Catatan harian yang semakin renta dan tua

Senin, 24 Februari 2014

,
Sumber Gambar
Happy birthday to you…
Happy birthday to you…
Happy birthday, happy birthday…
Happy birthday Isal…

Happy birthday to you...
You were born in the zoo
With the lion and the tiger
And the mongkey like you….  Eh??? *maap*

TEEEEEEEEEETTT…….TEEEEEEEEETTTT………. *tiup terompet* *tiup peluit* HAPPY BIRTHDAYYYYY…. *tepok Isal pake telur*

Oke…oke…oke… sebelum saya mulai bercerita, terlebih dahulu saya akan menjelaskan alasan saya membuat maupun memposting tulisan ini. Tulisan ini khusus dibuat sebagai kado ulang tahun yang ke -20 kalo nggak salah buat Sdr. Isal Madjid, teman saya yang saat ini menempuh pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Negeri Manado (UNIMA).

            Kenapa kadonya dalam bentuk tulisan seperti ini? Bisa dibilang penyebabnya adalah karena LDFR antara saya dan Isal. LDFR adalah singkatan dari Long Distance Friendship Relation. Seperti itu.

Sekarang kita berhenti pake bahasa formal. Saya merasa aneh sendiri entah kenapa.

Gue kenal Isal lewat dumay. Buat yang nggak tahu apa itu dumay, bakal gue jelasin. Dumay adalah singkatan dari dunia maya. Sedangkan dunia maya adalah dunia yang tidak nyata tapi benar-benar ada *apa deh?*. Pokoknya dunia maya itu adalah tempat kita buat make a friendship sama orang-orang baru ataupun buat kembali berhubungan sama orang-orang yang dulu pernah ada di kehidupan kita tapi udah nggak pernah ketemu lagi atau udah nggak pernah contact-contact-an lagi. 

Ini kenapa topiknya jadi bahas ini, ya? Perasaan tentang ulang tahun deh. Oke. Kembali ke ulang tahun Isal. Setau gue ultahnya si Mas Isal ini jatuh pada tanggal 23 Februari. Nggak tahu tahun berapa. Gue tebak sih tahun 1994 soalnya Isal ini bisa dibilang junior gue dalam tingkatan pendidikan tapi senior gue dari segi umur alias kakak. :D

Kenapa bisa kayak gitu? Pokoknya ceritanya kayak gitu aja. Gue tahu ultah Isal itu tanggal 23 berkat informasi data dirinya yang ia posting di akun Facebook-nya hehehehe… Kayaknya gue berbakat jadi stalker. Dimana tempat pendaftaran profesinya secara legal? Ada yang tahu? Tolong hubungi saya segera. :p

            Gue kenal Isal udah cukup lama. Pertama kali gue kenalan sama dia dulu, tapi nggak dulu dulu banget. Kira-kira sekitar 3 atau 4 tahun yang lalu lah. Waktu itu gue masih kelas XII SMK dan dia kelas XI SMA. Kenalnya ya lewat dunia maya. Mantep kan? Walaupun cuma lewat dunia maya, tapi kita masih bisa temenan sampe sekarang. *plok-plok* *tepuk tangan gaje*

Awal-awal gue kenal, hal pertama yang gue tahu dari seorang Isal Madjid adalah kita punya satu kesamaan. Sama-sama suka anime Naruto Shippuden. Dari situ gue ngerasa kalo kayaknya asyik kalo gue bisa temenan terus sama nih Om satu. Nggak tahu kenapa? Nggak jelas banget kan alasannya. Tapi Isal emang asyik kok orangnya. Yang kedua adalah dia sekolah satu SMA sama adik kelas gue dulu, namanya Mario Prakoso di SMA Negeri 2 Bitung. Yang ketiga adalah dia anak bahasa dan suka nulis juga. Gue inget dulu waktu masih zaman sekolahan (jadi berasa udah tua gue), dia pernah nge-tag atau apa yaaa??? Pokoknya ada gitu puisi yang entah dia sendiri yang nulis atau bukan – gue udah lupa soalnya udah lama banget – yang gue suka banget tapi gue juga udah lupa judulnya. Kalo nggak salah tentang narkoba narkoba gitu deh.

Hal selanjutnya adalah seinget gue nih ya Isal ini pernah jadi salah satu Ayah termuda saat ngambil rapor adeknya di sekolahnya. Kalo nggak salah, Ayah yang berumur 17 tahum hihihi… selain itu setahu gue Isal ini adalah Bokap gadungan gue di dunia maya. Ya! Isal ini Bokap gue di Facebook. Bisa cek status hubungan pertemanan gue sama dia. Dia BOKAP gue!!! Tapi nggak tahu kenapa nih ya… dia nggak pernah berlaku sebagai Ayah yang baik. Masa ada gitu seorang Ayah yang doyan nonton animenya udah nggak ketulungan. Sampe mengakui kalo dirinya maniak :p. Tapi emang kenyataannya kayak gitu. Dia nggak pernah mikir kali ya kalo disini tuh ada anak perempuannya yang sesekali berharap dikasih uang jajan. Padahal gue anak kost lho. Miris banget ya nasib gue bisa punya Bokap kayak dia. Tapi gue seneng kok. Isal orangnya baik, pinter, bisa ngelucu, nggak pernah lupa ulang tahun gue hehe, *ini modus sebenarnya*

Tapi ya udahlah. Buat Bokap Gadungan gue yang bernama Isal Madjid, yang sekarang lagi kuliah Bahasa Inggris di UNIMA, yang tergila-gila sama Gundam, yang lagi nge-fans banget sama Sword Art Online kayaknya…. Selamat Ulang Tahun yaaaa, Happy Birthday, Saengil Chukka Habnida, semoga panjang umur, sehat selalu, sukses, bisa terus jadi temen gue, kuliahnya lancar dan tetap bisa bikin bangga ortu, pokoknya semuanya yang baik-baik deh… maap ye kadonya bisa ini doang.

PS: Jangan lupa traktirannye ye, Bang :D

Minggu, 16 Februari 2014

,


AUTHOR POV

Kacau! Berantakan! Rusak! Itulah kata yang tepat untuk menjelaskan ‘kencan’ pertama Anya dan Nugrah di malam minggu ini. Anya yang awalnya membohongi Vira bahwa ia sedang punya banyak pekerjaan saat menolak ajakan nongkrong sahabatnya itu tidak menyangka bahwa kebohongannya akan ketahuan dalam waktu kurang dari 24 jam.

Lebih daripada itu. Hubungannya bersama Nugrah terbongkar dengan sangat tidak mengenakkan di depan orang-orang yang ia sama sekali tidak ingin mereka mengeahuinya. Okelah Riska dan Vira memang sudah tahu perihal ‘permintaan tolong’ Nugrah padanya karena ia memang telah menceritakan segalanya pada mereka tempo hari. Bahkan mereka adalah orang yang dimintainya solusi dan pendapat. Tapi Wika? Ia sama sekali tidak berharap laki-laki sosok cinta pertamanya itu tahu. Apalagi Chani? Ia yakin Chani pasti tidak akan setuju dengan perjanjiannya dengan Nugrah ini. Ia psati akan marah besar dan Nugrah bisa saja mendapat masalah mengingat bagaimana protektifnya Chani menjaganya selama ini. Dan Nugrah juga belum tentu ingin orang lain tahu permintaan tolongnya dan bantuan yang Anya berikan. Sementara Dirga? Oke. Dirga memang tidak ada kaitannya karena Anya sendiri tidak begitu akrab dengannya. Tapi bukankah semakin sedikit orang lain yang tahu semakin baik? Lalu Fikram. Ia memang hanya orang baru yang bahkan baru kali ini Anya melihatnya. Tapi sepertinya alasan yang sama dengan alasan yang berlaku bagi Dirga juga harus dikibarkan di depannya.

Sepanjang acara makan malam itu, Anya tidak banyak bicara. Chandra juga. Ia hanya diam dan sesekali menanggapi omongan teman-temannya yang dianggapnya perlu. Ia sama sekali tidak memandang Anya. Sedangkan Wika, laki-laki itu tetap terlihat biasa saja dengan tetap bercanda dan bertukar cerita bersama teman-temannya yang lain juga Nugrah yang ternyata langsung bisa akrab dengan mereka, tapi pandangan Wika tidak pernah terlepas dari Chandra dan Anya juga Nugrah. Ia membandingkan Nugrah dan Chandra. Siapa yang lebih tampan dan siapa yang terlihat lebih pantas bersanding dengan Anya yang sayangnya tidak menemukan pemenangnya dikarenakan Nugrah dan Chandra yang terlihat berbeda dan memiliki karakter mereka masing-masing. Chandra dengan kepribadian tenang, berpendidikan dan dewasa serta Nugrah yang terkesan cool, cerdas dan memiliki kharismanya sendiri. Di samping penampilannya yang seperti Wika bilang, keren dengan produk bermerek terkenal yang menempel di tubuhnya. Dalam hati Wika memuji Nugrah, laki-laki yang baru dikenalnya malam ini sebagai pacar resmi Anya. Ia benar-benar sosok idola. Sepertinya ia bukan orang sembarangan dan sudah bisa dipastikan anak orang kaya dengan segudang harta dan wanita yang mengantri untuk bisa menjadi kekasihnya. Tampilan Anya sebenarnya sangat tidak cocok dengan Nugrah. Tidak ada cocok-cocoknya malah. Nugrah terlihat lebih cocok bersama Vira dengan tampilan modisnya.
,


CHANDRA POV

Hampir saja aku memuncratkan kembali kopi yang ada di mulutku mendengar teriakan Vira. Dasar mulut toa. Ia benar-benar tidak bisa mengerem nada suaranya jika ia sudah bicara. Apalagi saat berteriak. Mungkin ia pikir ia sedang berada di ruang latihan Paduan Suara. Ia memang salah satu anggota Paduan Suara Kampus, jadi sudah bisa dipastikan bagaimana merdunya suara gadis ini. Tapi ternyata bakatnya itu tidak berlaku saat ia mengeluarkan suara selain menyanyi.

            Sepertinya aku belum pernah cerita, tapi Vira ini adalah salah satu penggemar fanatikku. Ya. Aku bukannya terlalu percaya diri, tapi memang begitulah kenyataannya. Aku tahu bahwa sudah lama ia menyukaiku tapi aku sengaja berpura-pura tidak tahu. Lagipula hatiku sudah dibawa pergi oleh Anya yang pada kenyataannya melabuhkan perasaan cintanya pada Wika – adikku sendiri yang kini sedang duduk di sampingku dan yang sangat menyedihkan bukanlah adik kandungku. Wika memang belum tahu bahwa aku sudah mengetahui rahasia yang ia sembunyikan dariku. Aku akan menanyakannya nanti, setelah aku mencari tahu kenyataan yang sesungguhnya secara jelas dan bukan hanya berasal dari satu pihak saja.

Malam ini kami sedang berkumpul di salah satu caf̩. Sekedar reuni. Aku, Dirga, Wika, Riska dan Vira yang ternyata membawa orang baru yang ia perkenalkan sebagai pacarnya РFikram.

Dengan santai aku menoleh ke penyebab menjeritnya Vira. Hampir saja aku menjatuhkan cangkir kopi yang sedang aku pegang saat menyadari siapa yang membuat Vira berteriak histeris seperti tadi.

Itu Anya! Iya! Aku sama sekali tidak salah lihat. Itu Anya! Apa yang ia lakukan disini? Bukannya tadi Vira bilang Anya tidak bisa ikut karena ada pekerjaan yang harus ia selesaikan? Tapi sekarang, kenapa ia bisa ada disini? Bersama seorang laki-laki!

Dan… Tangan mereka BERGANDENGAN!
,


NUGRAH POV

            Akhirnya sosok yang aku tunggu sejak lima belas menit yang lalu tiba juga. Dengan langkah santai ia menghampiriku yang sudah menunggunya di depan Thetaer I Studio 21. Aku sudah memegang dua tiket nonton untuk film “The Hunger Game: Catch Fire”. 

“Maaf ya lama.” Ucapnya begitu sampai di depanku. Aku mengangguk mengiayakan.

“Aku udah beli duluan nih tiketnya. Kita nonton ini aja nggak papa kan?” Tanyaku sambil memperlihatkan tiket nonton itu padanya. Ia mengangguk dan tersenyum. “Mau beli popcorn sama minum dulu?” Tanyaku lagi. Ia juga mengangguk mengiayakan. Aku jadi berpikir, sepertinya komunikasi kami berdua hanya berkisar antara pertanyaan dan anggukan kepala. Entah kapan gelengan akan ikut di dalamnya.

Setelah membeli popcorn dan cola, akhirnya kami memasuki theater dan mencari kursi sesuai nomor yang tertera pada tiket.

****
ANYA POV

Kami baru saja selesai menonton film. Sambil bergandengan tangan, aku dan Nugrah keluar dari studio. Hmmm… ralat. Kami bukan bergandengan. Yang tepat adalah Nugrah yang berinisiatif menggandeng tanganku terlebih dahulu yang memang sengaja tak ku tolak. Jangan berpikir macam-macam! Aku bukannya senang digandeng walaupun sebenarnya aku suka diperlakukan seperti ini. Eh? 

Ah! Aku jadi ingat kejadian di dalam bioskop tadi.

Flashback*

Dengan rasa kantuk yang meberontak, Anya menguap pelan sambil berusaha berkonsentrasi pada film yang sedang diputar di depan matanya. Ia tidak ingin membuat Nugrah tersinggung karena tidak menghargai inisiatifnya mengajaknya nonton dan makan malam dengan ketiduran di dalam bioskop. Saat film sedang diputar pula! Apalagi mengingat ini adalah film science fiction story dengan banyak adegan action di dalamnya. Membuat bioskop terkadang menjadi berisik karena tawa maupun jerit tegang tertahan para penonton.

Namun ternyata dugaannya salah. Dengan setengah terkejut, ia menoleh pada Nugrah yang tiba-tiba berbisik di telinga kanannya. Wajahnya terasa sangat dekat di wajah Anya.

“Ngantuk?” Bisiknya pelan. Ada nada pengertian di dalamnya.

Dengan tidak enak Anya mengangguk dan mengucapkan “maaf” secara pelan juga. Tak disangka-sangkanya, kepalanya tiba-tiba ditarik secara pelan oleh Nugrah ke arahnya dan menyandarkannya ke bahunya. Setelah melakukan itu, tanpa berkata apa-apa laki-laki itu kembali fokus ke film di depannya sambil sesekali mencomot popocorn yang tadi mereka beli. Tak disadarinya, perlakuannya tadi telah membuat Anya hampir terkena serangan jantung tiba-tiba. Hatinya jumpalitan tidak karuan.

Flashback*

“Nya kita makan disini aja nggak papa kan?” Pertanyaan Nugrah membuyarkan lamunanku Ternyata saat ini kami sudah berada di depan salah satu café. Yah… kami memang janjian makan malam untuk membicarakan bagaimana caranya memperkenalkan diriku kepada Mama Nugrah. Dengan perlahan aku mengangguk dan tersenyum ketika suara yang begitu ku kenal tiba-tiba menjeritkan namaku.

“ANYA!!!!” Itu Vira! Oh Tuhan…. Bagaimana ini?
,


AUTHOR POV

Chandra tidak percaya dengan apa yang ditangkap pendengarannya. Ia mendengarnya dengan jelas. Bagaimana bisa semua ini terjadi? Kenapa Wika mengatakan bahwa Ibu Rima adalah Ibu kandungnya? Lantas mama? Jika Ibu Rima memang Ibu kandungnya, kenapa ia bisa menjadi anak mama dan papa? Bagaimana bisa ia menjadi kakak Wika? Hidup bertahun-tahun dengan mereka bahkan sampai papa menghembuskan napasnya yang terakhir.

            Ini tidak mungkin! Ia pasti salah dengar. Dengan cepat ditinggalkannya depan ruangan Dr. Ronald. Ia baru saja ingin masuk dan mengkonsultasikan sesuatu yang berkaitan dengan laporan magangnya kepada Dr. Ronald ketika ia tak sengaja melihat Wika memasuki ruangan sang dokter. Awalnya ia mengira bahwa Wika sakit, tapi tidak mau merepotkannya sehingga adiknya itu menghubungi Dr. Ronald yang memang adalah adik Ayahnya sendiri. Wika memang dekat dengan Om Ronald. Berbeda dengan dirinya, ia agak sungkan terhadap Omnya itu. Tapi kenyataan yang ia dengar bukan seperti dugaannya. Ia bahkan tidak pernah membayangkan apalagi memprediksikan bahwa ia akan mendengar Wika menyatakan bahwa Ibu Rima adalah Ibu kandungnya.
Tapi jika memang benar demikian, mengapa Wika tidak ingin ia mengetahuinya? Apa yang sebenarnya mereka tutup-tutupi selama ini? Lalu kenapa mama dan papa tidak pernah memberitahunya selama ini? Wika juga. Kenapa ia ingin agar Chandra tidak bertemu lagi dengan Ibu kandungnya? 

Ya Tuhan… ini benar-benar membuat Chandra frustasi.

****
,


            Minggu kedua setelah aku resmi menjadi ‘pacar’ Nugrah. Belum ada tanda-tanda ia akan mengajakku ke rumah orang tuanya. Well, aku bukan ingin sekali diperkenalkan kepada kedua orang tuanya. Hanya saja, bukankah jika semakin cepat ia memperkenalkan diriku kepada mereka, maka semakin cepat juga sandiwara ini akan berakhir? Aku bosan. Aku capek. Dan aku takut. Takut terjadi hal-hal yang tidak pernah ku duga. Entah hal apa itu, aku pun tak tahu. Yang jelas, itulah yang aku rasakan.

Good morning…” Salamku saat memasuki kelas XII IPA-1, kelas Nugrah. Hari ini jadwalku mengajar di kelasnya. Sedikit was-was memang. Pasalnya, sejak kejadian beberapa hari yang lalu saat aku terlambat menemui Nugrah di café, ia belum pernah menghubungiku lagi. Aku tidak berharap dihubungi. Tapi dengan ia seperti ini, aku menjadi sedikit merasa bersalah. Siapa tahu saja ada yang ingin ia katakana padaku.

“Morning, mam….” Koor murid-murid di kelas.

Tanpa sadar, aku memandang ke bangku kedua dari belakang di sudut kiri kelas. Ke bangku Nugrah. Kemana dia?

“Are you looking for someone, mam?” Tanya seorang murid yang tidak ku ketahui siapa namanya.

“Eh?” Aku jadi tergagap sendiri.

“Yes. Are you looking for someone? “ Ulangnya lagi yang baru ku sadari adalah Ryan – gadis yang ku dengar merupakan gadis terpopuler di angkatan Nugrah.

“No, I’m not.” Sergahku cepat. Takut ia menyadari siapa yang aku cari. Sebenarnya sejak hari pertama aku masuk ke sekolah ini, Arryan Kim – gadis berdarah Indonesia-Korea ini memang sudah menunjukkan rasa tidak sukanya padaku. Entah karena apa. Begitu banyak hal yang aku tidak tahu saat ini. Akupun jadi bingung sendiri. Apakah ada yang salah dengan otakku?

“Please open your book…..” belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, sebuah ketukan dari arah pintu menginterupsi.

“Sorry, I’m late.” Ucapnya meminta maaf tanpa rasa bersalah sama sekali. Aku hanya bisa mematung mendengar permintaan maafnya. Nugrah. Sosok yang sudah beberapa hari ini tak bertemu denganku. Sosok yang bisa ku katakan sedang aku….rindu??

“May I please come in?” Tanyanya dengan suara datar, menyentakku dari lamunanku.

“Y..y…yes, please.” 

****

Sial! Aku tidak nafsu makan. Kejadian beberapa hari lalu masih terus berputar di otakku. Anya diantar lelaki lain – entah siapa. Aarrgghhh…kenapa aku jadi frustasi seperti ini dan bertindak seperti anak kecil yang merajuk karena tidak dibelikan eskrim? Dan gadis itu…bagaimana bisa ia cuek saja? Aku akui, aku ingin sekali dibujuk saat ini. Tapi kenapa?? Kenapa aku jadi seperti ini? Ulang tahunku tinggal dua minggu lagi. Sudah seharusnya aku menyusun rencana bagaimana caranya memperkenalkan ia kepada mama.

Anya….. hffttt…. Bahkan bernapas pun harus pelan-pelan demi meredam emosi agar tidak mencuat keluar.

****

Ku langkahkan kakiku menyusuri koridor rumah sakit tempat Kak Chan magang. Aku harus bergerak cepat. Cerita Kak Chan minggu lalu benar-benar telah mengusik ketenanganku dan membuatku tak bisa menahan langkah untuk tak kesini. Terserah jika Kak Chan akan marah karena aku bolos kuliah. Aku tidak peduli.

Itu dia! Ruangan Kak Chan. Ia ada disana. Wanita itu ada disana. Jaraknya tinggal beberapa meter lagi untuk sampai ke pintu ruangan Kak Chan.

“Wika!” Sial! Lebih baik aku pura-pura tidak mendengar saja.

“Wika! Wika..! Woy Wika!” Ulangnya lagi sambil menarik bahuku. Sialan! Sialan! Sialan! Dengan sangat terpaksa aku berbalik dan menatap pemilik suara itu. Dirga. Sahabat Kak Chan.

“Apa sih?” Tanyaku ketus.

“Ngapain lo disini?” Tanyanya santai.

“Menurut lo?!” Jawabku sinis.

“Lo nggak mirip orang sakit.” Jawabnya enteng.

“Lo pikir gue penyakitan?!” Entahlah. Aku jadi semakin sinis.

“Sinis banget sih lo! Kayak cewek aja.” Komentarnya. “Kalo lo mau ketemu Chandra, mending jangan sekarang. Dia lagi ada pasien. Kecuali kalo lo mau diomelin sama dia. Gue cabut.” Dasar! Calon dokter anak menyebalkan. Eh tapi tunggu!

“Dir!”
****
Dr. Ronald Adipatra

Itulah yang tertulis di depan pintu salah satu ruangan dokter spesialis jantung ini sekaligus adik ayahku ini. Perlahan ku ketuk pintu dan masuk.

“Om.” Panggilku dengan sopan.

“Wika?!” Wajahnya tampak kaget. Wajar saja. Ia tahu aku benci rumah sakit tapi tiba-tiba saja aku menemuinya tepat di rumah sakit

“Maaf ganggu Om. Ada yang mau Wika omongin.” Kataku kemudian.

“Ada apa Wika? Kamu sakit?” Tanyanya khawatir.

“Enggak kok Om. Cuma Wika rasa ada yang harus Wika omongin sama Om dan ini penting banget.” Jawabku.
Beliau segera menatapku intens sambil menautkan kesepuluh jarinya dan meletakkannya di atas meja kerjanya.
“Ini tentang Kak Chan.” Mulaiku.

“Ada apa dengan Chandra? Apa sakitnya kambuh lagi?” Tanya Om Ronald serius. Terang saja. Mungkin tidak banyak yang tahu tapi dulu saat masih kecil Kak Chan adalah salah satu penderita gagal jantung yang beruntung sekali bisa mendapatkan pendonor untuk transplantasi.

“Nggak. Cuma bisa menjurus ke sana nantinya kalo hal ini nggak segera Wika bicarain sama Om.” Jawabku.
“Maksud kamu?” Tanya Om Ronald terlihat tidak mengerti dengan maksud perkataanku.

“Wika denger Kak Chan punya pasien yang khusus dia tangani selama magang disini, Kan?” Tanyaku memastikan. Om Ronald mengangguk sebagai jawaban. “Tapi itu bukan pasien dengan penyakit serius. Hanya sekedar check up kesehatan biasa. Jadi saya rasa Chandra bisa menanganinya dengan baik.”

“Justru disitu masalahnya Om. Nama pasien itu Ibu Rima, kan? Istri salah satu pengusaha terkenal?” Aku benar-benar ingin membuat segalanya pasti agar aku tidak salah langkah. Om Ronald mengangguk lagi.

“Aku yakin Om udah tahu tentang cerita masa lalu papa, mama dan Kak Chan.” Kataku. Om Ronald tampak terkejut. Tidak menyangka aku mengetahui faka yang selama ini selalu mereka tutup-tutupi dan bahkan mungkin telah mereka kubur dalam-dalam itu.

“Dari mana kamu tahu?” Tanya Om Ronald. “Tidak mungkin mamamu yang member tahu. Saya tahu persis bagaimana rasa sayangnya terhadap Chandra.”

Aku menggeleng. “Bukan! Mama sama sekali nggak ngasih tahu Wika. Dan Wika juga nggak pernah nanya. Wika nggak sengaja tahu. Itupun udah lama. Sebelum papa meninggal. Wika tahu waktu mama sama papa pernah ribut dulu dan mama nggak sengaja bilang itu.” Jawabku.

“Lalu? Apa hubungannya dengan kesehatan jantung Chandra?” Tanya Om Ronald lagi.

“Sebenarnya Wika juga nggak tahu ini ada hubungannya sama jantung Kak Chan atau nggak. Cuma yang Wika tahu, Ibu Rima itu adalah Ibu kandung Kak Chan!” Jawabku. Ekspresi Om Ronald langsung berubah. Tidak lagi menunjukkan keheranan dan kebingungan saat pertama kali ia bicara denganku tadi. Ekspresinya menunjukkan keterkejutan luar biasa.

“Wika nggak mau kalo sampe ini semua kebongkar dan diketahui oleh Kak Chan. Wika takut kalo Kak Chan bakalan drop dan semuanya bakal pengaruhin kesehatannya lagi.” Sambungku cepat.

“Jadi maksud kamu…kamu mau agar Chandra tidak lagi menangani Ibu Rima sebagai pasien tetapnya selama disini?” Tanya Om Ronald lagi. Aku mengangguk cepat. Sangat berharap Om Ronald bisa membantuku.

“Tidak segampang itu Wika. Tidak mudah mencari pasien yang mau agar dokter yang menanganinya diganti. Apalagi diganti oleh dokter magang. Dokter yang sama sekali belum memiliki lisensi kedoketran. Dalam hal ini Ibu Rima untungnya bisa mempercayai Chandra saat saya menawarkan kepada beliau untuk mengganti dokternya untuk sementara. Kamu tahu sendiri bahwa selama ini cita-cita Chandra hanya satu. Ia ingin sekali memiliki pasien sendiri dan kita tidak akan mungkin tega menghancurkan cita-cita kakakmu itu. Kamu tahu sendiri bagaimana menderintanya ia dulu sampai-sampai saat ia akan melangsungkan operasi transpalntasi itu ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menjadi seorang dokter jika sudah sembuh. Kamu tahu betul artinya apa. Ia hanya ingin berbagi kebahagiaan dan kehidupan.” Jelas Om Ronald panjang lebar.
Oh Tuhan! Apa yang harus aku lakukan?

,


            Ku lihat Anya turun dari taksi di depan rumahnya. Tumben? Biasanya juga naik bus atau ojek. Ku hampiri ia dari belakang dan dengan usil ku tarik pelan rambutnya yang dikuncir kuda. Mengganggunya benar-benar menyenangkan bagiku. Sejak dulu.

“Apa sih?!” Teriaknya kesal sambil mencubit lenganku.

“AW! Sakit Nya. Gue nariknya pelan-pelan juga.” Gerutuku sambil mengelus lenganku bekas cubitannya tadi. Merah. “”Buset Nya. Lo belum potong kuku, ya.”

“Iya. Sengaja. Biar bisa nyubit lo kalo lo resenya lagi kumat.” Jawabnya ketus.

“Dari mana lo?” Tanyaku.

“Wika kepo.” Jawabnya sambil lalu dengan wajah cemberut.

Ada apa ya dia? Tidak seperti biasanya. Marah-marah tidak jelas. Apa ada masalah? Sepertinya aku harus tanya Kak Chan.

****

            Ku hempaskan tubuhku ke tempat tidur. Capek. Padahal aku tidak melakukan pekerjaan berat sama sekali. “AAAARRGGGHHHHH…..” Teriakku sambil membenamkan wajahku ke bantal agar tak terdengar orang rumah. “Anya bego!!” Makiku pada diriku sendiri. Bagaimana bisa aku sebodoh itu? Kenapa juga aku harus mencekal lengannya. Dia jadi curi kesempatan, kan? Dan bodohnya…kenapa aku diam saja saat ia menggenggam tanganku? Anya bego bego bego……

Ku pandangi tanganku bekas genggamannya tadi. Tangannya masih terasa….

HUAAAA….maluuuuuuuuuuuuuuuuuuu…………

,
            Permintaan mama. Mungkin inilah jalannya. Aku membutuhkannya setidaknya untuk saat ini. Dan karena itulah, permintaan mama yang sebenarnya bisa saja tak aku tanggapi – aku coba untuk penuhi. Siang tadi, selepas bel pulang aku sengaja menunggunya di depan gerbang sekolah. Hari ini ia memiliki jadwal mengajar di kelasku pada saat pelajaran terakhir. Aku tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku harus meraihnya. Sekalipun aku harus ‘menjual’ nama mama.

Dengan berbekal nomor teleponnya yang aku dapatkan dari hasil investigasi Fahri, aku menghubunginya. Sekedar untuk memintanya untuk jangan pulang dulu, karena ada hal penting yang ingin aku bicarakan. Sengaja aku mengatakan bahwa hal ini penting, walaupun sebenarnya tidak baginya. Apa hubungannya permintaan mama dengannya? Tepat seperti dugaanku. Walaupun akhir-akhir ini ia sering terlihat mencari-cari keberadaanku, ia sama sekali tidak menganggap permintaanku padanya untuk menjadi pacarnya tempo hari – serius. Buktinya, ia masih bisa mengajar dengan tenang di kelas, bahkan menegur, memarahi dan menghukumku jika aku berbuat kesalahan. Hari ini saja ia memberiku tugas untuk membuat makalah dengan judul Perkembangan Pendidikan di Indonesia dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai hukuman karena aku tidak memperhatikan penjelasannya, hanya bercanda dan bahkan sampai tidur saat kelas sedang berlangsung. Aku akui. Aku cukup terkesan dengannya. Ia adalah guru pertama yang berani menegur bahkan memberi hukuman padaku karena kebiasaaanku tidur di kelas yang memang sudah mencapai taraf mengkhawatirkan.

            Dengan pasti ia menemuiku di depan gerbang saat sekolah sudah sepi. Aku memang sengaja memintanya untuk datang saat anak-anak sudah pulang untuk menghindari mata dan kuping tidak bertanggung jawab yang tak sengaja atau bahkan sengaja melihat kami. Ku ajak ia berjalan-jalan sebentar kemudian mencari makan menggunakan motor besar hitamku. Awalnya ia ragu, tapi berbekal kemampuan ‘memaksaku’ aku berhasil membujuknya untuk ikut denganku. Kuutarakan ‘permintaan tolongku’ sambil menyantap makan siangku. Hmmm… makan sore sih sebenarnya. Ia tampak kaget mendengarnya. Sangat kaget bahkan. Tapi aku berpura-pura tidak tahu saja. Lagipula disini aku mengatakan bahwa aku hanya minta tolong. Hanya untuk sementara…

Ia tidak memberikan jawaban. Hanya diam sambil menatap makanannya yang saat itu sudah tidak disentuhnya lagi. Mungkin bingung harus bagaimana. Terang saja ia bingung. Bagaimana bisa hal seperti ini disebut permintaan tolong?!

“Ibu udah punya pacar?” Tanyaku.

“Eh?...” Lagi-lagi ia tergagap. Kebiasaannya yang mungkin sudah mengakar. Tergagap dulu sebelum bisa menjawab pertanyaan yang diajukan dengan benar.

“Iya. Ibu udah punya pacar?” Tanyaku lagi.

“Nggak ada.” Jawabnya sekenanya.

“Jadi Ibu mau dong bantuin saya.” Desakku.

“Hmmm… bukan begitu Nugrah. Cuma… kamu tahu sendiri kan saya ini siapa dan kamu siapa?” Oh jadi begitu. Masalah status.

“Ya apa masalahnya? Lagipula ini nggak ada hubungannya sama pihak sekolah. Mau saya pacaran sama siapa, Ibu pacaran sama siapa, sekolah nggak ada hak buat ngatur.”

“Jelas ada Nugrah. Saya ini guru kamu. Kamu murid saya. Apa kata orang-orang nanti.” Yah perempuan memang dimana-mana suka ribet. Melulu memikirkan pendapat orang lain.

“Jadi kesimpulannya Ibu sebenarnya mau bantuin saya tapi Ibu nggak berani karena terhalang status, begitu?” Skakmat!! Ia masuk perangkapku. Aku yakin sebenarnya ia ingin menolak permintaanku tapi tidak tahu dengan cara yang bagaimana.

“Bukan… maksud saya…”

“Gampang aja. Kita bisa merahasiakannya.”  Sergahku cepat.“Please…” Pintaku sambil memelas. “Cuma untuk sementara…”

****
Telah ku coba tuk meraihmu
Menggapai jiwamu, berharap hatimu kan berpaling dan terpaut untukku
Tapi kenyataannya sungguh berbeda
Aku tak mampu
Hatimu telah direbut olehnya…
Perasaanmu telah terlalu dalam…
Padanya yang tidak bisa kau tinggalkan
Padanya yang tidak bisa ku gantikan
Padanya yang tak bisa ku tandingi
Ku hanya bisa turut berharap… suatu saat nanti… ia kan mengerti…

            Kembali. Ku tatapi kamar tetangga sekaligus sahabatku. Lampu kamarnya belum padam. Ada ada dengannya? Kenapa ia belum tidur? Aku sangat mengenalnya. Aku sudah terlanjur hafal kebiasaannya. Ia paling tidak bisa tidur lewat tengah malam seperti ini. Matanya tidak mampu ‘melek’ bahkan hanya sampai jam 11 malam. Apa ia punya masalah? Atau ia sedang sibuk memeriksa hasil pekerjaan rumah para muridnya? Astaga!! Aku hampir lupa. Saat ini ia adalah seorang pengajar. Seorang guru. Impiannya sejak dulu. Ia pasti sangat sibuk sampai tidak sadar bahwa hari sudah hampir pagi. Haruskah aku menghubunginya? Ah tidak! Itu hanya akan mengganggu. Sebaiknya jangan. Aku bisa menemuinya besok. Lagipula ia baru saja pulang dari rumahku beberapa jam lalu. Aku harus bilang apa jika aku menghubunginya? Kangen? Hh.. jangan mimpi! Sudah ada yang memiliki hatinya. Dan itu bukan aku… 

****
            Sebaiknya aku meminta pendapat orang lain. Tapi siapa? Chani? Tidak mungkin. Ia pasti akan mencak-mencak jika mendengarnya. Wika? Lebih tidak mungkin lagi. Ia pati akan langsung mencari Nugrah dan memberinya ‘hadiah’. Sejak dulu Wika memang selalu berusaha menjodohkan aku dengan Chani. Mama dan Papa? Mana mungkin, Vira? Ya Vira. Sepertinya aku harus minta pendapatnya. Meskipun aku ragu apakah ia bisa diandalkan atau tidak.

Dengan pertimbangan semoga saja Vira bisa memberi solusi, akhirnya aku memutuskan untuk menghubunginya dan memintanya untuk bertemu.

“Anya…” Panggil sebuah suara. Ku tolehkan pandanganku ke arah pintu masuk foodcourt di salah satu mall yang ada di Yogyakarta. Vira. Ia datang bersama Riska. Dengan senyum yang terpampang di wajah keduanya, mereka menghampiriku. Sepertinya hari-hari mereka tak seburuk diriku. Ku berikan sebentuk senyum dan memeluk mereka berdua.

“Ya ampun…kangan banget… Kok lo kurusan sih Nya?” Komentar Vira. Aku hanya tersenyum dan kembali duduk.

“Apa kabar Vir, Ris?” Tanyaku sekedar berbasa-basi.

“Alhamdulllah baik.” Jawab keduanya serempak. Beberapa menit kemudian kami larut dalam obrolan tentang berbagai macam hal. Entah itu tentang kerinduan kami terhadap suasana kampus, kelas, serta teman-teman atau tentang aktivitas dan status baru yang baru hampir sebulan ini kami jalani.

“Oh iya Nya. Lo kesini sama siapa?” Tanya Riska.

“Sendiri. Nggak mungkin kan gue minta anter Tio.” Jawabku.

“Masa sih? Cowok lo?” Tanya Vira.

“Cowok? Emang sejak kapan gue cerita sama lo gue ada cowok? Emang lo berdua sendiri dateng bareng siapa?”

“Gue sama Dirga tadi. Tapi dianya udah balik lagi ke RS. Kebetulan aja ketemu nih anak di pintu masuk.” Jawab Riska. Aku tidak heran. Riska ke mana-mana pasti selalu diantar Dirga, pacarnya sejak SMA yang kini magang di RS yang sama dengan Chani.

“Nah lo?” Tanyaku sambil berpaling menatap Vira. Yang ditanya malah asyik senyam-senyum entah apa artinya dan menaik-naikkan alisnya.

“Kesambet lo!” Tegurku.

“Kasamaran, tepatnya.” Timpal Riska.

“Maksud lo?” Tanyaku tak mengerti.

“Gue tadi sama cowok gue.” Jawab Vira.

“Cowok lo? Sejak kapan lo punya cowok?” Tanyaku tak percaya. Secara, sejak SMA ia sudah naksir berat pada sahabatku – Chani. “Lo tadi kesini diantar Chani?” Tanyaku lagi. Mungkin saja ia sudah jadian dengan Chani tanpa sepengetahuanku. Aku harus minta PJ kalau begitu.

“Kata siapa gue sama Chani? Gue sama cowok gue. Namanya Fikram. Anak magang juga sih. Tapi dari MIPA.” Jawabnya.

“Anak kampus kita juga?” Tanyaku. “Kok lo nggak pernah cerita?”

“Jadiannya juga baru seminggu ini. Lagian gue tau lo sibuk, jadi nggak punya waktu ngurusin yang beginian.” Jawab Vira.

“Bener banget.” Riska menimpali. “Eh betewe kayak kata nih anak tadi, lo itu sibuk, ngapain lo tumben-tumbenan ngajakin ketemuan? Pasti ada hal yang penting dong.” Sambungnya.

“Emang gue nggak boleh ketemuan sama lo berdua kalo nggak ada yang penting, gitu?”

“Ya nggak gitu… sensi amat sih? PMS ya…

“Penting nggak penting sih sebenernya.” Jawabku memulai alasan kenapa tiba-tiba aku mengajak mereka untuk bertemu.

“Apaan?” Tanya Vira. Dengan wajah khas orang galau kuceritakan semua tentang Nugrah. Semua hal yang aku ketahui tentangnya selama aku mengajar di SMA 4, sekaligus permintaan ‘tolongnya’ beberapa hari yang lalu. Vira dan Riska hanya mendengarkan tanpa berkomentar sama sekali, menunggu aku menyelesaikan ceritaku. “Menurut lo gue harus gimana?” Tanyaku. 

“Intinya cuma satu. Lo mau nggak bantuin dia?” Tanya Vira.

“Gue bingung Viraaa… Kalo nggak, nggak mungkin gue minta pendapat lo berdua.” Jawabku dengan tampang kesal.

“Terima ajalah Nya… Cuma sementara, kan?” Saran Riska.

“Atas dasar apa lo nyaranin kayak gitu?” Tanya Vira mewakili pertanyaanku.

“Gini ya. Elo udah terlalu lama stuck sama Wika. Gila!! Enam tahun Nya lo mendam perasaan lo sama dia dengan harapan dia bakal berubah dan ngeliat lo. Tapi apa? Mana? Sampe sekarang tuh anak gitu-gitu aja. Bahkan lo juga pasti nggak lupa kalo sampe sekarang dia masih berusaha buat ngejodohin lo sama Chandra.” Jelas Riska panjang lebar.

“Jadi?” Tanyaku lagi.

“Disini anggaplah lo sama tuh cowok sama-sama butuh bantuan. Tuh cowok butuh bantuan lo buat nyenengin nyokapnya, elo butuh tuh cowok buat bantu lo move on dari Wika. Bedanya tuh cowok ngutarain permintaan tolongnya dan elo nggak.”

“Kenapa harus dia? Kenapa nggak Chani? Chani lebih dewasa, dibanding dia yang masih anak-anak.”

“Chandra – nggak mungkin. Lo nggak bakalan bisa move on. Yang ada lo semakin ngarepin Wika. Hubungan Chandra dan Wika bukan hanya sekedar hubungan pertemanan kayak Dirga sama Chandra, atau persahabatan kayak lo sama kita. Beda. Mereka kakak adek. Yang ada lo bakalan terus ngeliat bayangan Wika dalam diri Chandra. Dan itu bakalan nyakitin.”

“Pengalaman ya Jeng. Kok pinter banget dalam hal kayak gini?” Celetuk Vira yang sedari tadi fokus mendengarkan penuturan Riska. Yang ditanya hanya tersenyum. Bangga.

“Tapi kalo dia cuma main-main gimana? Dia kan masih anak kecil.” Aku tidak menyangka mendapat saran seperti ini.

“Ini kan emang cuma main-main. Cuma sementara. Malah lebih bagus, kan. Nantinya pas lo berdua harus ngelepasin satu sama lain, jatohnya nggak akan sakit. Karena ini cuma main. Cuma sekedar pura-pura. Nggak ada unsur perasaan sama sekali. Lagian cuma sampe dia ulang tahun, kan?” Aku mengangguk lemah.

“Dan jangan lupa Nya. Lo sama dia sama. Sama-sama masih anak kecil. Tingkat pendidikan lo aja yang lebih tinggi. Dan lo pinter. Dianya gue nggak tahu. Kita cuma nagsih saran sebagai sahabat dan orang yang lebih tua dari lo.”

“Gue nggak suka kalimat terakhir lo!” Timpal Vira. Aku hanya tersenyum.

“Anaknya pinter kok.” Jawabku. Aku ingat dengan PR makalah yang aku berikan padanya yang dibuat tanpa kesalahan dalam hal Grammar itu. Meskipun masih ada beberapa bagian yang harus diperbaiki.

“Malah lebih bagus, kan? Setidaknya dia nggak bego.”

“Gue setuju sama pendapat Riska. Anaknya ganteng juga kan tadi lo bilang. Meskipun gue nggak yakin bisa lebih ganteng dari Fikram.” Sambung Vira sambil nyengir.

“Tajir pula…”

“Gitu yaaa?”… Oh Tuhan… Semoga aku tidak salah memutuskan.

****
            Ini sudah hari ketiga sejak pertemuan kami. Ia memang meminta waktu untuk berpikir. Entah kenapa rasanya berat sekali untuk meminta permintaanku. Padahal aku yakin, jika aku memintanya pada orang lain, dalam hitungan detik mereka akan langsung menyetujui permintaanku. Bagaimana tidak? Menjadi pacar seorang Nugrah bukan sebuah kerugian. Kamu akan bisa mendapatkan apa yang kamu mau minus kasetiaan.

Saatnya menagih jawaban. Aku memintanya untuk menemuiku hari ini di salah satu taman kota. Semoga aja ia datang. Entah bagaimana jika ia tidak datang. Aku pun tak mengerti, kenapa aku ingin sekali memilikinya walau hanya sebentar. Yang pasti, aku sama sekali tidak memiliki perasaan apa-apa terhadapnya. Hanya sekedar ingin memiliki. Tidak lebih.

“Hai…” Sapaku. Ternyata ia sudah sampai lebih dulu.

“Hai…” Jawabnya sambil tersenyum kikuk. Ku amati penampilannya. Tidak buruk.. Hanya saja kurang feminin untuk ukuran penampilan seorang perempuan. Tapi tidak apa-apa.

“Udah lama. Bu?” Tanyaku sambil mendudukkan diriku tepat disampingnya. 

“Baru kok.” Jawabnya singkat.

Lima belas menit tidak ada yang bicara. Ia hanya menatap danau di depan kami, sambil sesekali menatap sekeliling dan tersenyum padaku. Sepertinya aku yang harus memulainya jika tidak ingin bertahan disini sampai minggu depan.

“Jadi?” Tanyaku to the point.

“Jadi… apa?” Tanyanya balik. Oh Tuhan!! Ternyata ia lebih tulalit dari yang aku kira.

“Jadi Ibu bersedia membantu saya?” Tanyaku seformal mungkin. Ia diam sejenak, kemudian mengangguk perlahan.

Thank’s God! “Terima kasih.” Ucapku sambil tersenyum lega. Entah lega karena apa.

“Sama-sama.” Jawabnya.

Hening. Tak ada lagi yang membuka suara.

“Mau langsung pulang aja atau makan dulu?” Tanyaku memecah kesunyian. Aku tidak bisa lama-lama. Masih banyak urusan yang harus aku selesaikan. Salah satunya dalah hubunganku dengan beberapa perempuan yang ada di luar sana. Aku sudah bertekad tak akan mempunyai hubungan dengan siapapun kecuali dengan Anya sampai ulang tahunku berakhir. Setidaknya aku harus menghindari masalah untuk saat ini.

“Pulang aja.” Jawabnya singkat.

“Aku anter?” Tanyaku. Ia tak menjawab. Hanya berpaling menatapku. “Kalau di luar sekolah ngomongnya pake aku kamu, boleh nggak?” Tanyaku hati-hati,

“Boleh.” Jawabnya lebih singkat dari sebelumnya.

“Aku anter, mau?” Tanyaku lagi.

“Nggak usah. Aku pulang sendiri aja.”

“Pulangnya naik apa?”

“Bus.”

“Yuk aku cariin taksi.” Ucapku sambil melangkah meninggalkannya di belakang. “Nggak usah.” Tolaknya lagi sambil mencekal lengan kiriku. Langkahku terhenti.

“Maaf.” Ucapnya sambil melepas cekalannya.

“Nggak papa.” Jawabku sambil tersenyum. “Yuk?!” Ajakku sambil menggenggam tangannya dan berjalan untuk mencari taksi.

TBC