau
langsung pulang aja atau makan dulu?” Tanyaku memecah kesunyian. Aku tidak bisa
lama-lama. Masih banyak urusan yang harus aku selesaikan. Salah satunya dalah
hubunganku dengan beberapa perempuan yang ada di luar sana. Aku sudah bertekad
tak akan mempunyai hubungan dengan siapapun kecuali dengan Anya sampai ulang
tahunku berakhir. Setidaknya aku harus menghindari masalah untuk saat ini.
“Pulang
aja.” Jawabnya singkat.
“Aku
anter?” Tanyaku. Ia tak menjawab. Hanya berpaling menatapku. “Kalau di luar
sekolah ngomongnya pake aku kamu, boleh nggak?” Tanyaku hati-hati,
“Boleh.”
Jawabnya lebih singkat dari sebelumnya.
“Aku
anter, mau?” Tanyaku lagi.
“Nggak
usah. Aku pulang sendiri aja.”
“Pulangnya
naik apa?”
“Bus.”
“Yuk
aku cariin taksi.” Ucapku sambil melangkah meninggalkannya di belakang. “Nggak
usah.” Tolaknya lagi sambil mencekal lengan kiriku. Langkahku terhenti.
“Maaf.”
Ucapnya sambil melepas cekalannya.
“Nggak
papa.” Jawabku sambil tersenyum. “Yuk?!” Ajakku sambil menggenggam tangannya
dan berjalan untuk mencari taksi.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar